Kontribusi Logika, Bahasa, dan Matematika Bagi Perkembangan Keilmuan

 

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan tak lepas dari perkembangan penalaran manusia, ditemukannya bahasa sebagai media berkomunikasi, dan ditemukannya matematika sebagai alat pengukuran guna menghasilkan temuan-temuan sains yang baru. Ketiga instrumen tersebut membuat manusia dapat menghasilkan ilmu pengetahuan: maha karya manusia yang menjadi fondasi bagi perkembangan peradaban.

Mari sejenak berpetualang ke zaman Yunani Kuno, ketika filsafat ditemukan dan menjadi induk dari segala ilmu. Para pecinta kebijaksanaan mulai berani menggugat mitologi, sebagai sumber utama pengetahuan manusia tentang alam semesta kala itu.  Kemudian menelusuri sendiri hakikat alam semesta dengan kemampuan rasio yang sebelumnya tak terpikirkan, bahkan mungkin diabaikan: investigasi logis akal budi.

Kita mengenal mereka sebagai filsuf. Dengan ini para filsuf, semisal Thales, Anaximandros, Anaxagoras, dst, merenungkan imajinasi kosmologi, dan menelaah beberapa di antaranya yang dianggap logis, dan bisa dipertanggungjawabkan secara argumentatif. Maka di tangan para filsuf bayangan mengenai asal-usul alam semesta dianggap benar sejauh ia bisa dipertanggungjawabkan secara logis-argumentatif.

Di samping penalaran, filsafat juga berkembang karena adanya bahasa sebagai instrumen berkomunikasi. Teori-teori filsafat tentang alam semesta oleh para filsuf tak akan mungkin dipelajari oleh orang-orang, tak akan mungkin bisa dikritik dan kemudian dikembangkan jika sebelumnya tak mengungkapkan temuannya tersebut melalui bahasa. Melalui bahasa, para filsuf mentransformasikan pengetahuan filosofisnya ke publik, agar bisa dipahami. Orang-orang pun dapat mengkritik temuan teori filsafat sebelumnya, dan mengembangkan teori filsafat menjadi lebih mutakhir lagi. Seterusnya demikian.

Selanjutnya, kita melanjutkan perjalanan, melintasi ruang-waktu, memasuki abad modern. Di abad tersebut sains berkembang pesat. Modernitas akhirnya menjadi tanda “kelahiran baru” manusia, karena terjadi perubahan radikal atas kesadaran mengenai alam semesta. Pernah perubahan kesadaran itu terjadi, seperti penjelasan terdahulu, saat nalar mitologis manusia berubah menjadi nalar filosofis yang cenderung rasional.

Tapi yang radikal dalam kesadaran modern adalah saat manusia membayangkan dunia empiris ini sebagai satu-satunya kenyataan dan sumber Ilmu pengetahuan. Itu berbeda dengan—merujuk pada tipologi masyarakat Comte— masyarakat teologis yang yakin akan mitos mengenai yang maha gaib, dan masyarakat metafisik, yang yakin mengenai adanya realitas tertinggi yang non materil yang bisa dijelaskan secara logis dan argumentatif.

Saat dunia empiris dijadikan acuan satu-satunya bagi ilmu pengetahuan, saat itulah sains menghasilkan temuan yang baru mengenai alam semesta, yang sebelumnya tak bisa direngkuh oleh filsafat. Melaui sains, ilmu fisika berkembang dan menghasilkan sejumlah teori terkenal tentang  gravitasi dan teori relativitas. Astronimi ikut berkembang dan menghasilkan teori heliosentrisme. Dan masih banyak lagi temuan sains yang akhirnya diimplementasikan menjadi teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh umat manusia.

Apapun bentuk ilmu yang dihasilkan sains modern, semuanya ditemukan dengan tak lepas dari peran penalaran dan bahasa. Bahkan, dalam sains modern, matematika menjadi salah satu ilmu alat utama dalam perkembangan ilmu pengertahuan, khusunya perkembangan teori fisika, kosmologi dan astronomi. Berdasarkan penjelasan di atas, artikel ini dibuat untuk mengkaji secara khusus kontribusi penalaran atau logika, bahasa dan matematika bagi perkembangan keilmuan. Mengingat ketiga instrumen ilmu pengetahuan tersebut sangat berjasa dalam bidang ilmu pengetahuan mansuia di sepanjang sejarah.

Logika dan Kontribusinya Bagi Keilmuan

Segenap pengetahuan manusia lahir dari proses penalaran. Pengetahuan yang benar lahir karena mengikuti kaidah berpikir yang benar pula. Kaidah berpikir inilah yang kemudian hari disebut sebagai logika. Sebagai mahluk berpikir, manusia telah dibekali logika oleh Tuhan, sebagai panduan memahami realitas. Sehingga logika, dalam pengertian tersebut adalah instrumen berpikir. Kemudian, filsuf Yunani Kuno, Aristoteles, menyusun kaidah berpikir benar tersebut agar dapat dipelajari oleh orang-orang, agar dapat menggunakan logikanya dengan baik. Tujuannya agar seseorang tak mengalami kesalahan berpikir. Karena kesalahan berpikir dapat menghasilkan pengetahuan yang salah pula.

Itulah mengapa logika sangat penting dalam keilmuan. Karena dengan logika, seseorang dapat mencapai pengetahuan yang benar, dan terhindar dari sesat pikir. Sehingga dapat dipastikan kontribusi logika sangat besar dalam keilmuan. Irving M. Copi (dalam Mundiri, 2005: 2) logika adalah “ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah”.  Dengan demikian, logika membantu manusia dalam melakukan proses penalaran agar mencapai kebenaran melalui hukum-hukum dan metode berpikir. Setidaknya ada dua bentuk penalaran yang telah dikembangkan. Yakni penalaran induksi dan penalaran deduksi.

Penalaran Induksi

Menurut Rapar (dalam Mustofa, 2016: 14), “Penalaran induksi cara berpikir untuk menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular ke dalam gejala yang bersifat umum atau universal. Sehingga dapat dikatakan jika penalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat terbatas dan khusus lalu diakhiri dengan statemen yang bersifat kompleks dan umum”. Berdasarkan  definisi di atas, penalaran induksi selalu dimulai dari persepsi indrawi atas kenyataan yang bersifat khusus. Hasil pengamatan tersebut menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.

Salah satu jenis penalaran induksi, yang kerap digunakan dalam penelitian ilmiah adalah generalisasi. Mundiri (2005: 145) mengatakan, “generalisasi yaitu suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individu menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki”. Agar mudah dipahami, penulis memberi contoh sebagai berikut:

Tembaga bila dipanaskan akan memuai.

Besi bila dipanaskan akan memuai.

Platina bila dipanaskan akan memuai.

Tembaga, besi, dan platina adalah jenis logam.

Jadi, semua jenis logam akan memuai.

Dalam contoh di atas, ada tiga jenis tembaga yang dipanaskan. Berdasarkan pengamatan, terlihat jika seluruh sampel logam yang dihadirkan ternyata memuai. Maka, dari hasil pengamatan tersebut, dapat dihasilkan kesimpulan jika semua jenis logam jika dipanaskan akan memuai. Kesimpulan tersebut menjadi generalisasi bagi seluruh jenis logam. Dari sini bisa dipahami, untuk melakukan generalisasi, hanya perlu sampel yang relevan dan mewakili populasi. Jika sampel tersebut diberi perlakuan, lantas mengalami gejala yang sama, bisa disimpulkan jika jenis logam yang serupa akan menghasilkan gejala yang sama pula. Namun perlu diingat, jika kesimpulan dalam penalaran induksi bersifat probabilitas. Artinya mungkin benar dan mungkin salah. Mengapa? Karena tidak semua realitas teramati.

Penalaran Deduksi

Jika induksi selalu berangkat dari umum ke khusus, maka sebaliknya, penalaran deduksi adalah cara berpikir dengan bertolak dari proposisi yang bersifat umum untuk mencapai kesimpulan yang bersifat khusus (Mundiri, 2005). Jika penalaran induksi selalu bermula dari pengamatan indrawi, maka penalaran deduksi tak berangkat dari pengalaman. Karena penalaran deduksi berpatokan pada proposisi umum yang bersifat apriori: sudah dapat diketahui meski tanpa pengalaman. Sebagai contoh:

Manusia pasti akan mati

Budi adalah manusia

Maka Budi pasti akan mati

Proposisi pertama disebut premis mayor. Proposisi kedua disebut premis minor. Sedangkan proposisi ketiga adalah konklusi atau kesimpulan. Kesimpulan yang dilahirkan tak perlu diuji secara empirik kebenarannya. Pasalnya, kesimpulannya sudah memiliki kebenaran yang bersifat pasti. Sejauh proses penarikan kesimpulannya benar, maka hasilnya pasti benar, meski tak diuji secara empirik. Namun, kelemahan penalaran induksi adalah, kesimpulan yang dilahirkan tak dapat menghasilkan pengetahuan baru. Sebab, kesimpulannya sudah terkandung di dalam premis mayor.

Karena terdapat kelemahan antara penalaran induksi dan deduksi, kedua metode berpikir tersebut akhirnya disatukan dalam kerja keilmuan. Metode penelitian saat ini telah menggunakan keduanya sebagai instrumen untuk melahirkan ilmu pengetahuan. Mustofa (2016) mengatakan, keduanya telah dielaborasi dan dimodifikasi dalam sistem penalaran modern saat ini. Sehingga melahirkan langkah-langkah metode ilmiah sebagaimana yang dirumuskan Anderson yakni, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, melakukan pengujian hipotesis, pengumpulan dan pengolahan data, dan pengambilan kesimpulan. Langkah-langkah inilah yang kerap digunakan dalam penelitian ilmiah, dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Arinya, kontribusi logika (penalaran induksi dan deduksi) sangat penting dalam kegiatan keilmuan.

Bahasa dan Peranannya Bagi Keilmuan

Bakhtiar dalam buku Filsafat Ilmu (2004) mengatakan, pengetahuan manusia dapat berkembang dikarenakan adanya dua faktor, yaitu: pertama, manusia memiliki bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut. Kedua, manusia memiliki kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.  Poin kedua telah kita jelaskan pada penjelasan sebelumnya. Pada kesempatan ini, penulis ingin menjelaskan poin pertama.

Bahasa Sebagai Sistem Komunikasi, Sarana Pertukaran Pengetahuan

Mengapa pengetahuan manusia dapat berkembang, karena bahasa sebagai salah satu faktornya? Karena bahasa itu sendiri adalah sarana yang memediasi pengetahuan manusia agar sampai ke publik melalui komunikasi baik lisan maupun tulisan. Bahasa sebagai sistem komunikasi sudah dijelaskan dengan detail dalam KBBI.  Dalam KBBI, diterakan bahwa bahasa ialah “sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia karena dengan bahasa manusia dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Bahasa juga digunakan manusia untuk menjalin kerja sama dalam memecahkan atau menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Berdasarkan pengertian di atas, bahasa membantu seseorang dalam berkomunikasi sehingga melalui bahasa, setiap orang dapat berinteraksi melalui bunyi dan simbol. Melalui interaksi dengan bahasa inilah, tercapai aktivitas tukar pikiran, pengetahuan dan gagasan antar umat manusia. Sehingga manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Melalui bahasa, setiap orang dapat memahami dan mengerti segenap gagasan yang dimiliki seseorang ketika disampaikan. Andaikata tak ada bahasa, maka sulit kiranya manusia dapat saling memahami isi pikiran masing-masing.

Namun, berbahasa dengan cara yang biasa belum cukup untuk bisa menjadi sarana pengembangan ilmu dengan lebih terstruktur dan tersistematis. Ilmu pengetahuan yang baik dihasilkan melalui kegiatan ilmiah. Sementara, dalam kegiatan ilmiah, seseorang ilmuwan perlu memahami dengan baik tata bahasa, kosakata, dan makna bahasa agar dapat menyusun proposisi ilmiah guna menghasilkan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara argumentatif dan empiris, juga dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Ikhwan Mahmudi (2008 : 19) mengatakan, “andaikata para ilmuwan tidak cukup menguasai tata bahasa, kosakata dan makna, persoalan-persoalan dalam kegiatan ilmiah bakal kian ruwet”.

Charlton Laird (dalam Ikhwan Mahmudi, 2008 : 18) mengartikan  “tata bahasa sebagai alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan makna dan emosi dengan memakai aturan-aturan tertentu”. Dengan demikian, penguasaan tata bahasa secara pasif dan aktif memungkinkan seseorang menyusun pernyataan-pernyataan atau premis-premis dengan baik dan juga menarik kesimpulan dengan betul. Saking pentingnya struktur atau tata bahasa bagi kegiatan ilmiah, Suriasumantri (dalam Ikhwan Mahmudi, 2008 : 18) mengajukan pertanyaan retoris: “bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat?”.

Selain struktur atau tata bahasa, yang penting pula dikuasai oleh ilmuwan adalah kosakata dan maknanya. Dalam karya ilmiah, kosakata adalah hal yang penting guna mencapai keefektifan penyampaian gagasan. Penggunaan kaidah bahasa yang baku dalam karya ilmiah, misalnya, itu sangat dibutuhkan guna menghindari ambiguitas makna. Menurut Suwardjono (2008: 8), “masalah ilmiah biasanya menyangkut hal yang bersifat abstrak dan konseptual yang sulit dicari analoginya. Untuk mengungkapkan hal semacam itu, dibutuhkan struktur bahasa dan kosakata yang canggih”.

Di samping itu, masalah kosakata adalah hal yang penting, Sebab, “yang disampaikan oleh pembicara atau penulis kepada lawan bicaranya atau pembacanya sejatinya ialah makna (informasi, pengetahuan). Dan, makna ini diwadahi di dalam kosakata, yang dalam khazanah ilmiah dinamakan dengan istilah atau terminologi” (Ikhwan Mahmudi, 2008 : 19).

Kemudian problem makna. Persoalan makna bahasa dalam kegiatan ilmiah bahkan mulai menjadi perhatian serius di abad 20 ini, khususnya para filsuf analitik di Inggris baik penganut aliran atomisme logis maupun positivisme logis. Karena dalam kegiatan keilmuan, penyusunan proposisi dalam penyampaian gagasan ternyata perlu mempertimbangkan kepahaman atas ungkapan yang diajukan. Maksudnya, apakah seseorang dapat memahami suatu proposisi dalam kegiatan keilmuan atau tidak? Para filsuf analitik mengatakan, suatu ungkapan yang kerap disampaikan dalam bahasa keilmuan, khususnya bahasa filsafat oleh pemikir terdahulu sering tak terpahami karena kadang tak memuat unsur logis dalam ungkapannya. Masalah ini akan dibahas secara terpisah oleh penulis.

Filsafat Analitik: Problem Makna dan Pencapaian Pengetahuan Objektif

Di Inggris problem makna bahasa dan pengetahuan mulai dikaji secara serius para filsuf Mazhab Analisis Bahasa (MAB) seperti G.E. Moore, Bertrand Russel, Wittgenstein, dll. Pemikiran mereka kemudian akrab disebut sebagai filsafat analitik atau filsafat bahasa. Filsafat analitik lahir dengan mengemban tugas untuk membersihkan bahasa filsafat dari ungkapan yang tidak bermakna dari filsuf sebelumnya mengenai realitas. Singkatnya, ingin menyingkirkan bahasa yang dianggap cuma omong kosong mengenai realitas. Maka dari itu filsafat jenis ini menekankan kata “analisis”, yang diartikan sebagai penyelidikan atas konsep-konsep guna mengetahui benar-salah, logis-tak logis, dan bermakna-tak bermakna suatu konsep yang termanifestasikan dalam bahasa. Penganut filsafat analitik ini berkembang menjadi dua aliran. Yakni aliran atomisme logis dan positivisme logis

Atomisme logis adalah suatu paham atau ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi-proposisi elementer, melalui teknik analisis logis atau analisis bahasa (Mustansyir, 2007 : 24-25). Maksud dari proposisi atomik adalah proposisi yang mengungkapkan bagian terkecil realitas. Itu artinya, paham atomisme logis percaya jika bahasa memiliki hubungan yang mutlak dengan realitas. Setidaknya ada dua filsuf utama yang mengembangkan aliran atomisme logik. Yakni Russel dan Wittgenstein.

“Russel menekankan bahasa logika dalam menganalisis suatu makna bahasa. Dengan bertitik tolak pada bahasa logika, Russell bermaksud menentukan corak logik yang terkandung dalam suatu ungkapan” (Mustansyir, 2007 : 49). Corak logis yang terkandung dalam bahasa selalui bermakna apakah bahasa tersebut mengandung fakta. Jadi, bahasa bagi Bertrand Russell (dalam Muhmidayeli, 2014) adalah simbol yang melukiskan realitas, menganalisis bahasa berarti mempelajari fakta-fakta. Dengan demikian, Bertrand Russell menyepadankan bahasa dengan realitas di dunia. Misalnya, “Muhajir adalah seorang mahasiswa pascasarjana UNM” dan “Sarah adalah seorang mahasiswa pascasarjana UNM”. Keduanya mengandung fakta yang sama, yakni sama-sama mahasiswa pascasarjana UNM. Inilah yang dimaksud dengan proposisi atomik, di mana bahasa yang bermakna adalah bahasa yang berkorespondensi dengan fakta. Russell menyebutnya sebagai prinsip isomorfi. Yakni terjadi kesepadanan antara unsur bahasa dan kenyataan.

Filsafat analitik memang lahir untuk menjernihkan pengetahuan dengan penggunaan bahasa yang jernih pula. Bahasa yang jernih adalah bahasa yang memiliki kesesuaian dengan realitas. Bahasa filsafat dalam pandangan filsafat analitik terkadang menggunakan suatu ungkapan yang tidak bermakna (tak memiliki kesepadanan dengan realitas), seperti metafisika, substansi, dll. Ungkapan yang tak logis dapat menghasilkan pengetahuan yang keliru. Maka dari itu Bertrand Russell (dalam Muhmidayeli, 2014) berpendapat bahwa analisis bahasa yang benar akan dapat menghasilkan pengetahuan yang benar pula tentang realitas dunia. Hal ini disebabkan karena unsur yang paling kecil dari bahasa yang disebutnya dengan istilah proposisi atomik merupakan gambaran dari unsur yang paling kecil pula dari fakta (fakta atomik).

Senada dengan Russel, Wittgenstein memahami “sebuah proposisi harus dapat menunjukkan pengertian tertentu tentang realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi seperti itu hanya perlu mengatakan ya atau tidak” (Mustansyir, 2007: 65). Inilah yang oleh Wittgenstein sebut sebagai teori gambar yakni adanya hubungan mutlak antara bahasa dengan realitas. Hal tersebut ditegaskan oleh Wittgenstein, karena dia memandang, bahasa filsafat selalu mengalami kerancuan karena tidak memiliki tolok ukur yang dapat menjadi acuan bermakna-tidak bermaknanya suatu ungkapan. Akhirnya bahasa filsafat selalu tak terpahami karena tidak mencerminkan realitas tertentu.

Selanjutnya positivisme logis. Aliran yang mulanya dikenal sebagai Lingkaran Wina ini diinisiasi oleh para ahli matematika, logika dan sains. Maka dari itu sudah bisa ditebak, penggunaan kata “positivisme” dalam aliran ini, sebab para pencetusnya adalah orang-orang yang terbiasa dengan aktivitas penalaran ilmiah. Positivisme sendiri dikembangkan oleh bapak sosiologi, Aguste Comte. Positivisme kata Hardiman (2007) memandang pengetahuan indrawi, khususnya ilmu-ilmu alam menjadi satu-satunya norma dalam kegiatan pengetahuan. Dalam kata “positif” bukan hanya temuat prinsip normatif, bahwa pengetahuan kita hendaknya tidak melampaui fakta objektif, melainkan juga pengetahuan kita peroleh dengan menyalin fakta objektif. Kemudian, aliran ini disebut positivisme logis, karena aliran ini dipengaruhi secara nyata oleh filsafat analitik dari Russel dan Wittgenstein, khususnya dalam penerapan teknik analisis bahasa. Ada satu prinsip yang paling utama dalam positivisme logik dalam cara kerjanya memperoleh pengetahuan, yakni prinsip verifikasi atau pentasdikan.

Mari sejenak membahas prinsip verifikasi ini melalui pemikian salah satu pemikir utama dalam positivisme logis, Alfred Jules Ayer. Bagi Ayer, “prinsip pentasdikan (verifikasi) merupakan pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui kriteria tersebut, dapat ditentukan apakah suatu kalimat mengandung makna atau tidak” (Mustansyir, 2007: 82). Kriteria yang dimaksud Ayer di sini adalah, suatu kalimat mengandung makna jika dapat diverifikasi secara empirik dan dianalisis.

Ada dua model verifikasi dalam pandangan Ayer, yakni verifikasi dalam arti ketat dan verifikasi dalam arti lunak. Verifikasi ketat adalah kebenaran pernyataan yang didukung pengalaman yang meyakinkan. Sementara verifikasi lunak adalah proposisi mengandung pengalaman yang dimungkinkan. Teori Ayer tentang verifikasi lunak ini, membuka kemungkinan menggali ilmu pengetahuan tentang sejarah dan prediksi ilmiah.

Implikasi dari prinsip verifikasi tersebut membuat penalaran ilmiah menolak proposisi metafisika mengenai substansi, eksistensi nonmaterial, keabadian jiwa, dll. Bagi Ayer, “proposisi seperti itu tidak dapat dianalisis bukan hanya lantaran tidak dapat ditasdik secara empirik, tapi juga lantaran bentuk-bentuk peristiwa tak mungkin relevan untuk dikatakan benar atau salahnya” (Mustansyir, 2007: 88).

Matematika dan Peranannya Bagi Keilmuan

Tak bisa dimungkiri, matematika berkonstribusi besar bagi penemuan sains, khususnya pada lapangan ilmu alam. Bahkan, matematika sudah mulai diterapkan dalam pengembangan ilmu sosial. Pun, teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan oleh masyarakat hari ini tak lepas dari implementasi matematika. Statistika, probabilitas, teori informasi, teori graf, aljabar booelan, matematika diskret, algoritma, dan kalkulus sangat dibutuhkan, bahkan menjadi dasar bagi perkembangan ilmu komputer.

Bukan hanya di abad modern. Matematika bahkan sudah menjadi instrumen ilmu pengetahuan di masa lampau, dalam ranah yang lebih praktis. Haryono (2014) mengatakan, di zaman dahulu, matematika kerap digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan teknis dan memecahkan suatu masalah. Misalnya pada zaman kuno, ketika peradaban Mesir dan Babilonia berdiri lebih kurang 4000 tahun SM. Kedua peradaban tersebut mengembangkan ilmu ukur, ilmu hitung, perbandingan dan aljabar, dalam membuat hal-hal yang rumit di masanya, seperti membuat istana, tempat ibadah, piramid, dan bangunan lainnya.

“Kita tidak sangsi bahwa sumbangan Matematika terhadap perkembangan Ilmu dan Teknologi sangat besar sekali. Boolean Aljabar untuk komputer berdigital modern, Splines untuk merubah bentuk 3 dimensi, Fuzzy (peralatan elektronik, finansial, peternakan), metoda numerik untuk bidang tehnik, rantai markov untuk bidang finansial dan ekonomi adalah beberapa contoh penggunaan matematika dalam bidang ilmu dan teknologi” (Sudradjat, 2008: 6). Tanpa bekal matematika yang baik sedikit sekali ilmu pengetahuan modern untuk dapat dipelajari, hal ini disebabkan hukum-hukum dasar pengetahuan alam dinyatakan dalam bahasa matematika. Karena matematika sifatnya dinamis, maka ilmu pengetahuan lainpun makin banyak menggunakan matematika.

Peranan matematika dalam ilmu pengetahuan modern juga diamini oleh Haryono. Kata penulis buku Filsafat Matematika itu (2014: 121), “perhitungan matetmatis misalnya menjadi dasar desain ilmu teknik, metode matematis memberikan inspirasi kepada pemikiran bidang sosial dan ekonomi bahkan pemikiran matematis dapat memberikan warna kepada kegiatan arsitektur dan seni lukis”.

Lebih lanjut Haryono (2014: 121) mengatakan, “melalui penggunaan abstraksi dan penalaran logika, matetmatika dikembangkan dari pencacahan, perhitungan, pengukuran, dan pengkajian sistematik terhadap bentuk dan gerak objek-objek fisika”. Hal tersebut mengindikasikan, gerak dan dinamika alam dapat diketahui melalui ilmu fisika dengan bantuan matematika. Kita tahu, ilmuan seperti Newton dan Einstein memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai kosmologi, atau teori tentang alam semesta yang dipelajari hingga saat ini tak lepas dari peranan matematika.

 

Daftar Pustaka

Bakhtiar, A. 2014. Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius

Haryono, Didi. 2014. Filsafat matematika: Suatu Tinjauan Filosofis dan Epistemologis. Bandung; Alfabeta.

Mahmudi, Ikhwan. Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Ilmiah: Analisis Pembelajaran Bahasa Kontekstual. At-Ta’dib 4 (1): 15-33. Diakses dari, ejournal.unida.gontor.ac.id

Muhmidayeli. 2014. Filsafat Analitik: Kritik Epistemologi ide Analitik Logis Bertrand Russel. Teologia. 25(1): 1-22. Diakses dari, journal.walisongo.ac.id.

Mundiri. 2005. Logika, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mustansyir, Rizal. 2007. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Mustofa, Imron. 2016. Jendela Logika Dalam Berpikir: Deduksi dan Induksi Sebagai Dasar Penalaran Ilmiah. Jurnal El-Banat. 6(2): 1-21. Diakses dari, academia.edu.

Sudradjat. 2008. Peranan Matematika dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: disampaikan pada seminar sehari “The Power of Mathematics for all Aplications” HIMATIKA-UNISBA, Januari.

Suwardjono. 2008. Peran dan Martabat bahasa Indonesia dalam Pengembangan Ilmu. Disampaikan Dalam kongres IX Bahasa Indonesia yang Diselenggarakan oleh Pusat Bahasa, 28 Oktober – 1 November, Jakarta Selatan. Diakses dari, luk.staff.ugm.ac.id.

 

Sumber gambar: https://kit8.net/illustrations/modern-science-city-and-space/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *