Semua tulisan dari Asyraf Syakur

Mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Anggota Kelas Menulis Resensi KLPI Makassar.

Al-Qur’an pun Mendorong Untuk Berimajinasi?

Al-Qur’an senantiasa mendorong manusia untuk menggunakan akal. Berseru secara terang-terangan agar menghargai akal. Merenungkan semesta ciptaan Tuhan untuk mengetahui lebih dalam hal ihwal kehidupan dunia manusia, baik dunia fisik maupun dunia sosial. Sebab akal dalam Islam memegang peran yang sangat penting. Bahkan menyebutkan manusia yang tidak menggunakan akal sebagai makhluk yang menyerupai binatang. Hingga dikatakan pula sebagai manusia bisu, buta, dan tuli.   Dalam hal ini Islam mendudukkan akal sebagai sesuatu yang mulia. Sebab akal juga adalah bagian dari fitrah kemanusiaan.

Pada umumnya akal senantiasa diidentikkan dengan rasionalitas. Sebuah alat yang terdapat pada diri manusia untuk menggunakan logika nalar dalam mensistematisasikan objek material dalam aneka bentuk silogisme. Memainkan nalar melalui konsep verbal-literal sebagaimana telah berakar kuat dalam ilmu pengetahuan modern dengan bentuk pola-pola matematis.

Pemahaman akan peran akal sebagai sesuatu yang melulu “me-rasionalitas-kan segala sesuatu” cenderung meletakkan intelek pada hirarki teratas sistem berpikir manusia. Penggunaan atas akal senantiasa diidentikkan dengan penggunaan atas intelek semaksimal mungkin. Seakan ruh dari akal adalah intelek. Dengan kata lain, akal cenderung disebut sebagai intelek itu sendiri.

Hal ini juga berimplikasi  terhadap pemahaman kaum Muslimin terhadap ayat-ayat tentang dorongan menggunakan akal. Ayat-ayat mengenai “afalā ta’qilūn, “afalā tadabbarūn”, “afalā tatafakkarūn” juga dipahami sebagai penggunaan intelek sebagai  esensi terdalam dari akal. Sehingga ayat-ayat tersebut dijustifikasi sebagai hak milik intelek. Gairah terhadap intelek inilah yang telah membawa kaum Muslimin terdorong untuk mengkaji, meneliti, dan menyelami samudra ciptaan Tuhan. Sehingga teks-teks al-Qur’an yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan ilmiah disebut sebagai upaya kaum Muslimin dalam mengamalkan ayat-ayat perihal dorongan untuk menggunakan akal pikiran. Atas dasar ini, bermunculan pulalah penafsiran al-Qur’an yang berusaha mensintesiskan teks kitab suci dan ilmu pengetahuan modern. Tidak hanya itu, dalam ranah teologi pun terdapat pula golongan yang meletakkan akal secara lebih dominan. Terbukti dengan munculnya mazhab Mu’tazilah di masa klasik dan Islam sekuler di abad modern ini. Secara singkat, pemahaman kaum Muslimin atas akal juga dikaitkan dengan penggunaan atas intelek.

Hanya saja, apakah betul akal adalah hak milik intelek semata? Apakah intelek adalah ruh dari akal itu sendiri? Lantas bagaimana dengan peran imajinasi? Bukankah imajinasi adalah juga bagian dari akal itu sendiri?  Bertolak dari pandangan Croce bahwa:

Pengetahuan mempunyai dua bentuk: pengetahuan intuitif dan pengetahuan logis. Pengetahuan yang didapatkan melalui imajinasi dan pengetahuan yang didapatkan melalui intelek.

Berdasarkan pandangan di atas, Croce mendikotomikan antara intelek dan imajinasi. Intelek diasumsikan sebagai hal yang bersifat logis dan imajinasi sebagai hal intuitif. Namun, lepas dari dikotomi intelek dan imajinasi sebagaimana yang dipaparkan Croce, imajinasi dapat dikategorikan juga sebagai salah satu sistem berpikir manusia yang bertolak dari akal. Dari sini, akal tidak dipahami sebagai intelek semata yang memandang objek material secara rasional. Imajinasi juga memiliki perannya sendiri. Dengan kata lain, imajinasi juga memiliki rasionalitasnya sendiri.

Dalam kehidupan, imajinasi sering dimaknai sebagai kemampuan orang-orang yang bergelut dalam dunia estetika belaka. Dunia yang digeluti oleh para seniman, sebuah dunia yang dikungkung dan dipenjara dibalik jeruji khayalan, fantasi, dan ilusi subjektif sang seniman. Sampai di sini, imajinasi hanya dipandang sebagai permainan pikiran semata dan seakan ditempatkan di sudut yang terlupakan. Nyatanya tidak. Imajinasi justru sangat berperan penting dalam kehidupan.

Sebagai misal, ketika Einstein menemukan teori relativitas waktu, pada dasarnya dia sedang mengimajinasikan variable-veriabel tertentu dalam pikirannya untuk kemudian menciptakan rumus. Juga ketika Newton menyadari teori gravitasi saat melihat apel jatuh ke tanah, dia juga sedang mencitrakan sesuatu dalam pikirannya dalam bentuk imajinasi. Sampai di sini, imajinasi memiliki pengaruh kuat hingga mencakup pula dalam ranah ilmu pengetahuan.

Bertolak dari latar belakang permasalahan imajinasi tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah seberapa besar fungsi imajinasi dalam karya seni? Dapatkah imajinasi dalam karya seni menemukan kebenaran-kebenaran tertentu sebagaimana yang terjadi dalam ilmu pengetahuan? Bambang Sugiharto menyebutkan bahwa fungsi imajinasi dalam karya seni terletak pada “efek”. Efek dalam karya seni bukanlah terletak pada “maknanya apa?” melainkan “dia melakukan apa pada kita?”, barulah kemudian makna dalam karya seni dapat ditemukan. Itulah fungsi imajinasi dalam karya seni.

Seni yang  merupakan olah kreatif batin manusia yang dituangkan dalam bentuk karya adalah pengalaman eksternal maupun internal dalam memandang sebuah objek. Bahkan Arthur Schopenhaeur pada tahun 1891 dalam magnum opusnya, Dunia Sebagai Kehendak dan Bayangan, mendefinisikan seni sebagai cara mengamati benda terlepas dari prinsip penyebabnya. Seni bukan dunia abstrak ala sains ataupun dogmatisme ala agama. Tapi seni semacam cara unik dalam menafsir dan memaknai pengalaman.

Sebagai salah satu cara manusia dalam memaknai hidup, selain agama, filsafat, dan sains, seni tidak sekadar menyuguhkan keindahan fisik belaka. Akan tetapi, berusaha menampilkan sesuatu yang tersembunyi dalam realitas. Menampilkan objek sedemikian rupa melalui olah bahasa, warna, bentuk, bunyi, suara, gerak, mimik wajah hingga montase yang dihasilkan dari permainan visual-audio dalam dunia film. Bambang Sugiharto menyebutkan:

Kekuatan seni adalah melukiskan kedalaman pengalaman yang sebenarnya tak tampak dan tak terlukiskan, memperkatakan hal yang tak terumuskan, membunyikan hal yang tak tersuarakan, ataupun menarikan inti pengalaman batin yang tak terungkapkan.

Dari sini apa yang dinginkan dan diungkapkan oleh seni adalah kebenaran itu sendiri. Tak sekadar mengenai olah keterampilan dan keahlian dalam mempromosikan bakat. Tapi terkait erat dengan proses penciptaan yang berakar pada persepsi. Maka seni adalah soal menciptakan persepsi baru. Persepsi tentang kebenaran yang lebih dalam dari realitas yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Seni memang terkait dengan kebenaran kehidupan dibanding hanya sekadar keindahan belaka.

Dalam filsafat Islam, Muhammad Iqbal menyebut seni sebagai estetika vitalisme, yaitu seni harus mampu memberikan dorongan untuk memberikan kehidupaan dan semangat baru, bahkan harus mampu menyumbangkan hal-hal baru dalam kehidupan. Inilah yang disebut Muhammad Iqbal seni sebagai ekspresi ego. Sedangkan Sayyed Hossein Nasr menyebutnya sebagai manifestasi spiritual. Seni bagi Nasr tidak hanya terkait mengenai benda-benda material belaka, tetapi unsur kesadaran religius juga berperan penting dalam menjiwai sebuah seni.

Kembali kepada persoalan imajinasi sebagai bagian dari akal manusia bahwa imajinasi dalam karya seni dapat dinikmati setelah melalui tahap proses kreatif manusia. Proses kreatif inilah yang menghasilkan ragam kesenian, mulai dari sastra, rupa, musik, tari, teater hingga film. Mel Rhodes mengemukakan bahwa kreativitas merupakan fenomena dimana seseorang mengomunikasikan sebuah konsep baru  yang diperoleh dari hasil proses mental dalam menghasilkan ide, yang merupakan upaya untuk memenuhi adanya kebutuhan yang dipengaruhi tekanan ekologis. Sedang Weisberg mendefinisikan kreatif sebagai cara berpikir yang membawa sesuatu yang baru.

Lebih lanjut, persoalan kreativitas manusia dalam karya seni tersebut senantiasa juga didorong oleh al-Qur’an. Tidak sedikit teks al-Qur’an yang secara tidak langsung memberi tantangan kepada manusia untuk terus melakukan kreativitas seni. Sebagai misal, saat nabi Nuh diperintahkan Allah swt. untuk membuat bahtera, Allah swt. tidak memerintahkan Nuh untuk membuat bahtera tertentu. Bahtera tersebut dibuat Nuh berdasarkan kreativitasnya sendiri, sehingga tidak heran bahtera Nuh yang ditemukan para arkeolog sangat jauh berbeda dengan kretivitas pembuatan bahtera di abad modern.

Begitupun ketika Allah memberi mukjizat kepada nabi Isa untuk menghidupkan burung yang terbuat dari tanah liat. Allah juga tidak memerintahkan Isa untuk membuat jenis burung tertentu. Burung tersebut dibuat berdasarkan kreativitas nabi Isa sendiri. Juga perintah Allah kepada kaum Muslimin untuk membaca al-Qur’an secara tartīl, pembacaan secara tartīl tersebut dilakukan kaum Muslimin berdasarkan kreativitas mereka sendiri. Ini dibuktikan dengan banyaknya bermuculan ragam murottal al-Qur’an yang tersebar sekarang ini. Di sisi lain, bukankah nabi Daud juga mampu membuat baju besi dan memiliki suara merdu?


Sumber gambar: Merdeka.com

 

Islam dan Masyarakat Terbuka

 

Siapa yang tidak ingin bahagia? Siapa yang tidak ingin sukses? Dan siapa yang tidak ingin bebas? Kebahagian, kesuksesan, dan kebebasan adalah cita-cita semua umat manusia. Pertanyaannya, bagaimana cara memperoleh semua itu?

Apakah  dengan menjadi manusia religius ala sufi dengan cara duduk di dalam ruang sepi sunyi sambil memutar balikkan tasbih atau memainkan jemari seakan sedang menghitung pahala diri? Ataukah menjadi seorang humanis religi ala agamawan kondang yang sering orasi kitab suci di atas mimbar mimbar publik?

Pertanyaan di atas dapat saja dijawab oleh setiap individu sesuai perspektif masing-masing. Yang mana jawaban yang satu tidak dapat menindas jawaban lain. Terlebih menindas jawaban lain sebagai sebuah kesalahan. Karena berangkat dari perbedaan jawabanlah yang kadang menimbulkan penjajahan atas ilmu pengetahuan.

Berbicara mengenai pengetahuan, patut kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk yang bebas. Akan tetapi kebebasan manusia dibatasi oleh kehendak Tuhan. Jika kehendak Tuhan melampaui ruang dan waktu, maka manusia justru sebaliknya.

Kebebasan manusia selalu terikat oleh ruang dan waktu. Sehingga apapun yang dilakukannya tak lepas dari kata “relatif”, termasuk mengenai pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, problem kebebasan manusia dalam berpengetahuan seakan terbatasi oleh pengetahuan keagamaan yang telah mapan dianut masyarakat. Wacana ini telah menjadi undang-undang yang jika dilanggar maka konsekuensinya adalah cap sesat dan kafir kepada para pelanggar pengetahuan yang telah mapan.

Mereka yang tadinya memiliki kebebasan berekspresi dalam berpengetahuan akhirnya menjadi tertindas. Sehingga menyebarkan pengetahuan yang telah mereka peroleh akan menjadi musuh bagi masyarakat. Penguasaan masyarakat terhadap pengetahuan, mengakibatkan mereka yang tadinya telah memperoleh pengetahuan merasa berat mengungkapkan segala pendapatnya ke publik.

Di sisi lain, ada juga yang secara berani memaparkan pendapatnya disertai dengan bukti bukti ilmiah. Tapi sayang, orang-orang seperti itu tak lepas dari kritikan masyarakat. Mereka yang berani itu bahkan sering dicap sebagai pribadi yang sok tahu akan pengetahuan yang disepakati masyarakat pada umumnya.

Kita bisa berangkat dari beberapa kisah tertindasnya seorang yang berpengetahuan tempo dulu. Seperti Ahmad bin Hanbal sebagai figur penegak sunnah dalam menghadapi kaum rasionalis Mu’tazilah harus mendekam di penjara dan merasakan penyiksaan yang dilakukan penguasa ketika itu. Tetapi lucunya, ketika pengetahuan Ahmad bin Hanbal menguasai  masyarakat dan pengetahuan itu telah mapan dalam sebuah negeri, maka apa saja yang bertentangan dengan Ahmad bin Hanbal akan dianggap sesat dan kafir. Sungguh lelucon peradaban yang menggelikan.

Begitupun dengan Al-Hallaj sebagai tokoh sufi, hanya karena mengucapkan ana al-haq lantas menjadi martir dihadapan masyarakat. Tak ketinggalan juga Suhrawardi al-Maqtul, filsuf pencetus Iluminasionisme Islam, juga menjadi martir akibat cap sesat yang dilontarkan para fuqaha dogmatis.

Padahal jika kita telusuri ajaran-ajaran mereka, tentu  pengetahuan yang mereka miliki tak bertentangan dengan ajaran Islam. Kalimat “bertentangan dengan ajaran Islam” hanya diucapakan oleh masyarakat yang meyakini satu doktrin tertentu dalam sebuah negeri. Sehungga jika hadir pengetahuan yang melenceng dari doktrin masyarakat, maka penjara, tiang gantung, tembak mati bahkan cap sesat dan kafir telah menanti dimana saja.

Persoalan mendasar bukan pada agama itu sendiri, tetapi pada masyarakat yang menguasai pengetahuan. Sejak agama ini diturunkan hingga  hari kiamat kelak, maka agama ini tetap menjadi ajaran final yang harus diyakini. Akan tetapi, pengetahuan manusia dalam memahami agama tidak akan pernah final sampai hari kiamat. Mungkin inilah yang disebut sebagai pintu ijtihad akan selalu terbuka.

Rasa ingin tahu tinggi yang dimiliki sebagian individu memang harus terlebih dahulu memperoleh pendidikan dari seorang guru yang mumpuni di bidangnya. Agar pengetahuan yang diperolehnya tidak simpang siur dan tidak terjerumus dalam kesesatan. Tak ada problem dalam hal ini. Peserta didik memang harus mendapat pendidikan dari seorang guru.

Hanya saja, tidak jarang kita temukan masyarakat justru mengkritik juga mengenai tempat dan kepada siapa seseorang itu belajar. Sehingga jika guru itu juga memiliki pengetahuan yang bertentangan dengan  pengetahuan masyarakat, maka hal sama pun terjadi sebagaimana yang menimpa Ahmad bin Hanbal, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul.

Sekali lagi, permasalahan utamanya ada pada masyarakat. Sejak dahulu hingga sekarang, wacana semacam ini sangat sering terjadi.  Ketika masyarakat menguasai satu doktrin tertentu, maka doktrin yang bertentangan harus disingkirkan.

Masyarakat perlu mengetahui bahwa jangan menjadi penguasa dalam pengetahuan. Bagaimanana cara merubah paradigma berpikir masyarakat yang dogmatis ini? Tidak lain adalah dimulai dari diri kita sendiri. Hendaknya kita menghormati pengetahuan seseorang yang bertentangan dengan kita.

Ini bukan semacam arahan kepada liberalisme agama, tapi pendorong agar setiap diri berani belajar tanpa harus terikat oleh kemapanan. Patut diketahui, tak ada penindasan dalam pengetahuan. Karena pengetahuan yang menindas tak ada bedanya dengan penjajahan.

Penjajahan secara fisik mungkin telah tiada. Tapi penjajahan pengetahuan masih mendominasi dalam pikiran masyarakat. Mari merubah ini semua. Dimulai dari diri sendiri. Di sini lah kita butuh masyarakat tanpa karakter penguasa.


Sumber gambar: https://www.economist.com/opensociety

Sunni-Syiah: Sebuah Hipotesis Menuju Revolusi Hadis

“Sunni dan Syiah adalah dua sayap Islam”. Kalimat yang dilontarkan Grand Syaikh Al-Azhar itu sepertinya dapat menjadi inspirasi umat muslim agar konflik yang terjadi tidak menjadi dosa jariyah bagi generasi berikutnya. Saling menghujat, mengkafirkan, hingga pembunuhan akibat perang konyol atas dasar fanatisme buta menjadi sarapan pagi sebagian besar umat muslim. Mereka ternyata adalah manusia-manusia yang masih hidup di masa lalu. Keputusasaan akibat  memungut lembaran-lembaran sejarah hasil konflik politik praktis masa lalu dijadikan sebagai dasar agama. Seakan mengingkari sejarah adalah mengingkari agama.

Sejarah hanya berhubungan dengan ruang dan waktu. Perang antara para sahabat besar Nabi saw bukanlah alasan kita untuk ikut melanjutkan perang itu. Ini hanyalah mengenai fitnah yang terjadi di masa lalu, yang sampai sekarang sejarahwan pun belum mengetahui siapa biang keladi di antara mereka.

Tugas kita sebagai umat akhir zaman adalah mencegah konflik jangka panjang. Persatuan, kebebasan berpendapat, dan saling bergandengan tangan dalam perbedaan adalah sebuah kewajiban. Akan tetapi, pertanyaan yang muncul, apakah Sunni dan Syiah, terutama dalam hal-hal yang menyangkut perbedaan rumusan agama, dapat bersatu dan bergandengan tangan? Bukankah perbedaan dalam rumusan akan menghasilkan perbedaan dalam amal dan perbuatan? Jika bergandengan tangan menjadi jalan keluar, apakah hal itu membuat masyarakat awam berkesimpulan bahwa ternyata semuanya mengandung kebenaran? Lantas bagaimana dengan para ulama tradisional yang menolak untuk bergandengan tangan? Apakah masyarakat muslim, yang awam terhadap perbedaan dan sejarah harus kembali memilih antara yang pro dan kontra dalam persatuan itu?

Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menjawab pertanyaan itu. Para ulama dari berbagai madzhab pada tahun 2005 mengadakan konferensi di Yordania yang menghasilkan “Risalah Amman”. Sebuah risalah yang ditanda tangani oleh ulama dari berbagai madzhab dan menyimpulkan bahwa perbedaan madzhab hanyalah dalam masalah furu’iyyah, tidak dalam ushuluddin atau pokok keagamaan. Konflik Sunni dan Syiah harus segera diselesaikan. Bergandengan tangan adalah jalan keluar untuk menuju persatuan  besar Islam. Musuh yang sebenarnya adalah musuh yang telah berhasil mengadu domba hingga konflik berkepanjangan tak juga terselesaikan.

Konferensi ini juga ternyata menghasilkan dua kubu. Ada yang pro juga ada yang kontra. Mereka yang kontra adalah mereka yang senang konflik, sedangkan kaum pendukung konferensi itu adalah orang-orang yang mendambakan Islam rahmatan lil ‘alamin. Pribadi sendiri berada pada pihak pro. Alasannya simpel, adalah karena memberontak untuk persatuan dan perdamaian itu lebih baik dan lebih indah daripada memberontak untuk perseteruan.

Mari kita kembali ke “laptop”. Lantas apa hubungannya dengan pembahasan yang ada dalam tulisan ini mengenai hadis dalam pandangan Sunni dan Syiah? Patut kita ketahui bahwa bias dari perseteruan ini berimplikasi juga pasa masalah rumusan ajaran agama, khususnya terkait pada pemahaman hadis dalam tulisan ini. Sunni menyatakan bahwa hanya Nabi saja yang ma’shum, sehingga segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat Nabi adalah hadis. Sebaliknya, Syiah justru memperluas cakupan hadis. Tidak hanya Nabi, bahkan keturunan Nabi, terutama dua belas keturunan dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, juga dianggap ma’shum sebagaimana Nabi. Segala perkataan, pebuatan, taqrir maupun sifat yang berasal dari mereka juga dapat disebut hadis.

Hanya sekadar menarik sebuah hipotesis, bahwa secara pribadi sebenarnya pemahaman hadis antara Sunni dan Syiah dapat disatukan. Tidak hanya sekadar bergandengan tangan. Caranya seperti apa? Sebagaimana kita ketahui bahwa Sunni mendefinisikan hadis hanya berhenti pada Nabi sedangkan Syiah memperluas cakupannya sampai kepada dua belas Imam.

Jika kita menelusuri ajaran kaum Sunni, mereka berpendapat bahwa untuk mengetahui hadis yang berasal dari Nabi maka sistem periwayatan harus melalui jalur para sahabat, tabi’in dan atba’ at-tabi’in. Rumusan seperti ini diambil dari hadits Nabi sendiri bahwa “sebaik-baik umat adalah setelahku, kemudian setelahku, kemudian setelahku”. Sehingga apapun riwayat yang tidak melalui jalur tersebut dianggap tidak valid atau tidak sahih. Pernyataan seperti ini, secara tidak langsung, juga mengatakan bahwa riwayat dari para sahabat adalah mutlak,  walaupun Sunni tidak mengatakan bahwa mereka adalah ma’shum.

Lantas apa bedanya dengan Syiah yang menyatakan bahwa para Imam adalah ma’shum? Walaupun mereka mengatakan bahwa segala apa yang keluar dari para Imam adalah hadis, tapi mereka tidak pernah memposisikan para Imam di atas Nabi saw. Kasus seperti ini hampir sama dengan kaum Sunni, di mana mereka memposisikan para sahabat di bawah Nabi saw.

Sepertinya pertentangan konyol ini, dilihat dari sudut pandang dalam memosisikan suatu objek rujukan adalah sama. Yakni sama-sama meletakkan objek rujukan di bawah Nabi saw. Perbedaan mendasar hanya pada taraf mengenai kemutlakan mengikuti manusia tertentu, sebagaimana kaum Sunni, dan kema’shuman manusia tertentu, sebagaimana kaum Syiah. Pihak yang satu menggaungkan kemutlakan para sahabat untuk dijadikan jalur periwayatan yang valid. Sedang di pihak yang lain berkoar-koar menyuarakan kewajiban absolut untuk tunduk pada sang pewaris kenabian.

Pernyataan antara “kewajiban mutlak mengikuti para sahabat” dan “kewajiban mengikuti para ma’shumin” jelas tak perlu dipertantangkan lagi. Apa salahnya mengikuti mereka semua, para sahabat dan para ma’shumin (jika mereka benar adalah ma’shum), jika semua diletakkan di bawah posisi Nabi saw.? Mereka semua adalah manusia-manusia yang dekat dengan zaman Nabi saw. Pengetahuan mereka terhadap Islam tidak lebih buruk dibanding para pengkritik mereka.

Kodifikasi rumusan hadis patut digalakkan kembali. Menjungkirbalikkan rumusan lama yang kolot dan kaku, serta mengolah kembali sedemikian rupa rumusan tersebut menjadi rumusan baru tanpa diskriminasi mazhab hendaknya menjadi cita-cita para akedimisi. Ini bukan pernyataan yang tergesa-tgesa. Hanya menarik sebuah hipotesis, yang selanjutnya dilanjutkan untuk menciptakan teori agar tercipta peradaban Islam yang baru. Islam yang satu, yang bangkit di tengah kehidupan yang beralih dari modern ke posmodern.

Menciptakan Peradaban Lewat Budaya Baca Tulis

Sejak dahulu manusia senantiasa membentuk peradaban. Evolusi diciptakan dari hasil cipta, rasa, dan karsa demi memenuhi kebutuhan hidup praktis, juga menggaungkan revolusi demi mencapai kemajuan intelektual dan spiritual.

Pengetahuan apakah yang dimiliki manusia sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini menjadi semakin maju? Tidak lain dan tidak bukan adalah kemampuan literasi yang mereka miliki. Dengan literasi manusia membentuk peradaban. Mesir, Mesopotamia, Yunani, India, Cina, Aztek, Arab-Islam hingga Amerika Serikat dan Uni Soviet menggapai kegemilangan peradaban berkat literasi.

Kita dapat melihat berkat pelestarian kultur baca tulis, sejarah peradaban manusia melahirkan tulisan-tulisan para pemikir yang tetap eksis hingga saat ini. Berjejer rak buku di perpustakaan setiap peradaban untuk tunaikan rasa ingin tahu.

Di sisi lain kegiatan literasi tak berbeda dengan perintah wahyu pertama “bacalah”. Sebuah teks Ilahiah yang melampaui zaman untuk merintis jalan terciptanya bangunan peradaban.

Masyarakat pertama penerima wahyu pendahuluan ini, mayoritas tak paham mengeja aksara dan menggunakan pena kecuali segelintir orang saja. Maka ayat ini menyapa pemeluknya agar ritme baca tulis tetap lestari berjalan beriringan.

Pecandu Buku, Gerak Laku Penuntut Ilmu adalah sebuah buku yang mencoba menjelaskan betapa penting literasi dibangkitkan di tengah kehidupan manusia.

Mengutip perkataan penulis “membaca mesti ditradisikan dan menulis wajib diupayakan. Sebab, kita dianggap serakah mana kala banyak baca realitas atau buku, tetapi nihil tulisan sebagai manifestasi mengampanyekan ilmu”. Meramu peradaban melalui tulisan, sindiran dari Vivit Nur Arista Putra untuk para pembaca agar goresan-goresan pena pribadi dilatih sedemikian rupa sehingga keberhasilan menelurkan karya hasil pemikiran pribadi dapat tersampaikan ke anak keturunan kita.

Sebelum mengurai panjang lebar tentang hakikat dari literasi, pertama, penulis  menjelaskan tentang apa itu pena? Pena merupakan medium yang digunakan manusia untuk menciptakan tulisan. Pena atau tulisan adalah nikmat agung yang diperoleh dari Allah swt., seandainya tak ada itu maka hidup tiada tegak dan tak akan layak. Dengan pena manusia kuasa berkarya. Huruf demi huruf, kata demi kata, kata menjadi nama, kata berangkai menjadi kalimat dan nama benda-benda dari objek dunia menjadi mudah diingat melalui perantara pena.

Kedua, setelah mengurai tentang apa itu pena, berikutnya dijelaskan pula tentang keutamaan membaca. Membaca merupakan paradigma yang harus terus disuarakan. Dengan membaca panorama peradaban akan tetap bertahan hingga akhir zaman. Mendorong setiap warga negara untuk melestarikan budaya baca tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Akhir-akhir ini dengan pesatnya kemajuan teknologi, terutama dengan munculnya gawai canggih, budaya baca seperti mundur kembali ke masa lalu. Konsekuensi dari hal ini adalah timbulnya kedangkalan berpikir sebagian warga negara. Aktivitas membaca juga menulis dan meneliti menjadi kian terpinggirkan. Manusia jauh dari buku-buku dan menyebabkan manusia menjadi asosial.

Dalam menghadapi realitas yang bertendensi dominan dengan menurunnya secara drastis budaya literasi. Penulis mengajak para pembaca agar terus menghasilkan pemikiran-pemikiran melalui tulisan karena setiap kita adalah penulis. “Kita menulis bukan untuk dikenang. Terlalu remeh menganggap seperti itu. Kita menulis karena ingin mengikuti sunnah Nabi, mengikat ilmu, mensyukuri nikmat, sebagai salah satu cara menebar manfaat dan menirkan maksiat”. Demikan tulis Vivit Nur Arista Putra.

Segala perhatian dengan maraknya berkembang situs media sosial, penulis banyak mengkritik sebagian manusia yang secara tak sadar telah membiarakan diri mereka terhanyut menjadi konsumen informasi dengan menerimanya secara instan. Berpikir secara mendalam tidak diaktifkan. Akhirnya manusia sekarang cenderung menjadi manusia malas yang tidak lagi mencoba berpikir kritis untuk menciptakan tulisan-tulisan sebagaimana para pemikir terdahulu.

Media cetak atau media kertas yang sekarang telah bertransformasi menjadi media nirkertas dalam bentuknya yang fantastis  seperti internet di abad-21 ini, berakibat pada menurunnya kemampuan kognitif manusia. Menjadi asosial lantaran terlalu asyik dengan internet pribadi mereka sendiri. Sehingga berakibat fungsi otak tidak terasah dari waktu ke waktu.

Sebelum menutup buku ini, penulis juga tidak lupa mengingatkan para pembaca agar senantiasa menghargai pengetahuan dengan cara menulis. Kebutuhan berkirim pesan dalam bentuk komunikasi dan informasi di antara manusia adalah fitrah setiap insan. Negara yang di dalamnya tegak budaya literasi menunjukkan masyarakat di negara itu sangat menghargai pengetahuan. Pengetahuan mencuat ke permukaan lantaran timbulnya budaya literasi dalam bentuk pendidikan atau pengajaran.

Akan tetapi, pendidikan dan pengajaran dalam bentuknya seperti itu tidak lepas dari kendali sang penguasa. Penguasalah yang menginisiasi agar peradaban manusia dan negaranya bertahan lama dan tetap kokoh dari ancaman peradaban lainnya.

Budaya setiap insan mengekor sesuai dengan apa yang menjadi gaya hidup koloni yang mereka ikuti. Tidak heran jika penguasa sangat berperan besar dalam menciptakan peradaban. Kolaborasi penguasa, pemikir, penulis juga pengusaha mesti digalakkan agar tercipta manusia-manusia  yang berkontribusi memajukan ilmu pengetahuan.

Hal menarik dalam buku ini adalah uraiannya dikemas dengan bahasa yang sangat puitik. Tulisan yang diurai dengan kekhasan kodratinya sendiri. Sebagaimana kita ketahui manusia sangat menyukai hal-hal yang berbau estetik. Maka dari itu, buku ini sangat cocok dibaca oleh setiap kalangan, apalagi bagi orang –orang yang senang dengan dunia sastra. Intelektual dan keindahan berkata-berkata dipadu menjadi satu, sehingga membacanya pun mampu memproyeksikan perasaan dan menimbulkan emosi yang khas karena dengan itu pembaca akan menemukan kepuasan dan kesenangan.

Identitas buku:

Judul                      : Pecandu Buku, Gerak Laku Penuntut Ilmu

Penulis                   : Vivit Nur Arista Putra

Tahun Terbit          : 2019

Nama Penerbit       : Beranda

Jumlah Halaman    : 160 hlm.

Kota Penerbit        : Malang

Cetakan                 : Pertama