Semua tulisan dari Idham Malik

Penggiat literasi dan lingkungan Pesisir

Tutur Jiwa Sulhan Yusuf : Dunia dalam Tanda Kurung

Saya membayangkan Sulhan duduk di beranda tokonya, melihat lalu lalang mobil, melihat langit, mungkin melihat matahari. Lalu, Sulhan terperangkap dalam suatu wacana, yang dikurungnya dari pengalaman saat mengendarai motor, pengalaman dalam menyeduh kopi, atau saat bercakap dan berbenturan ide dengan lawan bicara. Peng-alam-an eksistensial itulah yang dituturkannya dalam media Facebook. Dinding Facebook ibaratnya sebagai alas landasan sebuah kenyataan, yang diurai secara spontan.

Sulhan, dengan pengalamannya selama berpuluh tahun dalam dunia kehidupan (lebenswelt), baik itu kehidupan sosial, kehidupan berorganisasi, kehidupan dalam bekerja dan bermasyarakat. Tiba-tiba mengambil jarak dari kehidupan, memilih hidup dengan jeda yang panjang, sembari mengasuh komunitas-komunitas literasi serta menebar inspirasi untuk selalu setia pada kebenaran, pada peristiwa.

Sulhan dengan kawannya yang bernama Sang Guru, dalam situasi yang beliau bentuk mencoba untuk mengungkap adanya sesuatu, membiarkan Ada berbicara padanya. Jika dipadankan dalam tinjauan Sein and Zeit (Ada dan Waktu, Martin Heidegger), Sulhan mencoba melihat sesuatu secara otentik pada setiap gejala keseharian.

Segala sesuatu dilihatnya secara mendalam, dengan bantuan teman bercakap, yang tidak lain diri-nya sendiri-Sang Guru. Dalam suasana dialektis itulah, momen-momen kebenaran hadir dan menguasai Sulhan secara totalitas. Praktik metodologis seperti ini menuntut adanya kesiapan mental dan moral untuk mengungkit kesejatian sesuatu. Mengharuskan kita jujur pada diri sendiri, pada nilai-nilai ideal kebenaran. Sulhan menggali hingga ke taraf universal nilai-nilai. Pengalaman hidup, keyakinan, pemahaman, yang diasuh itu dieksternalisasi oleh Sulhan, hingga menjadi butiran-butiran makna. Tentu, nilai-nilai setiap orang berbeda-beda, atau biasa disebut sebagai paradigma, cara pandang, yang memang dibangun berpuluh-puluh tahun, dengan percakapan batin panjang. Di sinilah kadang kita tergelincir, ketika nilai-nilai itu tidak sampai ke taraf objektivikasi-dan hanya sebatas eksternalisasi. Sebab, akan hanya dihayati oleh sebagian golongan.

Menurut Haidegger, praktik fenomenologis seperti ini mengharuskan kita bersikap sebagai pemula. Dalam istilah Maurice Natanson; fenomenologi adalah a science of beginnings. Untuk bisa berfenomenologi orang harus bersikap sebagai pemula (beginner). Dalam pandangan filsafat fenomenologi, yang harus dilakukan adalah sikap seolah – olah. Kita mengandaikan sesuatu itu baru pertama kali kita lihat. Dalam keadaan kebaruan, kita selalu terpesona dan bertanya-tanya akan kenyataan-kenyataan yang kita hadapi. Nah, apakah Sulhan melakoni hidup sebagai pemula?

Kenyataan hidup, yang dalam perjalanan hidup, selalu melemparkan seseorang pada kondisi real. Dalam kehidupan seseorang, ada lonjakan-lonjakan, ada naik-turun, dalam kondisi ekstrim, yang dari pengalaman Heidegger sendiri yang pernah mengalami suasana perang dunia 1, kondisi-kondisi seperti itulah jiwa dan diri diuji. Keadaanlah yang memberi ruang terhadap kesadaran. Kesadaran tidak sekadar intensi atau keterarahan terhadap sesuatu, tapi juga kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Dunia atau keadaan turut membentuk kesadaran kita. Salah satu yang dimaksud adalah suasana hati atau bahasa Heidegger sebagai Angs – kecemasan. Saya cemas Maka Saya Ada. Dalam suasana batin dipenuhi kecemasan inilah hidup dapat dilakoni sebagai pemula.

Dalam menampakkannya kebenaran, tidak selamanya betul-betul menampakkan diri. Bisa jadi ada bersembunyi dari yang tampak. Misalnya, udang yang dipelihara di tambak tiba – tiba lima ekor mati. Penyebab lima ekor mati ini jika kita tidak jeli bisa salah pengertian. Bisa saja kita mengira penyebab kematian karena konsentrasi amoniak tinggi, eh ternyata mati hanya karena kelaparan saja. Nah, bisa saja dalam tulisan Sulhan tidak semua Ada menampakkan diri. Bisa saja ego Sulhanlah yang mendominasi sehingga Ada-Sang Guru memelintir tuturnya dan membiarkan sang Ego yang tampak.

Haidegger mengajak kita berpikir fenomenologi (melihat apa adanya pada setiap kenyataan) pada dunia yang serba mekanik dan modern. Sulhan membawa metodologi itu pada dunia yang secara struktural masih bercampur antara dunia mistik dan dunia material dibumbui oleh duia feodal.

Setidaknya percakapan antara Sulhan dengan Sang Guru, mengajak kita awas terhadap kepalsuan-kepalsuan, tipuan-tipuan kenyataan, ataupun tafsiran-tafsiran ilmu pengetahuan.

Sebuah contoh dalam tutur Sulhan berjudul : Kritik 1 (Dalam tutur jiwa hal. 118)

Kali ini Sang Guru Membelaku, ketika di sebuah perhelatan pikiran aku melayangkan kritik, dan orang sekitar cukup abai akan lakonku itu, maka ia pun menepuk pundakku sambil berbisik: “Han…, nyatakan kesetiaanmu dengan cara mengkritiknya, bukan dengan cara menjilatnya. Dengan mengkritik, sama halnya dikau telah menunjukkan adanya ia sebagai manusia, yang memang pada galibnya bersemayam kealpaan akan dirinya sendiri”.

Tulisan di atas mewakili cara Sulhan untuk menyingkap ada. Menciptakan gerak melingkar antara menyingkap ada melalui kritik, sekaligus menyingkap adanya keadaan dan keharusan mengkritik. Lakon seperti ini mengingatkan kita pada kisah Hamlet, yang anti kritik dan membuang anak bungsunya karena jujur dalam mengungkapkan keapa-adaan bapaknya. Makanya, kejujuran dan kritik, kadang-kadang menyisakan rasa sakit. Tapi, dari rasa sakit itulah hadir otentisitas, dalam bahasa Sulhan, adanya ia sebagai manusia.

**

Saran : Membaca tutur dalam tutur jiwa Sulhan Yusuf janganlah di sembarang situasi. Sebab, tutur jiwa juga dibuat dalam situasi khusus, ditangkap, dikemas, dan dibiarkan apa adanya.

Perubahan

Perubahan untuk konteks bernegara atau berpolis biasanya dilatari oleh faktor-faktor yang tetap. Menurut Aristoteles dalam buku Sejarah Pemikiran Politik karya Martin Suryajaya, perubahan, atau biasa disebut revolusi (perubahan radikal), “Di manapun juga disebabkan oleh adanya ketidaksetaraan”.

Untuk itu, marilah kita melihat konteks ketidaksetaraan yang dialami oleh para pendemo 4 November, untuk melihat kemungkinan adanya revolusi.Ya, memang terdapat ketidaksetaraan yang dialami oleh para pendemo, yaitu ketidaksetaraan pemahaman mengenai pernyataan Ahok, yang memicu kemarahan sebagian umat Islam karena menganggap ucapan Ahok menghina Al-qur’an.

Ketidaksetaraan pemahaman ini dimediasi oleh polis untuk melakukan tindak demonstrasi, yang berarti pula bersifat demokratis, lantaran tersedianya jalur aspirasi. Meski dalam perjalanannya, komitmen damai dibuyarkan oleh aksi-aksi tidak bertanggung jawab oleh oknum, dan sesuatu yang susah untuk dihindari, lantaran saking merunyaknya pidato-pidato demagog yang menggunakan simbol-simbol agama, hingga mendorong meledaknya kekerasan.

Bagaimana memediasi ketidaksetaraan pemahaman ini, tak lain hanya melalui jalur pendidikan, yaitu pendidikan yang baik, yang kompleks, dengan mengedepankan nilai-nilai terbaik yang ada di aliran masing-masing, dengan mengembalikan kembali keteladanan para pemimpin aliran tersebut, bukan dengan melihat tindak pemimpin atau kitab secara sepotong-sepotong.

Negara juga harus hadir untuk menciptakan kondisi yang kondusif agar keanekargaman di antara kita dapat terwadahi dengan baik. Bukan memberi wewenang yang sangat luas kepada institusi negara yang mengatasnamakan agama, untuk mengobok-obok persaudaraan kita sesame warga Indonesia. Institusi seperti itu harus diisi oleh perwakilan agama-agama di Indonesia yang dapat berdialog, lebih bijaksana, lebih mengedepankan kebahagiaan umat. Bukan pemimpin yang gegabah, yang hanya memikirkan ego diri semata, namun mengorbankan persaudaraan umatnya. Negara harus mampu mengelola perbedaan di masyarakat seperti mengelola warna-warna untuk lukisan yang indah. Negara harus menjadi penengah dan penyeimbang di antara kekuatan-kekuatan di masyarakat, sehingga masing-masing elemen dapat bekerjasama dan berkompetisi secara optimal demi kebaikan bersama.

Sekali lagi, perubahan dapat terjadi akibat adanya ketidaksetaraan. Lantas, ketidaksetaraan seperti apa yang dimaksud? Yang paling utama adalah ketidaksetaraan ekonomi yang sudah berlarut-larut. Sehingga orang-orang miskin beserta orang-orang yang simpatik pada ide keseteraan ekonomi menuntut perubahan di pemerintahan maupun perubahan konstitusional. Sehingga terjadi distribusi kekayaan yang lebih adil.

Ketidaksetaraan berikutnya adalah ketidaksetaraan politik. Banyak orang tidak punya kesempatan untuk berpartisipasi secara politik. Malahan mereka ditindas dengan kejam oleh para pemimpin, yang tentu korup, jumawa, dan mengelola pemerintahan secara tiranik.

Ketidaksetaraan-ketidaksetaraan ini lalu digodok oleh pemimpin-pemimpin populis, yang secara signifikan merumuskan langkah-langkah untuk mencapai perubahan, serta memasok energi moral kepada rakyat banyak yang menuntut.

Mengamati peristiwa dan faktor-faktor yang mendasari peristiwa 4 November kemarin, perubahan apakah yang mereka inginkan? Saya sedikit menyimpulkan, mereka ingin mengganti kepemimpinan dengan pemimpin yang ber-KTP Islam. Lantas apalagi? Turunkan moral pemimpin yang lebih tinggi, karena dianggap pengecut dan tidak mendengar rakyatnya.

Apa landasan argumentasinya, bahwa pemimpin yang tidak ber-KTP Islam tidak diperbolehkan oleh agama. Argumentasi ini sangat bias diperdebatkan, apalagi saat ini kita berada dalam negara yang dibangun dengan semangat nasionalis, kebersamaan, kerakyatan, kemanusiaan, ketuhanan, demi keadilan sosial. Bukan atas dasar keislaman sempit semata.

Dari buku Abdurrahman Wahid, Islam ku, Islam Anda, Islam Kita, dijelaskan bahwa inti dalam Islam adalah ajaran untuk menjalani hidup yang luhur. Tujuan dari konsep ummah, yang berasal dari kata ummi adalah persaudaraan, yang dalam artian tolong menolong dalam keadaan susah, dengan tujuan kesejahteraan bersama. Agama Islam sangat menekankan aspek kemakmuran bersama, meski bukan dengan pemerintahan Islam. Sang penulis pun sudah keliling dunia untuk mencari mahluk bernama negara Islam dalam pemikiran Islam, namun tidak ia ketemukan hingga akhir hayatnya.

***

Untuk itu, sepanjang tuntutan mereka tidak berurusan dengan kehancuran ekonomi yang sudah berlarut-larut, sepanjang tuntutan mereka bukan atas dasar tidak adanya aspirasi politik, negara ini aman-aman saja.

Tapi, jika orang banyak menuntut hal-hal fundamental tersebut, saya pun akan ikut ambil bagian, setidaknya menjadi batu bara untuk membakar para tiran.