Semua tulisan dari M. Mario Hikmat. A

Mahasiswa FKM UNHAS. Anggota LISAN Cab. Makassar. Pernah didapuk sebagai wakil presiden BEM FKM Unhas periode 2015-2016. Mulai berjuang menyelesaikan tugas akhir.

Luka Daur Ulang; Puisi atau Berita?

Wacana daur ulang, kadang riuh kadang senyap. Daur ulang, biasanya bermisi mengontrol lonjakan jumlah barang tak terpakai. Lewat kreatifitas kerajinan tangan, sampah misalnya, sanggup bertransformasi dari barang tak layak konsumsi menjadi barang ekonomis. Jumlah sampah jadi berkurang. Sampah pun bisa jadi pangkal mata pencaharian.

Di dimensi lain, ternyata, tak hanya sampah atau benda saja bisa didaur ulang. Fauzan Al-Ayyubi, lewat seikat puisi, melahirkan buku bertitel Luka Daur Ulang (2016). Buku puisi menghimpun 70 puisi. Pejumpaan awal dengan buku bikin dahi pembaca mengernyit. Pembaca bertanya, bagaimana produk dari sebuah luka daur ulang?

Fauzan mengolah puisi dari luka; cinta, kenangan, permasalahan kota, dan perenungannya atas hidup. Tema-tema itu membentuk sebuah jejaring raksasa. Saling terhubung, lalu memadat, menyatu, dan berhilir pada sebuah buku kumpulan puisi.

Namun luka akan seperti sampah. Mengeluarkan aroma busuk. Mencemari lingkungan. Dan pada satu waktu, mampu menggoda munculnya sebuah bencana. Maka, luka pun perlu didaur ulang. Didekonstruksi. Agar tak jadi benalu. Tak mengganggu.

Saking semangatnya mendaur ulang, Fauzan bisa memproduksi 8 puisi dalam satu hari. Puisi berjudul “Menjadi Dua”, “Sekali Lagi”, “Bunuh Diri”, “Belanja”, “Si Cantik dan Pemuja Kecepatan”, “Buku dan Jalanan”, “Perang dan Agama”, “Taman, Senja dan Pemakaannya”, bertitimangsa 19 Februari 2016. Sungguh sebuah pencapaian luar biasa. Hanya orang berstamina prima bisa melakukannya. Barangkali, Fauzan tak ingin kehilangan momen. Ia mencatat lewat puisi, semua gambar dalam imajinya sehabis menyaksikan fenomena-fenomena ganjil.

Sebuah karya, susah untuk bisa betul-betul berjarak dari penulisnya, entah itu dari segi ciri khas memadu komposisi bentuk atau gagasan. Selalu ada ekspresi alter-ego penulis atau ciri khas di dalam karya ciptaanya. Hal itu bisa kita simak pada potongan puisi Fauzan: Bahwa kecantikan adalah perangkap kesombongan! Petikan puisi itu, setidaknya memuat dua kemungkinan mengapa si penulis mencatat demikian. Pertama, ia pernah naksir, dan ditolak mentah-mentah atau dicampakkan oleh seorang perempuan mengklaim dirinya cantik. Duh. Sehingga puisi itu lahir dari luka.

Dari kekesalan penulis dengan perempuan berpredikat cantik sekaligus sombong. Padahal cantik itu sementara. Tak kekal dan abadi. Kedua, Fauzan hendak mengkritik budaya konsumerisme pemuja iklan kecantikan. Banyak orang takut pada kulit keriput. Paranoid pada penuaan dini, gugup saat berat badan naik dan lemak menggelambir. Atau takut “tak tahan lama” saat memadu cinta dengan kekasih. Cantik tereduksi pada sekadar imaji perempuan banal dalam iklan-iklan kosmetik. Perempuan itu takut kehilangan stempel “cantik”. Namun, tak takut kehilangan akal sehat dan akhlak terpuji. Siapa perempuan dalam puisi itu, hanya Fauzan mengetahuinya.

Pastinya, perempuan cantik dan sombong itu, bukanlah Isma Aryani. Fauzan menulis 3 puisi ditujukan untuk Isma. Tentu saja Isma perempuan spesial. Karena dalam puisi Luka Daur Ulang, tak ada nama-nama lain, hanya Isma seorang. Puisi-puisi Fauzan tentang Isma, tak bermuatan kritik atau sindiran. Puisi bergelimang kata-kata cinta. Berlimpah pemujaan pada kekasih, amsal Qais si Majenun tatkala bersyair untuk pujaan hatinya, si Laila.

Kita tilik puisi Fauzan: Aku tak punya hari esok jika bukan untuk melengkunkan senyummu./ Sebab sungguh mati, kesedihanmu seperti melihat ratu tanpa mahkota/ dan/ Kau tahu, mahkota itu senyummu./ Aku tak ingin hilang dari wajahmu. Fauzan betul-betul tenggelam dalam kubangan cinta saat menulis tentang kisahnya dengan Isma, meski sedang terluka. Ia hilang kesadaran. Fana dalam istilah sufistik. Hidup mati Fauzan bergantung pada senyum manis di wajah kekasih.

Tetapi, seperti halnya Qais, ekspresi kecintaan Fauzan pada Isma mendapat percik-percik kendala. Tak mengalir lancar. Ada pesan tak sampai. Akhirnya, cinta berjalan terbata-bata. Tak tuntas. Keraguan menjadikan cinta runtuh berkeping-keping. Atau kau tak pernah tau tentangku?/ :menunggumu, ragu Fauzan. Keraguan bukan menu baik bagi pertalian dua sejoli. Cinta pun usai. Menyisakan kenangan, luka, dan nelangsa.

Puisi atau Berita

Puisi-puisi Fauzan lahir dari mendaur ulang kesedihan akibat peliknya pengalaman hidup. Namun, luka ketika didaur ulang, tetaplah berwujud sebuah luka. Barangkali puisi luka, bukan puisi bahagia. Fauzan hanya berputar-putar dengan lukanya sendiri. Ia tak menunjukkan perlawanan. Ia malah menikmati dan semakin pasrah dalam lubang rasa sakit tak terperi. Fauzan –umpama seseorang dalam lagu “Butiran Debu”- terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.

Buku Luka Daur Ulang merupakan rekonstruksi atas suatu kejadian, lalu hasilnya dipahat dalam puisi. Tak ada tawaran untuk sebuah kemungkinan lain. Puisi jadi cermin realitas. Kita menemukan pembenaran itu dalam kata pengantar buku, “Puisi adalah salah satu cara untuk mengabadikan kejadian yang tak sempat terekam”. Puisi jadi mirip dengan berita-berita surat kabar.

Sebenarnya, saya cukup teganggu, ketika Fauzan mengkritik percepatan. Kritik hanya berlaku untuk orang lain, tapi kebal pada dirinya sendiri. Bukankah ia juga melakukan percepatan tatkala menulis 8 puisi dalam satu hari? Saya, sebelumnya tak pernah menemukan seorang penyair bisa menulis 8 puisi dalam satu hari. Bahkan, untuk 1 puisi, beberapa penyair, kadang butuh berhari-hari untuk mengedit dan mencari kepaduan komposisi puitik.

Puisi Fauzan terkesan ditulis dengan terburu-buru. Pada akhirnya puisi jadi semacam catatan jurnalistik. Banyak berkutat pada kulit luar, lupa menyentuh jantung kedalaman bahasa. Puisi lebih menyerupai kalimat-kalimat koran. Bermandikan fakta, namun susah dijumpai metafora. Dan dengan begitu, mungkin, Fauzan perlu mendaur ulang (luka) puisinya agar bisa utuh berwujud “puisi”.

Judul : Luka Daur Ulang

Penulis : Fauzan Al-Ayyubi

Penerbit : SIGn

Cetak : Pertama, 2016

Tebal : xiv + 112 hlm

ISBN : 978 602 72706 2 6

 

Prasangka

Karena prasangka, hidup manusia berakhir. Bagaimana bisa?

Coba Anda lihat, bagaimana kebencian terhadap kelompok –yang dianggap- minoritas bekerja dalam masyarakat. Orang beragama Islam yang tinggal di Amerika, misalnya. Mereka dianggap sebagai kelompok ekstrim, hanya karena pada suatu masa, tindakan terorisme pernah terjadi dan pelakunya dituduhkan kepada orang Islam.

Maka muncullah istilah Islamophobia. Ketakutan berlebih terhadap orang Islam. Irfan Amalee menuturkan, kesalahpahaman ini terjadi karena kurang dan salahnya informasi tentang Islam bagi warga Amerika.

Anggapan itu berkembang dan sengaja disebarkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk apa? untuk menyisihkan orang-orang yang berbeda dan meneguhkan kelompoknya sendiri. Apakah ini sehat dalam kehidupan kita? Secara psikososial, Erich Fromm, seorang filsuf cum psikoanalisis kelahiran Jerman, mengatakan bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang saling mengasihi dan mencintai satu sama lain. Dan masyarakat yang sakit, ia menambahkan, adalah masyarakat yang hidupnya dipenuhi oleh prasangka dan kebencian terhadap sesamanya.

Gambaran tentang yang masyarakat yang sakit ini, mengingatkan saya pada lirik lagu Fstvlst berjudul Hal Hal Ini Terjadi:

Di masa kau terlahir,
orang-orang bersepakat
bahwa ajaran terpopuler adalah ajaran membenci.
Ajaran ternorak adalah mencintai.
Batu, parang dan peluru adalah jajanan laris manis.
Cium dan peluk adalah jualan yang tak pernah laku lagi.
Semakin kau membenci, semakin kau di akui.
Semakin kau mencintai, semakin kau dijauhi.

Prasangka yang bisa membuat orang membenci, beroperasi dalam masyarakat kita, didasari oleh hal yang keliru. Ia lahir oleh ‘over-generalisasi’ terhadap sesuatu. Misal, orang Makassar itu ngomongnya kasar. Padahal, faktanya, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Makassar, kita akan menemui orang-orang yang ramah dan santun dalam berbicara.

Pemberian label terhadap individu atau kelompok, sebagai usaha menggambarkan realitas dan merasionalisasi sebuah justifikasi, dengan hanya mengambil contoh sebagian kasus yang tidak mewakili realitas objektif, adalah kebodohan dan ketidakadilan dalam memandang orang lain. Ini adalah bentuk Stereotip. Seperti motor, prasangka bekerja melalui stereotip yang tak bosan memberikanya bensin sebagai bahan bakar. Dan karena stereotip inilah kita menciptakan suatu masalah baru dalam masyrakat; jarak sosial.

Kita, sebagai manusia, yang memiliki potensi besar jatuh pada kesalahan, kadang secara tak sengaja pernah berprasangka buruk terhadap orang lain (semoga saja tidak). Dan kita, seringkali membatasi diri untuk bergaul kepada orang-orang yang sudah kita berikan image negatif. Dari rentetan itu, alhasil, jarak sosial antara kita dengan orang lain muncul ke permukaan.

Keakraban, yang tumbuh dengan sahabat kita, menjadi mustahil, ketika hendak diterapkan dengan individu atau kelompok yang berbeda dengan kita. Pada kondisi ini, kita sebenarnya membatasi diri untuk berbuat lebih banyak kebaikan terhadap orang lain. Kita hidup dalam penjara yang kita ciptakan sendiri.

Bagi saya, prasangka, yang turut serta melahirkan jarak sosial antara kita dengan orang lain, tak hanya akan membuat hidup penuh kecemasan, tetapi juga menjauhkan hidup dari kebahagiaan.

Prasangka, dalam titik yang ekstrim, akan membukakan kita pada jalan menuju penyakit sosial yang mengerikan; diskriminasi. Diskriminasi, akan menutup mata kita terhadap perbedaan, membuat kita kehilangan empati, membuat rasa kasih terhadap sesama manusia luntur dan hilang. Kita akan dibuatnya buta secara batin dalam memperlakukan orang lain.

Dalam literatur sejarah, tercatat, pembantaian manusia pernah dilakukan atas dasar diskriminasi berbasis ras. Adolf Hitler, pemimpin Nazi Jerman, melakukan pembunuhan massal, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dalam aktivitas bengisnya itu, Hitler, membantai orang-orang yang dilabeli dengan ras non-Arya. Karena ia beranggapan bahwa keunggulan ras Arya, tidak boleh dikotori kemurnianya oleh ras non-Arya. Meskipun telah melakukan pembersihan ras dengan alasan tersebut, Nazi tak bisa membuktikan secara ilmiah bahwa ras manusia, ada ras yang lebih unggul dibandingkan ras yang lain.

Pada kengerian inilah, –seperti yang saya bilang di awal- diskriminasi dapat mengakhiri hidup manusia. Diskriminasi, yang merupakan anak kandung dari prasangka, telah membuat manusia, kehilangan kemanusiaanya. Diskriminasi, tidak hanya dioperasikan dalam kaitanya dengan ras manusia, tetapi juga sering terjadi dalam hal politik, ekonomi, agama, dan budaya.

Baru-baru ini, blunder dilakukan oleh Gubernur Jakarta yang baru saja dilantik; Anies Rasyid Baswedan. Dalam pidatonya, beliau menyebut istilah pribumi, yang konsekuensinya, ada orang yang non-pribumi. Pembelahan identitas ini sangat rawan memunculkan konflik. Mengapa? Karena, istilah pribumi dan non-pribumi itu tidak ada. Tidak aktual. Tidak ilmiah. Ia hanya digunakan untuk memecah belah persatuan bangsa. Lihatlah bagaimana propaganda Hitler yang membelah warganya menjadi ras Arya dan non-Arya. Kita barangkali bisa memetik pelajaran dari sana.

Prasangka, stereotip, dan diskriminasi, dikembangbiakkan pada kita melalui melalui bahasa verbal yang kita terima turun-temurun dari lingkungan sosial kita. Ia mengalami repetisi yang nyaring mendengung di telinga kita. Karena menjadi kebiasaan, dan selalu terdengar, kita mungkin saja menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tak perlu lagi diperdebatkan.

Tapi lagi-lagi, hidup adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk tak termakan oleh hal-hal semacam itu. Kita merdeka. Kita bisa lebih kritis dan mem-verifikasi (tabayyun) sesuatu sebelum bertindak terhadap orang lain. Jangan biarkan prasangka berkuasa atas diri dan mengatur gerak-gerik kita dalam kehidupan sosial.

Prasangka adalah wujud lain dari kebodohan. Dan terkait kebodohan, Sayyidina Ali bin Abu Thalib pernah berkata, “Tidak ada penyakit yang lebih parah daripada kebodohan. Dan tidak ada kefakiran yang sebanding dengan kebodohan”. Tidak hanya itu, di suatu kesempatan lain, beliau menambahkan, “Akal memberikan petunjuk dan menyelamatkan, tapi kebodohan menyesatkan dan membinasakan”.

Perang melawan prasangka adalah perang melawan kebodohan. Oleh karena itu, mestinya kita sadar, agar tidak terlalu mudah menjatuhkan prasangka pada orang lain. Kita perlu bersabar, sebelum menghukumi. Kita perlu banyak belajar, dan mencari tahu sebanyak-banyaknya informasi. Mengapa? Agar kebodohan tak betah menetap dalam diri, agar kita bisa saling merangkul dan saling memahami.

Ilustrasi: fenorevanisya.blogspot.co.id

Kapan Kita Merdeka?

Kemerdekaan Indonesia telah memasuki usianya yang ke-72, namun makna dari kata “merdeka” masih belum menyatu dengan darah dan daging kita. Sebenarnya, kapan kita betul-betul merdeka?

Saban Agustus, negeri kita tercinta menyambut dengan riang gembira hari kemerdekaan. Sejak Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan republik ini pada 17 Agustus 1945, setiap tahunnya masyarakat merayakannya dengan berbagai macam ekspresi. Dari membuat kegiatan lomba, diskusi, sampai upacara bendera.

Antusias masyarakat dalam menyambut bulan Agustus adalah cerminan betapa berharganya arti kemerdekaan. Bung Karno telah mewanti-wanti bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas merah). Sejarah para pahlawan dalam mengkonsolidasikan dan mengantarkan bangsa ini keluar dari jerat kolonial, sungguh hal yang tak patut untuk dilupakan barang sedikitpun. Oleh karenanya, setiap detil keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia harus selalu dirayakan agar spirit kemerdekaan mampu bertahan sepanjang zaman.

Namun akhir-akhir ini bangsa kita sedang dilanda wabah penyakit, yang dengan perlahan menggerogoti setiap inci tubuh dan pikiran kita. Terjebaknya masyarakat dalam pengagungan terhadap simbol-simbol yang hanya tampak dipermukaan, berefek pada terkikisnya makna dari kata “merdeka”. Kita bisa menyaksikan langsung maupun tidak langsung (lewat medsos) banyaknya pelarangan diskusi dengan tema-tema tertentu, pembredelan pemutaran film, atau yang paling parah ketika ketakutan-ketakutan terhadap simbol kepercayaaan tertentu di cap sebagai perontok iman bagi kepercayaan yang lain. Sehingga orang yang dirugikan atas perlakukan tersebut, secara terpaksa harus menerima bahwa kemerdekaannya dalam melakukan aktivitas sosial dan keagamaan harus dibatasi.

Kemerdekaan Indonesia, di usianya yang menurut saya sudah cukup matang, ternyata tak mampu berbuat banyak ketika dihadapkan dengan masyarakat yang latah dan tak kunjung dewasa dalam melihat berbagai fenomena. Pemikiran yang tertutup dan keinginan untuk selalu memaksakan kehendak merupakan akar dari semua itu. Masih banyak masyarakat kita yang melihat kemerdekaan hanya sebatas perayaan tahunan. Padahal, makna yang lebih dalam dari perayaan tersebut terletak pada sejarah perjuangan yang diukir oleh para pahlawan menuju kemerdekaan. Di sana ada darah, doa, dan kisah tentang keterbukaan pikiran dan kebijaksanaan dalam menerima berbagai macam silang pendapat tentang strategi dan taktik untuk merebut kemerdekaan dari penjajah, tanpa peduli apa agama mereka dan latarbelakang suku budaya.

Kemudian hal yang juga tak kalah penting, kesejahteraan di bangsa ini didefinisikan sebagai terwujudnya kondisi masyarakat yang adil, makmur, dan damai. Akan tetapi, fakta sosial di masyarakat menunjukkan fenomena yang berbeda. Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 mencatat, di Indonesia masih ada 27,77 juta orang yang hidup dalam kemiskinan. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan data pada September 2016 yang mencatat ada 27,67 juta orang yang hidup miskin. Dilain sisi jumlah kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin. Inilah potret ketimpangan di negeri yang katanya telah merdeka hampir 72 tahun.

Lantas merdeka itu seperti apa? Apakah ketika masih banyak para veteran yang kelaparan? Atau ketika masih adanya warga yang berjuang mati-matian untuk mempertahankan hak atas tanah mereka yang hendak digusur oleh kepentingan kapital atau ketika kita menyaksikan warga Galesong-Takalar yang menolak penambangan pasir di pesisir pantai mereka karena akan memberikan kerugian terhadap kehidupan disana? Ataukah ketika untuk beribadah, kita harus menanggung kecemasan karena bisa saja dianggap sesat atau dapat mengganggu keberimanan orang lain.

Merdeka adalah kata yang belum selesai didefinisikan bangsa ini. Bung Karno mengajarkan kita untuk berdikari atau berdiri diatas kaki sendiri. Tapi utang luar negeri kita membengkak dan harus ditambal disana-sini. Tan Malaka dengan gagasan “Merdeka 100%” menyerukan bahwa jika hanya segelintir orang yang hidup adil, makmur, dan damai maka belum sampailah Indonesia pada arti merdeka yang sesungguhnya.

Kita harus berbenah untuk mencari makna dari pesan kemerdekaan. Tafsir tersebut harus mampu mengobati setiap keresahan dan penyakit yang melanda bangsa ini. Kita harus saling merangkul dalam menumbuhkan kesadaran di masyarakat agar tak terjebak pada perayaan kemerdekaan yang hanya seremonial belaka. Ujung dari itu semua, agar setiap elemen bangsa bergerak kearah yang lebih adil dan bermartabat.

Diskriminasi, intoleransi, dan segala bentuk ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia, harus mampu “menampar” kita. Menyadarkan kita bahwa revolusi kemerdekaan belum selesai di 17 Agustus 1945. Hal itu bertujuan agar kita merefleksikan semua perjuangan para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Itulah pada awalnya fungsi mengheningkan cipta. Agar kita sadar bahwa sesungguhnya merdeka, sejak kapan kita merdeka?

 

Ilustrasi: https://firnadi.deviantart.com/art/jayalah-INDONESIA-ku-253368770

Dalam Bayang-bayang Intoleransi

Praktik intoleransi kembali terjadi. Mengapa demikian? “Karena kita semua diam“, tukas bang Andre Barahamin dalam statusnya di Facebook. Kita tanpa sadar telah membiarkan kelompok intoleran tumbuh subur di negeri ini. Membiarkan mereka mengorganisir diri, membangun jejaring ke berbagai pelosok negeri, juga membiarkan mereka melakukan tindakan yang sangat jauh melenceng dari cita-cita persatuan bangsa.

Perjuangan pahlawan memersatukan bangsa dari berbagai macam latarbelakang suku, agama, budaya, bahasa dan seterusnya, seakan dikencingi oleh kelompok yang menasbihkan dirinya sebagai sang pemilik tunggal kebenaran. Mereka kerap bertindak dengan cara-cara yang pada akhirnya berujung konflik. Mencoba menerapkan apa yang mereka pahami dengan tindakan yang sangat tidak etis; dengan kekerasan, dan bahkan dengan cara yang bisa menyebabkan kematian –ini tidak berlebihan.

Sebagai seorang muslim, malu rasanya melihat kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai pemeluk Islam namun sangat tidak toleran terhadap pemeluk agama lain. Atas dasar perbedaan, mereka menghalalkan tindakan yang sebenarnya sangatlah tidak adil, misal, mengganggu acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Nataldi Gedung Sabuga, Jalan Tamansari, Kota Bandung pada Selasa, 6 Desember 2016. Kelompok yang menyebut dirinya sebagai Pembela Ahlus Sunnah (PAS) dengan enteng berteriak menggunakan pengeras suara di depan Gedung Sabuga, dan kemudian masuk ke dalam gedung untuk menghentikan aktivitas peribadatan.

Bagi saya, kasus pembubaran yang dilakukan dengan sangat menggebu-gebu oleh PAS, sangat jelas merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beribadah oleh tiap individu ataupun kelompok. Negara sebenarnya sudah menjamin kebebasan setiap warganya untuk melakukan ibadah. Namun pada kenyataanya, negara terlihat cuek, beberapa aparatur negara yang ditugaskan untuk menciptakan ketentraman acapkali juga terlibat –baik secara langsung maupun tidak- dalam aktivitas pembubaran seperti ini. Jika kita lihat dalam video yang beredar, aparat kepolisian bukannya menahan anggota PAS untuk masuk ke dalam gedung, tetapi mereka malah terkesan membiarkan orang-orang dengan rompi bertuliskan Pembela Ahlus Sunnah untuk menganggu umat kristiani yang sedang larut dalam ibadahnya.

Jika kita amati, kasus seperti ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia, di beberapa daerah yang lain, kasus serupa sering terjadi dengan pola yang hampir sama; pembubaran aktivitas ibadah oleh kelompok keagamaan dengan menggunakan cara yang tak menggambarkan sebagai pencinta Tuhan. Kita tidak lupa dengan kasus pengeboman yang terjadi di Samarinda beberapa waktu lalu, kemudian kasus di Tolikara, kasus yang menimpa jamaah Ahmadiyah beberapa tahun lalu, kasus pengusiran Syiah di Sampang, Madura, penutupan beberapa gereja di Aceh Singkil dan berbagai kasus praktik intoleransi yang lain. Mereka berteriak dengan jargon-jargon yang menyuratkan ancaman, sesekali mereka melakukan penyerangan sampai kepada wilayah fisik sasaranya. Alhasil, masyarakat yang menjadi sasaran dirundung rasa cemas dan ketakutan.

Beberapa tahun kedepan, Indonesia barangkali akan terpecah. Cita-cita persatuan bangsa yang diperjuangkan dengan berdarah-darah oleh pahlawan di negeri ini hanya akan menjadi teks-teks sejarah yang lapuk. Jika pemerintah hanya diam dan tidak tanggap dengan kasus-kasus seperti ini, tidak salah jika ormas-ormas yang menggemari intoleransi akan menjamur keseluruh Indonesia untuk merekrut anggota dan mengkampanyekan eksklusifitas pandangan keberagamaan mereka. Pandangan keberagamaan yang eksklusif adalah penyakit bagi bangsa kita yang sangat menjunjung tinggi kemajemukan.

Pemerintah harusnya cekatan. Realisasi dari jaminan konstitusional kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah mandat Undang-Undang Dasar negeri kita tercinta, yang telah diamandemen pada tahun 2000-2004. Kemudian, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan konsekuensi logis dari tindakan politik negara melakukan ratifikasi atas Konvenan Internasional Hak-hak sipil dan Politik pada tahun 2005 dengan UU R.I No. 12 Tahun 2005.

Jika saja ada hal yang terlupa terkait hal ini, mestinya dokumen-dokumen sejarah yang membahas tentang bagaimana membangun dan merawat kemajemukan harus dibuka kembali oleh pemerintah. Jangan biarkan debu dan rayap menggerogotinya hingga rusak. Siapa bisa menyangka, yang pada kemudian hari efeknya juga bisa menggerogoti kemanusiaan masyarakat Indonesia.

Kita semua harus menyadari bahwa Indonesia sebagai negara yang majemuk merupakan fakta sosiologis yang tak bisa dibantah. Kita juga harus mengakui, sejarah bangsa Indonesia dibentuk atas dasar pengakuan terhadap keberagaman. Dengan demikian, saya rasa tidak ada alasan bagi masyarakat ataupun negara untuk membatasi, mengganggu, menghalangi bahkan membubarkan aktivitas beragama atau beribadah orang lain –apalagi dengan menggunakan kekerasan.

Sikap toleran, terbuka, dan inklusif sudah seharusnya menjadi wacana yang disampaikan dengan masif kepada masyarakat. Toleransi tidak semata wacana yang menunjukan bahwa kita semua harus terbuka dan menghargai keberagaman. Namun, toleransi adalah praktik atau tindakan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Peran-peran ini harus diambil oleh para agamawan, intelektual, bahkan masyarakat secara umum. Langkah ini adalah sikap yang secepatnya harus dilaksanakan, mengingat sampai saat ini, negara seolah menunjukan sikap yang lembek terhadap ormas-ormas yang menebar benih-benih intoleransi.

Cukup disayangkan jika dalam waktu dekat ini, pada 25 Desember nanti perayaan Natal oleh umat kristiani mendapatkan tindakan yang serupa dengan kasus di Gedung Sabuga, Bandung, 6 desember lalu. Kali ini dan seterusnya, Negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat untuk menjamin hak-hak sipil yang dimiliki semua orang. Negara tidak boleh kalah dengan sorak-sorak ormas yang (siapa tau) akan kembali mengganggu jalannya aktivitas ibadah seluruh umat beragama di Indonesia. Sebagai negara hukum, kebenaran dan keadilan harus ditegakkan. Bukan malah mengikuti tuntutan dari massa yang pada ujungnya akan menciderai kebhinekaan.

Kecemasan masyarakat terkait persoalan pilihan agama dan peribadatan harus segera diakhiri. Negara tidak boleh absen dalam menjaga keamanan setiap aktivitas ibadah yang dilakukan oleh seluruh umat beragama di Indonesia. Negara tidak boleh lalai, sebab, kelalaian dalam persoalan ini memiliki efek yang cukup berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Selain itu, sebagai masyarakat kita harus menunjukkan sikap yang arif dalam melihat keberagaman. Kita mesti lebih teliti ketika mendapatkan informasi yang mengandung ajakan atau provokasi untuk melakukan praktik-praktik intoleransi.

Bangsa ini harus melepaskan diri dari bayang-bayang intoleransi. Itu menjadi tugas kita semua. Menjadi penebar cinta kasih adalah salah satu caranya. Kita harus berfikir dan bertindak untuk mengajak masyarakat agar berhenti mencari-cari kesalahan dari orang atau kelompok yang berbeda dengan kita. Apalagi dalam waktu dekat ini kita akan merayakan kelahiran manusia agung dengan limpahan cinta dan kedamaian, Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa AS. Semoga limpahan rahmat tercurah untuk kedua manusia agung tersebut. Selamat merayakan Maulid, Selamat merayakan Natal, untuk Indonesia.

Ilustrasi: https://ressay.wordpress.com/2012/11/01/hapus-kebijakan-pro-intoleransi/

Referensi.

Mergana, Supriadi Purba. Negeri Tanda Tanya, Jakarta: Penerbit Kesaint Blanc, 2012.

Mengakhiri Stigma Ambivalensi Agama

“Apapun alasanya, teror tidak akan pernah dibenarkan. Teror adalah kejahatan kemanusiaan.”

Belum hilang trauma kita akibat konflik atas nama agama—yang sudah beberapa kali terjadi—di negeri ini, kita kemudian dihadapkan lagi dengan sebuah peristiwa teror. Bom Molotov dilemparkan oleh seorang lelaki yang mengenakan kaus bertuliskan “Jihad: Way of Life” ke Gereja Oikumene di Samarinda (13 Nov 2016) yang memakan korban dan di antaranya terdapat balita dan anak-anak yang tidak berdosa.

Drama demi drama kekerasan dan teror yang membawa label agama berlangsung begitu saja dan tak ada penyelesaian. Peristiwa bom yang terjadi di Samarinda adalah sebuah fenomena lepasnya akal sehat dan kontrol diri terhadap fitrah kemanusiaan. Pelaku mungkin terjebak dalam sebuah ekstase, bahwa tindakan yang dia lakukan adalah sebuah kenikmatan sebagai seorang “pembela” agama. Buah dari kesadaran religius palsu (KW, Supercopy) dengan iming-iming kenikmatan surgawi yang pada kenyataanya telah menenggelamkan orang-orang ke dalam agresifitas beragama.

Di Indonesia, orang-orang yang melakukan tindakan teror –sebelumnya- telah melalui fase internalisasi makna “Jihad”. Jihad selfie, jihad destruktif, jihad yang mempertontonkan kekerasan dan kebencian. Sehingga ketika mereka melakukan aksinya, mereka meyakini ada sebuah kekuatan tertentu yang mendorong dan memotivasi agar melakukan aktivitas teror dengan penuh semangat yang menggebu dan meledak-ledak. Sebuah teror yang nikmat, yang akan mengantarkan pelakunya pada tingkat kepuasan puncak.

Kita mungkin bertanya-tanya, apakah dari rentetan kasus teror tersebut disebabkan karena agama yang keliru? Saya yakin bahwa ajaran agama selalu berorientasi pada kedamaian dan cinta kasih. Adapun yang keliru—mungkin—adalah penafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Dalam menafsir teks -teks agama, kita memerlukan beberapa “alat” tambahan yang digunakan untuk memahami makna dari sebuah teks, semisal, hermeneutika, logika/mantiq, dan sebagainya. Selain itu, mungkin kita juga harus membekali diri dengan kearifan agar tidak terjebak pada penafsiran yang bisa membawa kita kepada praktik-praktik yang berujung pada kekerasan atau teror berlabel agama.

Amin Abdullah (1999) menambahkan, munculnya fundamentalisme, eksklusivisme terlebih lagi radikalisme agama yang muncul akhir-akhir ini dalam berbagai kasus seperti pengeboman, pengrusakan rumah ibadah, konflik antarumat beragama, semuanya adalah akibat logis dari tidak menyatunya ketiga pendekatan keilmuan secara teologis, fenomenologis dan antropologis terhadap fenomena-fenomena keberagamaan manusia, yang mengejewantah dalam berbagai bentuk pengalaman keagamaan seseorang atau kelompok, baik pengalaman keagamaan (religious experience) dalam bentuknya sebagai pemikiran secara teoritis, perilaku secara praksis dan perkumpulan atau persekutuan secara sosiologis. (Djam’annuri, 1998)[1]

Ambivalensi Wajah Agama

Dalam konteks sosial kemasyarakatan, agama mampu mendorong penganutnya untuk membangun solidaritas yang cukup kuat, melepaskan masyarakat dari belenggu ekonomi, dan mampu menciptakan integritas sosial yang damai. Dalam pandangan yang moderat, agama seyogyanya menjadi ujung tombak untuk membebaskan pemeluknya dari virus kejumudan dan tidak menjebak mayarakat pada sekadar melaksanakan ritus-ritus formal keagamaan. Namun di sisi lain, agama bisa menjadi sangat horor bagi pemeluknya. Memandang outsider sebagai “kafir” yang bisa diproselitisasi secara paksa (Rizal Rizla; 2011) dan juga bisa semakin menakutkan ketika menjadi sumber utama teror dan konflik. Bahkan pada titik ekstrim, agama dijadikan alasan terjadinya peperangan antar para penganut agama.

Dari hal tersebut kita bias melihat bahwa agama semakin terkesan ambivalen. Parahnya kecenderungan yang negative—seperti sumber konflik, dll—mencuat lebih dominan daripada yang positif. Kecenderungan ke arah negatif inilah yang kemudian harus segera dipotong mata rantai penyebarannya. Arman Dhani, penulis buku Dari Twitwar ke Twitwar, mengatakan bahwa sudah saatnya agama mempunyai juru bicara yang toleran, yang gemar menebar kedamaian, yang mencintai kemajuan, namun tetap menjaga identitasnya sebagai seorang pemeluk agama.

Pada dasarnya, agama tidaklah bersifat ambivalen. Semua agama selalu mengajarkan kebenaran tentang welas asih dan ketentraman. Namun yang terjadi adalah beragamnya penafsiran orang-orang terhadap agama, yang kemudian menimbulkan kesan bahwa agama terlihat ambivalen (ambivalensi beragama). Kita harus ingat bahwa antara agama dengan pemahaman agama adalah dua hal yang berbeda.

Ambivalensi beragama yang cenderung bergerak ke arah negatif harus kita lawan dengan membangun wacana tandingan yang lebih sejuk dan budiman. Intoleransi, kekerasan atas nama agama, diskriminasi terhadap minoritas harus diakhiri secepatnya, sekarang juga! Negara harus memberikan jaminan untuk mendapatkan hidup yang layak dan aman bagi setiap warganya. Menindak tegas pelaku teror dan mengembalikan Indonesia kepada suasana berkehidupan yang damai. Mencintai persatuan dan bijak terhadap kebhinekaan.

Serangkaian aksi teror yang terjadi di beberapa tempat disadari telah melukai bangsa Indonesia. Bangsa yang dibangun atas dasar prikemanusiaan dan prikeadilan. Bangsa yang mencintai persatuan dan sangat keras menolak perpecahan atas nama identitas. Teror yang terjadi, sampai kapanpun, dan dengan alasan apapun, tidak akan pernah dibenarkan.

Hari ini nurani kita barangkali sedang diuji. Aktifitas sehari-hari kita digiring pada kesadaran beragama dengan klaim kebenaran yang berorientasi pada kekerasan. Jika nalar kita absen, hati kita tak sabar, kita akan jatuh pada jurang penuh kebencian.

Selamat Hari Toleransi Sedunia. Mari bersama-sama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,melawan stigma ambivalensi agama dan –yang tak kalah penting-menjadi agen-agen penebar cinta kasih dan kedamaian.

Sumber:

[1] http://kabunvillage.blogspot.co.id/2011/11/menepis-ambivalensi-destruktif-agama.html