MENGEJA RAMADAN(1): Wahdatul Wujud ala Imam an-Nafri, “Antara engkau dan Aku tiada antara, hanya Aku yang ada semata.”

Ramadan, bulan berkah guna mendekat pada Khalik. Bahkan Rasulullah di sepuluh akhir Ramadan mengkhususkan dan mengkhusyukkan diri pada Allah semata. Citra bulan Ramadan menggambarkan momentum terbaik untuk safar rohani menuju sedekat-dekatnya pada Allah. Pesafar ruhani sejati mengikis diri profan tiada henti untuk tiba pada Ketunggalan Wujud, diri sirna sejati, yang maujud hanya Allah semata.

Adalah Imam an-Nafri, pesafar ruhani sejati yang begitu samar jejak biografinya, begitu pelit dan sedikit karyanya, namun karya ini juga begitu nyata memuat perasan inti hikmah yang menuntun perjalanan bagi pesuluk sejati. Ungkapannya singkat dan padat namun langsung masuk dalam jantung tauhid, jantung Wahdatul Wujud.

Kita tidak akan menemukan karya an-Nafri berjilid-jilid seperti karya Imam al-Ghazali, Ibnu Arabi atau Ibnu Athaillah al-Iskandari. Beberapa penulis menyebutkan bahwa “Al-Mawaqif al-Mukhotobah” karya Imam an-Nafri sempat jadi referensi bagi tokoh-tokoh besar yang disebutkan di atas(kitab ini ada dalam buku “Melihat Allah” karya Mustafa Mahmoud). Bedanya adalah Imam an-Nafri hanya mengurai hal-hal inti saja sekaitan dengan tauhid dan relasi dengan Allah, sementara Imam al-Ghazali, Ibnu Arabi dan Ibnu Athaillah mengurai lebih luas ungkapan-ungkapan Imam an-Nafri. Seolah-olah Imam an-Nafri hanya mengungkap aspek ontologis safar spiritual dengan cara yang begitu singkat dan padat, dan tokoh-tokoh besar di atas mengurai aspek epistemologisnya secara meluas.

Bagi an-Nafri segala sesuatu selain Allah semata, semakin diurai dan dielaborasi maka semakin mangaburkan sekaligus lebih menjauh lagi dari realitas tauhid. Mungkin karena alasan ini juga karya Imam an-Nafri begitu sedikit, sebagaimana sosoknya juga amat terbatas diketahui. Yang masyhur dikenal bahwa beliau berasal dari daerah Naffar, Irak. Sisa informasi tentang beliau begitu kabur. Beliau lebih banyak dikenal karena kitabnya yang disebutkan di atas. Tampaknya Imam an-Nafri merupakan sosok musafir kelana sejati, senantiasa bergerak di bumi tanpa dikenal dan tanpa kenal lelah, tapi konsisten menghunjam langit memasuki lautan cahaya Wahdatul Wujud dalam keabadian. Dia sepertinya tidak berurusan dengan dikenal atau mengenal, namun fokus total pada realitas hakiki, Wahdatul Wujud, hanya Allah semata yang ada.

“Antara Aku dan engkau tiada antara. Hanya Aku yang ada semata”. Demikian di antara tutur Tuhan dalam cerapan batin Imam an -Nafri. Dan, masih banyak lagi ungkapan singkat beliau namun begitu padat dan juga butuh cerapan jernih hingga bisa tiba pada makna pesan sesungguhnya. Para komentator sepakat menyebutkan karya an-Nafri setidaknya bukan untuk kalangan awam dan khusus, namun karya ini hanya cocok untuk kalangan khususnya khusus. Menangkap pesan Imam an-Nafri secara serampangan justru dapat menghasilkan konstruksi makna yang bertentangan secara diametral dengan realitas Wahdatul Wujud.

Memang terkadang pengungkapan kebenaran secara tepat begitu rumit. Banyak jeratan ambiguitas dan paradoks dapat dijumpai.  Hal ini bukan berarti ambiguitas dan paradoks inheren pada kebenaran, akan tetapi itu efek kelumpuhan nalar dan bahasa dalam mengungkap kebenaran. Bagaimana pun, realitas Wahdatul Wujud sangat berbeda dengan penjelasan tentangnya. Semakin diurai penjelasan ini sekomprehensif mungkin maka semakin menjauh dari realitas Tauhid. Segenap penjelasan tersebut hanya membangun realitas nisbi penuh keterbatasan dan sama sekali tidak mewakili realitas Wahdatul Wujud. Dalam ungkapan sederhana tangkapan batin Iman an-Nafri atas tutur Tuhan:”Akulah yang membuat nyata segala sesuatu dan bukan segala sesuatu membuat Aku nyata.”

Hal yang membuat sulit dan krusial dalam pencapaian realitas Wahdatul Wujud adalah kehadiran aku dalam diri. Pada satu sisi yang umum disadari adalah satu-satunya cara individu untuk hadir adalah dengan megeksiskan diri. Tanpa eksistensi diri maka tiada diri individu. Di sisi lain realitas Wahdatul Wujud sama sekali tidak mengizinkan hadir wujud lain, termasuk diri, untuk mewujud. Sebab jika hadir wujud lain maka itu mencederai ketunggalan wujud dan terperangkap dalam kejamakan. Untuk terhindar dari dilema ini para pesafar ruhani yang tulus mengambil langkah ke arah kejujuran wujudiah diri yang azali, bahwa memang diri tidak memiliki wujud mandiri, akan tetapi bergantung murni pada Wujud Allah. Karena kebergantungan murni wujudiah inilah sehingga diri tidak memiliki wujud secara hakiki. Wujud yang ada pada diri hanya pinjaman. Namun dengan sudut pandang tegas dan radikal, dalam realitas Wujud Tunggal tidak ada pembagian dan gradasi, sehingga tidak memungkinkan hadir wujud pinjaman. Sedikit pertanyaan humor bisa dilontarkan: Keterpinjaman apa yang bisa terjadi pada realitas Wahdatul Wujud yang kukuh dengan ketunggalannya? Bukankah keterpinjaman itu mengusik keutuhan Wujud Tunggal?

Para pesafar rohani abai atas diri yang hadir mandiri, namun fokus total pada Yang Maha Tunggal. Sehingga setiap yang hadir dalam kesadarannya terhubung langsung dengan Yang Maha Tunggal. Karena, bagi pesafar ruhani sejati, dengan Dia segala sesuatu menjadi tampak dan bukan dengan segala sesuatu itu membuat Dia tampak.

Puasa mencakup aspek lahir dan batin. Dengan cakupan kadar masing-masing, semua aspek lahir dan batin berpuasa. Imam al-Ghazali membagi tiga tingkatan puasa: awam, khusus, dan khususnya khusus. Pada tingkat terakhir ini puasa mencakup berpuasa dari segala sesuatu selain Allah. Artinya puasa itu melatih diri untuk fokus total pada Allah semata. Sehingga hasil akhirnya yang maujud hanya Allah semata dan wujud yang lainnya tak lebih dari kebergantungan wujud murni pada-Nya. Puasa tingkat tiga dalam kategorisasi Iman al-Ghazali ini tak lain adalah untuk mencapai realitas Wahdatul Wujud, Allah SWT semata.

Secara operatif, dapat direnungkan: apakah puasanya diri yang membuat terbuka jalan menuju pada Ketunggalan Wujud, ataukah kesadaran Ketunggalan Wujud dalam puasa sehingga membuka jalan bagi leburnya diri dalam lautan cahaya Wahdatul Wujud?

Puasanya individu tidak akan pernah bisa menggosok individu menjadi diri berkilau untuk sampai pada Tuhan, akan tetapi puasa-Nya Tuhan pada diri dapat menyergap diri sehingga bisa menjadi manusia Tuhan. Dan, puasa memang milik Tuhan.

Sumber ilustrasi, www: rumahtahfidzrahmatplg.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *