Yang Selalu Menang di Pemilu

 

One man one vote  (George Howell)

Pemilu untuk memilih kepala daerah, pilkada, baik untuk gubernur maupun kabupaten/kota, usai sudah. Para pasangan calon, telah menghitung hasilnya. Lembaga-lembaga perhitungan cepat, pun tak ketinggalan membeberkan hitungannya. Tentu ada pesta gembira ria, tapi lebih banyak yang bersedih. Menang sudah pasti, kalah apalagi. Di setiap pemilu, selalu memastikan hasil akhir, menang atau kalah. Begitupun juga dengan pilkada periode tahun 2020, jatuh pada Rabu, 9 Desember.

Lalu, masihkah penting pilkada ini dipercakapkan? Bagi saya masih oke. Bahkan lebih dari amat penting. Sebab,  saya maksudkan ingin menabalkan pemenang sejati pada setiap pemilu. Dan, saya tidak  tujukan pada para kontestan yang bersaing. Namun, pemenang sejati pada yang memilih. Adakah?

Terpaksalah saya mendapuk diri sebagai pemenang sejati pada setiap pemilu. Termasuk pilkada yang baru saya ikuti, Pilkada Kota Makassar, yang menampilkan empat pasangan calon. Sekadar mengorek ingatan, bahwa pilkada kali ini, merupakan buah dari kemenangan kolom kosong atau kotak kosong di pilkada sebelumnya.

Mungkin aneh bagi banyak orang, tatkala saya membusungkan dada, sebagai pemenang pada setiap pemilu. Sangat penting bagi saya menderetkan kemenangan itu pada saat pemilu. Apa indikator utama kemenangannya? Saya menang karena telah mewujudkan rukun demokrasi: one man one vote, pada setiap pemilu.

Sebagai warga negara yang setuju pada bentuk dan mekanisme ketatanegaraan NKRI, saya selalu aktif menghidupkan demokrasi sebagai cara berpolitik, waima ada penguasa  berkali-kali dengan  sekuat kuasa, mau mematikan demokrasi dengan cara pseudo demokrasi.

Entah sudah berapa kali saya ikut pemilu, sulit saya mengingatnya. Definitnya, saya mulai ikut mencoblos pertama kali, kala Orde Baru masih berjaya. Seperti halnya cinta pertama, atau segala sesuatu yang pertama kali terjadi pada diri, sungguh sangat membekas. Terlukis dalam pikiran, terpahat dalam ingatan.

Sudah menjadi pengetahuan bersama, pemilu di era Orba, hanyalah formalitas belaka, buat mengukuhkan rezim, agar dianggap demokratis, karena terpilih lewat proses pemilu. Sebagai anak muda yang baru ikut pemilu, sudah mengalami intimidasi. Maklum saja, keluarga saya, memilih partai politik, bukan Golkar.

Masih indah dalam lukisan pikiran saya, bagaimana ayah saya didatangi oleh begundal-begundal Golkar, membujuk agar siap masuk Golkar. Pasalnya, cara kekerasan atau menakut-nakuti tidak mempan bagi ayah saya. Metode amang-amang tidak berhasil, beralih ke imimg-iming pun sama saja. Saya yang menyaksikan langsung peristiwa itu, mendapatkan pelajaran berharga, bagaimana demokrasi dihidupkan oleh seorang rakyat biasa, di hadapan para pembunuh demokrasi.

Tidak berhenti sampai di situ. Saya pun diperlakukan sama seperti ayah. Sebagai anak muda yang baru tumbuh dan dapat pelajaran berharga, saya menyertai pilihan ayah: menolak masuk Golkar. Tentulah resiko sebagai orang yang berbeda dengan kemauan rezim Orba waktu, bagi rakyat biasa di kampung halaman, hanyalah akan berpindah dari kesulitan yang satu ke kesulitan lain. Ajaibnya, saya merasa menjadi pemenang.

Demikian pula hajatan pemilu periode-periode berikutnya, semasa Orba. Memilih golput sebagai arena perlawanan. Apatah lagi makin mengerti mekanisme perpolitikan berasaskan demokrasi, menjadi golput itu juga pilihan. Karenanya, saya ikut serta dalam upaya-upaya mengonsolidasikan agar memilih golput. Mengapa? Karena memilih golput di era rezim despotik Orba, sungguh perlawanan nyata. Dan itu pilihan cukup demokratis. Hebatnya, saya mendaku sebagai pemenang.

Terlebih lagi pemilu-pemilu setelah Orba, di era Reformasi, saya makin bernafsu agar demokrasi tetap menjadi jalan bersama,  menuju kehidupan politik yang lebih demokratis. Pemilu pertama pascareformasi, saya ikut menggawangi satu partai politik peserta pemilu, dari 48 parpol yang berkompetisi. Partai saya kalah, tidak lolos electoral threshold,, akhirnya membubarkan diri.   Pelajaran berharga yang saya dapatkan, mengusung parpol dengan spirit reformasi, rupanya masih dilumat oleh sistem berpolitik ala Orba. Pastinya saya puas, tetap mengaku selaku pemenang.

Setelah tidak lagi bergabung dalam salah satu partai politik, lebih mewujud selaku pegiat sosial, bukan berarti hasrat menghidupkan demokrasi surut. Partisipasi politik praktis saya talak tiga. Tidak terlibat dalam mencalonkan diri dari berbagai jenis pemilu, termasuk tidak menjadi tim sukses, apatah lagi terang-terangan mendukung pasangan calon. Termasuk Pilwalkot Makassar periode 2020 ini. Kecuali pilwalkot sebelumnya, karena ada kolom kosong atau kotak kosong, saya ikut membenderangkan diri sebagai pemilih kotak kosong. Reken-reken semacam bentuk baru dari pilihan golput. Saya pun menjadi pemenang.

Kemenangan demi kemangan yang saya raih dari setiap pemilu dengan berbagai varian “pil”-nya: Pilpres, Pileg, dan Pilkada, bukan perkara mudah menggapainya. Pasalnya, erat kaitannya dengan kebijakan politik literasi dari pengurus negeri dan kebijaksanaan literasi politik warganya. Bagi saya, Indikator terdepan dari matangnya literasi politik warga, ada pada mantra demokrasi: one man one vote.

Mantra one man one vote, bermakna satu orang satu suara, digunakan sebagai pamflet politik oleh George Howell, anggota Serikat Buruh Inggris, pada tahun 1880. Maksud terdepan dari mantra ini, mengungkapkan prinsip, bahwa individu harus memiliki perwakilan yang sama dalam pemungutan suara.

Selaku pengucap mantra, saya berasumsi, cita ideal tertuju pada  diri yang merdeka dalam memilih pilihan politik, menentukan aktor-aktor politik buat mewakili, dan terbebas dari iming-iming atau amang-amang politik. Cita ideal ini saya tuntaskan di Pilwalkot Makassar. Saya pun menang, waima belum tentu pasangan pilihan saya memenangkan pemilu.

Sepulang dari memilih untuk Wali dan Wawali Kota Makassar, saya berpose dengan pasangan saya, sembari menunjukkan kelingking bertinta biru. Menandakan saya sudah menunaikan hak sebagai warga negara. Pose yang saya sebarkan di akun facebook, disertai ungkapan sederhana, “Menunaikan hak selaku warga Kota Makassar. Memilih Wali dan Wawali Kota Makassar. One man one vote.

Salah seorang karib, satu sosok scholar lantip terdepan Kota Makassar, akademisi di UIN Alauddin Makassar, sering saya sapa kiyai, Wahyuddin Halim, berkomentar, “One vote or vote one?” 

Tak butuh waktu lama, saya balas, “He..he..he.. kiyai lebih tahu selera saya.”

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *