Surat kaleng untuk Para Ukhti

Surat kaleng yang terbilang sederhana ini begitu saja terlintas untuk aku tuliskan sewaktu pulang dari warung kopi. Keresahan yang bermula dari dominasi para ikhwan (laki-laki) yang buah pikirannya memenuhi hampir semua media cetak tulis. Meskipun beberapa terlihat coretan tangan dari kalian para ukhti (perempuan), tetapi tetap saja dominasi ikhwanikhwan ini menutupi suara-suara kalian yang minoritas di panggung intelektual. Seperti kabut tebal yang bisa saja menghilangkan semangat dan eksistensi kalian.

Wahai para ukhti, dalam surat ini, saya tak bermaksud menjadi bagian dari suara dominan kaum ikhwan. Meski tak seluruhnya sih. Tapi beberapa di antaranya ada yang menganggap diri ustaz ataupun ulama, yang hendak memberangus suara kalian. Yang hendak menguasai kalian dengan doktrin ketaatan dan pengabdian pada Tuhan dan suami (serta anak-anak) kalian. Saya nge-lihat sendiri bagaimana mereka menjual ayat-ayat Allah buat menyudutkan kalian. Oleh sebabnya, saya yang punya sedikit buku-buku tentang perempuan ini, sekadar ingin berbagi, dan menyentil subjektivitas atau keberadaan kalian, yang tentu saja punya posisi setara dengan laki-laki. Kesetaraan yang kadang kalian maknai sebagai pikiran-pikiran liberal atau feminis yang melampaui batas.

Wahai para ukhti. Menjadi ukhti bukanlah menjadi manusia pasif yang menyerahkan dirinya pada doktrin kepasrahan atas tafsir patriarki kaum laki-laki. Menjadi ukhti tidak sekadar merevolusi model dan lebar jilbab. Tetapi menjadi ukhti juga adalah bagaimana merubah paradigma berpikir dan seberapa luas pengetahuan. Paradigma yang saya maksud adalah bagaimana melihat posisi laki-laki dan perempuan. Posisi itu tak semestinya kalian lihat sebagai sesuatu yang berat sebelah. Di mana laki-laki sebagai pemimpin maskulin yang menguasai, dan perempuan harus patuh seutuhnya. Tidak juga saya hendak mengatakan, bahwa perempuan yang harus memimpin laki-laki. Tidak begitu. Posisi yang saya maksud adalah posisi ‘setara’ di antara keduanya. Sehingga terma ‘pemimpin’ bisa disematkan pada kedua belah pihak.

Laki-laki dan perempuan sama-sama punya potensi menjadi khalifah. Cobalah kalian tengok Q.S. Al Baqarah(2):30. Kata khalifah pada ayat tersebut tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menjadi pemimpin dengan segala tanggungjawabnya di muka bumi.

Meskipun ada beberapa hukum Islam yang cenderung memberi porsi ‘lebih’ pada laki-laki, misalnya poligami. Tetapi hukum itu punya asbabun nuzulnya (sebab-sebab diberadakannya). Pun sekarang, kalau kalian ingin menolaknya dengan mempertimbangkan konteks kekinian kalian, juga tidak masalah. Kalian berhak. Tetapi tetap tidak merubah hukum yang sudah terlanjur ada.

Kesetaraan juga muncul dari segala aktivitas keseharian laki-laki dan perempuan. Tugas laki-laki adalah juga tugas perempuan. Begitupun sebaliknya (kecuali melahirkan). Kalaupun ada keyakinan bahwa laki-laki punya perbedaan tugas atau aktifitas dengan perempuan, itu hanyalah konstruksi budaya saja. Semuanya bisa dibongkar, dibincang dan disepakati kembali perihal pembagian tugas masing-masing.

Tapi, adakah hari ini yang mau bersusah payah membangun komunikasi dan diskursus perihal pembagian tugas itu? Tak banyak. Entah karena keduanya merasa telah nyaman dengan model sekarang ataukah ketidaktahuan telah jadi penyakit bersama.

Wahai para ukhti. Laki-laki dan perempuan juga punya potensi yang sama dalam hal pengetahuan. Janganlah hanya sibuk memperlebar jilbabmu saja. Perlebarlah juga jangkauan keilmuanmu. Janganlah model dan lebar jilbab jadi hal yang mendominasi status-status Facebookmu atau setiap isi dakwah dan ceramahmu sesama ukhti. Atau berkhidmat dan bersetia (tunduk) pada suami adalah sebesar-besarnya pahala. Janganlah mengulang-ulang kajian tersebut. Perdalamlah juga keilmuan tentang Al Quran dan Hadis, juga sejarah dan macam tafsirnya. Perbanyaklah juga mengaji filsafat ataupun sastra. Perbanyaklah kajian buku sejarah dan segala macam pemikiran (barat dan timur). Ukhti, kecerdasan adalah hal paling penting dibanding busana muslimmu. Sebab dari kecerdasan itulah penentu atau cermin perangai dan tingkah lakumu.

Kecerdasan ini juga akan berimplikasi pada pemahaman terhadap agamamu. Pemahaman yang selama ini bias gender. Bagaimana pemahaman itu membuat posisi perempuan hanya sebagai ‘the second human being‘ atau makhluk kelas dua. Makhluk yang dijadikan pelengkap saja bagi laki-laki. Makhluk yang kehadirannya tidak dianggap penting. Tafsir seperti ini bisa dilihat misalnya pada keyakinan bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah Swt dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.

Atau beberapa tafsir oleh sebagian ulama (yang mungkin sampai sekarang menjadi keyakinan) adalah, kejatuhan Nabi Adam dari surga akibat godaan dari Hawa (yang terpengaruh bisikan iblis). Di sini, perempuan dianggap makhluk penggoda dan lebih mudah berteman dengan iblis. Makanya, perempuan sekarang harus menjaga dirinya dengan super ketat. Pembatasan pergaulan diterapkan. Tidak seharusnya keluar rumah kecuali dengan muhrim. Perempuan yang baik adalah yang banyak tinggal dirumah. Atau ‘menjadi ibu rumah tangga’ adalah kemuliaan seorang perempuan.

Demikianlah tafsir yang digunakan oleh para ulama yang sebagian besar didominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga penting untuk kalian terlibat aktif pada dunia pengetahuan. Tak ada jalan lain. Kalian juga harus jadi ulama, pemikir, filosof, ahli tafsir dan sejarah. Sehingga kalian bisa mewakilkan suara kalian ketika berbicara tentang segala persoalan ketidakadilan atau diskriminasi terhadap perempuan. Saya kira, akan lebih tepat ketika perempuan yang berbicara tentang dirinya sendiri, dibandingkan laki-laki yang berbicara tentang perempuan.

Wahai ukhti, saya sungguh paham, bahwa sebagian dari kalian tidak seluruhnya dogmatis. Sebagian dari kalian memang benar-benar punya niatan yang baik dalam beribadah kepada Allah Swt. Bagaimana kalian menyerahkan diri sepenuhnya pada kasih Tuhan. Tetapi sesungguhnya ukhti, ada sebuah makam spiritual (perjumpaan dengan Sang Kekasih) yang tak akan ditemukan jika hanya mengandalkan ritual salat dan sejenisnya. Cobalah tengok tokoh-tokoh sufi semacam Rabiah Al Adawiyah ataupun Ibn Arabi. Sesungguhnya ukhti, kita butuh guru (spiritual) yang membimbing kita menaiki tangga demi tangga perjumpaan dengan Tuhan. Itu kalau kalian menginginkan. Sebab ada banyak jalan menuju Dia.

Wahai ukhti, pernah juga suatu ketika, siswa di sekolah saya bertanya bahwa apakah ukuran seorang perempuan itu cantik atau tidak, Pak? Maka saya bilang pada mereka, perempuan yang cantik itu bukan hanya cantik secara fisik, tetapi kecantikan itu adalah mereka yang punya kepedulian pada masyarakatnya. Perempuan yang banyak terlibat pada kegiatan-kegiatan pendampingan pada orang-orang tertindas atau mereka yang lemah/dilemahkan. Perempuan yang tak hanya mengurusi tubuhnya (termasuk jilbabnya), tetapi juga aktif dalam pembelaan (melawan) pada segala kebijakan pemerintah yang akan membuat rakyat tertindas.

Lihatlah para ibu-ibu di Rembang yang menolak pembangunan pabrik dan eksploitasi kawasan resapan air Cekungan Air Tanah Watuputih. Ibu – ibu ini memblokade jalan selama 160 hari. Atau ketika mereka menyemen kaki mereka sebagai bentuk aksi protes. Atau bagaimana geliat (literasi) seorang Mauliah Mulkin di sebuah toko buku Makassar (istri dari Kanda Sulhan Yusuf Daeng Litere – penggagas Paradigma Institute) berkontribusi dengan sangat luar biasa dalam melakukan kerja-kerja intelektual dan sosial. Banyak juga sih, ukhti yang semangatnya luar biasa kala musim kuliah. Mereka akan terlihat melakukan aksi demonstrasi di jalan raya atau membentak bentak juniornya (mahasiswa baru) pada saat training. Tapi seiring berlalunya waktu , ketika kertas selembar bernama ijazah sudah digenggaman dan mereka diangkat jadi guru honorer, semangat keilmuan dan kepedulian sosial mereka buyar terbawa angin mengharapan untuk diangkat PNS ataupun sertifikasi. Disitulah kadang aku merasa sedih.

Mungkin demikian surat aku padamu ukhti. Jemariku telah lelah mengetik. Tolong dibalas yah. Dan dikirimkan juga ke kalaliterasi.com. Agar proses dialektikanya berimbang.

Nuun 🙂

9 thoughts on “Surat kaleng untuk Para Ukhti”

  1. Tulisannya menarik. Menggelitik para perempuan untuk melihat kembali kontribusi apa yg telah ia beri selama ini, progress apa yg telah ia capai.
    Terus berkarya ummi.

  2. Mulia : Thanks
    Ramlah : Mksh dek..
    Mita : yaa begitulah, kesetaraan itu juga harusnya dalam progress dalam pengetahuan.
    Rahmanita : saya bukan Ummi kodong,.hehe

  3. Syukran surat kalengnya
    “Ukhti” berjuang&berkarya dijalannya msg2 sesuai kemampuannya msg2 tanpa melupakan semangat jama’i
    Bbrp “Ukhti” diam bukan brarti kalah dr segi pgthuan, “Ukhti” tw kpn hrs maju&mundur
    Kebanyakan “Ukhti” memilih peran “dibalik layar”, itu jg pilihan.
    Kecerdasan “ukhti” tdk harus selalu digaungkan bukan??
    Kecerdasan “Ukhti” dpt disalurkan dbrbgai aspek yg mgkn luput oleh “ikhwan”

Tinggalkan Balasan ke Mulia Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *