Penyakit Kelamin di Sulawesi Selatan pada Masa Kolonial Hindia – Belanda

  • “…penyakit yang sering dialami adalah penyakit demam dan penyakit-penyakit perut seperti yang telah disebutkan di atas, juga penyakit kelamin, bisul, lepra, dan kudis…”

-Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan 2007. Transliterasi mengenai Catatan Onderafdeling Bone dengan Lampiran. Hlm. 180-

***

Ketika berbicara tentang sejarah, maka isi kepala orang akan melang-lang buana pada peristiwa heroik di masa lalu; seperti perlawanan para pahlawan dalam mengusir penjajah atau berkisar pada persitiwa politik dan ekonomi. Tetapi selalu ada luput dalam pembicaraan sejarah, yakni sebuah persoalan yang bagi beberapa orang remeh-temeh tetapi jika diperhatikan dan disimak dengan seksama sesungguhnya peristiwa remeh-temeh itu menarik dikaji.

Mungkin sebagian orang urusan selangkangan adalah persoalan tabu dan remeh untuk dijadikan bahan kajian ilmu sejarah, tetapi tidak demikian bagi kawan letting saya di S1 Pendidikan Sejarah UNM dahulu, Sulpikar Aka Chnk.

Bagi Sulpikar urusan selangkangan atau kelamin begitu menarik untuk menjadi bahan kajian, musababnya begitu jarang seseorang ingin mengungkap bagaimana hubungan narasi sejarah dengan selangkangan seseorang, dan secara pribadi penelitian tersebut bisa dikatakan sebagai penelitian yang tidak biasa dan lain dari pada yang lain.
Saya masih ingat, kala itu di bilangan Ap. Pettarani Chunk—sapaan akrab Sulpikar—berbincang kepada saya mengenai renaca penelitian tesisnya, ia mengemukakan akan mengkaji penyakit kelamin di Sulawesi Selatan. Apa yang dikemukakan Sulpikar sesungguhnya menarik, karena memang selama ini historiografi Indonesia cenderung kaku dan hanya berkutat pada itu-itu saja.

Namun apa yang hendak dilakukan oleh Chunk mungkin terinspirasi dari rilis berita tirto.id bertajuk Historiografi Indonesia di Tangan Sejarawan Milenial. Pada salah satu bagian ulasannya disebutkan seorang Sejarawan Muda bernama Gani Ahmad Jaelani berhasil memertahankan Tesis Magisternya tentang Penyakit Kelamin di Jawa Masa Kolonial.

Masih dalam ulasan tirto.id, menurut sejarawan senior pentolan Indonesia Taufik Abdullah, apa yang ditulis Gani Ahmad Jaelani terbilang unik, pada umumnya penulisan sejarah akan berkutat pada tema-tema yang serius: perang, pemberontakan, revolusi, perubahan sosial, politik pemeritahan, dan seterusnya.

Kembali pada penyakit kelamin di Sulawesi Selatan, dalam perbincangan saya dengan Chunk di kedai kopi bilangan AP. Pettarani, ia mengemukakan bahwa terdapat catatan-catatan sejarah Sulawesi Selatan, terutama Memorie van Overgave yang secara sepintas mengulas permasalahan penyakit kelamin, informasi seperti itu biasanya termuat dalam bagian “Urusan Kesehatan Masyarakat”.

Sebut saja daerah Bone, dalam Memorie van Overgave Onderafdeling Bone yang terbit di kisaran tahun 1912/1913 menyebutkan bahwa di Wattampone telah tercatat beberapa masyarakatnya terpapar penyait kelamin. Sebagaimana yang bisa saya sajikan dalam nukilan berikut ini:

“Di Wattampone terdapat sebuah pos rumah sakit pembantu, di mana seorang perawat/mantri militer melakukan pengawasan di sana. Pos ini terutama melakukan penanganan yang bersifat poliklinis. Penyakit yang sering dialami adalah penyakit demam dan penyakit-penyakit perut seperti yang telah disebutkan di atas, juga penyakit kelamin, bisul, lepra, dan kudis.”

Walaupun informasi yang ditulis atau dilaporkan mengenai penyakit kelamin dalam Memorie van Overgave tersebut terbilang singkat dan cenderung normatif, namun informasi tersebut sedikitnya memberikan gambaran pada kita bahwa pemerintah kolonial kala itu menaruh perhatian cukup pada persoalan ini.

Penyakit kelamin tidak hanya di laporkan terjadi di Bone, penyakit kelamin juga dilaporkan pernah terjadi di daerah Toraja sejak masa Kolonial Belanda, masa Penudukan Jepang, hingga masa awal Toraja menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur. Dalam Memori Timbang Terima J.M. van Lijf yang memerintah Onderafdeling Tana Toraja pada periode 23 Juli 1946 – 23 Juni 1947 melaporkan bahwa:

“penyakit kelamin kemungkinan sudah masuk ke Tana Toraja sejak awal abad 20, sementara malaria mulai muncul di sana – sini 12 tahun lalu. Setiap tahun ada wabah disentri di sejumlah kampung, yang pada bulan Oktober – November menyebabkan berpuluh-puluh orang meninggal. Wabah disentri dalam catur wulan terakhir tahun 1946 menyebabkan 500 orang meninggal.

Pada jaman Jepang, penyakit kelamin menyebar hingga ke kampung-kampung yang paling terpencil di Tana Toraja. Ini disebabkan kareena tentara Jepang banyak ‘merekrut’ para wanita jalanan, yang kembali ke kampung dalam kondisi terjangkit; sementara banyak juga buruh kerja paksa yang dikirim ke tempat lain, yang juga membawa pulang penyakit ini.”

Jika membandingkan pada dua sumber tersebut, nampaknya Memorie van Overgave yang ditulis J.M. van Lijf lebih terperinci dan memuat banyak informasi mengenai penyakit kelamin. Bahkan disebutkan ketika Jepang menduduki Hindia – Belanda (Indonesia) penyakit kelamin begitu mewabah hingga ke kampung-kampung, meningkatnya penyakit tersebut bisa dihubung-kaitkan dengan perilaku amoral Tentara Jepang yang kala itu dikenal haus akan birahi dan untuk menghilangkan dahaga birahi tersebut tentunya para kampitai dan Tentara Jepang menempuh jalan rudapaksa (menggagahi) anak gadis desa (baca : dijadikan budak seks / jugun ianfu).

Lebih lanjut J.M. van Lijf dalam laporan pertanggungjawabannya (Memorie van Overgave) mengemukakan suatu alasan mengapa masyarakat Tana Toraja—terutama sebelum kedatangan Jepang dan sesudah kedatangan Jepang—begitu mudah terjangkit penyakit kelamin.

“Penyebaran secara lebih lanjut sangat dipengaruhi cara hidup kebanyakan generasi muda, baik laki-laki maupun perempuan, serta karena hubungan perkawinan yang longgar. Menurut perkiraan dokter D.V.G. (Dienst van Volksgezondhied / Dinas Kesehatan Masyarakat) dr. J.J.J. Goslinga, ‘saat ini di Tana Toraja didapati kurang lebih 10.000 penderita penyakit kelamin, jadi kira-kira 5% dari penduduk, sedangkan hanya beberapa ratus yang dibawah penanganan dokter. Ini merupakan ancaman yang besar terhadap kesehatan masyarakat’”.

Jadi dari informasi yang tertera di atas dapat memberikan gambaran pada kita, bahwa membicarakan sejarah itu tidak melulu seputar peristiwa-peristiwa besar nan serius bin kaku. Peristiwa-peristiwa yang unik dan kadang nyeleneh sebenarnya menarik juga untuk menjadi satu tema sejarah yang menarik untuk dikaji. Maka benarlah kiranya bahwa sejarah itu tidak hanya milik orang besar, sejarah juga mencatat hal-hal yang kecil, dan di tangan seorang sejarawanlah narasi kecil dan luput itu menarik untuk diungkapkan. Sebagaimana rencana penelitian tesis Sulpikar Aka Chunk : Penyakit Kelamin di Sulawesi Selatan pada Masa Kolonial Hindia – Belanda.

Rujukan:
1. https://tirto.id/historiografi-indonesia-di-tangan-sejarawan-milenial-cwla diakses hari senin, 28 Januari 2019 pukul 21.33
Transliterasi dan Terjemahan. 2007.

2. Memorie Betreffende de Onderafdeling Bone Met Bijlagen. (Opgemaaht Ingevalge Schrijven van Het Departemen van Oorlag VII Afdeling DD. 12 Agustus 1912 No. 765) un Memorie van Overgave van den Controleur H.R. Rookmaaker Betreffende de Onderafdeling Boni-Riattang Afdeling Boni, Gouverment Celebes en Onderhoorgheden. Makassar : Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan.
Transliterasi dan Terjemahan. 2004.

3. Memorie van Overgave J.M. van Lijf, Controuler Tana Toraja : Laporan Serah Terima Mengenai Onderafdeling Tana Toraja dari Kontrolir Pemerintahan dalam yang Lepas Jabatan J.M. van Lijf Periode Pemerintahan 23 Juli 1946 – 23 Juni 1947. Makassar: Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *