Anre Gurutta Sade’ dan Firanda Andirja

Sejak pertama kali menyentuh tanah air ini, Islam sebagai sebuah ajaran membawa perubahan yang sangat signifikan pada masyarakat Nusantara. Pada beberapa waktu dan tempat, Islam bahkan menjadi landasan bagi progresivitas masyarakat Indonesia. Ia menjadi semacam alasan bagi terjadinya perubahan di bumi yang gemah ripah loh jinawi ini.

Pada masa-masa mempersiapkan dan menyambut kemerdekaan, sisi Islam yang progresif sangat jelas terlihat. Sisi transformatif ini tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan berlanjut hingga perumusan arah dan bangsa ini dalam memperkukuh kedaulatan negara. Oleh karena itu, membahas Islam dalam konteks Indonesia tidak dapat diceraikan begitu saja. Apalagi hanya karena sifatnya yang transnasional.

Islam di Indonesia memiliki bentuk dan wataknya tersendiri. Namun, bukan berarti umat muslim Indonesia, menyembah tuhan dan memiliki nabi baru. Bukan. Akan tetapi, Islam tumbuh dan berkembang dengan cara yang unik. 

Ini dapat dilihat dari kreativitas para ulama dalam menjalankan agenda dakwah. Misalnya, menggunakan wayang sebagai alat dakwah, memperkenalkan tradisi Islam melalui busana, menginternalisasikan nilai-nilai Islam pada ritus ziarah, mengajarkan sirah Nabi dengan membaca barazanji, dan semacamnya. Sayangnya, kreativitas ulama-ulama terdahulu itu dianggap heretik dan bukan Islam otentik oleh ustaz-ustaz belakangan ini. 

Waima seperti itu, semangat dan kreativitas para ulama berhasil mengantarkan Islam sebagai sebuah ajaran, menjadi Islam sebagai paradigma kebudayaan. Termasuk peran Anre Gurutta K.H. Muhammad As’ad dalam berdakwah di tanah Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan.

Mengapa harus Anre gurutta Saide’ yang diangkat pada tulisan ini? Mengapa pula harus Wajo? Pertama, saya ingin menelusuri jalan dakwah Anre Gurutta Saide’ di tanah Bugis. Kedua, saya tertarik untuk merespon berita kedatangan dai kondang yang ditolak di Wajo. 

Tahun 1928 adalah penanda awal Anre Gurutta Sade’ dalam menjalankan dakwahnya di Sengkang. Ia dan para santrinya memilih berdakwah melalui pendidikan. Metode yang digunakannya adalah halaqah atau mangngaji tudang, dalam bahasa Bugis. Model pendidikan itu berhasil mengubah kesadaran masyarakat Sengkang, Wajo yang waktu itu masih dikuasai oleh perbuatan bidah dan khurafat. 

Walhasil, karena prestasinya yang cukup cemerlang dalam mengubah dan memperbaiki masyarakat Sengkang menjadi lebih melek agama Islam. Anre Gurutta Sade’ dipercayakan untuk mengelola Masjid Jami’. Pada tahun 1929, setelah mendapatkan kepercayaan dari Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang, maka jadilah Masjid Jami’ itu sebagai pusat pengajian, pendidikan dan dakwah Islam. 

Laiknya Masjid Nabawi di Madinah pada masa Nabi Muhammad saw, Masjid Jami’ juga disambangi oleh para pencari ilmu. Mereka berbondong-bondong dari tempat jauh hanya untuk belajar Islam kepada Anre Gurutta Sade’. Ia disukai oleh masyarakat, sebab gaya dakwahnya yang santai tapi berisi. Penuh wibawa dan sangat berkharisma. Hal itu benar-benar membuat Anre Gurutta dikerubungi oleh penuntut ilmu. Makanya tidak heran kalau Masjid Jami’ ramai dan sesak akan murid. 

Hidayatullah, S.Pd.I, M.M dalam Dari Pesantren ke Pesantren; Kiprah 55 Pesantren Berpengaruh di Indonesia, mendokumentasikan Anre Gurutta Sade’, setelah berdiskusi dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo seperti H. Donggala, La Baderu, La Tajang, Asten Pensiun, dan Guru Maudu, bersepakat untuk memugar Masjid Jami’ yang sudah tua dan sempit itu. 

Masjid Jami’ dipugar dalam waktu yang cukup cepat. Kurang lebih satu tahun, mulai 1929-1930 M/1348-1349 H. Ini berkat bantuan dari para santri, keluarga santri, dan masyarakat setempat yang memandang Masjid Jami’ kelak akan menjadi pusat intelektual dan penyebaran Islam di Sengkang, Wajo, bahkan di Sulawesi Selatan.

Benar, selepas dipugar, di masjid inilah Anre Gurutta Sade’ mendirikan madrasah yang diberi nama al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo. Sekolah itu didirikan dengan beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan itu adalah Tahdhiriyah (3 tahun), Ibtidaiyah (4 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), I’dadiyah (1 tahun), dan Aliyah (3 tahun).

Seluruh kegiatan persekolahan dipimpin langsung oleh Anre Gurutta Sade’ dan dibantu oleh dua orang ulama besar: Sayyid Abdullah Dahlan Garut, mantan Mufti Besar Madinah Al-Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad, dari Bone. 

Selain itu, beliau juga dibantu oleh santri-santri senior, seperti Anre Gurutta Daud Ismail dan Anre Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle. Kelak, dua orang santri senior ini, juga akan menjadi ulama besar di Sulawesi Selatan, dan menjadi pendiri pondok pesantren. 

Setelah proses belajar mengajar formal selesai, pendidikan dilanjutkan dengan pengajian halaqah atau mangngaji tudang setiap selesai salat Subuh, Asar, dan Magrib. Pengajian ini berisi telaah kritis terhadap kitab-kitab klasik karangan pemikir-pemikir Islam. Contohnya, Kitab Tafsir Jalalain, Kitab Arbain An-Nawawiyah, Kitab Maraqi’ul Ubudiyah, dan pusparagam kitab lainnya.

Tidak bisa tidak, hasil dari pendidikan seperti itu, membentuk satu corak Islam yang khas dan menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah, Sengkang. Seperti yang dituliskan oleh Hidayatullah, Pesantren As’adiyah benar-benar menjadi pesantren yang cukup berpengaruh di Indonesia. 

Sebab, sejak awal perintisannya, Anre Gurutta Sade’ tidak mendakwahkan Islam dengan cara-cara yang pejal dan kaku. Dan tradisi mangngaji tudang itu merupakan proses transfer pengetahuan yang jauh dari unsur-unsur pejoratif dan dapat diterima secara positif oleh masyarakat luas.

Tradisi intelektual dan dakwah Islam yang inklusif, yang dirintis oleh Anre Gurutta Sade’ bertiwikrama menjadi minda keberagamaan umat Islam dan berpendar di Sulawesi Selatan. 

Walhasil, tak salah sepenuhnya jika Sumardi Ketua IKA PMII Kab. Wajo, dalam Tribunnews.com (25/03/2022) mengatakan: “Wajo sebagai kota santri yang pengamalan agamanya secara mutawatir dari para anregurutta, jangan ternodai akibat ceramah-ceramah dari ustaz yang banyak ditolak di berbagai daerah”.

Kalimat itu diucapkan sebagai respon atas rencana Pemkab Wajo yang mengundang Firanda Andirja untuk membawakan tabligh akbar di Masjid Ummul Quraa dalam memperingati Hari Jadi Wajo ke-623. 

Firanda Andirja dikenal sebagai dai kondang, lulusan doktor jurusan Aqidah, Fakultas Dakwah dan Ushuluddin di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Bagi beberapa kalangan, ceramah-ceramahnya dianggap terlalu tekstualis-skripturalis. Sehingga seringkali, prinsipnya dalam berdakwah cenderung menghakimi golongan lain. 

Model berdakwah Firanda Andirja tentu sangat berbeda dengan model dakwahnya Anre Gurutta Sade’.  Jika Firanda Andirja berdakwah dengan gaya tekstualis-skripturalis, Anre Gurutta Sade’ memilih berdakwah dengan gaya yang lebih konstekstual: cenderung asosiatif terhadap tradisi yang tidak bertentangan dengan akidah Islam. 

Waima begitu, saya pun tak sepakat jika ucapan-ucapan pejoratif dilayangkan kepada Firanda Andirja. Sebab, itu hanya memperkeruh situasi dan kondisi di tengah umat Islam di Indonesia. Walakhir perkenankan saya mengajak Anda membaca al-Fatihah kepada Anre Gurutta Sade’. 

Lahul Fatihah


Sumber gambar: www.datdut.com/k-h-muhammad-asad-pencetus-pendidikan-pesantren-di-sulawesi-selatan/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *