In Compassionate

 

Tertorehlah satu kisah di zaman kenabian Muhammad Saw. Salah seorang sahabat kinasih Nabi yang sekaligus menantunya, Ali bin Abi Thalib, bernazar puasa tiga hari. Latar nazar itu dikarenakan salah seorang putranya, sekaligus cucu tersayang Nabi jatuh sakit. Beragam usaha disertai doa agar sembuh. Ketika sudah sembuh, Ali dan isterinya, putri tercinta Nabi, Fathimah Az-Zahra, pun menunaikan nazarnya: berpuasa.

Di hari pertama mereka berpuasa. Jelang senja, makanan buka puasa tersaji, berupa beberapa potong roti kering dan air putih. Kehidupan keluarga Ali memang sangat sederhana, apalagi saat itu lagi keadaan sulit. Hanya itulah makanan yang mereka miliki. Namun, saat akan berbuka puasa, seseorang mengetuk pintu.  Ia berpakaian lusuh. Dengan wajah memelas, ia bertutur, “Aku orang miskin. Seharian ini aku belum makan. Perutku sangat lapar. Tolonglah aku; berilah aku sedikit makanan.”  Ali memberikan rotinya, diikuti Fatimah. Mereka pun berbuka dengan air putih saja.

Hari kedua berpuasa, kejadian berulang lagi. Saat akan berbuka puasa dengan menu yang sama di hari pertama, seorang anak yatim mengetuk pintu. Ali menanyakan keperluan anak itu. Ia memelas, lalu berujar, “Aku anak yatim, ayahku sudah lama meninggal. Beberapa hari ini, ibuku pergi bekerja. Selama itu perutku kosong. Tak ada makanan yang bisa kumakan.” Ali dan Fathimah amat sedih. Diberikannya roti kering pada si anak yatim. Mereka pun hanya berbuka dengan air putih saja.

Memasuki hari ketiga, masih sama kejadiannya. Kali ini yang datang mengetuk pintu seorang tawanan perang. Di depan Ali, ia mendaku, “Aku orang muslim yang baru dibebaskan oleh orang kafir. Aku kelaparan sampai tubuhku terasa sangat lemah. Aku mohon, berilah aku makanan.” Ali dan Fatimah bertatapan. Selama dua hari mereka berpuasa nazar, tiada sebiji kurma atau roti yang masuk ke perutnya. Ali dan Fathimah memberikan rotinya. Mereka hanya minum air putih saja.

Dikisahkan pula, pada hari berikutnya, Nabi mengunjungi Ali dan keluarganya. Ingin melihat cucu-cucunya. Nabi pun mendapati mereka dalam keadaan lemah dan pucat. Sehingga, Nabi bertanya soal keadaan mereka. Ali lantas menjelaskan apa yang mereka alami selama tiga hari. Saat itu, spontan bersabda, rumah ini adalah rumah yang disinggahi oleh para malaikat.

Keluarga Ali adalah keluarga pengasih dan penyayang. Mereka suka dan rela berbagi makanan, meski mereka sendiri akan kelaparan. Hanya ridha Allah yang mereka harapkan. Itulah sebabnya, merujuk pada Ibnu Abbas, Allah berkenan menurunkan ayat Al-Qur’an atas kedermawanan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra tersebut. Persinya, pada QS. Al-Insan (76) ayat 7-10.

Saya kutipkan terjemahan firman Allah itu, “Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan (sambil berkata), ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharap keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu. Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.”

Kisah keluarga Ali bin Abi Thalib di atas, amat mashur dan mudah dieja pada berbagai literatur yang menuliskan kisah para sahabat Nabi. Apatah lagi, tatkala bercerita tentang keutamaan ahlul bayt Nabi. Dan, keteladanan yang ditunjukkan oleh Ali dan keluarganya, berupa kedermawanan dalam berempati, berkasih sayang, dalam dunia kontemporer di kiwari ini, sering distilahkan dengan compassionate, yang bermakna welas asih.

Seorang penulis sekelas Karen Amstrong, menulis khusus tema welas asih, berupa satu buku berjudul Compassion. Amstorong lewat bukunya, menerang-jelaskan 12 langkah menuju hidup berbelas kasih, guna memenuhi harapan sebuah dunia yang lebih baik. Amstrong menggali nilai-nilai welas asih pada tambang spiritual berbagai agama dan isme dunia. Dari langkah-langkah tersebut, paling tidak ada dua yang bisa saya apresiasikan di sini. Jalan empati dan kepedulian untuk semua.

Empati, satu sikap menuntut adanya tindakan. Empati melebihi simpati. Jika simpati hanya sebatas ikut merasakan apa yang dialami oleh seseorang, maka empati melompat lebih jauh, memberikan tindakan advokasi agar selesai permasalahan. Tindakan itulah yang mewujud dalam bentuk kepedulian pada sesama. Peduli berarti memberi. Pemberian yang berdasar pada kebutuhan penerima, buka apa yang dinginkan si pemberi.

Dengan begitu, sebagaimana didedahkan oleh Brian Klemmer, dalam bukunya, The Compassionate Samurai, Samurai Pengasih, merumuskan manfaat memberi, sebentuk tindakan menyenangkan, memberi untuk menerima, membangun kesetiaan, meningkatkan kekuatan, sikap tanpa pamrih, dan lebih penting lagi memantik kehidupan spiritual. Olehnya, kekuatan seseorang, terletak pada seberapa banyak yang diberikan bukan seberapa besar yang dikumpulkan. Memberi mengubah si pemberi dan si penerima.

Sekarang dan di sini, dunia sedang merana. Penderitaan dengan berbagai sebab, menyata sunyatanya. Paling menyita perhatian, pandemi global. Biang keroknya sewajah pagebluk, Covid-19. Tak terkecuali di tanah air. Bahkan lebih dari itu, di tanah kelahiran saya, Bantaeng, diganyang oleh bencana ganda. Ibarat pepatah, keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Bahkan belum sepenuhnya keluar dari mulut harimau. Pandemi Covid-19 yang sudah mendera sekira tiga bulan, lalu dikoyak-koyak oleh banjir bandang. Sudah sepekan  lebih koyakan banjir itu.

Bencana ganda ini, sunyatanya penderitaan. Nyaris seluruh upaya menata penyebaran Covid-19, disobe-sobek oleh banjir bandang. Saya pun membatin. Mungkin inilah cara semesta  mengimunisasi negeri saya. Pengurus dan anak negeri diimunisasi, agar setelahnya menjadi negeri yang kuat. Pemkab Bantaeng menetapkan tanggap darurat selama dua pekan.

Sejak pandemi menyerbu, pengurus negeri dan beberapa elemen anak negeri, bahu-membahu menjaga negeri Bantaeng. Puncaknya, tatkala banjir bandang memperok-porandakan beberapa wilayah di Kota Bantaeng. Belum ada taksiran jelas keruagian material. Jelasnya, ada korban jiwa, banyak yang kehilangan rumah, tidak sedikit yang rumahnya masih ada tapi terkoyak-koyak air bah.

Bencana banjir bandang ini, memicu lahirnya berbagai simpati dari berbagai penjuru. Bahkan, empati pun menghidu Bantaeng. Welas asih menguat. Sesama warga berbagi. Ada warga yang menyiapkan makanan dan kebutuhan lainnya. Organisasi kemasyarakatan berempati, komunitas-komunitas ikut berbagi pikiran dan tenaga. Pengurus negeri terjun bebas membereskan dampak banjir. Beberapa dapur umum dibuka.

Sebagai anak negeri yang merantau ke negeri lain, saat banjir bandang meneyerbu, hanya bisa menyaksikan lewat tayangan video dan gambar-gambar di dunia maya. Membaca berita sekaligus berkomunikasi dengan kerabat, soal bencana ini. Di negeri rantau, Kota Makassar, saya menyaksikan  elemen-elemen masyarakat di berbagai titik kota, ikut berempati dengan menggalang donasi.

Belum sepekan bencana banjir ini, saya memutuskan untuk ke Bantaeng, bertandang. Di rantau hanya sekadar simpati, saya ingin meningkatkannya menjadi empati. Di perjalanan menuju Bantaeng, puluhan titik-titik penggalangan bantuan. Saya terharu atas solidaritas anak negeri lain pada bencana ini. Setiba di Bantaeng, saya berkeliling dalam senyap. Menyerap derita warga di balik genangan lumpur dan sampah.

Dari sekian banyak elemen masyarakat, tepatnya sekelompok warga, begitu elegan mengkonsolidasi diri dalam komunitas kecil untuk berempati. Ada komunitas ibu-ibu berbagi makanan. Sekumpulan anak muda yang menawarkan diri menjadi tim pembersih rumah, dan aneka upaya empati lainnya. Makanan, pikiran, dan tenaga mereka berikan. Mereka suka bekerja dan rela menjalaninya.

Beberapa hari di tanah kelahiran, saya menyaksikan warga yang berempati. Mereka larut dalam pusaran in compassionate, tenggelam dalam pelukan welas asih. Saya merenung, negeri saya akan kuat menghadapi bencana ini, karena anak-anak negerinya cukup kuat. Welas asih menyelimutinya. In compassionate menghangatinya.

Yah, negeri saya memang lagi dimunisasi. Pandemi global Covid-19 melilitinya. Bencana banjir bandang mengoyaknya. Pengurus negeri dan anak negerinya, sementara demam, pertanda proses imunisasi bekerja. Jika sembuh, maka akan makin kuat jiwa dan raganya.

Apa yang dilakukan oleh anak-anak negeri, memberi empati, melarutkan diri dalam welas asih, in compassionate, sesungguhnya, melanjutkan warisan tradisi keluarga Ali bin Abi Thalib.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *