Aku Ingin Berhenti Jadi Guru

Aku ingin berhenti jadi guru. Menjadi anggota dewan tampaknya bukan pilihan buruk. Bisa perjalanan dinas ke mana-mana pakai uang negara yang hampir bangkrut. 

Menjadi anggota dewan, rada-rada enak. Semua-muanya difasilitasi negara. Bisa berkantor di gedung mewah. Berpendingin. Pantat dimanjakan kursi empuk yang bisa diputar sekehendak jidat. Ya, macam laporan pertanggungjawaban tahunan biar tak ketahuan boroknya.

 Gaji anggota dewan selangit. Belum terhitung tunjangan lainnya dan yang “lain-lain”. Padahal sebagian kerjanya tidur saja kala rapat. Tak bisa adu otak, adu otot.

Tak ayal, kericuhan di ruang rapat kerap menghias ruang tamu yang sumpek. Ditonton jutaan jiwa. Separuh dari mereka adalah anak-anak.

Mungkinkah itu kelakuan paling “bermoral”, yang bisa dicontohkan wakil-wakil rakyat?

“Adakah yang paling memuakkan yang belum dilakukan anggota dewan?” Tohok telak Najwa Shihab suatu waktu.

Pertanyaan yang tak sulit. Tak perlu bantuan fifty-fifty. Rakyat, telah mengunci jawaban masing-masing di kepalanya berdasar hasil pengamatan. Hanya saja di satu sisi, orang-orang di negeri ini tak boleh bertumbuh menjadi manusia pengeluh. Pesimisme harus dipotong sulur-sulurnya. Optimisme mesti dipupuk. Agar kita lebih tabah menghadapi kenyataan-kenyataan pahit bangsa ini.

Perkara kelakuan anggota dewan, percayalah, di balik gulitanya malam, ada kunang-kunang yang masih berupaya berbagi cahaya. Ada wakil rakyat yang baik di balik yang biadab. Yang jujur di antara yang penipu.

Seperti tempo hari di kelas menulis yang kugeluti, seorang anggota dewan dari Butta Toa turut menyata. Beliau penggerak Komunitas Boetta Ilmoe. Maksud kedatangannya, menguatkan peserta kelas menulis dan memberi urita baik. Katanya wakil rakyat Butta Toa, bakal menyambut bola harapan pegiat literasi Bantaeng. Memperjuangkan lahirnya Perda Literasi sebagai payung hukum literasi. Tindakan sederhana yang berdampak besar.

Tindakan kecil macam ini lebih dibutuhkan, karena bisa sedikit menawar kekecewaan dan rasa sakit di PHP. Apalagi bersentuhan langsung dengan rakyat. Tinimbang mega proyek, dengan peletakan batu pertama yang mewah plus acara potong pita. Acara begini ruang terbaik membangun citra, manarik pujian, dan simpati rakyat. Usai pita dipotong, anggaran yang mengucur turut disunat. Proyek terbangkalai jadi bangkai.

Aku juga pernah berpikir jadi kepala desa, kalau tak bisa jadi guru. Mumpung musim pemilihan kepala desa hampir tiba.

Sayang, jadi kepala desa cukup berat. Rakyat turut “berkembang”. Imunitas rakyat berevolusi dengan kondisi sosial politik yang ada. Iklim politik yang kotor memberi trauma mendalam bagi mentalitas rakyat. Mencemari demokrasi. Menodai cita-cita luhur Pancasila.

Serba salah menjadi aparatur negara. Mencoba bermain bersih, rakyat enggan memilih jika tak disuapi. Ala bisa karena biasa.

Attitude hal kesekian yang dipertimbangkan. Duit. Nomor satu untuk satu suara. Meski tak semua, suara pemilih cerdas masih kalah banyak. Rakyat dan aparatur negara, jika ingin perbaiki nasib, perbaiki negara, harus belajar jujur sejak dalam pikiran. Apalagi dalam perbuatan.

Kalau esok aku tak lagi jadi guru, aku ingin jadi petani saja. Sejak dulu, pernah tebersit bakal bertani usai menamatkan kuliah. Apa pasal?

Mencari kerja di negeri yang sumpek ini bukan hal remeh-temeh. Tak semudah mengisap jempol.

Berkali-kali terbuka lowongan pegawai negeri. Tetapi kalau tak pandai jawab soal TIU, TWK, dan TKP, buang jauh-jauh mimpi jadi PNS. Jalan menjadi anggota dewan lebih mulus. Tak perlu soal-soal macam ini.

Pengabdian sebagai guru atau pegawai honorer, meski tahunan lamanya, sampai tua sekalipun, tak bakal dilirik. Orang-orang yang bekerja lebih lama tanpa pamrih, mencerdaskan anak bangsa, disabung dengan sarjana muda yang baru keluar dari kampus.

Di sisi lainnya, kultur pakai “orang dalam” subur di pikiran-pikiran kebanyakan orang. Persaingan jadi tak sehat. Orang dalam jadinya lebih digandrungi dari yang klenik. Imbasnya, lalu lintas perdukunan mulai sepi peminat. Canda.

Tidak adakah tempat untuk pengalaman, kerja keras, dan pengabdian yang menahun, tuan? Andai saja tak bisa diangkat sebagai PNS, jaminlah kesejahteraan kami. Ada periuk yang harus diisi. Anak dan istri yang mesti dinafkahi.

Aku kerap ingin mengeluh sedemikian rupa. Tapi kepada siapa aku bisa mengeluh? Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Mahasiswa sibuk dengan tugas yang menumpuk. Lupa perannya sebagai social of control dan parlemen jalanan. Pejabat- pejabat sibuk berebut kursi.

Adalah Che Guevara, revolusioner yang identik dengan baret berbintang satu, berambut gondrong, yang menasihati kalau ingin bebas jadi petani saja. Dia bersyarah, “Petani itu adalah seorang yang berkeyakinan baik, orang yang bermoral tinggi, dan memiliki cinta kepada kebebasan yang kokoh.”

Petani itu merdeka. Mengatur jam kerja sendiri. Tak diatur bos-bos yang songongnya minta ampun. Meski tak digaji negara, kalau makan di tepi sawah, dengan tahi sapi di kiri kanan, makan teramat nikmat sekali. Tertawa renyah bersama. Berceloteh tentang politik yang semrawut.

Karena itu aku pernah bercita-cita jadi petani. Lagi pula Bapak dan Amma’ petani. Kakek dan nenek petani. Calon mertua juga petani. Jadi, berlabuh sebagai petani pilihan yang cocok. Meneruskan kerja-kerja orang tua dan kakek buyut. Meski belum kecipratan warisan juga.

Sayangnya kiwari ini, anak-anak petani yang sarjana – dari hasil bumi, dari keringat orang tua yang kulitnya berubah legam dan kasar – enggan menjadi petani. Maunya jadi PNS dan pegawai kantoran. Katanya lebih elit. Lebih bergengsi. Di mata mereka, pakaian dinas terlihat lebih elok dari caping dan baju berlumpur berbau keringat.

Anak-anak petani yang sarjana, semestinya tak usah pusing kalau ditolak kantor-kantor dan calon mertua. Pulang ke kampung. Membangun desa lewat bertani dan beternak. Sembari menunggu Bapak bilang, “Nak, kapan kita bisa ke rumahnya?”

Tapi rasa-rasanya menjadi petani cukup memprihatinkan di negeri yang hutan(g)nya subur. Harus sabar! Sewaktu-waktu subsidi pupuk dicabut. Harganya melambung tinggi. Embel-embel ambil pupuk kian banyak macam urus CPNS. Berkas ini dan itu di foto copy . Ujung-ujungnya formalitas belaka.

Nasib petani di negeri bak kepingan tanah surga ini, tambah apes. Sebab harga hasil panen di pasar kerap membungkuk. Apa lacur, pemerintah sukanya impor beras dan hasil bumi dari negara orang lain.

Semestinya negeri ini, orang-orangnya, belajar menghargai petani. Berterima kasih pada petani. Tanpa petani, kita tak bisa menikmati hasil bumi tanah ini.

Setelah memikirkan semuanya, pada hakikatnya semua pekerjaan baik. Bergantung pada kualitas pribadi masing-masing. Kejujuran. Amanah. Empati. Kecerdasan. Kebijaksanaan. Dan semua-muanya. Benih nilai-nilai kebajikan universal yang demikian, harus dijadikan karakter. Ditanam di hati, pikiran, dan laku kita.

Sistem yang kotor harus disuling. Dijernihkan kembali. Kita tak boleh lagi menjadi bangsa yang penakut. Emha Ainun Nadjib dalam bukunya, Gelandangan di Kampung Sendiri, mengulik perihal ketakutan.

“Ketakutan adalah hak milik budaya kita yang tradisional. Sejak kecil kita dididik untuk takut kepada orang tua, bapak-ibu guru, pak lurah, hantu, dan tentara. Sedemikian rupa sehingga mereka akhirnya selalu menakutkan. Alangkah indahnya kalau pola hubungan ketakutan itu kita ganti pelan-pelan dengan pola hubungan cinta, sayang, saling memahami, dan saling memberi uang.”

Olehnya kita tak boleh lagi takut melawan ketakutan, ketidakadilan, kekolotan, kebiadaban, dan kebebalan. Pasal Cak Nun jualah, sepanjang malam aku bergelut dengan ketakutan menjadi guru.

Kalau memilih jadi guru, itu artinya bersiap menisbahkan diri pada umat. Menyisihkan kenyamanan dan kemapanan. Mengorbankan waktu dari pagi, bergelut hingga di bibir petang.

Guru itu digugu dan ditiru. Mencontohkan lewat keteladanan. Guru punya tanggung jawab besar menyalakan lilin dalam kegelapan. Mencerdaskan kehidupan bangsa.

 Abu Hamid Al-Ghazali yang kebetulan lewat turut nimbrung dalam pergulatan pikir, membujuk dan merayu. “Kerja seorang guru tidak ubah seperti kerja seorang petani, yang senantiasa membuang duri, serta mencabut rumput yang tumbuh di celah-celah tanamannya.”

Baiklah! Aku mau belajar memantaskan diri jadi guru dan murid sekaligus. Serta menjadi guru kehidupanmu dan bagi anak-anak kita di masa mendatang.

Ilustrasi: nusantaranews.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *