Sang Penista

Matahari merangkak menuju puncaknya. Sinarnya membakar petala bumi. Dari atas panggung orasi, aku melihat beberapa orang menyingkir ke tepi halaman kantor bupati itu. Mereka mencari tempat-tempat berteduh. Sebagian terlihat bergerombol di bawah pohon mangga yang cukup rindang, tepat di sudut halaman kantor itu. Panji al-rayah yang berwarna hitam yang bertuliskan kalimat La IlaahaIllallah Muhammad Rasulullah masih terpancang, melambai ditiup angin siang yang terasa panas. Spanduk bertuliskan kalimat serupa ditambah dengan kalimat “ Menolak Calon Bupati Anu, Sang Penista Agama” terpancang di beberapa sudut. Dua spanduk besar yang dipegang oleh beberapa orang dari kerumunan massa bertuliskan kata-kata: ‘Allahu Akbar.…Mendukung si Anu Sama dengan Jihad Membela Agama’. Sementara itu beberapa bendera putih bertuliskan kalimat tauhid yang kami kenal dengan al-liwa, ikut menepi, bersama beberapa ikhwan yang memegangnya.

Aku sendiri dari atas panggung orasi, meneriakkan Allahu Akbar dengan garang. Suaraku seakan menyundul langit, menantang matahari yang garang. Entah beberapa kali kalimat itu aku teriakkan. Aku terbiasa dengan kalimat itu dalam setiap aksiku. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku merasa dengan kalimat Allahu Akbar itu, aku telah membela agamaku lewat aksi menolak si calon Bupati Anu.

Ya….si Anu, calon bupati itu, kami anggap tak pantas memimpin daerah ini. Ia seagama tapi kerap ikut kegiatan-kegiatan adat yang berbau kemusyrikan. Bagi kami yang pantas menjadi bupati itu adalah tokoh lain yang sering tampil di TV dengan kopiah dan bahkan kadang berserban. Bicaranya manis, santun, dan bijak. Sebelum pidato, biasanya ia pun berteriak Allahu Akbar.

Awal mula kami merasa si Bupati Anu adalah musuh Islam, setelah orang dekat dari calon bupati lainnya, yang bicaranya manis itu, sering mendatangi kelompok kami. Ia menceritakan bahwa calon Bupati Anu sering ikut selamatan, upacara adat, dan seterusnya.

“Calon Anu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan yang mencampuradukkan adat dan agama. Ia penista agama.” Ucapnya suatu ketika.

Kalimat itu singkat, tapi cukup mendidihkan emosi keagamaan kami. “Penista agama”. Sungguh terlalu. Siapa orang yang mau dinistakan agamanya? Amarah kami meruak. Kami tidak merasa perlu lagi mencari tahu lebih dalam, benarkah si calon Bupati Anu itu menistakan agama atau tidak. Kami juga tak mau dengar penjelasan si calon Bupati Anu yang berkali-kali menyatakan di berbagai media, tidak mungkin punya niat menistakan agamanya sendiri. Bagai mantra sihir, kata penista agama yang dihembuskan itu cukup sudah menggerakkan nalar kami untuk segera beraksi.

Sejak saat itulah kami menjadi orang yang berdiri di belakang si calon bupati yang bermulut manis itu. Kami merasa membela dia sama dengan membela agama. Bukankah dia yang sedang bertarung melawan sang penista itu. Kami tahu, aksi kami sama dengan kampanye gratis bagi dia. Tapi apa salahnya. Kami telah dengan sengaja memilih membela sang tokoh santun ini. Mengarak dia dengan kalimat-kalimat suci. Memayunginya dengan bahasa agama.

Aku bersiap melanjutkan orasi, ketika ikhwan Amir datang menggamitku. Ia membisiki sesuatu. Sesaat aku tertegun mendengarnya. Tetapi selanjutnya aku lantas menyerahkan mikrofon ke ikhwan yang lain. Aku kemudian bergegas turun dari panggung orasi mengikuti jejak Amir yang telah mengegah terlebih dahulu.

“Betul yang kau katakan itu.” Tanpa basa basi saya langsung melantingkan tanya begitu saya berdiri di samping Amir.

“Ya….calon Bupati Anu sering datang melakukan acara keislaman yang dicampur dengan berbagai ritual adat itu di Desa Belimbing. Di situ ada tokoh masyarakat yang sering melakukan acara itu. Yang lebih bermasalah lagi, kabarnya tokoh masyarakat itu menyimpan berbagai benda pusaka yang disembah-sembah, tiap malam dibakarkan lampu. Tidak sembarang orang bisa melihatnya.” Amir menjelaskan dengan semangat. Entah dari mana berita itu didengarnya.

“Baik…., nanti malam kita ke sana, ajak beberapa ikhwan, kita buktikan perilaku yang menistakan agama yang melibatkan calon Bupati Anu itu.”

***

Aku menatap tajam orangtua yang ada di depanku. Daeng Tunayya, begitu ia memperkenalkan dirinya. Ia tidak menentang pandangan mataku yang garang, sebaliknya ia malah menundukkan pandangannya. Sementara sepuluh orang ikhwan yang ikut serta denganku mengambil posisi menyebar. Lima orang tegak di belakang lelaki tua itu, sementara lima lainnya duduk di sampingku. Gaya kami yang berjumlah 11 orang itu bagai pasukan yang tengah mengepung musuh. Aku yakin ia tidak akan bisa lolos jika berniat melarikan diri. Sikap kami juga aku pastikan akan membuka mulut lelaki tua ini. Ia tidak mungkin berbohong melihat sikap intimidatif kami ini.

Perlahan orang tua itu mengangkat wajahnya. Sorot matanya tenang. Tidak ada setitik kecemasan terlihat di balik sinarnya. Sebelum kalimat pertama meluncur dari mulutnya, ia terlebih dahulu melontarkan senyum. Lalu dengan ketenangan menakjubkan ia berkata:

“Jadi Ananda semua datang ke sini untuk membuktikan bahwa saya adalah orang yang telah melakukan perbuatan sesat dan menistakan agama.”

“Tidak hanya Anda, kami juga sekaligus akan membuktikan bahwa calon Bupati Anu juga sering terlibat dalam kegiatan Anda ini.” Aku menyambar dengan cepat ucapan Daeng Tunayya ini.

“Kalau hanya sekadar membuktikan bahwa calon Bupati Anu itu ikut dalam beberapa upacara selamatan saya, tak perlu ananda setegang itu. Saya bisa langsung katakan, ia memang ikut, tak hanya sekali, tapi sudah beberapa kali.”

Kami tak menyangka bahwa Daeng Tunayya ini akan langsung dengan jujur mengatakan keterlibatan Calon Bupati Anu. Mulanya kami duga, ia akan menyembunyikan kesertaan calon Bupati Anu itu dalam hajatan-hajatan yang kami anggap sebagai perbuatan menyesatkan dan menistakan agama. Tapi Daeng Tunayya langsung membabarkan begitu saja. Tanpa tendeng aling-aling. Justru karena sikapnya itu, kami beberapa jenak terkesiap bingung. Sejenak aku tergagu . Tapi segera aku berusaha memperlihatkan sikap sengit dengan langsung mengucapkan kalimat menohok.

“Ya…sudah, berarti benar kalian terbukti melakukan penistaan agama! Anda ikut saya sekarang, untuk mengakui semua perbuatan Anda dan keterlibatan calon Bupati Anu itu !”

“Tunggu dulu Ananda, siapa yang kalian tuduh menistakan agama?”

“Loh, tentu saja Anda dan calon Bupati Anu.” Kali ini yang menimpali adalah Amir, ikhwan yang menyampaikan berita ini. Daeng Tunayya berpaling sejenak ke arah Amir.

“Bagaimana kalian bisa menyatakan bahwa saya dan calon Bupati Anu, menistakan agama.” Suara Dg Tunayya masih terdengar sareh.

“Tadi Anda sudah mengakuinya.” Timpalku dengan nada tinggi .

“Maaf Ananda semua, yang mana dari pernyataan saya yang menyatakan bahwa saya dan calon Bupati Anu telah melakukan perbuatan menistakan agama?” Tanya Daeng Tunayya dengan nada berat.

“Tadi Anda menyatakan bahwa sering melakukan upacara yang juga melibatkan calon Bupati Anu itu.”

“Ya benar, tapi yang mana dari upacara kami yang dianggap menistakan agama? Apa upacara syukuran, yang kami sebut mappadekko, atau upacara permohonan keselamatan pada Yang Maha Kuasa yang kami sebut andingingi?”

“Ya…itu sudah, kedua-duanya. Itulah kegiatan kalian yang menistakan agama. Masih ingin mangkir lagi?”   Kali ini saya merasa Daeng Tunayya tidak bisa mengelak. Saya memandang ke arah ikhwan yang lain, mereka juga mengangguk-angguk membenarkan.

“Maksud Ananda sekalian mappadekko dan andingingi itu perbuatan yang menista agama?”

“Ya…perbuatan kalian itu adalah syirik, sesat, dan menistakan agama.” Ucapku tandas.

Allahu Akbar…..!!!, serentak ikhwan yang lain menimpali dengan takbir.

“Yang mana dalam andingingi itu yang sesat, sementara kami hanya mengundang semua sanak kadang untuk sama-sama berdoa kepada Allah SWT agar negeri kita, khususnya daerah ini dilimpahi berkah dan keselamatan? Yang mana pula dalam acara mappadekko itu yang menistakan agama, sementara kami hanya berkumpul memberi makan kepada seluruh handai tolan, khususnya yang tidak mampu, sekaligus kami mengucapkan syukur atas karunia Allah atas hasil panen kami.” Sahut Daeng Tunayya masih dengan sikap yang sareh. Ucapannya meluncur dengan tenang dari mulutnya.

Apa yang diutarakan Daeng Tunayya sawabnya masuk akal. Naluri kami senyatanya menerima, tidak ada yang bermasalah dengan upacara yang dilakukannya itu. Justru karena itu kami semua jadi tergagu. Melihat kami didekap keheningan, duduk membeku tanpa menimpali, Daeng Tunayya pun melanjutkan tuturannya.

“Ananda semua, sesungguhnya dibanding kalian siapalah saya, saya hanya orang kampung, sementara Anak-anakku ini adalah aktivis muda muslim. Pengetahuan agama yang saya miliki mungkin hanya sesilir bawang dari yang Ananda semua miliki. Ilmu Ananda sekalian mungkin sundul langit. Tapi jika boleh, saya ingin katakan, bahwa tradisi andingingi yang kami lakukan itu adalah ungkapan doa keselamatan untuk negeri kita. Bukankah dalam khotbah kedua di hari Jumat, doa senada juga sekali waktu dilantunkan.” Nada bicara Daeng Tunayya masih tetap datar, tak ada kesan menggurui dalam ucapannya.

Kami masih belum menimpali. Keterangan Daeng Tunayya semakin sulit kami sanggah. Daeng Tunayya melanjutkan kalimatnya satu demi satu dengan sareh. Setenang angin yang berembus sepoi-sepoi.

“Demikian halnya dengan upacara mappadekko, ananda. Itu adalah ungkapan kesyukuran, bukankah bersyukur atas karunia Allah adalah justru perintah agama.”

Aku masih bungkam, ikhwan lainnya juga masih membisu. Kami justru kehilangan ujaran, meski hanya sepatah dua kata. Kami tidak tahu harus membantah dengan kalimat apa. Tiba-tiba aku melihat ke salah satu bilik di rumah itu. Pintunya tidak tertutup rapat. Dari sela-sela pintu yang terbuka , saya melihat pendar cahaya menyeruak keluar. Aku melangkah mendekati pintu itu, tanganku meraih daunnya. Di dalam bilik itu, dua lampu diletakkan mengapit satu peti yang dipasangi kelambu. Tiba-tiba aku merasa mendapatkan bukti valid dari apa yang kami cari.

“Tengoklah….Ikhwan sekalian, inilah bukti perbuatan Daeng Tunayya yang menista agama itu. Ini benda-benda yang mereka sakralkan, bahkan mungkin benda inilah yang disembahnya dalam upacara itu.”

Serentak para ikhwan yang berjumlah sepuluh orang itu beranjak ke dalam bilik itu. Bilik yang memang tidak terlalu besar itu jadi sesak. Perlahan Daeng Tunayya juga beringsut ke dalam bilik kecil itu. Ia lalu tegak di sampingku.

“Daeng Tunayya, bukalah! Apa yang selama ini kau sembunyikan dalam peti itu ?” Ucapku, sambil menunjuk ke peti yang dipasangi kelambu itu.

Dengan anteng Daeng Tunayya membuka kelambu kecil yang digunakan sebagai sungkup dari peti tersebut. Dengan sikap yang sama, ia melanjutkan membuka peti tersebut. Begitu peti terbuka, serentak kami berebutan ikut melongok. Kami penasaran apa sebenarnya isinya. Ternyata hanya tiga kain, Merah, Putih dan Hitam. Ketika Daeng Tunayya membentangkan kain yang berwarna merah, ternyata secarik bendera merah putih. Setelah meletakkan bendera merah putih itu. Ia lalu mengambil kain yang berwarna putih. Ketika dibentangkan, hampir bersamaan kami mengucapkan “subhanallah”. Kain putih itu di tengahnya bertuliskan La IlahaIllallah Muhammad Rasulullah.

“Itu kan al-liwa, bendera putih simbol perjuangan Rasulullah.” Celetuk salah seorang ikhwan dengan spontan.

Daeng Tunayya tidak menanggapi. Ia malah membentangkan kain yang berwarna hitam. Kembali di hadapan kami terpampang secarik kain berwarna hitam, dengan tulisan warna putih La IlahaIllallah Muhammad Rasulullah. Al-Rayah, panji Rasulullah yang juga sering dibawa saat peperangan dulu.

“Itulah isi dari peti itu Ananda.” Suara sareh Daeng Tunayya memecah atmosfer yang sedari tadi beku dan sirep.

“Apakah menyimpan dengan sepenuh-penuhnya penghormatan ketiga bendera itu adalah sikap yang menistakan agama?” Daeng Tunayya melanjutkan ucapannya dengan nada tanya. Meski kelihatannya Ia tak butuh jawaban, karena selanjutnya ia pun bertutur.

“Ketiga carik kain itu kami simpan dan tak sembarang mengeluarkannya, karena kami menghormatinya, Anak-anakku. Sekali-kali kami tidak pernah berniat menyembahnya. Meski kami ini bukanlah orang yang mahir dalam hal agama, tapi kami juga paham ketiga kain itu hanyalah benda yang tidak patut untuk disembah.”

Belum ada di antara kami yang menimpali ucapan Daeng Tunayya. Justru karena itulah Daeng Tunayya meneruskan kembali kalimat-kalimatnya.

“Kami menyimpan dengan baik ketiga kain itu karena kami begitu menghormatinya. Bukankah di balik tiga carik kain itu masing-masing memiliki makna dan sejarah yang agung. Merah Putih adalah simbol perjuangan bangsa ini.Betapa banyak darah pahlawan dan ulama yang membasuhnya agar merah putih ini tetap berkibar. Ingatlah syair indah dari Guru Tua: Tiap bangsa memiliki simbol kemuliaan dan simbol kemuliaan kita adalah merah dan putih.

Kata demi kata mengalir dari mulut Daeng Tunayya. Kalimatnya seakan mencengkau kesadaran.Kami hanya bisa berdiri termangu-mangu. Bahkan ketika Daeng Tunayya melanjutkan ucapannya dengan suaranya yang sareh itu, serempak kami memasang telinga baik-baik.

“Sementara dua kain yang lain, kalimatnya adalah kalimat tauhid, kalimat yang paling agung yang pernah kalian tahu. Tidak pantaskah saya jaga baik-baik kalimat itu. Tidak sembarang waktu saya keluarkan.”

Daeng Tunayya menjeda sesaat kata-katanya. Ia terbatuk-batuk, mungkin karena usia tua mulai menyergapnya, sehingga tidak tahan udara dingin. Aku meliriknya diam-diam. Sosok yang bersahaja. Pakaiannya sederhana. Sehelai sarung sedikit lusuh dan baju kemeja biru yang sudah pudar warnanya. Parasnya menunjukkan, usianya sudah di ujung senja, namun wajah itu terlihat jernih bersimbur kelembutan. Ia menarik nafasnya dalam-dalam.

“Saat ini, Anak-anakku, sering kali kita berteriak si anu menista agama…., tapi pernahkah kita sadari jangan-jangan kitalah sang penista itu. Tengoklah ke dalam bilik sanubari kita masing-masing, apakah yang kita perbuat adalah wujud memuliakan kalimat suci itu? Dengan gegabah kita bawa-bawa tak jelas juntrungannya bendera tauhid ini. Kita arak untuk aksi yang hanya membela kepentingan politik kelompok tertentu. Bukankah dengan sikap seperti itu, justru kita yang telah merendahkan serendah-rendahnya kalimat suci ini sampai tersuruk pada kenistaan politik?”

“Tapi bukankah Rasulullah sendiri berpolitik dan menjadikan Islam sebagai landasan politiknya?” selaku tiba-tiba.

“Ya benar,….saya tidak mengatakan Rasulullah tidak berpolitik. Tapi politik Rasulullah adalah politik kemaslahatan. Islam menjadi sandaran nilainya dalam berpolitik.  Jika kalian melongok ke dalam nurani kalian yang terdalam, saya yakin Ananda semua akan sama merasakan, dalam langit politik negara kita yang kusam ini, tak ada yang sungguh-sungguh menjadikan Islam atau agama sebagai landasan berpolitiknya.” Daeng Tunayya menjeda lagi kata-katanya. Pandangannya beredar memerhatikan wajah kami satu demi satu. Melihat kami hanya tegak mematung, ia meneruskan ucapannya.

“Yang ada malah sebaliknya, agama, khususnya Islam, hanya diarak-arak untuk kepentingan politik tertentu. Agama dijadikan tunggangan. Kalimat suci hanya untuk membenarkan hasrat untuk berkuasa. Teriakan Allahu Akbar yang gelegarnya sampai menyundul langit itu kosong tak bermakna. Ia sekadar kita jadikan penyemangat nafsu berkuasa dan menyingkirkan yang lain.”

Kami masih termangu-mangu. Bahkan rasa-rasanya kalimat-kalimat Daeng Tunayya yang disampaikan dengan sareh, semakin lama justru semakin menghunjam ke dalam sanubari kami. Pikiran kami bagai dibersihkan. Dan entah bagaimana….tiba-tiba saja rasa kantuk menyergapku. Tidak hanya aku, tapi ikhwan yang lain terlihat mengalami hal yang sama. Suara Daeng Tunayya semakin lamat….samar dan akhirnya lenyap sama sekali…..

***

Kami berpandangan dengan keheranan. Aku dan sepuluh orang ikhwan yang bersamaku semalam, kini tiba-tiba berada di tengah ladang. Di ladang kecil itu ada satu kuburan dalam bangunan tak berdinding dan diatapi dengan beberapa helai seng. Aku terbangun di pagi hari ini dengan kepala bersandarkan nisan kuburan tersebut. Ikhwan yang lain bertebaran pula di sekitar kuburan tersebut.

“Kita di mana ? Mana rumah Daeng Tunayya ?” suara Amir memecah kebingungan kami.

Tidak ada yang menjawab. Kami semua memang tidak tahu berada di mana. Yang kami tahu semalam kami mendatangi rumah Daeng Tunayya. Mencari bukti penistaan orangtua itu terhadap Islam. Kemudian kami berdiskusi sengit dengan orangtua itu. Lalu kami mengantuk….dan tiba-tiba saja sekarang berada di tengah ladang, persis di samping sebuah kuburan.

“Sebentar…, itu ada orang menuju ke mari, kita bisa bertanya pada orang itu.” Aku menunjuk ke arah matahari terbit. Dari arah sana, seseorang dengan langkah-langkah yang bergegas menuju ke tempat ini. Tak lebih dari sepenginang, orang itu telah berada di hadapan kami. Ia mengangguk hormat.

“Pagi-pagi begini sudah datang ziarah Anak Muda?”

“Iya…eh anu….sebenarnya kami tidak sedang berziarah.” Aku menjawab dengan gugup. Soalnya aku sendiri tidak mengerti sedang apa di tempat ini.

Orang itu menatap kami dengan heran. Aku berpaling pada ikhwan yang lain. Mereka memberi isyarat untuk bertanya saja pada orang itu.

“Sebenarnya aku dengan para Ikhwan ini datang untuk bertemu dengan Daeng Tunayya.”

“Ya…kalian sudah ada di depan Daeng Tunayya.”

“Jadi bapak daeng Tunayya.”

“Bukan, bukan aku, tapi itu.” Orang itu menunjuk pada kuburan di belakang saya.

Bagai disentakkan tangan tak terlihat serentak kami menoleh ke arah kuburan yang ditunjuk oleh orang itu. Kami berpandangan dengan keheranan. Bukankah semalam justru kami berada di rumahnya, berjumpa dengan lelaki tua bersahaja itu. Tapi kenapa lelaki itu justru mengatakan bahwa kuburan di belakang kami adalah kuburan Daeng Tunayya.

“Maksud Bapak Daeng Tunayya sudah meninggal.”

“Ya….!. Sudah lama beliau ini meninggal. Seturut cerita orang-orang tua, Daeng Tunayyalah yang pertama mengajarkan Islam di kampung ini. Dialah yang pertama mengajar membaca Alquran. Dia pulalah yang pertama mendirikan surau yang sekarang sudah jadi masjid. Bahkan dialah yang mengajak orang-orang membuka persawahan di kampung ini. Daeng Tunayya dianggap wali oleh warga kampung ini. Makanya kami juga menamai kampung ini dengan kampung Tunayya selain Desa Belimbing.”

“Jadi…..Daeng Tunayya….sudah…lama….meninggal.” Dengan suara terbata-bata seorang ikhwan yang lain menimpali penjelasan orang ini.

Orang itu hanya mengangguk.

“Maaf Anak Muda saya harus melanjutkan perjalanan, saya akan menuju sawah saya yang ada di seberang itu.”

“Tunggu sebentar Pak, apakah Bapak kenal si Anu yang menjadi salah satu calon Bupati itu.”

“Oh….dia, ya…., dia adalah salah satu keturunan dari Daeng Tunayya. Dia juga sampai sekarang masih sering ikut dalam acara keagamaan dan upacara adat di daerah ini. Upacara yang dirintis Daeng Tunayyalah, leluhurnya.”

Kami kembali berpandangan. Ketika orang itu pamit sambil memberi salam, kami hanya bisa mengangguk dan menjawab salam orang itu dengan lemas. Setelah orang itu semakin jauh, kami pun tanpa banyak bicara meninggalkan tempat ini.

***

Siang itu aku duduk di depan TV di ruang tamu. Saya menekan tombol hitam di sudut kanan TV itu. Televisi menyala. Di layar terpampang aksi 123 yang sedang berlangsung hari itu. Aksi itu adalah kelanjutan dari aksi menuntut penodaan agama yang dilakukan si calon Bupati Anu. Di sebut aksi 123, karena dilakukan pada tanggal 12 bulan 3. Aku memindahkan ke channel lain, tapi berita yang sama juga terpampang di channel TV itu. Ah….aku tiba-tiba merasa segan melihat itu semua, sebagaimana aku merasa enggan untuk ikut aksi hari ini . Aku raih remote TV, lantas menekan tombol off-nya.

Mataku kemudian terbentur di rak TV itu. Di sana sebuah Al-Quran tampak teronggok diam. Hati saya tiba-tiba berdesir tajam. Sejak sering ikut aksi bela ini bela itu, menghantam si Anu dan si Itu, aku jarang menyentuh kitab mulia nan agung ini. Perlahan kuraih kitab tersebut. Untuk sejenak, seperti orang asing aku memandanginya lekat-lekat. Lalu dengan penuh keharuan menciumnya penuh hikmat. Selanjutnya aku mulai tenggelam dalam alunan ayat demi ayat dari kitab yang mulia ini.

0 thoughts on “Sang Penista”

Tinggalkan Balasan ke Saiful Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *