CATATAN KLPI PEKAN 11

Lisan

Sebuah getaran keluar dari mulut
Dari leher turut decak yang ingin meluap
Menggemakan wicara bak pesulap

Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga,
Kemudian terluah dalam bahasa
Kini gelombang punya rona
Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona
Aku ringkih mendengar sebuah suara
Pagut memagut, mesti takut
Memaksa ikut

Itulah lisan yang nista
Mencuri hati lalu mematahkannya

Kirakira tak ada yang salah dalam puisi. Yang diperjuangkan dalam puisi bukan dunia faktafakta. Penyair bukan mau mengambil peran seorang wartawan, yang harus menulis sesuai realita yang ditemukannya. Atau seperti ilmuwan yang melihat relasi asumsi antara satu proposisi sesuai kaidah logika sebagai kebenaran. Akibatnya yang esensil dalam puisi bukan kebenaran, tapi kebermaknaan. Puisi berjuang dari “dunia dalam”, makanya dia begitu subjetif. Namun, tidakkah dia bisa menjadi objektif? Entahlah, bukankah yang objektif itu kerap hanya terma sesat atas ilmu pengetahuan? Lalu, bagaimanakah puisi harus diapresiasi?

Puisi di mana pun pasti punya makna kedua. Ini biasa disebut makna simbolis. Mengacu dari konsep alegori, puisi menyimpan suatu dunia yang nirkatakata. Suatu dunia maknawi, dunia simbolsimbol. Artinya, bahasa puisi bahasa polisemi. Bahasa puisi bahasa yang mendua. Puisi, syair bahasa yang menyiratkan banyak arti. Itulah sebabnya, puisi bukan bahasa ekposisi, dia bahasa simbol.

Barangkali, karena itulah suatu soal timbul. Bagaimana cara menilai puisi. Haruskah dia ditempatkan di dalam suatu penyelidikan ilmiah; mengecek korelasi katakata dengan makna semantiknya, atau memang ada prosedur yang tepat guna menilai puisi.

Problem ini jadi panjang di kelas menulis PI. Pemicunya puisi di atas milik Sandra Ramli. Kawankawan, bukan penyair apalagi sastrawan, dibuat bingung. Puisi, di kelas, salah satu jenis karya yang masih gelap. Akibatnya sering kali puisi dianggap tulisan sampiran. Padahal, di kelas, setiap tulisan harus dianggap penting. Itulah mengapa perlu ada porsi yang sama ketika ada kawankawan menulis puisi. Puisi, seperti genre tulisan lain juga karya tulis. Makanya, di kelas dia harus diapresiasi.

Bentuk apresiasi juga jadi soal kedua. Mestikah ada bentuk kritik buat puisi? Kalau ada, kepada apa kritik diajukan? Kepada bentuk atau pilihan diksinyakah? Proses kreatif atau motif kepenulisannyakah? Ataukah yang lain dari itu semua, kepada apa model sastra suatu puisi disematkan? Dengan kata lain, di kelas, belum ada perangkat penilaian yang memadai soal apresiasi puisi.

Akibatnya, puisi, atau sejenisnya kurang mendapatkan tempat di kelas. Kondisi ini tidak mesti dibiarkan. Sebab, kadang puisi hanya dibaca sekali setelah itu dilewatkan. Tak ada ruang sama seperti jika esai dinilai. Makanya, ini harus diubah. Biar bagaimanapun puisi juga mesti diapresiasi. Entah bagaimana modelnya.

Di konteks itu justru dibutuhkan kawankawan yang punya basic ilmu sastra. Sebelumnya ada Muchniart, yang bisa menilai seluk beluk suatu karya. Atau setidaknya memberikan gambaran kepada kelas soal kesusastraan. Tapi, belakangan ini Niart, begitu sering dipanggil, jarang bertandang di kelas. Selain Niart, entah siapa yang punya bacaan kesusastraan yang memadai.

Tapi, pasca disoal, akhirnya puisi memang berbeda dengan genre sastra lain. Bahkan, setiap genre sastra punya karakter dan bentuk berlainan. Itulah sebabnya, cara menyikapinya juga berbeda. Makanya, puisi harus diperlakukan berbeda. Dia punya cara tersendiri dan sikap tersendiri.

***

Maret berakhir dengan hari yang lapang. April datang bersamaan hujan yang ritmik. Mendung bagai selimut di atas langit pekan pertama April. Hujan tetiba jatuh tanpa bisa ditampung. Jauh di Pabbentengang tempat kelas sering dibuka, barangkali masih kosong. Hujan, menunda langkah, setiap mata hanya sampai di daun pintu. Melihat langit yang tetiba kelabu, berharap hujan segera berhenti.

Kala sudah siap pasca dicetak. Selebaran yang kali ini dicetak hanya sebelas eksemplar itu dimasukkan dalam tas. Hujan, yang beberapa saat lalu mereda jadi pantangannya. Kala, sedikit saja tersentuh air, dia luntur. Maklum tinta print, bukan jenis tinta yang sering dipakai media cetak. Makanya satu kelemahan Kala, dia tidak kedap air. Karena itu, Kala mesti diperlakukan spesial. Hatihati.

Barangkali banyak yang datang, tapi bisa juga sebaliknya. Hujan kadang bisa jadi tak romantis. Akibatnya, banyak langkah bisa dirundung sesal. Tidak sedikit dunia menyempit, hanya sebatas teras rumah.

Di sekretariat PI, baru Hajrah yang datang. Dia duduk terpaku di teras PI, juga mungkin termangu. Melihat bulir hujan yang pecah di atas tanah sendirian. Perempuan mungil ini sedari tadi sudah lama begitu. Sebatang tubuh menunggu sesiapa yang bakal datang.

Lama berselang satu per satu tiba. Hajrah menyungging senyum. Di balik senyum setengah sabit itu dia sesal. Dia bilang sudah lama menunggu sendirian. Sudah banyak air pecah bersimbahan mengalir hilang di balik tanah basah. Sudah banyak putaran jarum melingkar di tangannya. Waktu begitu lambat dia rasakan. Mungkin akibat Hujan, atau berkalang sepi menunggu di tepi teras kelas.

Kelas memang agak renggang. Kali ini tak banyak ikut terlibat. Beberapa kawan meminta izin semenjak awal. Beberapa lain tak punya kabar. Tapi, kelas bukan person. Selama ini ini kelas berjalan dengan sistem. Fungsi lebih diutamakan dibanding person. Karena itulah, siapa pun yang datang bisa mengambil alih menjalankan beberapa tugas. Mungkin itulah kekuatannya, selain konsisten, tugas kepemimpinanlah membuat kelas tak pernah lolos sehari pun.

Sehingga, jika cuman Hajrah seorang yang datang kelas tetap berjalan. Kelas akan terus dibuka setiap pekannya seorang atau dua orang. Hajrah otomatis bisa mengambil peran sebagai penyelenggara. Dia bisa berfungsi sebagai ketua kelas. Pesertanya, tentu Hajrah seorang atau juga kak Uly yang selalu stand by di mukimnya. Artinya belajar bukan soal siapa yang datang, melainkan sejauh mana ilmu itu dimungkinkan.

Literasi sejauh ini masih jadi wacana minor. Atau barangkali wacana sampiran. Penandanya sejauh ini wacana literasi belum bisa keluar dari lingkaran tertentu. Literasi masih dipandang produk komunitas, bukan kebutuhan bagi perubahan. Sehingga, literasi dianggap sebelah mata dan dinyatakan sebagai gerakan elitis. Padahal, di mana pun kitab sejarah dibuka, di situ pasti ditopang tradisi literasi.

Makanya, wacana literasi harus dibuka dari kedap suara komunitaskomunitas. Kalau perlu bukan sekedar perbincangan di Kelas Menulis PI saja, tapi juga merembes di sudut kampuskampus. Di tilik dari sini, kawankawan yang aktif di kampus harus jadi corong suara buat gaung di masingmasing lingkungan belajar.

***

Ishak punya tema tulisan menarik. Entah ide apa menyulutnya mau menulis soal suku Naulea di (pedalaman/pesisir?) Maluku. Suku yang diceritakannya membikin sesembahan dengan pengorbanan kepala manusia. Jadi, ditulisnya bahwa suku Naulea selain mengorbankan kepala orang sebagai bagian dari ritual acara adat, juga mengasingkan perempuan jika mengalami haid. Tidak cukup di situ, perempuan yang hamil juga ditinggalkan di suatu tempat untuk dijauhi.

Suku Naulea, yang masih hidup sampai sekarang, bisa jadi pembicaraan pembuka buat mempertanyakan masih adakah suku semacam itu di tempat lain. Terutama soal tradisi kanibalisme, atau bentuk ritual yang mengambil kepala manusia sebagai sesembahan. Di Toraja, kata Rahmat, yang ikut dalam diskusi, menyebut di masa silam juga punya tradisi serupa. Namun, di Toraja, bukan sesembahan terhadap kekuatan maha gaib, melainkan kepala budakbudak yang dipenggal jika tuannya meninggal dunia.

Suku Naulea ditulis Ishak dengan bentuk cerpen. Kekuatan cerpennya masih minim dari segi penceritaan. Ishak masih belum maksimal membikin ceritanya jadi lebih hidup. Cerita yang hidup tidak mesti dengan gaya bahasa yang diksionis, bisa juga dengan membangun detail dari peristiwa yang diceritakan. Misalnya, jika menyebut “parang” bisa juga menyebut terbuat dari apa dia dibuat, bagaimana bentuk gagangnya, atau besi apa yang membuatnya jadi lebih tajam. Artinya, dari situ “parang” tidak sekedar benda, tapi membuka ruang pembaca mengetahui sejarah “parang” itu sendiri. Bisa mengetahui budaya apa yang melekat di situ hanya membayangkan bentuk gagang parang, misalnya.

Dengan kata lain, kekuatan cerpen Ishak dimiliki dari tema ceritanya itu sendiri. Unsur lokalitas begitu kuat di sana, walaupun belum banyak yang bisa dieksplore. Ishak bisa saja membuat konflik dari sudut lokalitas yang diperhadapkan dengan modernisme saat ini. Atau sebaliknya, memasukkan unsur modernisme yang mengancam lokalitas suku Naulea. Sehingga, dari cara macam itu, bisa saja ceritanya lebih kuat dan hidup akibat memasukkan unsur pertentangan di dalam ceritanya.

Tapi, terlepas dari cerita ditulis Ishak, bagaimanakah cara kita membayangkan kehidupan semacam suku Naulea dengan tradisi kanibalisme. Sebab, di suatu tempat lain, atas nama religi, kanibalisme jadi perbuatan halus dengan menyitir ayatayat Tuhan. Bagaimanakah cara keduanya mampu bertahan di kehidupan yang menjunjung nilai kemanusiaan? Bagaimanakah prinsip etis dan tradisi macam suku Naulea bisa diterima?

***

Matahari sudah jauh tenggelam di balik atapatap rumah. Bulatan api itu seperti disedot ke bawah lantailantai mukim yang berubah kebiruan. Malam datang, lampulampu dinyalakan tanda orangorang enggan disapu gelap. Burungburung terbang membelah mendung. Jauh di depannya siluet orange bergelantungan pelan mulai pucat.

Bersamaan dengan itu, kelas menyisakan satu tulisan terakhir. Hajir bilang tulisannya hanya berupa catatan perjalanan. Menurutnya minggu depan masih banyak waktu buat membahas tulisannya. Akhirnya kawankawan sepakat kelas harus diakhiri. Tidak seperti biasa, kali ini kelas ditutup lebih awal. Setelah magrib selesai, kelas mulai kosong. Hajrah, orang pertama yang datang, dia juga orang terakhir meninggalkan kelas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *