Ancaman Serius Pembajakan Buku dan Ajakan untuk Bertobat

Di kancah internasional, posisi Indonesia di bidang perbukuan terbilang tidak mengesankan, bahkan bisa dikata mengecewakan. Mari berbesar hati mengakui hal tersebut.

Bukan hanya dari segi minat baca yang rendah, kecilnya jumlah buku yang dihasilkan per tahun dibanding dengan jumlah penduduk, dan maraknya pelanggaran hak cipta penerbitan buku, juga turut menyumbang andil di balik tidak mengesankannya citra negara kita dalam hal literasi di mata dunia.

Di lingkup Asia, Indonesia bisa dibilang negara yang permisif tentang pelanggaran hak cipta. Merujuk data Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Indonesia berada di urutan teratas sebagai negara dengan catatan paling buruk dalam perlindungan hak cipta dan hak kekayaan intelektual. Saya ulangi. Paling buruk!

Ya tidak heran, kalau tempo hari, salah satu penulis kondang tanah air, mencak-mencak di media sosial menanggapi ulah oknum pembajakan buku, isi konten yang dianggap cukup tegas dan lugas mengingatkan pembacanya untuk lebih teliti membedakan buku ori dan buku bajakan, justru menuai kritik dan makian yang tak kalah deras.

Fenomena yang lagi-lagi menjadi sebuah teguran, bahwa tantangan negara kita bukan hanya seputar perlawanan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam pembajakan buku, tetapi juga minimnya kesadaran perihal betapa kejam dan nistanya perbuatan tersebut.

“Ya mau bagaimana, saya berasal dari kalangan bawah yang keadaan ekonominya cukup sulit untuk membeli buku original.”

“Bukankah setiap orang berhak memperoleh pengetahuan?”

“Duh, saya juga ogah beli buku dari penulis arogan.”

Lamat saya, menyelia satu persatu ulasan opini warganet.

Padahal, cuitan Tere Liye di salah satu akun sosmednya ini punya dasar kuat, seorang penulis kondang yang tulisannya cukup populer di kalangan remaja, yang penggalan-penggalan quote dari buku-bukunya cukup ramai berseliweran di linimasa media sosial, saya kira tidaklah keliru menarik kesimpulan, bahwa beliau termasuk korban yang paling dirugikan dalam tindak kejahatan pembajakan ini.

Kendati sudah diperkuat oleh argumen dari pegiat-pegiat literasi yang lain, mulai dari Iqbal Aji Daryono, Puthut EA hingga sastrawan Eka Kurniawan misalnya, tak ketinggalan turut menimpali, hitung-hitung bermaksud membantu mengedukasi barangkali. Seperti sia-sia, derasnya opini pembenaran beberapa netizen masih saja bebal, menolak sadar apalagi bertobat.

Komentar-komentar yang berhasil membuat saya gemas karena kesal, sekaligus mengingatkan saya pada diri sendiri di masa lalu, saya yang masih naïf dan polos. Saat itu, awam saya hanya menghirau rasa ingin tahu yang kepalang besar, sampai abai dan kurang ngeh terhadap kualitas kertas dan packaging si-buku bajakan, yang ternyata merupakan ciri khas dan cukup mudah dikenali, minimal bagi orang yang terbiasa memegang buku original.

Bedanya, yang saya lakukan ketika seseorang mengedukasi tentang buku bajakan adalah langsung dirundung perasaan bersalah, segera bertobat, menyadari kesalahan, serta berikhtiar untuk tidak mengulangi. Bukan ingin bermaksud sok bijak, saya hanya sulit memahami bagaimana iktikad baik nan sederhana saya kala itu, menjadi perkara sulit dilakukan bagi beberapa orang, yang juga sempat khilaf menjadi konsumen buku bajakan, serupa yang saya lakukan dimasa lalu.

Bagian memuakkan ketika berbicara tentang usaha melawan pembajakan adalah, kita dipaksa untuk berhadapan dengan narasi lama yang tidak putus diulang saban warsa: kemiskinan.

Para pembajak dengan lihainya playing victim, sigap memosisikan diri sebagai pihak lemah yang tidak seharusnya mendapat rundungan dan penindasan. Sebaliknya, pihak lawan dipandang sebagai villain yang tujuannya hanya mengusik jalan rezeki manusia lain.

Lagipula, menggunakan narasi kemiskinan tidak serta merta menjadikan tindak pembajakan menjadi sesuatu yang benar. Pembajakan ibarat seseorang yang mencuri hak orang lain, oknum pencuri tidak akan memperoleh pembenaran karena yang bersangkutan miskin, atau apa pun alasannya.

Kenapa tidak mengamen, nebeng jadi tukang parkir, berdagang asongan atau paling tidak menjadi pengemis di lampu merah, tinimbang harus memilih jalan nista dengan merampas hak dan berujung merugikan orang lain?

Tidak jauh berbeda dengan kasus pembajakan buku, kita selalu punya alternatif, alih-alih terus-terusan merengek dengan dalih kemiskinan. Mengapa tidak menabung dulu sampai punya uang cukup, atau minimal meminjam buku ke teman dekat, atau seperti yang diserukan Tere Liye dalam postingannya, bisa dengan mendownload di aplikasi iPusnas, yang tidak perlu kuota besar untuk mengakses banyak judul buku secara gratis, atau sekurang-kurangnya bisa dengan membeli buku-buku bekas original, sudah banyak tersedia di banyak platform e-commerce, dan dapat diakses dengan mudah. Langkah-langkah yang saya kira jauh lebih terhormat, ketimbang harus membeli buku bajakan.

Masalah pembajakan ini sudah masuk ranah serius, meresahkan, bahkan merusak budaya dan ekosistem literasi Indonesia.

Benar, pengetahuan milik semua orang, namun nilai produksinya bukanlah hal yang bisa dianggap sambil lalu mengingat kompleksnya perjalanan olah jerih payah intelektualisme suatu pihak, yang proses pengerjaannya bukan sehari atau dua hari.

Pembajakan buku bisa dibilang sebagai salah satu kejahatan peradaban di dunia, karena mereka merusak semua lapisan dan tatanan dalam dunia perbukuan, merugikan negara, utamanya para pekerja penerbitan dan banyak lapisan lainnya, yang menggantungkan hidup dari terjualnya buku original.

Buku yang sampai di tangan konsumen merupakan hasil kolaborasi alot, padat, dan berdurasi panjang antara penulis, editor, ahli bahasa, penerbit, layouter, bahkan juga para pekerja di pabrik kertas. Belum lagi, karya tersebut masih harus melewati waktu berbulan-bulan melalui pemeriksaan, sebelum akhirnya dipajang di etalase-etalase toko buku.

Alur kerja penuh keringat tersebut tidak dihormati oleh mereka yang memilih jalan rezeki dengan membajak buku, mereka cukup menjiplak sebuah judul buku lalu menduplikasi, siapa peduli jerih payah penulis dan penerbit.

Pembajak merusak semua tatanan dan alur industri perbukuan tersebut. Dan jika dibiarkan, pada akhirnya akan membunuh industri perbukuan secara menyeluruh.

Imbasnya, konsumen pun tak luput menjadi salah satu pihak yang dirugikan, selaku pembaca yang akan kehilangan kesempatan untuk menikmati terbitan bermutu.

Dari segi hukum, Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang cukup jelas terkait hal ini, sebut saja Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dimana cuplikan isinya lazim terlampir di halaman depan buku, komplit seruan penerbit untuk tidak menduplikasi buku-buku yang mereka terbitkan. Hukum pidananya secara tekstual 1—4 tahun penjara dan denda mulai dari seratus juta sampai empat miliar rupiah.

Namun secara implikatif, aturan tersebut nyatanya mandul, melihat realita masih tingginya angka pembajakan buku di Indonesia. Gelagat setengah hati pemerintah dalam mendukung para penulis dan pelaku industri perbukuan semakin visibel, menilik problem pajak penulis yang terkesan

memberatkan, sampai kesulitannya masyarakat mengakses perpustakaan-perpustakaan yang benar-benar layak sebagai tempat membaca.

Aparat harus berani menindak tegas para pembajak, sebagaimana ketika mereka dengan gagah dan percaya dirinya pasang badan, tidak tanggung-tanggung turun langsung merazia buku-buku kiri di berbagai daerah, padahal buku tersebut asli dan tidak bermasalah secara hukum. Instansi-instansi terkait juga harus berani secara terbuka dan gamblang dalam mengeluarkan himbauan keras, plus menetapkan sanksi yang konkret, khususnya untuk kios-kios atau toko buku kelontong, yang saat ini masih marak.

Poin yang tak kalah genting ialah, mengedukasi para pembaca bahwa menjual/membeli buku bajakan berarti mendukung aksi kejahatan, kriminalitas berupa pembajakan hak cipta dan hak-hak ekonomi orang-orang yang terlibat dalam industri buku. Para pembaca harus paham, bahwa dengan membeli buku bajakan, berarti merusak masa depan dunia perbukuan indonesia.

Sebagai konsumen, bukankah akan lebih menenteramkan, jika kita turut andil dalam kemajuan literasi Indonesia, alih-alih menjadi penyebab rusaknya citra bangsa.

Semoga tidak ada lagi narasi dangkal, yang memandang usaha perlawanan pembajakan buku, sebagai upaya memutus jalan rezeki dan tempat makan para pedagang buku, apalagi menuduh serakah, sebab katanya ogah berbagi makan. Lah, memangnya penulis, pekerja percetakan, penerbit dan teman-temannya juga tidak butuh makan?


Sumber gambar: Mizanpublishing.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *