Amalan-Amalan Literasi

Bulan Ramadan menyata lagi. Kesunyatannya, merupakan ladang beramal yang dijanjikan. Bagai hamparan tanah subur yang siap ditanami beragam macam tanaman, sesuai yang diinginkan dan dibutuhkan oleh pecocok tanam. Para penceramah di bulan ini, pun berkali-kali menegaskannya, tentang amal-amal yang dilipatgandakan. Beruntunglah para pemburu pahala, sebagai buah dari amaliah ramadan. Sayangnya, pola-pola beramal, atau amalan-amalan yang ditawarkan, cenderung terjebak pada rutinitas, jauh dari progresivitas watak agama, yang bisa mendorong perubahan sosial.

Saya ajak segenap kisanak untuk menyimak materi-materi ceramah, sebentuk ajakan untuk beramal. Misalnya, memperbanyak baca Al-Quran, salat sunnat, berzakat-infak-sedekah, dan menyediakan buka puasa. Sekotahnya berputar pada ungkapan-ungkapan yang diterungku oleh penjelasan yang stagnan. Amalan-amalan itu, berkonotasi personal, meski memang memesona persona yang terpesona oleh janji limpahan imbalan perbuatan baik.

Sesarinya, penjelasan cara beragama yang cenderung personal ini, ditafsirkan dalam kerangka perbaikan sosial. Maka, terbayanglah sudah dalam imaji saya, selaku jemaah yang setia mendengar petuah para dai. Saya pun patut diibaratkan laiknya gelas kosong, yang siap diisi hingga penuh, bahkan sampai tumpah ruah karena kepenuhan. Meski begitu, harapan terdalam saya, amat butuh  adanya nuansa baru dalam sajian akan amalan di bulan suci ini.

Pada masjid dekat mukim, saya berdepan-depan dengan sebuah podium, di hadapan seorang penceramah. Tetiba saja, imaji saya melayang, mengalami kegaiban, layaknya seorang yang terbang ke suatu negeri antah berantah, lalu mendarat di sebuah masjid, tepat duduk sila di hadapan podium, sembari menikmati santapan ruhani dari seorang singa podium.

Berorasilah sang singa podium, “bulan Ramadan ini adalah bulan Al-Quran diturunkan. Tahukah saudara-saudara, apa perintah pertama dari ayat yang turun? Iqra, baca, bacalah. Perintah membaca ini, terangkum dalam surah Al-Alaq, yang  mencakup apa yang tersirat dijagat raya, maupun yang tersurat dalam kitab suci. Mestinya, umat yang diperintahkan membaca ini, menjadi terdepan dalam tradisi bacanya. Dan, tahukah hadirin, apa anjuran selanjutnya dari Al-Quran? Qalam, pena, penalah. Anjuran menulis dengan perantaraan pena ini, tersimpai dalam surah Al-Qalam.  Jadi, kitab yang diturunkan pada bulan suci ini, merupakan kitab suci yang memerintahkan umatnya untuk membaca, lalu menuliskannya. Itulah baca-tulis, literasi,  dalam istilah kiwarinya”.

Kemudian, sang dai melanjutkan ceramahnya, “sebaiknya, segala bentuk amaliah, selain zakat fitrah, mestilah diarahkan untuk tegaknya perintah pokok agama ini, sebentuk perintah untuk membumikan tradisi literasi, agar kelak lahir budaya literasi masyarakat. Sebab, dari tradisi literasilah bakal lahir budaya literasi dalam suatu masyarakat. Zakat harta, infak, dan sedekah, khusus di bulan ini, dikhususkan pemamfaatanya buat  tegaknya faktor pendukung gerakan literasi, yang ada di sekitar kita. Masjid ini, sudah harus punya perpustakaan, agar setiap jemaah, bisa membaca, menimba ilmu lewat bacaan, tidak harus lagi bergantung pada para penceramah.”

Lalu ia menegaskan, “sumbangan yang kita dapatkan pada bulan berkah ini, sebagainnya kita berikan kepada segenap komunitas literasi yang ada di negeri ini. Agar mereka bisa menambah koleksi bacaannya. Jadi, tahun ini, tidak perlu membangun fisik masjid. Tak usah sibuk memikirkan pilar-pilar masjid yang bundar ini menjadi segi empat. Pun, tak perlu mengganti tegel yang masih layak disujudi ini. Juga, para penceramah, kalau bisa, diminta untuk gratis, atau setidaknya potong 2,5% dari isi amplop yang disiapkan. Hitung-hitung, serupa dengan zakat profesi baginya, sebagai dai profesional. Yang paling penting dan mendesak, membuat rak, dan mengisinya dengan bahan bacaan yang bergizi.”

Pun, tak luput dari sodokan sang dai, “wahai segenap warga yang merencanakan untuk menyajikan buka puasa. Sebaiknya, kali ini, tiadakan saja, tunggu tahun berikutnya. Akan lebih baik anggaran buka puasa yang disiapkan itu, disumbangkan untuk memperkokoh gerakan literasi. Toh, daripada menyelenggarakan buka puasa, lalu yang diundang hanyalah kisanak-kisanak yang secara personal, mampu pula menyiapkan buka puasa buat dirinya, saya kira pahalanya jauh lebih besar, dan efek sosialnya lebih nyata. Kalau makanan raga yang diberikan, paling jadi tai. Tapi kalau makanan jiwa yang disiapkan, maka tersingkaplah jiwanya segenap warga.”

Sang penceramah lalu mengunci sajian ruhaninya,”lebaran nanti, tidak perlu pakai baju baru. Kenakanlah baju yang ada, yang penting bersih nan suci. Semua dana yang disiapkan untuk beli busana, infakkan buat  mendukung perintah awal agama ini, anjuran baca-tulis, yang dilembagakan dalam satu tekad, gerakan literasi. Buat apa pakai busana baru di hari yang fitri, tapi jiwa tak kunjung fitri. Seharusnya, yang baru di hari lebaran adalah jiwa. Kembali suci setelah menunaikan amal-amal ramadan, yang kali ini amalan-amalannya bernuansa perintah suci, baca-tulis. Yah, amalan-amalan literasi”.

Sekira dua puluh menit kegaiban saya menyata kembali. Imaji saya sudah balik lagi dalam satu kesadaran nyata, di depan penceramah yang masih menceramahkan cara beragama, beramal yang itu-itu saja. Rupanya, sekejap peristiwa kegaiban saya itu, mungkin terjadi, karena terbawa arus pusaran berita, yang baru saja saya baca lewat media daring, bahwa provinsi tempat saya mukim, Sulawesi Selatan, oleh pengurusnya, telah menetapkannya sebagai provinsi literasi. Dan, tidak menutup kemungkinan, kota dan kabupaten, kecamatan, desa dan kelurahan, susul menyusul, ikut-ikutan menetapkan daerahnya masing-masing sebagai negeri literasi.

Wow… keyeeen, maksudnya, keren. Celoteh seorang cilik di mukim saya.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *