Sepucuk Surat dari Guru Sejarah untuk Siswanya Nun Jauh di Sana

“Ceritakan kepadaku tentang sejarah.” Kataku pada seorang kawan—yang baru saja pulang dari Negeri Barat—pada satu senja di Pantai Losari. Kawanku pun bercerita tentang surat.

***

Bersama surat ini terkirim salam dan permintaan maaf saya kepadamu wahai siswaku sekalian. Kuhaturkan permintaan maaf ini lantaran telah lewat empat purnama saya belum pernah memberikan hak-mu. Iya! Hak pengajaran. Seyogyanya, kealpaanku ini bukan lantaran malas masuk kelas. Bukan pula karena lelah menghadapi tindak-tandukmu yang kadang menjengkelkan. Bukan pula karena beban kerja sebagai guru yang begitu berat. Pun bukan karena honor yang kuterima terbilang sedikit. Ketidakhadiranku dalam beberapa masa ini lantaran saya berada pada satu tempat yang nun jauh di sana, sebuah tempat bernama Negeri Barat. Dan kalian para siswaku tahu sendiri kan? Bahwa antara Negeri Barat dan Negeri Timur itu begitu jauh jaraknya. Sedang sekolah tempat kalian merenda pengetahuan dan mencecap indahnya masa-masa remaja berada di Negeri Timur. Tetapi ketahuilah bahwa jarak nun jauh itu sesungguhnya menciptakan sebuah perasaan yang kita namakan rindu. Dan rindu itu perlu jarak. Sedang rindu itu tak berbatas antara kekasih dan kekasihnya. Antara lelaki yang kasmaran dengan gadis pujaan. Rindu juga berlaku antara guru dan siswanya sekalian.

Siswaku sekalian yang baik perangainya, generasi penerus bangsa. Ketahuilah bahwa surat ini butuh waktu yang lama untuk—mungkin—mengetuk kotak pos yang berdiri manis di beranda rumahmu. Ia menempuh jarak berkilo-kilo meter, melintasi lautan dengan menjelajahi udara. Selaksa  surat ini mengingatkanku pada seorang Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, dan Cornelius de Houtman—para penjelajah Abad ke XV—yang mengarungi samudra demi mencari rempah-rempah di dunia timur. Bedanya! Suratku ini melintasi lautan dengan mengarungi udara sedangkan para penjelajah itu melintasi samudra dengan mengarungi lautan.

Di benak kalian mungkin masih mengingat, mungkin pula tidak?! Pembelajaran tentang penjelajahan samudra oleh bangsa barat yang tempo hari itu kuajarkan kepada kalian. Bagaimana para penjelajah Spanyol, Portugis, Belanda, dan berbagai bangsa barat lainnya—mencari dunia baru yang belum terjamah. Mereka menjelajah dunia tentunya melepaskan belenggu kebodohan. Melepaskan doktrin sesat yang mengatakan bumi itu datar. Mereka mencoba membuktikan pernyataan dari seorang Galileo Galilei—pendukung utama seorang Nicolaus Copernicus—yang menyatakan matahari pusat dari tata surya dan bumi itu bulat.

Syahdan, tidak hanya itu. Berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi perkapalan, ikut andil dalam penjelajahan samudra. Apatah lagi kebutuhan mereka terhadap rempah-rempah. Ketahuilah siswaku sekalian yang baik sapinya, eh hatinya. Rempah-rempah atau bumbu dapur yang sering ananda sekalian lihat seperti bawang merah, merica, pala, lada, kunyit, adas, ketumbar, dan kawan-kawan—sesarinya kurun abad XV-XVII begitu bernilai dan mahal nian harganya. Pun begitu penting keberadaannya. Mungkin sama mahalnya dengan emas atau giwang yang dikenakan mamakmu atau nenekmu. Demikian sama pentingnya dengan gawai dan paket kuota yang sering kalian beli di counter hape.

Pada awalnya, mereka mendapatkan rempah-rempah di Konstantinopel. Tetapi sejak kota itu jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah—di bawah naungan Muhammad Al Fatih Sultan Mehmed II yang mengakhiri hegemoni Kekaisaran Bizantium—pada tahun 1453 menyebabkan para pedagang barat kesusahan memperoleh rempah-rempah.

“Apa gerangan yang harus dilakukan dengan kondisi ini Kapten?”

“Entahlah, sejak kota ini di bawah perlindungan Turki Ustmani para pedagang barat dan bangsa kita sudah dilarang lagi melemparkan sauh di Konstantinopel.  Kamu tahu sendiri masih ada luka yang ditinggalkan akibat perang salib.”

“Jadi! Apa yang harus kita perbuat Kapten?”

“Mau tidak mau kita harus menuju sumber penghasil rempah-rempah. Di mana gerangan mereka tumbuh berkembang.”

“Aiyayaya Kapten! Angkat sauh putar haluan!”

***

Siswaku sekalian. Masihkah kalian mengingat bagaimana syahdunya desiran angin yang mengibas-ngibaskan gorden jendela? Kala senja itu kuberikan kepada kalian penjelasan kronologi kedatangan bangsa Spanyol ke Bumi Nusantara. Bagaimana seorang penganut katolik yang taat bernama Ferdinand Magellan menjelajahi samudra demi satu tujuan. Mencari rempah-rempah, mencari kejayaan, dan di satu sisi yang lain menyebarkan agama yang dianutnya. Gold, Glorry, Gospel.

Tatkala kapal layar bernama San Antonio, Conception, dan Victoria mengawal Triniad—kapal induk yang dinahkodai Magelans. Bersama para kaptennya yang handal di mana salah satunya bernama Juan Sebastian del Cano mereka berlayar mengarungi Samudra Atlantik lalu menyisiri pesisir Amerika Latin kemudian berkelok ke arah selatan, tepat pada 1 Nopember mereka menyusuri selat yang sulit dilalui di ujung selatan Benua Amerika. Selat Magellan.

Walaupun sayang, menurut catatan sejarah di tahun 1521 ketika kapal Magellan berhasil berlabuh di Filipina, sang pemimpin ekspedisi ini tewas di-tangan penduduk setempat. Praktis kapten andalan Magelan yang bernama Sebastian del Cano mengambil alih pucuk pimpinan ekspedisi.

“Cepat! Kalian naik ke kapal!” Seru Magellan sembari memainkan pedang melawan suku setempat.

“Tetapi kami tidak bisa meninggalkan Tuan di sini.”

“Jangan hiraukan saya Sebastian. Saya siap menjadi martir demi membuka jalur perdagangan rempah-rempah. Bawa sisa awak kapal kita. Kematianku membuka jalan menuju keabadian.”

Dengan sisa armada Sebastian sang kapten kemudian menarik jangkar. Layar telah terkembang. Pantang biduk lagi surut ke pantai. Haluan berlayar ke arah selatan menuju surga rempah-rempah. Maluku.

Tahukah Ananda sekalian ketika mereka berlabuh di Maluku. Sultan Tidore menyambutnya dengan baik dan ramah. Sebagaimana adat Kesultanan Tidore dan kewajiban seorang Muslim. Bahwa tuan rumah harus menjamu tamu dengan baik. Lihatlah dalam narasi sejarah ini. Bagaimana seorang Muslim menjamu dengan bersahabat seorang penganut Katolik. Bukankah pada sisi ini kedamaian begitu nampak? Maka pada bagian ini ada cerminan yang harus dicontoh.

***

Angin masih berembus kala itu, senja semakin sendu. Suasana kelas mulai sepi. Beberapa dari kalian menampakkan mata yang sayu—mungkin karena mengantuk. Kujelaskan lagi pada kalian. Bagaimana bangsa Portugis masuk ke Bumi Nusantara. Tatkala itu seorang pelaut bernama Alfonso de Albuquerque berhasil menaklukkan Malaka di tahun 1511. Jatuhnya Malaka membuka jalur baru bagi pelaut-pelaut Portugis untuk menjelajahi Bumi Nusantara. Sekiranya ananda sekalian mengetahui, setahun setelahnya utusan Alfonso de Albuquerque bernama Antonio de Abreu dan Francisco Serrao berhasil membuang sauh di perairan Banda. Di tahun yang sama, para pelaut Portugis itu menjalin perjanjian dengan Kerajaan Pajajaran. Mereka berbaur dan saling mengenal di tengah perbedaan.

Lalu apa hikmah dari penjelajahan bangsa Portugis itu? Setidaknya mereka meninggalkan jejak di Nusantara. Apa itu? Mari kusebutkan, perbendaharaan bahasa, bangunan berupa benteng, dan musik keroncong. Jangan salah, akar dari musik ini berasal dari musik Portugis yang dikenal sebagai Fado. Mengenai keroncong, ingatkah ananda sekalian peristiwa seorang lelaki yang sering memetikkan gitar dari kelas sebelah? Petikan gitar yang mengalunkan musik keroncong. Pertanda cinta dan kasih sayang yang tersuar melalui melodi-melodi indah. Saya ingat lelaki itu menyanyikan Sepasang Mata Bola milik Ismail Marzuki.

Sepasang Mata Bola/ /Dari Balik Jendela/ /Datang dari Jakarta/ /Menuju Medan Perwira/

Semakin senja semakin mengantuklah kalian ketika mendengarkan penjelasanku. Tetapi, sebagai guru profesional saya harus menuntaskan materi ajar. Kunarasikan kembali kisah tentang lelaki bernama Cornelius de Houtman. Seorang pelaut yang mengomandai enam buah kapal dan berlayar menuju Hindia. Dengan menulusuri jalur yang dirintis pelaut Portugis mereka berlayar dari Negeri Kincir Angin, menyisir pantai barat Afrika, singgah di Tanjung Harapan—bagian dari Afrika Selatan sekarang—lalu menantang ombak Samudra Hindia. Ketika mereka sudah hampir tiba di Pulau Sumatera. Sang pimpinan ekspedisi memerintahkan mengubah arah layar, menghindari Selat Malaka dan melintasi Selat Sunda kemudian berlabuh di Banten pada bulan Juni yang syahdu di tahun 1596.

Tahukah Ananda sekalian?! Mereka begitu terkagum-kagum dengan pelabuhan Banten. Dengan kebesaran kerajaan tersebut. Lalu pertanda apakah itu? Ananda sekalian, petiklah hikmah dari fakta itu. Bahwa di salah satu sudut nusantara—Indonesia sekarang—terdapat peradaban yang besar—menunjukkan betapa hebatnya leluhur kita. Dan contohlah itu, jadilah manusia yang akan membuat Indonesia menjadi peradaban yang besar.

Kelak kita ketahui bersama. Kedatangan bangsa Belanda di bumi nusantara akn membawa perubahan yang besar pada narasi sejarah bangsa kita ini. Sebuah episode yang panjang. Selama 350 tahun dari masa itu, Belanda melakukan proses penaklukan satu per satu kerajaan-kerajaan di nusantara.

Ananda sekalian yang nun jauh di sana. Para siswaku yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Demikianlah surat ini kutuliskan. Sekiranya surat ini mampu mengunggah jiwa kalian. Agar membuka cakrawala berpikir. Bahwa belajar sejarah bukan hanya menghafal tahun. Melainkan lebih dari itu, kita mendedah sebuah peristiwa lalu menarik hikmah yang terkandung di dalamnya.

***

“Menarik,” kataku sejenak. “Lalu, apakah surat itu sampai ke tujuan?” Sambungku dengan tanya.

Kawanku hanya tersenyum, mengibas-ngibaskan sebuah kartu pos di hadapanku. Kemudian beranjak berlalu meninggalkanku. Adapun saya hanya menatap punggung dan amplop di genggaman. Di ujung amplop itu nampak noda bewarna merah, warnanya menyerupai darah.

 


sumber gambar: www.diskusilepas.id

One thought on “Sepucuk Surat dari Guru Sejarah untuk Siswanya Nun Jauh di Sana”

Tinggalkan Balasan ke Balasan Surat dari Siswa untuk Guru Sejarah yang Nun Jauh di Sana Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *