Dialog Tentang Hijab, Aurat, dan Tubuh

Suatu hari Mela dan Ariel nongkrong di sebuah kafe di Makassar. Sebenarnya keduanya hanya akrab di dunia maya. Mereka berkenalan di Facebook. Saat itu Mela seringkali berdiskusi dengan Ariel tentang banyak hal melalui aplikasi Messenger.

Namun kali ini, ada hal yang lebih serius yang ia hendak bicarakan dengan Ariel. Mela rasa tak cukup jika hanya dibicarakan melalui Messenger yang ruangnya sangat terbatas. Sehingga ingin bertemu langsung dengan Ariel di dunia nyata.

Percakapan basa-basi pun terjadi sekadar pengantar sebelum memasuki tujuan pertemuan tersebut. Tak berapa lama, Mela akhirnya mulai memaparkan maksud dan tujuannya bertemu Ariel.

“Sebenarnya saya ingin minta pendapat Kak Ariel. Saya ingin hijrah. Saya mau berhijab,” katanya, dengan setengah yakin.

“Ini pendapat saya yah. Jangan biasakan pakai kata hijrah. Seolah-olah kamu yang dulu tak berhijab tak lebih baik dibanding saat kamu pakai hijab di kemudian hari,” kata Ariel, masih tetap dengan ciri khasnya yang enteng dan santai.

Ariel terdiam sejenak, mencuri sedikit waktu untuk sekadar menghembuskan asap rokok dan menyeruput kopi.

“Tapi sebenarnya, untuk masalah seperti itu jangan tanya ke saya. Carilah orang yang lebih kompeten,” Ariel melanjutkan.

Mela akhirnya bercerita jika sebelum menemui Ariel, ia telah menemui beberapa orang mulai dari ustad, hingga orang-orang yang hanya sekadar meminati ilmu keagamaan.

“Tapi saya ingin mendengar dari orang-orang peminat filsafat, pegiat literasi dan ilmu-ilmu sosial seperti Kakak,” ujarnya berharap bisa meyakinkan Ariel.

Ariel menatap Mela dalam-dalam. Tak sampai semenit, Ariel kembali memulai percakapan.

“Kamu maunya saya ngomong apa?” katanya, sambil tertawa. Ariel memang orangnya rada-rada santai, jarang kelihatan serius meski sedang menghadapi persoalan yang serius.

“Berikan aku jawaban dari sudut pandang yang berbeda. Nggak sulit kan?” kata Mela.

“Silakan berhijab,” singkat Ariel.

“Hanya itu?” balas Mela, yang sebenarnya berharap jawaban yang lebih.

“Kalau kamu merasa sudah siap mengistirahatkan rambut dan tubuhmu itu dari ranah publik dan ingin memprivatisasinya, merasa bahwa setiap garis-garis tubuhmu yang indah itu sudah harus dimuseumkan, silakan pakai hijab,” kata Ariel yang mulutnya ngomong sambil mengeluarkan asap.

Mela mulai bersemangat. Jawaban dari seseorang yang dia anggap selalu memberi pendapat yang gila dan tak terduga akhirnya muncul juga. Mela pun meminum green tea pesanannya agak tergesa-gesa, kemudian melontarkan lagi pertanyaan.

“Menurut pendapat Kak Ariel, apakah salah, kalau saya tidak menutup aurat?” kata Mela, yang langsung ditanggapi oleh Ariel.

“Itu tubuhmu, milikmu. Aku tak mau terlalu jauh mencampuri hak dan milik orang lain,” kata Ariel, Tegas.

Dengan semangat yang cukup agresif Mela langsung menimpali dengan pertanyaan lanjutan. “Apakah tidak apa-apa saya tetap seperti ini saja?”

“Kalau kamu merasa masih nyaman dengan tampilan yang sekarang, silakan. Kamu punya kebebasan atas tubuhmu sendiri,” balas Ariel.

“Tapi ada orang yang bilang kalau perempuan yang tubuhnya terlalu terbuka sama halnya merelakan tubuhnya menjadi objek cabul dan mesum dari laki-laki. Bukankah pada posisi itu saya tak memiliki kebebasan atas tubuhku, karena tubuh saya menjadi objek kenikmatan oleh siapa saja? Bukankah saya membuka kesempatan buat lelaki mesum untuk memperkosaku?” kata Mela, yang sudah mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih filosofis.

Ariel yang cukup tercengang dengan pertanyaan Mela itu merenung barang semenit, sambil menghisap rokoknya yang sudah memendek. Saat rokoknya telah dibuang ke asbak, saat itulah Ariel memberi jawaban.

“Mela, saya pribadi begini. Mulai sekarang kamu harus berhenti berpendapat jika tubuh perempuan penyebab lahirnya otak mesum dan pemerkosaan. Itu sama halnya kamu menghakimi perempuan. Sudah jadi korban, dihakimi bersalah lagi. Kena dua kali. Kita harus mulai berani menunjuk ‘hidung’ pemilik otak mesum dan pelaku pemerkosaan. Mengapa mereka tidak bisa menjaga imajinasi, pikiran, dan berahinya untuk tidak berbuat mesum dan menjadikan perempuan sebagai objek pelampiasannya? Jika pun kamu membungkus tubuhmu sampai tidak kelihatan, kalau lelaki yang kau temui pada dasarnya mesum, cabul dan maniak seks, kamu juga bisa jadi pelampiasan nafsunya jika ada kesempatan,” kata Ariel, mulai ngomong panjang lebar.

Ia berhenti sejenak sekadar menyeruput kopi yang nyaris tinggal ampasnya. Kemudian melanjutkan pernyataannya.

“Selama ini kan, tubuh perempuan selalu digiring dalam stigmatisasi yang buruk. Kultur patriarkis masyarakat terus merawat pikiran-pikiran seksis terhadap perempuan. Perempuan dilarang berpakaian seksi karena bisa mengundang kejahatan seksual. Tapi jika perempuan berhijab dan menggunakan cadar agar tak mengundang pelecehan seksual, perempuan tetap tak bisa mendapatkan kenyamanan atas tubuhnya. Karena stigma lain bisa muncul. Misal, dianggap sebagai teroris, akhwat garis keras, radikal, dan seterusnya. Yang perlu dibereskan adalah persepsi masyarakat dalam memandang tubuh perempuan. Bagaimana pun bentuk ekspresi perempuan, seharusnya dihargai. Kamu mau berhijab atau tidak, dua pilihan itu sangat normal untuk diekspresikan,” ujarnya.

Keduanya terdiam sejenak. Belum juga Mela melontarkan pertanyaan selanjutnya, Ariel malah bertanya pada Mela, sebuah pertanyaan yang cukup substansial.

“Memang apa motifmu untuk menggunakan hijab?” tanya Ariel.

Mela berpikir sejenak untuk menata kata-katanya. Tak lama berselang, Mela kemudian mengungkapkan tujuannya.

“Sebenarnya Kak, saya ingin mendalami Islam. Selama ini saya malas salat, baca Alquran pun sudah tidak kulakukan. Saya ingat terakhir kali saya menyentuh Alquran saat masih bocah dulu. Sudah sebulan saya mengerjakan salat lima waktu. Dan kembali memperlancar bacaan Alquranku. Tapi saya merasa belum siap untuk berhijab. Apa Kak Ariel punya jawaban?”

Tak lama berselang, Ariel langsung memberikan pendapat pribadinya.

“Itu tergantung apakah kamu yakin jika muslimah wajib menutup auratnya. Jika kamu yakin soal itu, silakan pakai hijab,” ujarnya.

Tiba-tiba Mela menimpali. “Sudah nonton wawancara Deddy Corbuzier dengan Bu Sinta Nuriyah di channel Youtube Deddy? Kata Ibu Sinta perempuan tidak wajib menggunakan jilbab. Bagaimana pendapat Kakak soal itu?”

“Saya tidak mau masuk di ranah itu. Apakah jilbab wajib atau tidak? Bagi saya pendapat Bu Sinta Nuriyah perlu dihargai sebagai bagian dari interpretasinya atas ajaran Islam, sebagaimana kita perlu menghargai pandangan bahwa jilbab itu wajib. Kalau itu yang mau didiskusikan, tidak akan ada habisnya. Karena setiap orang pasti ngotot membela apa yang dia imani. Penekanan saya lebih kepada, kebebasan perempuan untuk menentukan ekspresinya di ruang publik. Kalau kamu memilih menggunakan jilbab dan sadar akan pilihan itu dan bukan atas dasar paksaan, silakan. Begitu pun sebaliknya. Memilih tidak menggunakan jilbab dan sadar akan pilihan itu dan bukan karena paksaan atau tekanan, silakan,” kata Ariel.

“Sesederhana itu jawabanmu?” tanya Mela yang merasa bahwa Ariel mengeluarkan pendapatnya tanpa beban dan sedikit bercanda.

“Memangnya kamu mau jawaban seperti apa dari saya?” Ariel balik bertanya.

“Kak Ariel suka perempuan yang mana? Yang menutup aurat atau yang tidak?” Mela kembali menyerang.

Ariel sempat tertawa mendengar pertanyaan itu, diikuti dengan senyum tipis Mela. “Saya pernah pacaran dengan perempuan yang berjilbab dan tidak berjilbab. Memang pertanyaan seperti itu perlu untuk diskusi kita?” balas Ariel.

Mela hanya senyum-senyum dan memanggil pelayan cafe untuk memesan cemilan.

“Jadi, menurut Kak Ariel, saya menutup aurat atau tetap seperti ini saja?” Mela kembali bertanya, dan ini adalah pertanyaan terakhirnya.

Tak lama berpikir. Ariel langsung memberikan jawaban pemungkasnya. “Kamu punya otoritas atas tubuhmu sendiri. Silakan perlakukan tubuhmu dengan baik dan siaplah dengan segala konsekuensi yang kamu temukan di kemudian hari. Bahkan kamu tak harus mengikuti semua saran dan pendapat saya agar tak terkesan saya mendominasimu. Jika kamu merasa bahwa semua yang saya sampaikan ini bagus, dan masuk akal, silakan ikuti,” kata Ariel.

Keduanya pun berhenti mendiskusikan masalah tersebut, dan mulai membicarakan hal-hal remeh temeh. Hingga akhirnya keduanya bubar saat mendekati Magrib, dan bersepakat bertemu lagi di tempat tersebut minggu depan.

Seminggu Kemudian

Ariel lebih dulu datang ke kafe tersebut. Sudah hampir sejam menunggu namun Mela belum datang juga. Namun, 10 menit kemudian, seorang perempuan membuka pintu kafe dan berjalan menuju Ariel. Perempuan itu mengenakan jilbab segi empat dengan jenis kain voal, baju kaos putih yang dilapisi blazer abu-abu dan mengenakan celana jeans biru berpadu dengan sepatu sneakers berwarna putih. Perempuan itu Mela yang tiba sambil memeluk buku berjudul Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan.

Ilustrasi: wallhere.com

4 thoughts on “Dialog Tentang Hijab, Aurat, dan Tubuh”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *