Renovasi Masjid: Antara Urgensi dan Gengsi

Sangat mahal biaya masjid badan

Padahal temboknya berlumut karena hujan

Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban

Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita dzikir-kan…

—Emha Ainun Najib

Dalam beberapa bulan terakhir, saya berkali-kali melakukan perjalanan Bantaeng-Makassar. Dalam kembara jauh itu, saya pernah terjebak macet, meski tak lama. Saya sempat mengira ada kecelakaan, ternyata bukan.

Di tengah jalan, tepat di marka garis putih, berdiri kursi dan bendera, beberapa lelaki dan perempuan mengayun-ayun tangan, seperti orang yang sedang memberhentikan pete-pete, sedang tangan lainnya memegang kardus mi. Di sisi jalan, terpampang spanduk dengan tulisan butuh dana untuk renovasi masjid.

Seingat saya, ada lima titik pemandangan demikian, bahkan masih ada di perjalanan terakhir saya sepekan lalu. Artinya aktivitas itu sudah dilakukan berbulan-bulan.

Wajar saja, di spanduk terpampang gambar masjidnya yang megah, lengkap dengan dana yang dibutuhkan, jumlahnya pun bukan kaleng-kaleng, mencapai ratusan juta rupiah. Alamak. Bisa dibayangkan berapa lama mereka harus berdiri di tengah jalan, hingga dana bisa terkumpul.

Kita tahu, jalan poros itu sungguh berbahaya, karenanya harus steril dari orang-orang yang tidak berkepentingan, termasuk peminta sumbangan. Isi jalan raya bisa bermacam-macam, dengan karakter pengendara berupa-rupa.

Salah satu kanal berita mengabarkan di Desa Muara Burnai 2, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sutarti tewas tertabrak truk saat sedang meminta sumbangan untuk masjid di tengah jalan. Sedang rekannya, Ahmad Syamsul mengalami luka-luka. Banyak kasus serupa di sekitar kita, tidak cukupkah itu jadi peringatan?

Meminta sumbangan adalah baik, tapi menjadi kurang baik dan tak elok jika dilakukan di tengah jalan, selain berbahaya, juga mengganggu ketertiban umum. Kita mesti membuang jauh-jauh pikiran “mencari” kesyahidan dengan cara-cara tak masuk akal.

Fenomena renovasi masjid memang jamak kita jumpai kini. Hampir setiap hari kita melihat bahan material berserakan di sekitar masjid, tanda bahwa sedang dilakukan renovasi. Namun, apakah masjid-masjid itu benar-benar butuh renovasi? Atau itu hanya ambisi pengurus semata, yang tak tahu lagi hendak dikemanakan kas masjid?

Pertanyaan itu tentu hanya bisa dijawab oleh pengurus, merekalah yang lebih tahu kondisi sejatinya. Tapi bagaimana pun faktanya, model pengumpulan dana mestilah dilakukan dengan elegan.

Di era teknologi, pengurus masjid sudah harus lebih inovatif meraih jamaah, memanfaatkan proposal dan media sosial sebagai ladang menggaet para dermawan. Tak usah khawatir, menurut World Giving Index 2021, Indonesia itu negara paling dermawan di dunia, kok. Jadi mengumpulkan dana bukanlah perkara yang rumit-rumit amat.

Mungkin itulah yang membikin masjid-masjid amat sering direnovasi. Masjid diperluas dan dijadikan dua lantai, meski safnya tak pernah benar-benar sesak jamaah. Ubin yang masih bagus diganti dengan dalih ketinggalan zaman, tiang penyangga yang tadinya kotak dipermak jadi bundar, agar lebih estetik. Segala upaya dilakukan agar masjid makin glowing.

Muaranya, semua dana habis digunakan hanya untuk mempercantik fisik semata. Sedang manusia-manusianya terlupakan. Guru mengaji digaji tak seberapa, perpustakaan masjid hampa buku-buku, anak-anak enggan ke masjid karena kemegahan masjid, ternyata sebangun dengan kepongahan pengurusnya. Akhirnya masjid makin luas, tapi jamaah makin dikit.

Harus diakui, kini, fungsi masjid mengalami penyempitan makna, ia hanya digunakan lima kali sehari untuk beribadah. Setelahnya, pintu dikunci rapat-rapat agar tak ada orang lain yang masuk. Masjid menjadi begitu eksklusif dan berjarak dari masyarakat.

Fungsi masjid dalam memaslahatkan umat sudah jarang kita dengar. Semuanya berlomba-lomba merenovasi agar lebih baik dari masjid tetangga, gengsi pengurus dipertaruhkan. Renovasi menjadi ajang gagah-gagahan.

Akibatnya, fungsi sosial dan pendidikan masjid menjadi terabaikan. Lalu, kita berteriak-teriak mengutuk anak-anak yang malas ke masjid. Sudahkah kita merendahkan kepala sejenak, mendengar bisikan aspirasi anak-anak terkait masjid? Apakah masjid sudah menjadi tempat ternyaman dan teraman bagi anak berkumpul tanpa merasa takut? Kalau belum, mungkin isi kepala ini juga perlu direnovasi.

Dalam pedoman Masjid Ramah Anak (MRA), buah kerjasama dua kementrian dan Dewan Masjid Indonesia dipaparkan empat prinsip pengembangan MRA, salah satunya adalah kepentingan terbaik bagi anak, menjadikan anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap pengambilan kebijakan serta pengembangan program dan kegiatan.

Jadi, dana masjid yang puluhan hingga ratusan juta, sudah seyogianya menyasar fungsi sosial-kemasyarakatan dan pendidikan. Supaya kemewahan masjid, sejalan dengan kualitas sosial dan kemegahan berpikir umat. Dua fungsi yang hilang dari masjid kini.

Padahal dalam The Arabic Book oleh Johannes Padersen, mengungkap bahwa di era kejayaan Islam, masjid tak hanya menjadi tempat ibadah semata, tapi juga sebagai pusat aktivitas intelektual. Di masa itu masjid benar-benar menjadi fondasi peradaban, bahkan Universitas Al-Azhar di Mesir dulunya adalah masjid.

Belajarlah dari Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, masjid yang terkenal dengan ngaji filsafatnya Fahruddin Faiz. Takmir masjid menaja serangkaian kegiatan dalam bingkai spiritual, intelektual, dan kebudayaan.

Mereka meyakini bahwa sebuah masjid tak sekadar tempat sujud, tetapi juga menjadi tempat kaji, ngaji, dan literasi. Sebagian orang mungkin akan kaget mendengar Gott ist tot-nya Nietzsche, atau kata-kata Marx yang populer religion ist das opium des volkes didengungkan dalam masjid. Tapi, semuanya berhasil mengajak anak muda datang duduk bersila dan memantiknya berpikir kritis. Masjid tak boleh alergi ilmu pengetahuan, agar jamaah jauh dari kejumudan. “Agama adalah akal. Tak ada agama bagi yang tidak berakal.” Sabda Nabi.

Atau mari belajar melayani umat dari Masjid Jogokariyan Yogyakarta, yang selalu mengupayakan gerakan saldo infak nol rupiah. Di saat yang lain berbangga dengan kas masjid yang mencapai puluhan juta, yang saban Jumat diumumkan dengan toa. Masjid ini mengusahakan tiap pengumuman saldo infaknya harus nol. Hal ini dilakukan karena pengumuman infak jutaan rupiah, akan sangat menyakitkan saat tetangga masjid ada yang tak bisa ke rumah sakit karena biaya.

Masjid ini juga pernah viral karena menerima sumbangan dari tukang becak, yang menyerahkan semua BLT-nya (Bantuan Langsung Tunai) sebanyak 300 ribu ke masjid, karena merasa kehadiran masjid sangat membantunya.

Setiap hari, pagi dan siang, tukang becak tersebut tak pernah dimarahi ketika mandi. Bahkan pengurus juga menyilakan jika tukang becak butuh sesuatu. Padahal, sebelum-sebelumnya, ia mengaku mampir di masjid lain, tapi kemudian diomeli oleh penjaga yang menyebut masjid bukan tempat untuk mandi.

“Saya jadi suka dengan masjid dan jadi suka salat berjamaah, Ustaz. Sejak saat itu saya ingin berinfaq untuk masjid ini jika punya uang. Dan, Alhamdulillah, sekarang saya dapat BLT.” Ungkap tukang becak, sebagaimana dikutip Kumparan.

Saya sungguh meyakini, bahwa pengurus masjid tak boleh bersikap hedon, hanya mementingkan keindahan fisik bangunan, tapi tak peka terhadap kondisi umat. Lihatlah sekeliling, renovasi masjid, tak selalu korelatif dengan peningkatan jumlah jamaah. Jadi, jika memang tak urgen, mengapa harus repot-repot bongkar sana bongkar sini?

Sebab, yang dibutuhkan jamaah hakikatnya adalah, masjid yang dikelola seperti Masjid Jendral Sudirman dan Masjid Jogokariyan. Ketika ini ditunaikan, maka pengurus masjid tak usah berpayah-payah meminta sumbangan. Sebab masjid yang melayani umat, akan dilayani oleh umat.

Sumber foto: Radar Sumedang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *