Aku dan Seisinya, dan Puisi-puisi Lainnya

Ilustrasi: deviantart.com

Aku dan Seisinya

Aku tak ingin menjual romantika

Juga tak niat berdagang asmara

Sekadar hendak melelehkan rindu dengan rasa

Di antara lirik-lirik kata bersama merdu harmonika

 

Kemarin adalah kehangatan

Kemarin rupanya kemesraan

Kemarin sama dengan kerinduan

Namun kau lupa

Esok juga sakit yang menjelma

Esok pula kerapuhan yang tertunda

Esok boleh menjadi luka

Esok mungkin saja melahirkan kecewa

 

Petiklah setangkai bunga, seperti itulah esok

Kau harus rela dipatah

 

Kau mungkin mengira bulan memiliki cahaya

Tapi itu hanya pinjaman semata yang akan kembali pada pemiliknya

Bersama atau tak bertemu sama sekali

Tetap bukan milikmu

Meski ia pelengkap tulang rusukmu

 

Kau harus menuang anggur sebelum sadar dan bertanya

Apakah aku kehilangan sesuatu?

 

Kalau mampu berjalan mundur seperti kepiting

Di sana kau menemui jejak langkah yang hampir hilang

Lalu pelan-pelan ingatanmu teraba dalam dialektika

Dan seketika lebur dalam melankoli rindu yang tak bernyawa

 

Tapi semua itu adalah jalan

Ke manapun kau pergi, di mana pun kau berada

Akulah jalan itu

(Mamuju, 28 September 2016)

 

Sebait Tanya

Ragukan terang mentari

Ragukan juga peredaran bumi

Ragukan galaksi dan bimasakti bagai misteri

Ragukan pula kebenaran bagai dusta yang tersembunyi

Tapi, jangan kau ragukan cinta yang datang di hari nanti

 

Sebab ia bukan bidak catur mainan raja

Juga bukan titahan ratu nan kuasa

Melainkan persembahan dari langit lazuardi yang kudus

Ia bertakhta dalam cakrawala nan luas

 

Saat mata nampak layu, wajah mengeriput

Jenggot memutih, pikiran pikun, dan lutut mulai goyah

Aku yakin semua itu terjadi

Tapi, apakah rindu juga seumur usia?

 

Aku ingin memberimu jawaban

Tapi betapa hebat mereka yang menemukan

Hingga mampu menyanyi merdu sepanjang malam

Menggenggam bintang seakan berwujud lunak

Terbang sepandai burung

Kemudian jatuh dengan leher patah

Sangat terasa…

(Mamuju, 27 September 2016)

 

Kunamai Rindu

Aku hanya segumpal daging yang dapat diterkam oleh singa buas

Darahku memberi dahaga pada serigala yang kehausan

Tulangku tersangkut di mulut anjing yang kelaparan

Dagingku menjadi kotoran sampah bagi binatang yang pandai mencumbu bangkai

Namun ketahuilah, aku tidak merasakan apa-apa

 

Kau mungkin kucing yang mencumbu ikan

Meretak batang leher untuk melemahkan

Meremuk tulang demi kepuasan

Mencabik kulit menjadi kenikmatan

Namun ketahuilah, aku juga tidak merasakan apa-apa

 

Awalnya, kita adalah organ yang menyatu

Di saat kamu sakit, ada dua orang yang mesti disembuhkan

Kita hanya sedang berada di dua tempat yang berbeda

Mengubah kerinduan menjadi derita

 

Aku tahu, 1000 kata sayang tak mampu membuktikan

(Taman Todopuli timur, 17 September 2016)

 

Insan Pahlawan

Nafasmu adalah perjuangan

Darahmu adalah perang

Denyut jantungmu adalah kekuatan

Dan musuhmu adalah penindasan

 

Langkah kakimu mengibarkan kemerdekaan

Cita-citamu menuju keadilan

Kau adalah api yang menyalakan obor

Petasan yang membangunkan tidur!

 

Dan kita, generasi muda

Adalah bom yang ingin meledakkan kesewenang-wenangan!

yang rela mati dibawah selangkangan anjing sekalipun

Karena lebih pada, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *