Mereka yang tidak Tercatat Sejarah Kepahlawanannya

Pahlawan selalu diidentikkan dengan orang-orang yang memiliki semangat juang yang tinggi. Mereka rela mengorbankan segala hal yang mereka miliki, bahkan nyawa sekalipun. Demi memperjuangkan kepentingan orang lain dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Dari Sulawesi Selatan misalnya, sebagaimana yang dilansir Bicara Id, ada Opu Daeng Risadju, pahlawan perempuan dari Palopo. Arung Palakka, Pahlawan yang berasal dari Bone. Kemudian Syekh Yusuf Tajul Khalwati, pahlawan sekaligus tokoh mitologi yang berasal dari Gowa, dan La Maddukkelleng sebagai pahlawan yang berasal dari Wajo. Mereka berjuang dengan cara masing-masing, melawan penjajahan Belanda untuk memerdekakan diri dari segala tindakan tak berprikemanusiaan.

Masa kiwari, pahlawan juga bisa disematkan kepada orang yang kaya prestasi. Orang-orang yang mengharumkan nama bangsa dengan cara perdamaian di atas visi dan misi cinta kasih. Banyak pahlawan semisal Gusdur, yang dikenal sebagai bapak pluralisme di Indonesia, Mahatma Gandhi sebagai sosok yang gencar dengan gerakan ahimsanya (non kekerasan), dan bunda Teresa yang dikenal sebagai sosok Misionari cinta kasih dari India. Mereka berperang  bukan dengan bedil dan angkatan senjata lainnya, tetapi dengan menyuarakan pesan cinta kasih tanpa pilih kasih, serta kepedulian terhadap kaum lemah.

Pada konteks yang berbeda, penulis juga dapat dikatakan sebagai pahlawan. Seorang penulis adalah pahlawan bagi ide-ide, gagasan, dan suara hatinya. Melalui tulisan yang menjadi buah penanya, ia menuangkan ide dan gagasan yang memenuhi batok kepalanya dan menyuarakan hal-hal yang dirasakannya. Segala hal yang diamati dan dirasakan oleh penulis, baik kondisi masyarakatnya, pengalaman pribadi, maupun imajinasi kreatif yang tumbuh seketika dalam kepalanya akan menjadi modal dasar dalam pertempuran.

Sebuah pertempuran, tidak hanya memerlukan modal dasar untuk mencapai hasil yang maksimal tetapi harus ditopang oleh strategi yang baik. Dunia kepenulisan pun memerlukan strategi dalam mengolah ide, gagasan, dan suara hatinya untuk melahirkan tulisan yang berkualitas. sebagaimana Ayu Utami menerangkan dalam sebuah bukunya yang berjudul Menulis dan Berfikir Kreatif. Strategi pengolahan ide bagi Utami memiliki tiga tahap; tahap orientasi, menimbang ide, dan penentuan struktur dasar narasi.

Tahap orientasi merupakan titik awal,  yakni penulis memikirkan dan menentukan titik awal, “dari mana memulai sesuatu?” Tahap orientasi ini terbagi dua yaitu orientasi eksterior dan orientasi interior. Orientasi eksterior adalah peninjauan ke luar. Pada posisi ini, seorang penulis memetakan diri dalam hubungannya dengan dunia di luar dirinya, sedangkan orientasi interior adalah usaha penulis memahami cara pikiran bekerja, yang tidak terlihat dari luar. Pada posisi ini, penulis harus memetakan mentalnya dengan menggunakan kompas batin.

Kompas batin atau kompas perjalanan kreatif  disebutkan Utami sebagai poros-poros penghayatan, yang harus dimiliki dan dikenali oleh penulis dalam menciptakan karyanya. Poros-poros tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi; kiri-kanan, atas-bawah, dan abstrak. Melalui poros-poros tersebut, penulis hendaknya berada di tengah poros. Sehingga penulis mampu memposisikan keberadaannya dan mengatur keseimbangan muatan tulisannya.

Tahap kedua adalah menimbang ide. Pada tahap ini, penulis dianjurkan untuk meninjau beberapa hal; tingkat keabstrakan maupun kekonkritan tulisan, menilai tingkat urgensi serta kebaruan suatu ide, menuliskan dengan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami pembaca, menciptakan struktur logis yang penuh kejutan, dan menemukan struktur cerita. Hal tersebut penting untuk melahirkan tulisan yang berbobot.

Adapun tahap ketiga adalah menciptakan struktur dasar narasi. Pada tahap ini, diperlukan dialektika antara kebebasan dengan struktur. Kebebasan penulis dalam memunculkan ide dengan struktur yang harus dibangun dalam menghidupkan ide tersebut. Struktur itu dikenal dalam tiga bagian yaitu awal, tengah, dan akhir. Istilah lain dalam dunia kepenulisan dikenal dengan tahap pengenalan, klimaks, dan resolusi.

Perjuangan seorang penulis tidak hanya sampai di situ. Bersama buku, penulis mengembangkan dan menguatkan idenya. Di hadapan pena dan laptop pula penulis meneguhkan tekadnya, duduk berjam-jam, mengedit, mengusik kebosanan, menumbuhkan  semangat, merenung, bertemankan sepi, dan bahkan jungkir balik menemukan pupuk untuk menyehatkan tulisannya. Hingga akhirnya, penulis akan kembali meninjau dengan kesadaran penuh pada tujuan penciptaan karyanya.

Seorang penulis melewati proses panjang nan berliku ini. Mereka melahirkan karya-karya besar yang berpengaruh dan menggerakkan hingga mengubah kehidupan manusia, tatanan masyarakat dan lain-lain. Demikian Sang buah pena menyapa segenap pembacanya, berdialog dengan melintasi ruang dan waktu, tempat di mana penulisnya berada. sebagaimana sabda Sang Sastrawan Seno Gumira Ajidarma “Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, dan suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.” Melalui tulisan, seorang penulis bicara tentang hal-hal yang dibungkam, berkata tentang kesenjangan das sein dan das sollen, serta menyentuh banyak orang dengan melintasi zaman, dan mengangkat nilai-nilai kemanusiaan ke permukaan.

Itulah kala penulis dan buah penanya menjadi pahlawan. Pahlawan yang tak ternarasikan dalam sejarah kepahlawanan negeri.

 


sumber gambar: tribunnews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *