Merukunkan Air dan Buku

Tetiba saja telepon cerdasku raib kecerdasannya. Terjadi pada Jumat, 2 April 2021, sekira pukul tiga dini hari, waktu Makassar dan sekitarnya. Jelang pucuk malam, koalisi angin kencang dan hujan deras menyapa mukimku. Dan, mungkin sekotah Kota Makassar mengalaminya. Persetubuhan sempurna antara angin dan hujan, segera melahirkan situasi tak terduga: listrik padam. Jaringan internet ikut ngadat.

Subuh dan pagi lagi asyik berbalah. Subuh ingin secepatnya pergi, sementara pagi mulai mendesak inginnya. Namun, peristiwa rutin itu tak kentara, sebab ada persamuhan lain, antara mendung dan hujan. Hasilnya, silih berganti menyata. Kala hujan jeda, mendung pun unjuk diri. Pastinya, hujan raya semalam, mulai mencicil genangan. Beranda mukimku akan tergenang. Genangan bakal menggenapkan kenangan pada banjir.

Genangan air mulai ngotot. Berusaha memanjat tanggul setinggi 30 cm, kubikin dua tahun lalu sebagai benteng pertahanan, agar air tak leluasa menggerayangi mukimku. Apa lacur, genangan air setinggi lutut orang dewasa di halaman rumah, memaksa masuk rumah. Air tak lagi memnajat tanggul, tapi melompat. Tak butuh waktu lama, genangan air di jalan depan mukim dan di dalam mukim sudah setara. Air kelihatan tenang. Tampaknya ia puas menyamaratakan permukaan.

Aku dan seisi rumah masih beruntung. Pasalnya, sebelum benar-benar air merata, kami sudah sigap menghadapi segala kemungkinan. Properti paling berharga, berupa buku-buku selalu jadi prioritas penyelamatan. Baik buku-buku yang statusnya sebagai barang jualan di toko, maupun koleksi perpustakaan, mesti selamat. Tak ingin jatuh pada lubang yang sama, seperti banjir-banjir sebelumnya, air selalu melumat buku-buku.

***

Sepulang dari salat Jumat, genangan air belum surut. Masih setinggi lutut. Namun, situasi sudah lebih baik. Listrik hidup dan internet terkoneksi. Segera kuraih telepon cerdas. Kecerdasannya sudah pulih. Aku pun segera beraksi, memotret keadaan sekitar, khususnya situasi di dalam toko buku dan perpustakaan.  Gonta-ganti sesama penghuni mukim bergaya. Ini semacam naluri alamiah  dari setiap orang, tatkala dipotret.

Setelahnya, beberapa hasil jepretan itu kuunggah di akun media sosialku, terutama facebook. Ada enam gambar yang aku tayangkan. Pilihan gambar-gambar itu sedapat mungkin mewakili rasaku, semacam unjuk rasa yang aku sendiri tak tahu kemana alamatnya. Setidaknya, sekadar meluapkan isi hati dan pikiran yang menggado-gado sedemikian rupa. Reken-reken, meniru air yang sedang meluap-luap.

Tak cuman gambar, kuunggah pula semacam kata-kata penguat rasa. Lebih elok jikalau aku nukilkan saja. “Salam damai. Tak bermaksud mencari siapa yang salah. Pastinya, hujan masih awet, angin kencang sudah berlalu, lampu baru saja nyala, dan jaringan internet baru saja hidup.Pulang dari jumatan, air masih setinggi lutut di areal rumah, termasuk di dalam Toko Buku Paradigma Ilmu. Jadinya, buku-buku harus ditumpuk hingga ketinggian,sehingga air sudah lelah bila ingin memanjatnya.”

Lalu, “Aku pun membangun pencitraan. Bak seorang pengungsi yang terdampar di atas meja buku. Biar mengundang keprihatinan. Sungguh, ini hanya pencitraan. Aku hanya menikmati keadaan. Seolah tidur di atas air, bagai bobok di dalam sekoci, tapi tak terombang-ambing. Tenang. Aku menargetkan tidur nyenyak di atas meja, mulai dari setelah jumatan, hingga sore nanti. Bakal tiada keluhan. Pasalnya, banjir-genangan semacam ini, hanyalah rutinitas yang perlu diberi variasi. Berusaha menikmati keadaan dengan bergembira di atasnya. Sebab, jika tidak, aku akan kalah dua kali. Kali ini, yang pertama saja aku masih merasa menang. Sudahlah, bobok dulu. Moga-moga bermimpi air sudah surut.”

***

Sekira pukul enam belas, aku terbangun. Lumayan lelap tidur di atas meja dikelilingi air selutut. Aku mulai menengok telepon cerdas. Wow, banyak nian komentar yang dialamatkan pada unggahanku. Aku cukup telaten mengejanya satu per satu, tapi belum kubalas komentar-komentar itu. Nanti keesokan harinya baru kubalas, seiring dengan surutnya air.  

Beraneka ungkapan simpati pada kami seisi mukim. Ada harapan, doa, dan prihatin. Tak ketinggalan canda pelipur lara. Beberapa usulan bersiasat menghadapi banjir. Dan, tak ketinggalan tohokan agar menggugat pemerintah kota. Seluruhnya aku balas satu demi satu. Lebih seratus komentar saling berbalas, sebentuk percakapan dari kedalaman sari diri setiap kawan.

Bukan bermaksud mengabaikan komenter dari segenap kawan. Aku menukil satu komentar dari seorang kawan penulis produktif, Muhidin M. Dahlan, ujarnya, “Leluhur bilang bangun rumah (ber)tangga, eh, malah jadi istilah pengganti keluarga. Begini mi hasilnya.”  

Langsung kusambar komentar itu, “Satu lagi kekeliruan nyata Gusmuh.” Aku menyapa Muhidin Dahlan dengan Gusmuh. Ia memang lebih popular dengan sapaan itu.

***

Sangkala terus menggelinding tak peduli apa yang terjadi. Diperkuat pula oleh detak jarum jam dinding menaklukkan detik. Rupanya, Gusmuh melanjutkan sapaannya padaku lewat japri di WA. Ia mulai menggodaku, “Kaka Sulhan yang baek.” Segera saja kubalas, “Alhamdulillah Gusmuh yang baek juga.” Tak lupa kusertakan gambar tertawa.

Sesarinya, aku sudah harus bertemu Gusmuh sejak hari pertama kedatangannya di Makassar. Ia hadir dalam rangka mengempu kelas menulis, 1-7 April 2021. Seorang kawan, Ikrimah, pemilik Toko Buku Intuisi, mengabarkan, Gusmuh akan bertandang ke mukimku, Paradigma. Namun, tertunda hingga dua kali. Justru yang nongol, limpahan air. Maka percakapan intim pun berlangsung lewat japri WA.

“Mengikuti teori kebalikan Jokowi, keknya kak Sul tidak sedang baek. Hehehe. Terutama, air raya semalam.” Gusmuh melanjutkan godaannya.

Lalu kusahuti, “Betul Gusmuh air setinggi lutut di dalam rumah-toko.”

***

Ada jeda percakapan. Maklum, aku mulai sibuk membenahi dampak genangan. Pikirku, Gusmuh pun lagi mengulik-ulik tulisan peserta kelas menulis.

Sapaan berikutnya menyata, “Kaka, ada lima setan buku. Selain rayap, api, debu, dan fasis, ada air. Dan, setan itu kini berumah di toko. Setan terkutuk.”

“Aku lebih takut pada para pembajak buku Gus,  kayaknya setan keenam mereka.” begitu balasanku.

“Sekalian aja 7, seperti 7 setan desa, Eh.”, Gusmuh mulai nakal. Kenakalannya kutanggapi dengan gambar tertawa.

***

Percakapan kembali senyap. Tetiba masuk kata-kata bertuah, “Sepertinya, duka lara karena setan air bertamu ke buku bisa menjadi esai. Bagaimana merukunkan air dan buku.”

Tanpa jeda, langsung kutulis jawaban, “Wow menarik sekali Gus,” sembari melayangkan gambar tertawa.

Makin nakal balasan Gusmuh, “Hehehehe. Semoga tidak terlalu berat seperti Tuhan merukunkan setan dan malaikat.”

Aku hanya bisa berucap, “Hehehe. Insyaallah Gus.”

***

Akhirnya, japri pamungkas Gusmuh menyapaku, “Kesimpulannya adalah merukunkan air dan buku seperti pekerjaan Tuhan yang sia-sia merukunkan setan dan malaikat. Bah. Semoga Kak Sulhan bisa lebih taktis ketimbang Tuhan.”

Amat lama aku termenung mengkhusyuki tutur Gusmuh itu. Aku hanya bisa berkata sebagai balasan, “Ommale…” sembari tertawa.

Jadi, esai ini lahir gara-gara Gusmuh. Dan, sepertinya aku berhasil merukunkan air dan buku. Paling tidak, buku-buku telah bertengger di ketinggian, sehingga air tak bernafsu lagi menjamahnya. Lebih dari itu, air juga amat tenang setelah mampu mengisi semua area terendah. Air dan buku hidup rukun di mukimku, pada toko bukuku dan perpustakaanku.  Eloknya lagi, aku bisa tidur nyenyak semalaman di atas meja, tumpukan buku mengelilingi, genangan air sangat tenang. Damai.

Air bah kali ini, tak satu buku pun jadi korbannya. Berbeda dengan banjir-banjir sebelumnya, selalu ada buku dan koleksi literasi lainnya jadi saksi kejayaan air. Sehingga, tiada alasan mengutuk air. Hanya diperlukan tindakan taktis, sebagai penerjemahan dari tindakan Tuhan, berupa memisahkan air dan buku. Sebab, bila tidak, akan jadi bubur yang tak dapat dimakan: bubur kertas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *