Hujan di Lapak Baca

Surya kelihatan mulai lelah, teriknya memudar. Edarnya pelan tapi pasti, sore segera menyapa. Dan, senja pun tergopoh-gopoh ingin menghamparkan permadani lembutnya,  menyambut lalu mengantar ke dekapan malam. Pada penggalan-penggalan kala itulah, saya melarutkan diri dalam perhelatan literasi, yang digagas oleh sekaum muda belia, dalam aktivitas Bantaeng Ammaca (BACA), berlokasi di sudut lapangan Pantai Seruni Bantaeng, tepatnya berdepanan dengan Tugu Api Porda.

Selepas tunaikan Ashar, saya menggenjot sepeda singking, sebuah sepeda yang usianya sudah di atas 30 tahun, yang saban waktu saya pakai menaklukkan sudut-sudut kota Bantaeng. Sembari menanti para muda belia di areal Pantai Seruni, saya mengeja sebuah novel, anggitan Guntur Alam, Di Bawah Langit Jakarta, yang mengisahkan Sugiharto, mantan menteri era Presiden SBY, sedari melakoni pedagang asongan hingga menjadi menteri. Dalam kekhusyukan ejaan, melintaslah Dion Syaef Saen, pengelolah Teras Baca Lembang-lembang, yang punya tujuan yang sama dengan saya, meleburkan diri dalam perhelatan literasi itu.

Perhelatan Lapak Baca ini, merupakan hajatan yang memasuki pekan kedua. Pekan sebelumnya, 14-15 Januari 2017, berjalan sebagaimana adanya. Meski sedikit ada insiden dengan aparat penertib areal lapangan, yang kemudian berhasil diselesaikan secara elegan. Ada ketegangan antara para muda belia dengan aparat penertib, rupanya, lebih karena kesalahpahaman belaka. Buktinya, di pekan ini, 21 Januari 2017, Sabtu sore, semuanya berjalan mulus. Ketegangan sebelumnya, lebih merupakan proses imunasasi untuk para muda belia, yang ingin menabalkan dirinya sebagai pegiat literasi.

Ada yang beda di pekan kedua ini. Sebagaimana yang telah dipublikasikan sebelumnya, bahwa akan ada diskusi-resensi buku, yang akan diantarkan oleh salah seorang dari pegiat Forum Anak Bantaeng. Sesarinya memang, tajuk acara ini dihadirkan oleh kerjasama antara Forum Anak Bantaeng, Teras Baca Lembang-Lembang, dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Pemantik diskusi, tiada lain adalah Reza Ahmad Fadhli, dari Forum Anak.  Kerjasama yang ciamik ini, digawangi oleh Badrul Aeni Sultan dan Sandra Wali, yang keduanya merupakan pentolan, mantan-mantan ketua panitia atas kegiatan-kegiatan di Boetta Ilmoe. Tagline BACA, akronim dari Bantaeng Ammaca, dimaksudkan sebagai ajakan bagi warga Bantaeng untuk membaca. Sederhanannya, serupa dengan Bantaeng membaca. Sedangkan Lapak, seronah dengan kegiatan yang berpindah-pindah.

Buku yang didiskusikan pada perhelatan ini, berjudul Hujan, sebuah novel karangan Tere Liye. Pendakuan Reza mengemuka akan ketertarikannya pada karya Tere ini, disebabkan oleh daya tarik sajian isinya. Dan, menurutnya, perjumpaan dengan karya Tere, disebabkan oleh rekomendasi seorang kawannya, Ahmad Mursyid Amri,  yang meminjamkan karya Tere yang lain. Dari momen inilah, Reza terpantik untuk mendaras Hujan, guna didedahkan pada diskusi buku di arena Lapak BACA.

Sejauh amatan saya, Reza cukup memadai dalam penyajian bacaannya selaku pemantik diskusi. Bahkan, dua tiga orang peserta, secara spontan berkata, bahwa “kalau sudah begini sajiannya, tak perlu lagi kita membaca bukunya, karena Reza telah menceritakannya dengan tuntas.” Apa yang dituturkan oleh Reza, kemudian mendapatkan tanggapan dari peserta yang hadir. Ada yang menyorot dari sisi konten novel, si Pengarang dan juga bagaimana novel ini digandrungi oleh publik, khususnya kaum muda. Sekadar penegasan belaka, bahwa novel Hujan yang disajikan ini, sudah memasuki cetakan ke-20. Bagi saya, novel semisal ini dapat dikatakan spektakuler dari sisi industri perbukuan. Dan, tentulah Gramedia selaku penerbit, berkelimpahan popularitas, sekaligus menguatkan pundi-pundi bisnis perbukuannya.

Hadirnya sekaum muda belia ini, meneguhkan harapan bakal terwujudnya masyarakat literasi di Bantaeng. Apatah lagi, bidikan dan tawaran dari Lapak BACA ini, menyisir sisi lain dari yang belum digarap oleh komunitas literasi sebelumnya. Apakah itu Boetta Ilmoe, Sudut Baca Al-Syifa, Teras Baca Lembang-Lembang, Kolong Baca Lantebung, Serambi Baca Tau Macca Loka dan Bonto Lojong. Lapak Baca membidik ruang publik yang tersaji, lalu dikemas dengan pendekatan lewat ikon budaya pop, dengan segmentasi anak-anak, kaum muda belia, serta para tetua, yang menghabiskan waktu senggangnya di ruang terbuka, Pantai Seruni Bantaeng.

Surya minta pamit, sore menyata, namun senja menelikung lebih cepat. Perlahan gelap, bunyi toa masjid mulai unjuk suara, Maghrib segera menguar. Di penghujung perhelatan, saya minta bicara seperlu mungkin. Saya pun memberi apresiasi atas kegiatan Lapak BACA ini, sebagai bagian dari penguatan gerakan literasi di Butta Toa-Bantaeng. Dan, benar-benar di pucuk persamuhan, niatan saya untuk berdonasi satu buah buku, sebagaimana permintaan di pamflet acara, agar setiap orang mendonasikan satu buah buku, tunai sudah. Buku yang saya donasikan, tiada lain adalah buku yang saya sementara eja, tatkala Dion melintas, lalu merapat bersama di arena, pada sudut lapangan Pantai seruni, berdepanan dengan Tugu Obor Porda.

Lampu-lampu yang melilit pepohonan di ruang terbuka Seruni mulai bercahaya, siap menaklukkan malam, menghamparkan sinarnya, menemani para makhluk yang ingin begadang pada malam Minggu ini. Percayalah, malam ini, pepohonan ikut begadang, karena penasaran terhadap ulah sekaum muda belia, dari pegiat Lapak BACA. Sebatang pohon saya dekati, lalu pohon itu menggumam pada batin saya, “saya tunggu kalian di pekan-pekan berikutnya.”

 

0 thoughts on “Hujan di Lapak Baca”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *