Bukan Jodoh Corona

Per hari ini, 18 Maret 2020, tercatat 227 kasus positif Covid-19. Dan hingga saat ini (konon) 4200 sampel masih menunggu konfirmasi. Semua harap-harap cemas. Penyebabnya tidak lain, jumlah jiwa melayang akibat Corona. Tanpa bermaksud menakut-nakuti, jumlah korban tentu akan terus bertambah. Apalagi bagi mereka yang paham ihwal kesehatan. Sekalipun hanya menyesap beberapa tetes.

Tapi, sebenarnya jumlah tersebut masih bisa ditekan. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya. Karantina (dengan syarat dan kondisi) bisa jadi opsi dalam upaya tersebut.  Terlebih lagi, langkah itu telah terbukti cukup efektif untuk mencegah penularan penyakit pada waktu silam

Belakangan ini banyak tersebar informasi. Terutama terkait Corona. Dari informasi positif, hingga informasi negatif. Khusus kategori kedua, lebih sering ulah Ferguso dan kawannya. Seperti biasa, logika “teh Sosro” mereka gunakan. Akibatnya kelompok mereka akan sekuat tenaga memelintir semua informasi demi kepentingan mereka.

Di antara banyaknya informasi terkait Corona, di antaranya menyandingkan dengan penyakit menular lain. Menurut beberapa sumber angka kematian karena Corona masih kecil jika dibandingkan dengan penyakit lain. Misalnya Demam Berdarah Dengue (DBD). Untuk perbandingan ini saya tidak pungkiri. Bahkan masih banyak penyakit lain yang angka kematiannya per angka kejadiannya jauh lebih besar dari Corona. Tapi, sekali lagi, bagi mereka yang pernah di fakultas kesehatan, satu nyawa terlalu berharga untuk melayang.

Terlebih, tanpa bermaksud menyepelekan penyakit menular lain, sampai sekarang Covid-19 ini masuk dalam kategori baru. Jika dibandingkan dengan DBD atau penyakit menular lain, setidaknya langkah-langkah untuk mengatasi sudah ada dan baku. Coba bandingkan dengan Corona. Sampai saat ini bentuk penanganan dari berbagai negara berbeda-beda. Bahkan sampai sekarang, bisa dikatakan semua negara menjalankan protokol masing-masing.

Kesimpulannya, mempersandingkan Corona dengan penyakit (menular) lain adalah tidak sepadan. Baik dari tingkat kebaruan, hingga bentuk penanganan. Ini kita belum berbicara soal bagaimana akhirnya peluangi virus berevolusi kelak ketika tubuh sudah mampu menyusun antibodi terkait mahkluk maharenik ini.

Dari pada kita semua sibuk mencari pasangan untuk Corona, lebih baik kita berbincang beberapa hal yang terkait. Misalnya tren panik belanja menyusul informasi Corona menjadi wabah beberapa waktu silam. Meskipun saat itu, belum ada kasus di sini. Masyarakat berbondong-bondong belanja kebutuhan bahan pokok dengan tujuan (seolah) mempersiapkan diri akan menghadapi masa paceklik.

Akibatnya, beberapa bahan kebutuhan menjadi langka. Parahnya, berakibat kosong persediaan di masyarakat. Tidak ketinggalan, karena tingginya serapan dari benda tersebut memberi peluang para oknum untuk menaikkan harga. Masyarakat akhir terjebak pada kondisi dilematis. Satu sisi mencari bahan kebutuhan pokok tapi jarang tersedia bahkan habis, di sisi lain harganya jadi naik.

Bahkan bukan hanya bahan kebutuhan pokok yang jarang bahkan hilang di pasaran, benda lain yang berhubungan dengan Corona turut serta. Salah satunya, masker. Salah duanya, bahan pemurni tangan (hand sanitizer). Salah tiganya bahan pemurni cair (Disenfektan cair). Saya kurang paham. Kenapa ketiga benda tersebut ikut serta pada rombongan kebutuhan pokok yang diborong.

Padahal jika kita telisik lebih jauh, ketiga benda tersebut–terutama masker–awalnya hanya masuk dalam kebutuhan tersier. Apalagi saat mendengar, membaca, dan atau melihat (berdasarkan kegunaan) benda-benda tadi lebih berguna untuk tenaga kesehatan atau para pasien penyakit menular. Apakah masyarakat kita masih sulit bedakan kebutuhan dan keinginan? Saya kira jawabannya; iya.

Alih-alih ingin melakukan tindakan pencegahan, ternyata berkontribusi pada kepanikan massal. Saya juga kurang yakin dengan aksi memborong masker oleh orang-orang akan berdampak siginifikan pada penurunan kasus Corona. Buktinya sekarang. Jumlah orang yang teridentifikasi Corona justru jadi naik.

Makanya bagi saya, bukan seberapa banyak masker yang dimiliki untuk melakukan pencegahan, tapi seberapa ingin masing-masing dari kita menjadi pemutus penyebaran. Misalnya dengan mengikuti anjuran pemerintah untuk membatasi aktifitas diluar rumah. Yang terjadi justru berkebalikan. Saat instruksi, edaran, imbauan, pemberitahuan terkait pembatasan aktifitas luar rumah, atau bahasa sederhananya aturan “merumahkan” berlaku, tempat-tempat wisata menjadi ramai. Sialnya, tidak sedikit pengunjung tempat wisata menggunakan masker muka.

Ini aneh bin ajaib.

Selain jumlah masker jadi terbatas bahkan berkurang, kebutuhan bahan pokok juga jadi sasaran untuk diperbanyak. Dampaknya, tidak sedikit jadi kelabakan karena tidak kebagian. Termasuk mereka yang membutuhkan. Ini jadi masalah baru. Sementara itu, kebutuhan asupan manusia (dalam satuan kalori) hanya berkisar 1500 hingga 1800 perhari. Tidak lebih.

Artinya (lagi), jumlah tersebut bisa terpenuhi tanpa perlu melakukan belanja berlebihan makanan sehari-hari. Bahkan jika hanya mengkonsumsi nasi dan telur (saja) tiga kali sehari jumlah tersebut di atas sudah melebihi.

Di sinilah titik yang menurut saya empati sangat dibutuhkan. Bukan apa-apa, kalau semua orang berbelanja di luar dari jumlah biasanya secara serentak, tentu akan berdampak pada jumlah ketersediaan bahan tertentu dipasaran. Akan lebih parah jika kondisi ini berdampak pada mereka yang akan sangat membutuhkan. Terutama para tenaga kesehatan yang saat ini sedang berjibaku dan terjun bebas dalam gelanggang jihad fi sabilillah penanganan Corona.

Tidak berlebihan kiranya, jika titik tekan pesan yang ingin saya sampaikan saat ini adalah mengembangkan segala bentuk empati. Di antaranya; ikut serta dalam segala anjuran yang dikeluarkan otoritas negara, tidak menimbulkan kepanikan, menyebarluaskan informasi yang benar dari sumber terpercaya, tetap menjaga kesehatan diri dengan membiasakan berbagai prilaku sehat yang sederhana namun berdampak besar pada tubuh, dan yang terakhir mengembangkan sikap empati selain simpati.

Yang tidak kalah pentingnya, meskipun masih banyak penyakit lain yang tinggi angka kematiannya, bukan berarti bisa dengan mudahnya kita buat berpasangan dengan Corona. Karena bisa jadi bukan jodohnya. Mirip dengan mantan. Bukankah kita tidak berjodoh dengannya?

Klir?

 

Sumber gambar: Kontan

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *