Semua tulisan dari Putri Reski Ananda

Putri sulung dari pasangan Sehang, BA dan Sitti Hasni. Saudara perempuan dari Hikmat Ramadhan, Nur Azizah Sehang, dan Aliyah Zakirah Sehang.

Surat untuk Nulifar

Saat ini mungkin kau sudah benar-benar dewasa. Bahkan menjadi tua secara perlahan. Mungkin juga kau telah menjadi mapan dan beranak, seperti para sejawatmu. Tapi aku takut saat ini mungkin kita akan pura-pura tak lagi saling kenal. Ada sedikit hal yang ingin kudiskusikan denganmu. Sekiranya di antara waktu berhargamu, ada jeda. Aku bisa kau ajak berduskusi.

Apakah saat ini kau telah sangat bahagia? Dengan dia yang selalu kau elu-elukan? Atau semua telah berlalu dan kau tak lagi peduli tentang kata bahagia itu? Aku merasa yakin kau paling pandai mengabaikan pertanyaannya itu. Seperti dahulu, saat kau masih sangat muda, dan merah muda. Kau selalu mengabaikan saat bahagia, saat sedih, dan paling pandai marah saat panik. Yah, kau selalu panik dan berkeringat dingin.

Apakah kau masih menyukai bunga teratai? Dan masih senang duduk berlama-lama di bawah gerimis? Aku seakan mendengarmu bercerita tentang hari panjangmu, saat senja mulai mengatup. Dan aku masih melihat semesta seperti film yang mengingatkan aku akan tiap inci di wajahmu. Aku seakan melihat Nulifar muda yang bergairah pada tetesan es krim di siang terik, dan seakan melihatmu tersipu melihat foto-foto bayi lucu.

Apakah kau sekarang punya anak-anakmu selucu yang sering kau harapkan? Aku yakin, mereka pasti selucu dirimu. Maaf atas anyarku dulu berharap menyimpan benih padamu. Aku benar-benar menginginkannya, tapi harga dirimu adalah segalaku. Sampai saat ini aku belum memiliki satupun sepertimu. Kau hanya satu, dalam masa hidupku.

Apakah kau masih berpikir aku ingin betul-betul mengusirmu? Tidak, sungguh tidak Nulifar. Aku hanya merasa tak pantas untuk menjamah indahmu. Aku melihat diriku tak akan menjadi sosok sukses yang layak disanding denganmu. Aku bahkan mendatangimu seperti biasa di malam yang kujanjikan dulu. Tapi aku bersembunyi agar kau kecewa padaku. Sampai saat ini aku tak tahu itu benar atau salah. Tapi kita masih sangat muda kala itu, terlalu cepat mengambil keputusan.

Aku takut kau terjebak dalam hiruk pikuk dunia dan lupa tentang indahmu. Kau terlalu indah untuk menjadi biasa. Apakah sejauh ini kau mulai memahami maksud dari suratku? Nulifar, aku merelakanmu lebih dari sekali dalam satu masa hidupku yang singkat. Tapi tidak untuk menjadi seperti orang kebanyakan. Kau lebih dari itu.

Nulifar, aku tahu kau masih diam atas suratku. Aku takut matamu masih memerah saat ini, dan bulir airmata terus kau lepas. Kubayangkan kau mengeryitkan kening sambil menggigit bibir bawahmu. Itu bukan amarah, aku merasakan rindu saat membayangkan wajahmu. Semoga saja setidaknya aku masih menjadi rindu yang kau sembunyikan.

Nulifar, entah mengapa aku merasa masih layak menyimpan rinduku, selalu. Tak anyar jika kau selalu terjadwal dalam mimpiku. Bahkan saat aku mencoba berintim dengan pemujaku, wajahmu adalah puncak hasratku. Aku selalu gagal memulai, dan aku sedikitnya fesimis bisa merindu lainnya saat masih ada kau dalam hatiku.

Aku yakin kau sekarang tak lagi mengeryitkan kening, tapi tersenyum. Dengan senyum itu, aku yakin rindumu mulai bergejolak, dan nafas mulai kau atur. Aku tahu betul pola nafasmu, meski aku tak pernah mendesahnya. Aku tahu betul irama jantungmu, semua itu nampak di mata indahmu. Kau cukup pandai menahan rindu, jika tidak sudah lama kau berlari ke arahku. Karena dadaku selalu siap merasakan detak jantungmu. Karena jariku selalu siap membelai rambut tipismu.

Nulifar, aku menjadi lemah hanya karena menulis surat padamu. Banyak kisah ingin kubagi tapi aku selalu berakhir dengan ungkapan rindu padamu. Bahkan kening yang selalu kudambakan itu masih menjadi candu atas diriku padamu. 12 tahun menantimu tidak sesederhana itu, rindu yang terus menggulung, dan cinta yang terus menggerus diriku, harus kutahan saat kau berkisah tentang kekasihmu. Dan kini telah berlalu lagi tahun-tahun sejak saat itu.

Nulifar, saat kau tiba-tiba membuka mulutmu memanggilku, lagi. Telah 12 tahun terlewati dengan rindu yang kusembunyikan. Tapi dengan mudah semua rindu dan hasratku itu mengambang di atas lautan asmara. Aku kembali kasmaran denganmu! Izikanku aku mengungkapkan diriku, setidaknya aku ingin kau kenang sebagai pepuja setiamu, yang membiarkanmu memanja kapanpun kau ingin.

Aku tak pernah benar-benar meninggalkanmu, bahkan kau ingat bukan saat aku berlari. Aku datang padamu, hingga semua kerabatku mencarimu. Tapi kau terlalu polos dan tak memahami kau adalah rumah bagi rinduku. Kau memilih memulangkanku. Padahal pulang sebenarku adalah kepadamu. Aku ingin bertemu denganmu, berkisah tentang beratnya masalah saat itu. Ingin sekadar melihat wajahmu, agar aku kembali mengisi semangat hidupku. Kau hanya terlalu muda dan polos untuk melihat tatapan pengharapanku saat itu.

Aku menyerah untuk memilikimu, tapi aku tak bisa menyerahkan rinduku. Meski pilihan itu dulu telah kau tegaskan. Aku melihat kegundahan di lisanmu, ada getar saat kau menyebut namaku. Sebenarnya aku yakin bisa memaksamu kembali padaku saat kau nyatakan tentang pilihanmu dulu. Tapi tidak kulakukan, aku yakin secara sadarmu dia lebih baik dariku. Hanya jiwa mudamu menyimpan terlalu banyak rindu untukku.

Aku masih sempat memanjakanmu, meski aku sesekali mengumpat atas egomu. Tapi kasih sayangku lebih besar dari amarahku. Dan egomu menjadi pemaklumanku. Aku tetap memberimu perhatian yang tak bisa selain kuberikan. Beberapa saat kurasakan itu keliru, dan aku menjauh mendiam. Suratku datang hanya ingin mendapat kepastianmu, kepastian bahwa kau bahagia. Jangan sekali-kali kau coba sandirwara kebahagiaan. Aku pasti tahu.

Nulifar, demi tahun-tahun yang kulewati dengan rindu, akan kukutuk diriku bila bahagia tak bersamamu. Nulifar, demi doa-doa yang kupanjatkan, akan kutangisi dirimu bila pilihanmu mengecewakanmu. Nulifar, demi penantian-penantianku, tersenyumlah saat kita berjumpa tanpa rencana.

Demi semua pilihanmu, Nulifar, aku hanya akan selalu menjadi gita dalam lagu kerinduan.

Ilustrasi: http://19thcenturybritpaint.blogspot.co.id/2012_12_01_archive.html

Airmata yang Berdansa dan Puisi-Puisi Lainnya

Airmata yang Berdansa

Tetes demi tetes hujan mengajak airmataku berdansa

Angin sepoi malam ini mengatupkan kelopak-kelopak mataku

Lihatlah romansanya

Saat kelopak-kelopak mataku mengatup

Dan airmataku berdansa di ujung bulu mata itu

[2016]

 

Dendang

Dendang-dendang

Dendang di tepi jalan

Dendang-dendang

Dendang di perjalanan

Dendang-dendang me..

Dendang-dendang me..

Dendang-dendang meninggalkanmu

[2016]

 

Mungkin

Tanganku mulai dingin

Bibirku mulai beku

Aku kedinginan

Kubutuh air panas

Bukan!

Kubutuhkan api unggun

Bukan!

Desah nafasmu

Mungkin!

[2016]

 

Kecukupanku

Melukiskan wajahmu

Aku merasa terkantuk-kantuk

Mengingatmu

Aku tersenyum tipis

Menafsirkan tatapanmu

Kelemahanku

Merindukanmu

Kebiasaanku

Mengenangmu

Kecukupanku

[2016]

 

Ayah

Kupercaya tak ada duka

Lebih dari dukanya

Kupercaya tak ada hari

Lebih dari harinya

Tapi kehilanganmu

Dapat membuatku kehilangan

Sedalam ini, dan sepedih ini

Ayah.

[2016]