Semua tulisan dari S. R. Siola

S. R. Siola, seorang pecinta ilmu dan hikmah. Kecenderungannya terhadap dunia literasi telah terpupuk sejak kecil. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Iran, bidang Filsafat dan Theologi Islam, dan Master Pendidikan di Indonesia. Saat ini menetap di Iran, menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis.

Problem Solving Tools: Tetap Kreatif di Tengah Pandemi

Hampir semua orang mengeluh terpapar krisis ekonomi dan psikologis di masa pandemi Covid-19. Akibatnya, hampir seluruh kegiatan bisnis, administrasi pemerintahan, ibadah keagamaan, sekolah, bahkan kegiatan yoga dan meditasi pun  berlangsung dengan metode daring, atau menggunakan jasa media sosial jaringan internet.

Tidak sedikit dari masyarakat dunia mengalami depresi-komunal di masa pandemi ini. Dapat diraba, bagi mereka yang mati kreativitas dan inovasi, tentulah lebih mudah terjala oleh jaring penderitaan hidup lainnya, seperti penyakit psikosomatis, PHK dini, bisnis gulung tikar, kemalasan akut, mager over dosis, kejahilan atau kemalasan menuntut ilmu- yang semakin membelenggu, dan lainnya.

Pandemi adalah masalah kemanusiaan. Tuhan tentu tidak begitu saja menantang manusia dengan ujian atau cobaan hidup, tanpa hikmah besar di baliknya. Setiap persoalan, ada jalan keluarnya. Iman dan pengetahuan adalah modal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk mencari solusinya. Meski begitu, tetap disadari bahwa dibutuhkan alat-alat Problem Solving yang andal, sebagai produk kompleks dari fungsi kecerdasan buatan dan kognitif tingkat tinggi manusia bumi.

Lalu tools (alat) apa saja yang dapat digunakan untuk menyiasati persoalan manusia? Dengan cara apa, dan metode yang bagaimana? Sebagai catatan, tulisan ini hanyalah pemantik ide yang mengajak para pembaca untuk mengembangkannya secara mandiri dan lebih kreatif.

Ragam Tools

Di sepanjang sejarah hidup manusia, berbagai alat pengurai masalah telah diciptakan. Para pakar sepakat menamakannya dengan problem solving tools. Ada banyak alat, kerap digunakan oleh perusahaan maupun organisasi. Semua tools ini menawarkan dua hal, yaitu solusi dan produk. Solusi berupa ide dan inovasi, sedang produk berupa aplikasi android dan jasa. Beberapa di antaranya:

1-Metode Kaskade (Cascading Method)

Cascading method, atau metode kaskade, atau metode penurunan, adalah alat bantu yang digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah signifikan dalam perusahaan maupun oraganisasi. Teknik metode kaskade adalah dengan memecah-mecah masalah dan mengurainya dari besar ke kecil.

Menurut Imanuel, salah satu penyebab gagalnya seseorang dalam melakukan analisa masalah dan menyelesaikan permasalahan adalah, melakukan analisa secara general tanpa melhatnya secara detail, secara lebih spesifik (Imanuel Iman, Biar Nggak Stress karena Target, Ketahui Teknik Problem Solving Metode Cascading, sentralsistem.com).

Metode ini digunakan untuk memecahkan masalah yang kompleks, termasuk klasifikasi, perkiraan fungsi, dan masalah dinamis. Metode ini mampu melakukan berbagai tindakan pemecahan masalah, dengan teknik penjabaran sistem masalah sebelum proses, menambah keamanan operasi dan akurasi saat proses, dan perbaikan dinamika sistem pasca proses Pablo & Gonzales, Method and A System for Solving Difficult Learning Problems using Cascades of Weak Learners, 2009).

Metode ini diperkirakan sangat tua, jauh sebelum ditemukannya metode Catwoe (1967), sehingga penerapannya dianggap kurang relevan lagi. Meski demikian, metode tua ini sukses dalam desain konfigurasi pesawat supersonik dan mesin besat (Wiley Online Library).

2-Metode RCA (Root Cause Analysis)

Root Cause Analysis (RCA) adalah salah satu tool continous improvement dan metode problem solving yang bertujuan untuk mengidentifikasi akar dari masalah tertentu yang muncul pada sistem atau proses. Berbagai faktor pada metode ini bisa saja menjadi sebab dan faktor-faktor, seperti unsur alam, waktu, tempat, kondisi, sistem, dan faktor manusia.

Namun begitu, berbagai faktor pun dapat menjadi kendala sistem, dan sekaligus pendekatan RCA-nya, seperti: 1- RCA safety-based sebagai pendekatan faktor keselamatan, 2- RCA production-based yang fokus pada manufaktur, 3- RCA process-based yang ruang lingkupnya pada proses, 4- RCA failure-based yang fokus pada mesin dan maintenance, dan 5- RCA system-based yang fokus pada sistem analisis dan resiko kerja (shiftindonesia.com).

Ada lima tahapan yang dapat diterapkan dalam melakukan RCA, yaitu:  1- Tahapan define (mendefinisikan masalah), yaitu dengan mengajukan pertanyaan, apa sebenarnya yang sedang terjadi saat ini?   2- Tahap pengumpulan data yang mencakup bukti-bukti adanya masalah, tentang sudah berapa lama masalah ini telah terjadi, dan apa impact yang dirasakan dari masalah tersebut?   3- Tahap Identifikasi masalah, yaitu dengan menjabarkan urutan kejadian yang mengarah pada masalah, kondis yang terjadi, serta masalah lain yang menyertai.

Tahap identifikasi akar masalah atau tahap 4, pertanyaannya selalu mengacu pada faktor kausal, yaitu mengapahal ini bisa terjadi?   5- Tahap pengajuan dan implementasi masalah, yaitu tahap penggodokan solusi dengan mempertanyakan, usaha apa yang dapat dilakukan? Bagaimana solusi yang tepat? Siapa yang bertanggungjawab mengimplementasikan masalah? Apa risiko dari solusi ini? (shiftindonesia.com).

3-Metode CATWOE Analysis

Metode ini  diperkenalkan pertama kalinya oleh Peter Checkland, pada 1976 yang dikajinya sejak 1960. CATWOE terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:   1- Consumen (pelaku), yang mengarahkan kreativitas ux research menganalisis apa-apa saja yang memberi pengaruh dalam produk/market/organisasi, dan bagaimana pegaruh-pengaruhnya,   2- Actors, yaitu siapa saja yang terlinbat dalam implementasi metode,  3- Transformation Process, yaitu apa dan bagaimana proses dan sistem manajemennya,   4- World View, yaitu tentang bagaimana gambaran besar dari sistem?   5- Owners, yaitu, menelusuri kepemilikan proses, dan   6- Environmental. yaitu mengidentifikasi kendala apa saja yang terdeteksi dann keterbatasan yang akan mempengaruhi solusi dan keberhasilan.

Implementasi CATOWE sama saja dengan metodelainnya yang berpusat pada pengumpulan data, infoemasi, ide dan gagasan. Semua bermula pada seberapa jeli anggota tim meramu pertanyaan yang berangkat dari masalah, menuju solusi (oursolving.blogspot.com).

4-Metode Brainstorming

Di antara problem solving tools yang akrab hingga ke telinga pelajar Indonesia, adalah brainstorming. Ditemukan pertama kali oleh Alex Faickney Osborn, yang akhirnya dikenal dengan Bapak Brainstorming.

Metode ini merupakan teknik curah gagasan untuk mencari solusi suatu permasalahan. Teknik ini sangat membantu menyelesaikan masalah dengan memilih ide terbaik dari sekian banyak ide, dianggap paling ideal, dan tidak menimbulkan permasalahan baru.

Teknik brainstorming dianggap cara tercepat untuk melahirkan ide cemerlang secara sederhana. Dapat diterapkan oleh siapa, kapan, dan di mana saja. Teknik ini dilakukan dengan secara tim, dipimpin oleh seorang leader, notulen untuk mencatat semua ide yang tercurah, dan tidak ada penghakiman saat proses curah ide. Setelah ide terkumpul barulah di adakan pemilahan ide, dengan pendekatan beberapa pertanyaan kritis (mindtools.com).

5-Metode SCAMPER

Scamper atau gabungan dari tujuh teknik sederhana, yaitu 1- Substitute, yaitu mengganti komponen pendukung, bahan, SDM, dan komponen lainnya,  2- Combine, yaitu usaha mengkombinasikan produk-produk yang ada di pasar, 3- Adapt, yaitu upaya mengubah dan menyesuaikan produk,  4- Modify, yaitu upaya menambah atau mengurangi skala, bentu, dan modfikasi produk  5- Put to Another Use, yaitu menggunakan produk untuk manfaat yang lain, 6- Eliminate, atau upaya menyederhanakan elemendan komponen produk, dan 7- Reverse, yaitu upaya mengatur ulang prototype pasca evaluasi.

Metode kreatif yang diperkenalkan oleh Alex Osborn ini, disusun kembali oleh Bob Eberle di awal 1970 an, dengan tujuan mengembangkan kreativitas usaha yang mengalami penurunan produktivitas, serta pengembangan produk baru yang lebik unik.

6-Metode Design Thinking

Design thinking adalah metode penyelesaian masalah yang berorientasi pada produk, prototipe, maupun jasa. Di antara tools yang ada, design sprint merupakan metode tercepat untuk dapat menciptakan solusi-berbentuk, dengan alokasi waktu enam hari, atau bahkan enam jam saja, dalam enam tahapan, yaitu: 1- tahap memahami masalah (understand), 2- menentukan masalah (define), 3- tahap variasi (diverge), 4- konvergensi (decide), 5- tahap purwa rupa (prototype), 6-tahap validasi (validate).

Pada tahapan understanding, anggota tim dituntut mendalami dan mengidentifikasi masalah yang diajukan dengan baik dan benar, sesuai sudut pandang kecakapan maupun secara bebas. Pada tahap ini, anggota tim diharapkan mengumpul data, ide, dan gagasan sebanyak mungkin. Tahapan dilanjut dengan tahap define, yaitu tahap pendefinisian masalah, awal hingga akhir proses.

Di tahap diverge, tim dituntut mencari solusi baik berupa gagasan, pendangan, maupun ide. Pada tahap ini, teknik brainstorming difungsikan. Setelahnya, di tahap decide, Ide-ide yang disepakati siap dipilah, dan memilih satu ide paling cemerlang, hingga mengantar pada tahapan purwa rupa, atau perancangan bentuk produk (prototype). Adapun produk hanya dapat dipasarkan pasca validasi oleh user atau tahap pengujian. Pada bahasan yang lebih luas, diperlukan penjelasan lebih terkait kepuasan konsumen (ux research).

Dalam perngembangannya, design thinking bahkan mampu menyelesaikan masalah dalam rentang waktu dua jam, dengan lima tahapan saja. Metode ini pun disebut design sprint. Kekuatan metode ini terletak pada kemampuan tim solidnya.

Adapun persiapan yang perlu dilakukan adalah, 1- pembentukan tim yang terdiri 3 hingga 4 orang per kelompok, meliputi kecakapan leader, bisnis, IT, dan seni (design). Biasanya, alat tambahan yang disertakan berupa sticky notes, voting dot sticker, kertas A4, spidol papan, pensil, notes, whiteboard, kertas warna, dan stopwatch.

Tulisan ini hanyalah pemantik awal terkait bagaimana manusia mestinya mampu memanfaatkan dan mengusahakan cara-cara manusiawi dalam penanggulangan wabah pandemi dan persoalan lain. Tantangannya adalah dapatkah alat-material ini menyelesaikan problem-problem sosial dan psikologis dampak covid-19? Di sinilah kreativitas manusia dibutukan untuk berkolaborasi dengan akal dan imannya. (srsiola, founder Makassar Inspira School)

***

Kelas-kelas gratis yang disarankan untuk dikunjungi:

1-Google Design Sprint

2-Codex Telkom Indonesia

3-DILo Telkom seluruh Indonesia

4- mindools.com

 

Ilustrasi: https://www.industryweek.com/operations/continuous-improvement/article/21128859/better-problemsolving-through-perseverance

Marxisme dan Komunisme dalam Beragam Perspektif

 

Sebuah perjumpaan intelektual antara Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, Dr, Diks S. Pasande,  Dr. Muhammad Ashar, Dr. Lukman Hakim Hussan, Dr. Syafinuddin Al-Mandary, Affandi Ismail dalam Webinar yang digelar Komisi Intelektualitas dan Peradaban Islam PB HMI MPO dengan tema “Telaah Kritis Marxisme-Komunisme: dari Tinjauan Filsafat hingga Kegagalan Praktik Politik, Sosial, dan Ekonominya di Dunia”

 ***

Belakangan ini banyak kelompok mencoba memperingatkan bangsa Indonesia akan kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di tanah air. Mereka berdemostrasi di sudut-sudut jalan sembari membakar atribut PKI, melakukan rasia buku kiri, membubarkan kajian-kajian dan nonton bareng berbau Marxisme, dan beberapa menghembuskan hoaks  tentang adanya adanya lokasi yang dicurigai sebagai markas PKI.

Tulisan ini disusun sebagai jawaban atas sebuah ketakutan yang ingin ditularkan secara komunal oleh golongan tertentu. Mungkin, jika komunisme dikenal lebih dalam dan perkembangannya di dunia saat ini, maka kepanikan yang ada di kalangan awam tidak akan ditumpangi secara mudah dan murah oleh kelompok tersebut.

Tulisan ini juga merupakan ringkasan pemaparan yang disintesis dari beberapa pembicara dalam webinar “Telaah Kritis Maxisme-Komunisme (dari Persfektif Filsafat, hingga Kegagalan Praktik Politik, Sosial, dan Ekonominya di Dunia”, diadakan oleh  Komisi Intelektualitas dan Peradaban Islam PB HMI MPO, Minggu, 26 Juli 2020.

Prof. Franz Magnis Suseno : Marxisme, Leninisme, Komunisme

Di awal pemaparan, Prof. Magnis berpendapat bahwa Tap. MPRS No. XXV, tahun 1966 tidak perlu dicabut, sebab pikiran tentang PKI tidak dapat dimusnahkan begitu saja tanpa paksaan dan ancaman. Ini sangat berbahaya dan mustahil dilakukan, kecuali dengan kematian.

Budayawan yang kerap dipanggil Romo ini juga memaparkan bahwa, marxisme tak lain adalah bentuk kritik Marx terhadap kapitalisme, yang secara internal terdapat kontradiksi di dalamnya. Bagi Marx, yang menentukan kemajuan perkembangan umat manusia adalah ekonomi.

Sementara kaum kapitalis kerap melakukan eksploitasi tanpa batas terhadap kaum buruh. Urusan upah tidak akan pernah beres di tangan kapitalis, dan dibutuhkan sebuah revolusi oleh kaum buruh untuk menghentikan dan melenyapkan penindasan kaum Borjuis, sekaligus menghadirkan keadilan dan pemerataannya. Bagi Marx, masyarakat berkeadilan adalah masyarakat tanpa kelas, sehingga dibutuhkan pertentangan kelas di dalamnya.

Pasca 20 tahun kematian Marx, Lenin menafsirkan pandangan sosiologi Marx, mengatakan bahwa kaum buruh tidak akan mampu berjuang sendiri, kecuali mewadahkan diri dan hak-hak mereka dalam kepartaian. Di sini, pandangan sosial Marx berevolusi secara radikal ke ranah politik. Ide Lenin -yang terkenal bengis, membenarkan teror dalam perjuangannya merebut kekuasaan bagi kaum buruh. Di sinilah akar dan bentuk pemberontakan (bahkan revolusi) para aktivis partai komunis.

Guru Besar Emeritus STF Driyakara ini juga memaparkan sebab-sebab keruntuhan Soviet, menuding komunisme sebagai biang, tidak mampu menjamin kesejahteraan masyarakat sosialis secara mandiri. Lenin secara ideal, menolak keterlibatan kaum kapitalis dalam sistem ekonomi negara, bahkan menghilangkannya. Dan ini berbeda dengan penerapan yang dilakukan oleh Deng Xio Ping dalam membangun Cina baru, dengan mengadopsi kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan komunis sebagai ideologi negara.

Menyikapi kebangkitan PKI di Indonesia, Prof. Magnis memaparkan bahwa komunisme merupakan salah satu bentuk sosialisme yang hanya dapat dijalankan secara partai politik dan sistem pemerintahan.

Komunisme yang bercokol di tubuh PKI, menganut Marxisme-Leninisme yang sedikit banyak berpaham anti Tuhan. Sehingga ketakutan akan kebangkitan kembali PKI di Indonesia adalah ketakutan yang tak beralasan, sebab komunisme sangat bertentangan dengan sila pertama Pancasila, dan terlebih stigma PKI telah hancur oleh rezim orde baru.

Dr. Diks S. Pasande: Marxisme-Komunisme dalam Tinjauan Filsafat

Sejujurnya penulis kehilangan potongan rekaman dari pemaparan Dr. Diks S. Pasande terkait Marxisme-Komunisme dalam tinjauan filsafat. Akan tetapi, untuk kelengkapan tulisan ini, penulis berniat menutupnya dengan sebuah catatan yang tidak menyandarkannya pada pemateri asli.

Kata komunisme terdiri dari dua kata, yaitu commun (masyarakat) dan isme (pahaman). Jadi, komunisme secara bahasa adalah sebuah pahaman tentang masyarakat. Pahaman ini digagas oleh seorang sosiolog-ideolog bernama Karl Marx, seorang filsuf Jerman, sekaligus  ekonom masyhur dunia.

Kaum filsuf memahami pandangan Marx, bukan sekadar teori dalam ilmu sosial-ekonomi belaka, melainkan sebuah ideologi menyeluruh dengan segala pandangan filosofisnya, politik, sosial, ekonomi, budaya; yang kesemuanya bersifat integral, menawarkan konsep masyarakat ideal; yaitu masyarakat yang tidak ada lagi pertentangan kelas di dalamnya. Analisa Marx, ketika pertentangan kelas lenyap, maka keadilan dan kesejahteraan sosial akan merata dengan sendirinya.

Tujuan ideal dari teori sosial Marx adalah menciptakan masyarakat berkeadilan sosial dan sejahtera. Jika perlu, maka ditempuh jalan revolusi; yaitu melakukan perombakan menyeluruh ke setiap segmen struktur masyarakat. Perombakan dapat dimulai dengan mengambil alih alat-alat produksi negara dari penguasaan kaum borjuis. Menurut Marx, alat-alat produksi negara sepantasnya dikuasai oleh kelas proletar, sebab mereka adalah pemilik sejati dari alat-alat yang digunakan dan dioperasikan sehari-hari untuk kesejahteraan mereka.

Kaum proletar yang dimaksud Marx adalah kaum tani, nelayan, buruh pabrik, dan lainnya. Bagi Marx, alat-alat produksi suatu negara dapat berupa sawah, cangkul, bibit, pupuk, dan sejenisnya untuk negara agraris; bahan mentah, rumah industri, mesin produksi, dan sejenisnya untuk negara industri; kapal nelayan, jala, lautan, dan sejenisnya untuk negara maritim.

Ketika kaum borjuis (pemilik modal/kapital, stake holder, bahkan negara) merebut kepemilikan alat-alat produksi dan menguasai secara eksploitatif, maka ada sesuatu yang menjadi alat pengikat secara emosional di kalangan kaum proletar untuk bersatu, bangkit dari tekanan psikologis-ekonomis, dan melakukan perlawanan. Inilah yang disebut Marx dengan pertentangan kelas. Hasil akhir dari pertentangan ini adalah masyarakat berkeadilan. Sebab ketika berakhir, maka tak satu kelas sosial pun yang menguasai kekayaan secara dominasi dan timpang. Keadilan sosial pun akan merata.

Pada mulanya, menurut Marx, kaum proletar dan borjuis ini sama-sama eksis dalam masyarakat sosial, kemudian dipertentangkan dan akhirnya kedua-duanya hilang tersistesis menjadi masyarakat hybrid yaitu masyarakat komunis. Ini adalah bentuk implementasi konsep trilogi tesis dalam konsep Dialektika-Hegel yang diadopsi oleh Marx.

Marx membangun pandangan filsafatnya dengan menggabungkan dua pahaman filosofis, yaitu materialisme-Ludwig Feuerbach dan dialektika-Hegel. Jika konsep dialektika mengatakan bahwa tidak ada satu pun kebenaran mewujud di realitas eksternal, maka materialisme adalah sebuah pahaman saintis yang mendudukkan materi sebagai satu-satunya substansi-absolut.

Sebagai tambahan, Marx dalam implementasi trilogi tesis-Hegel berpendapat bahwa, untuk mendapatkan kebenaran-sintesis, maka dibutuhkan pertentangan tesa (A) dengan anti-tesa (-A). Ketika tesa (kapitalisme-boejuis) dipertentangkan dengan anti-tesanya (sosialisme-proletar), maka hilanglah tesa dan antitesa. Keduanya melahirkan satu sintesis baru yaitu keadilan sosial-komunisme.

Dr. Muhammad Ashar: Tinjauan Sosiologi Komunisme-Marxis

Sosiolog yang mendapatkan gelar doktornya di Universitas Negeri Makassar ini memulai paparannya dengan mengutip satu penyataan yang cukup mengejutkan, “In the history of the modern worlds, there has never communist countries.” Bahwa sepanjang sejarah negara-negara modern, belum pernah terbentuk negara-negara komunis. Ditafsirkan oleh beliau bahwa, komunis tidak pernah mati, sebab tidak pernah mewujud. Adapun yang merealitas selama ini dan kemudian runtuh, adalah negara-negara sosialis.

Sosialisme-Marx yang dikutip oleh Dr. Ashar, pada hakikatnya adalah negara transisi dari keruntuhan kapitalisme menuju komunisme. Fase komunis belum pernah terwujud sama sekali hingga akhir hidup Marx dan pasca kewafatannya, berdasarkan cita ideal dalam paparan Marx. Di luar dugaan, Dr. Ashar mengutip  pandangan para Marxis kontemporer, bahwa terdapat satu negara di Amerika Latin yang menerapkan Komunisme ideal. Akan tetapi menurut kajian sosiologi, implementasi ini hanya pada tingkat meso (intermedite structure), yaitu tataran suku, dan bukan makro (negara, state).

Dr. Ashar juga mengutip sebuah pandangan ilmiah dari Alberto Alesina dan Nicola Fuchs Schündeln, tertuang dalam riset mereka yang berjudul, “Good bye Lelin (or not?): The Effect of Communism on People’s Preferences”, NBER Working Paper no.11.700, menemukan fakta bahwa benar kekalahan komunisme ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin.

Akan tetapi pasca kejatuhannya, masyarakat Jerman Timur (negara bekas sosialis, di bawah pengaruh Soviet) terus menyosialisasikan pahaman-pahaman sosialisme terhadap penduduk Jerman Barat (pengaruh Inggris dan Amerika kuat di sana), juga pemerintah Jerman baru, dan pengaruh merasuk hingga ke parlemen. Ini berarti, ada saja celah bibit sosialime untuk bersemi kembali.

Adapun fenomena sosial yang terjadi di negara-negara Scandinavia, bukanlah seperti yang diduga menerapkan prinsip-prinsip sosialisme, melainkan kapitalisme. Kesejahteraan tercapai di Scandinavia yang ekonominya justru mengimplementasikan prinsip kapitalisme. Ini bisa dilacak dalam bank-bank data dunia, dan bertentangan dengan tesis Marx bahwa kapitalisme tidak akan mampu mewujudkan kesejahteran sosial.

Meski demikian, Dr. Ashar tidak menafikan kekejaman yang dilakukan kapitalisme sebagaimana komunisme. Kapitalisme membunuh ratusan juta masyarakat dunia, ekologi, kelaparan, kekurangan air bersih, lubang ozon, diskriminasi perempuan, dan bencana kemanusian lainnya; dampak dari pembangunan, industrialisasi, dan mekanisasi dunia

Dr. Lukman Hakim Hassan: Tinjauan Ekonomi Marxisme

Sebuah pertanyaan mengawali pemaparan Dr. Lukman Hakim, bahwa apakah komunisme telah gagal sebagai sistem ekonomi? Pertanyaan ini pernah dipertanyakan kepada Joan Violet Robinson (1903-1983), seorang perampuan -calon penerima penghargaan nobel ekomoni, 1970 an, bahwa apakah non market mechanism yang diterapkan di negara-negara komunis berpeluang untuk menciptakan sebuah kesejahteraan sosial? Joan Robinson menjawab, “Ya, bisa.” Setelah uji intelektual ini, ia batal menerima Nobel yang diprakasai oleh negara-negara kapitalis-Barat.

Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret ini rinci memaparkan pemikiran ekonomi Karl Marx, yang masa hidupnya berada di zaman antroposentris, di mana manusia adalah pusat sistem, dan bukan Tuhan sebagaimana diyakini oleh paham teosentrisme. Tapi, dalam pandangannya, Karl Marx justru meyakini bahwa ekonomi adalah pusat sistem (ekosentris). Bahkan secara ekstrim, segala produk pikiran manusia (politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya), adalah bermotif ekonomi.

Di banding ekonom dunia lainnya, seperti Adam Smith dan J. M. Keynes, Marx mampu membuktikan secara empiris melalui data dan angka, bahwa eksploitasi yang dilakukan kapitalisme terhadap kaum buruh cukup mencengangkan, dengan menerapkan jam kerja paksa pada buruh tanpa gaji.

Marx menilai dan membuktikan bahwa hubungan antara majikan dan buruh terdapat nilai lebih yang menindas, disebut surplus value dalam Sosialisme Ilmiah. Kritik Marx ini memaksa kapitalisme Eropa mengubah wajahnya lebih lembut dan balance, dengan melakukan banyak perubahan seperti perbaikan upah buruh, penerapan jam kerja, dispensasi lembur diterapkan, dan sebagainya. Ini peran terbesar Karl Marx mengubah wajah ekonomi dunia saat ini.

Pasca wafat Marx, Lenin merevolusi pikiran-pikiran Marxisme secara radikal, dan mengabaikan mekanisme pasar (non market mechanism), dan memaksakan sistem ekonomi terpusat di mana mekanisme dan harga pasar sepenuhnya ditentukan oleh negara. Tapi konsep Lenin ini dianggap tidak masuk akal, sehingga turut menjadi sebab runtuhnya Soviet. Sama dengan kondisi yang terjadi di negara komunis China di masa Mao Zedong. Akibatnya, kondisi ekonomi China ambruk saat itu. Berbeda dengan Deng Xio Ping yang menganut mekanisme pasar, atau pemerintah pro terhadap pasar dengan menganut kapitalisme-negara.

Di akhir pemaparan, Dr. Lukman Hakim mengatakan bahwa komunisme-marxisme-leninisme selain telah gagal secara ekonomi, juga sekaligus pelaku kejahatan ekonomi dan kemanusiaan itu sendiri. Tak jauh beda dengan kapitalisme!

Dr. Syafinuddin al Mandari: Komunisme dalam Pandangan Khittah Perjuangan HMI MPO

Syafinuddin al Mandari, Ketua STI Madinatul Ilmi, Depok, memapar Khittah Perjuangan HMI MPO terkait wawasan ilmu (prinsip-prinsip epistemologi) dan wawasan sosial (setiap individu memiliki spirit sosial/jiwa kemasyarakatan). Sehingga setiap manusia, terkhusus kader HMI MPO tidak patut untuk berlepas diri dari permasalahan sosial di mana ia berada, termasuk menyikapi marxisme-komunisme ini.

Alumni HMI MPO ini juga menegaskan bahwa, ketakutan terhadap kebangkitan kembali PKI saat ini adalah tidak beralasan. Beliau memapar bahwa stigma ini telah mati atau sulit untuk hidup lagi. Satu per satu negara sosioalis telah runtuh. Negara komunis yang eksis saat ini, yaitu Thiongkok justru membangun sistem kapitalisme negara di dalam negara untuk kestabilan ekonominya. Sementara Korea Utara cukup terseok mempertahankan keberadaannya.

Terakhir, pesan senior HMI MPO ini fokus pada gerakan intelektual, yang mesti terus dijunjung tinggi oleh seluruh kader, bersikap terbuka, dan tidak malah ikut kelompok-kelompok yang cenderung mematikan gerak intelektualitas, dengan melakukan rasia-rasia buku berbau kiri, membubarkan kajian-kajian Marxisme, dan senadanya.

Pandangan Affandi Ismail Mengenai Marxisme-Komunisme

Ketua terpilih PB. HMI MPO, Affandi Ismail dalam paparannya lebih banyak membahas sejarah dan perkembangan marxisme-komunisme dalam tinjauan filsafat. Juga berkeyakinan bahwa fenomena PKI di Indonesia adalah sudah usang, sudah lama mati, dan sulit untuk bangkit lagi. Kecuali dalam bentuk neo-komunisme seperti yang dicemaskan oleh Dr. Mastur Thoyyib, seorang sepuh HMI MPO yang turut dimintai pandangannya. Mereka yang masih bercita ingin menghidupkan kembali ideologi komunisme di Indonesia di anggapan Affandi adalah seorang intelektual, atau ideologi, atau aktivis yang belum kelar kajian filsafatnya.

Akhirnya, kajian berdurasi panjang yang berjalan hampir selama empat jam ini, ditutup dengan sesi tanya jawab dan closing statement oleh masing-masing pemateri.

Menyelami Kepercayaan Leluhur Toraja Melalui Cerpen “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon”

 

Berterimakasihlah kepada para penulis yang setia bekerja menghubungkan dimensi kekinian kaum dengan sejarahnya. Mereka sukses mengabadikan tradisi, gaya hidup, dan cara pandang masyarakat tertentu dalam sebuah karya sastra.

Karya sastra, adalah bagian integral budaya masyarakat yang secara rinci menjelaskan adat istiadat, kelas sosial, konflik yang terjadi, pola laku, politik pemerintahan, serta puncak pengetahuan yang sukses dicapai.

Karya sastra, melalui buah pikiran dan perasaan dari unsur-unsur yang berhasil diadopsi, dapat dibaca dan dikaji ulang, juga sebagai bahan riset kajian antropologi terkait dimensi bahasa, religi, mitos, hukum, adat istiadat membumi. Mungkin tak berlebih jika dikatakan, bahwa karya sastra adalah lisannya peradaban.

Meski begitu, karya sastra tak selalu lurus. Ada saat karya sastra “bengkok” dijumpai. Di mana ada kesejatian, maka di situ ada kepalsuan.  Karya sastra di satu waktu tertentu, perlu dikaji untuk dikritik. Olehnya ada dikenal istilah kritik sastra.

Cerpen Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon[1], karya Faisal Oddang, merupakan karya pertama penulis yang diabadikan oleh Harian Kompas (Mei, 2014), sekaligus menjadi cerpen terbaik Kompas di masanya.

Faisal Oddang adalah seorang penulis muda kelahiran 1994, Wajo, Sulawesi Selatan. Wikipedia mencatat, penulis muda ini banyak menulis karya yang secara khas bertemakan tradisi dan adat istiadat di Sulawesi. Inilah yang menjadikan, Faisal, banjir penghargaan. Ketika para penulis muda ramai mempromosikan novel pop Barat (mertopop), Faisal justru giat mempromosikan budaya bangsanya sendiri. Walau banyak ditemukan kritikan tajam atas budaya daerahnya, tapi tetap sarat makna.

Berlatar belakang mistis Toraja, pekuburan Tarra, atau pekuburan pohon yang dikhususkan bagi jenazah anak-anak adat yang meninggal di usia bayi. Biasanya pohon yang digunakan adalah Pohon Tarra berdiameter besar, dan mengandung getah yang banyak. Diyakini, getah pohon Tarra adalah pengganti air susu ibu, agar tak kehausan di alam sana.

Alkisah, Runduma, adalah bayi laki-laki dari kasta Tokapua (kasta raja), telah sepekan menempati bilik tertinggi di tubuh Indo. Pohon Tarra diibaratkan seperti ibu yang memeluk kasih para anaknya yang berpulang. Randuma berkenalan dengan Lola Toding, bayi perempuan dari kasta Tomakaka (kasta pekerja), dan menceritakan kisah paling menyayat dalam hidupnya.

Runduma lahir sebelum Ambe (ayah) dan indonya (ibu) menikah. Mereka berzina, dan solusi terbaik adalah pernikahan. Dikarenakan keduanya dari kasta Tokapua, maka perhelatan nikah pun menjadi tak sembarang. Ada nilai mahal yang mesti ditebus. Ambe Runduma pun terlilit hutang mahar, dan beban ini membuatnya menjadi gamang, pemarah, dan murka. Hingga satu hari menggampar fisik istrinya. Runduma yang berada di gendongan sang ibu, tiba-tiba terlempar ke lantai. Kepalanya yang berdarah-darah, mengantarkannya ke dekapan Indo Tarra.

Hingga di satu hari, saat Runduma bertandang ke kamar Lola, obrolan mereka dibuyar oleh serombongan turis yang didampingi seorang pemandu wisata, yang rupanya adalah Ambe’ Runduma. Tak disangka, lelaki itu memanjat pohon, memunguti tulang-belulang Lola. Ia menjualnya dengan senilai Dollar. Saat itu, Lola menghilang. Indo Tarra menjerit sejadinya, dan Runduma meraung kehilangan. Passiliran pun dimakan sepi mencekam.

***

Sastra membisikkan curahan hati terdalam masyarakat, yang kadang membahagiakan dan kadang tidak. Di cerpen “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon”, Faisal Oddang memaparkan beberapa fenomena yang banyak terjadi di kalangan masyarakat Toraja, khususnya yang masih menganut ajaran Aluk Tadolo.

Pada Aluk Todolo, Akar Indo Tarra Menghujam

Aluk Todolo adalah aliran kepercayaan asli masyarakat Toraja, jauh sebelum agama Kristen masuk dan memayoritas di Toraja. Berdasarkan kajian budaya yang rumit dan dalam, Aluk Todolo oleh pemerintah disematkan sebagai satu sekte aliran Hindu-Bali (atau Hindu Dharma Aluk Tadolo, Hindu Alukta, berdasarkan SK. Dirjen Bimas Hindu-Budha, No. Dd/H/200-VII/69, tetanggal 15 November 1969).

Aluk Todolo banyak berkembang di Toraja dan tanah Luwu, berdasarkan trah Puang Soloara di Sesean, Puang Ri Kesu di Gunung Kesu, dan Puang Tamboro Langi (Saweridaging).

Menariknya, keyakinan Aluk Todolo masih hidup dan berkembang di Toraja. Bisa dikatakan, apapun agama resmi yang dianut, tradisi Aluk Todolo masih terus dijaga dan dilestarikan. Tradisi yang dijalankan seperti Rambu Solo’, Rambu Tuka’, Ma’Nene’, Rampanan Kapa’ (tradisi Pa’sullean Allo dan Tananan Dapo), Sisemba (bagian dari pesta panen), dan lainnya, tentu saja diperuntukkan bagi Puang Matua.

Setelah masuknya ajaran Kristen ke Toraja, Aluk Todolo diposisikan sebagai tradisi yang tak mengganggu ajaran agama. Bahkan gelar atau sebutan puang, tetap diadopsi untuk penyebutan Tuhan Yesus Kristus (Puang Yesu). Demikian juga dengan Tuhan Islam (Puang Alla Ta’ala).

Aluk Todolo meyakini bahwa ajaran luhur yang tersebar pada hakikatnya berasal dari poros langit. Apa yang dari bumi, akan kembali lagi ke langit. Termasuk arwah bayi yang meninggal. Agar cepat sampai ke langit, maka jenazah anak bayi Aluk Todolo ditempatkan ke Indo Tarra (saya menyebutnya, ibu bumi, atau kekasih Mother Gatra). Semakin tinggi posisi jenazah ditempatkan, maka semakin cepat sampai ke Nirwana.

Pertanyaan sedikit mengganggu, akankah akal aktif manusia masih mampu melestarikan ajaran dan tradisi Aluk Todolo hingga berjuta tahun lagi? Seberapa Indo Tarra’akan bertahan saat Lembaga-lembaga lingkungan hidup internasional mulai menyelidik satu-satu kulit pohon yang sengaja rusak, dilubangi dan dimasukkan ijuk ke batangnya, diberi makan daging dan tulang belulang bayi? Akankah tangisan Indo’Tarra kembali akan meraung-raung saat hutan di Kampung Kambira, Sangalla, ditutup paksa dengan alasan demi kelestarian hutan?

Kasta dan Kelas Sosial

Umumnya diidentikkan dengan kasta atau tingkatan derajat pada silsilah marga dalam masyarakat. Biasanya, ada kasta tinggi (kalangan raja dan bangsawan), kasta menengah (pekerja, perwira,dan ksatria), dan kasta rendah (masyarakat awam).

Dalam tatanan masyarakat Aluk Todolo, perbedaan kasta masih diakui. Setidaknya ada kasta Tokapua (golongan raja dan bangsawan), Tomakaka (golongan cendikiawan, guru, dan ksatria), dan Tobuda (golongan masyarakat awam).

Hampir banyak ditemui, penyelenggaraan tradisi keseharian seperti upacara kelahiran, pernikahan, kematian, naik rumah, pesta panen di Toraja dan bahkan daerah lainnya, selalu saja mengacu pada kasta sosial ini.

Kasta Raja (Tokapua) diibaratkan dengan kemewahan, spesial, mahal, dan berbilang rupiah. Meski begitu, selalu ada premis pembelaan bagi para bangsawan. Untuk menyelamatkan mereka dari kritikan gaya hidup royal dan pesta pora, ada kedermawanan dan momen berbagi di sana. Rambu Solo, umpamanya. Dari 100 ekor tedong bonga yang disembelih, toh semuanya dikembalikan lagi kepada para pemimpin tongkonan, untuk dibagikan ke warganya. Meski semuanya tak lepas dari kata berhutang”.

Lagi, masih banyak pelayanan administrasi dan birokrasi melihat status masyarakat. Umumnya, para pejabat dan keluarga pejabat selalu dipandang istimewa untuk lebih dahulu dilayani oleh para pegawai administrasi. Demikian juga dengan hubungan kekerabatan.

Meski Faisal Oddang mewakili fenomena ini dengan Toraja, toh hukum ini banyak berlaku di daerah lain di Nusantara. Satu kritik yang baik!

Terkait kasta, seolah ada unsur kesengajaan (senantiasa) dipelihara untuk mempermudah akses pelayanan dan khidmat ini. Setidaknya, fenomena ini juga terjadi di beberapa kota Metro berstatus masyarakat urban (daerah netral), yang jauh dari cerapan budaya daerah tertentu. Fenomena kasta masih ada. Kental!

Terkadang miris juga menghadapi ketidakadilan pelayanan berdasarkan kasta Monarki ini. Di satu sisi, ingin berterimakasih rasanya dengan upaya-upaya liberal Barat untuk mengganti pelayanan kasta ini dengan sistem anti-demokrasi mereka, agar pelayanan (minimal) berdasarkan “siapa cepat datang, maka dia yang terlebih dulu mendapat pelayanan. Tapi mengingat dampak negatif dari liberalisasi Barat yang cenderung merusak (menggerus) nilai budaya setempat, maka sebagian orang melestarikan kelas dan kasta. Terutama oleh mereka yang merasa berkepentingan.

Adapun ketimpangan sosial yang terkadang merugikan kasta bawah, secara lembut tersirat, dibayar dengan keadilan dalam takaran lain. Setidaknya masyarakat kelas bawah (Tobuda) tidak diharuskan menyembelih ratusan tedong bonga dan menikmati beban hutang-hutangnya. Melainkan, mendapat belas kasih dari kelas Tokapua berupa persembahan-kedermawanan dari sembelihan daging dan lainnya. Meski demikian, gaya hidup tetaplah gaya hidup. Terkadang, ada niatan terpendam untuk terus memperbaiki strata dan kasta sosial. Setidaknya naik satu level.

Ajaran Leluhur dan Agama Baru

Setiap tatanan masyarakat, ada hukum  yang berlaku dan mengikat. Masyarakat Islam Arab Modern (diwakili, Arab Saudi) mengikatkan diri mereka pada hukum Islam bermazhab Salaf-Wahabiah. Masyarakat Iran Islami berpayung pada sistem Wilayatul Faqih-Islami. Barat pada sistem liberal yang berasas kebebasan, persamaan, dan kesetaraan-Humanis. Begitu pula dengan Aluk Todolo berpegang pada ajaran leluhur.

Merujuk Wikipedia, Aluk Todolo yang berkembang di Toraja saat ini adalah Aluk Sanda Pitunna, yaitu ajaran leluhur yang mencakup tata hidup beragama (sukaran aluk), larangan (pammali), kebenaran umum (sangka), dan kejadian sesuai alurnya (saluna, saya mengira-ngira sama dengan hukum kausalitas).

Meski cerpen Faisal Oddang hanya mengundang pembacanya mengenal tradisi Toraja hingga batasan desa Kambira saja, tapi cukup mengundang rasa penasaran untuk menelisik hingga ke kalbu Tanah Toraja. Bahwa tradisi menanam bayi di Indo Tarra hanyalah bagian kecil dari tujuh tahapan pesta kematian Aluk Todolo (yaitu Rapasan, Barata Kendek, Todi Balang, Todi’ Rondon, Todi Sangoloi, Di Silli, dan TodiTanaan).

Ah, terkadang saat menulis kajian-kajian budaya begini, saya selalu takjub dengan ajaran leluhur. Begitu cerdas Tuhan leluhur mempertahankan agama-Nya. Dijaga dan dicintai dengan setia. Sayang, penganut agama-agama modern kerap memanfaatkan kesederhanaan dan kepolosan para leluhur. Memperkenalkan “Tuhan baru” dengan term-term sama (puang, karaeng,  gusti, dan lainnya), tapi memaksakan misdaq Tuhan lain untuk disembah. Memaksakan agama, ideologi, dan Tuhan baru pada masyarakat yang sudah beragama.

Zina, Pelanggaran Hina Adat

Pelanggaran terhadap perbuatan “manusiawi” ini selalu berujung maut. Hampir seluruh adat Nusantara menganggap pernikahan adalah sesuatu yang sakral-berporos langit, sedang perzinahan adalah pelanggaran berat berbuah kematian dan pengusiran.

Terkadang, penegakan hukum bagi pasangan yang melanggar tidak butuh pada majelis persidangan dan musyawarah. Ketika perzinahan terjadi, serta merta kehormatan keluarga dipermalukan. Olehnya, penanggungjawab keluarga (baca: laki-laki, ayah, kakek, abang, paman, dan lainnya) adalah mayoritas penegak hukum, sekaligus pelaku dan pelestari tindak kekerasan terhadap perempuan di tanah air, ditinjau dari sisi penegakan hukum negara.

Keluarga dari pihak Ambe Runduma yang menyadari pelanggaran (zina) ini, kemudian mengambil keputusan berbeda dari hukum adat. Mereka yang melanggar, sudah semestinya diusir bahkan dihukum mati. Hanya saja berbeda dengan anak bangsawan ini, malah terjadi kesepakatan damai berupa pemberian mahar tinggi dan pegelaran Rambu Tuka’.

Kasus penyelamatan seperti ini banyak terjadi, mesti tradisi selalu dijaga. Mereka yang memiliki banyak uang dan sekasta, tentu dapat menyelenggarakannya. Tapi bagaimana jika pelaku pelanggaran berada di kasta berbeda. Anggap saja perempuan berkasta Tobuda’, terbukti berzina dengan pria berkasta Tokapua. Keduanya melakukan pelanggaran hukum adat yaitu perzinahan. Akankah ada pernikahan? Akankah bangsawan pria akan terusir, dan mati? Atau sebaliknya?

Menjaja Tradisi

Faisal Oddang telah berbaik hati mengarsipkan fonomena jual-beli warisan leluhur.

Bukan cerita baru, jika penjualan peninggalan arca, benda-benda antik kerajaan, matan literasi (literatur kuno) banyak diperjual-belikan kepada bangsa asing, untuk memenuhi museum-museum Nasional mereka. Entah nilai apa yang diburu. Mungkin dibutuhkan untuk menggenapi bukti imperialisme bangsa-bangsa penjajah. Atau setidaknya, ingin membuka aib bersama bahwa budaya mencuri adalah bagian dari tradisi manusia.

Kita berhutang budi pada penulis muda berdarah Wajo ini, telah menunjukkan banyak hal untuk dapat menjaga dan mengabadikan tradisi. Meski kadang membuat kita bingung memilih. Akankah kita memilih mempertahankan tradisi, atau melibas habis kepentingan gaya hidup modern kita sendiri?

Tapi akhirnya, saya terkesima dengan cerpen bercorak budaya ini. benar-benar membuat saya makin cinta Toraja.

 

 Catata Kaki:

[1] Cerpen ini dapat dibaca di Lakon Hidup: https://lakonhidup.com/2014/05/04/di-tubuh-tarra-dalam-rahim-pohon/

Rujukan:

Wikipedia: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Aluk_Todolo

ToToraja: http://tatosappe.blogspot.com/2012/09/rampanan-kapa-i.html?m=1

Sumber foto: http://torajatourism.blogspot.com/2013/08/aluk-todolo-agama-kepercayaan-suku.html

Menyelisik Evolusi dalam Sastra: Terinspirasi dari Novel O

Mengkaji O, novel karya Eka Kurniawan. Mohon dipercaya, membaca O dengan modal iseng, tak membawa pembacanya pada satu studi kritis, baik literasi-sastra maupun kajian ilmiah. Yang ada malah jenuh, ingin segera menutup buku.

Apa yang menarik di O? Selain jumlah karakter yang banyak dan alur cerita yang rumit, ada alasan lain. Ide cerita, berlatar seekor monyet pejantan bernama Entang Kosasih ingin menjadi manusia. Ini tak biasa.

Tak mau kalah, O, seekor monyet betina lugu warga Rawa Kalong dan mencintai Entang, berusaha memanusiakan dirinya melalui pesakitan hidup bersama Betalumur di sirkus topeng monyet kelilingnya. O percaya, ujian dan kepahitan hidup bakal mengubah dirinya menjadi manusia. O mencoba untuk mencintai fitrah insaniah. Ini pun tak biasa.

Tidak ada yang mendukung pasangan jatuh cinta ini. Sebagian besar kawanan monyet menolak rencana gila mereka. Evolusi monyet menjadi manusia adalah sebuah kegilaan. Meski demikian, sekelompok Darwinis meyakini kebenaran hukum ini. Monyet dapat berubah menjadi manusia. Bahkan, monyet adalah leluhur manusia itu sendiri. Entang berpijak keyakinan pada teori ini.

Betalumur pun mengakhiri kisah manusianya menjadi babi. Ia berkongsi dengan seorang perempuan berusia mendekati senja. Mereka menarikan tarian babi ngepet. Di satu sudut kota, sang babi Betalumur menjadi sasaran amuk massa. Badannya terhuyung. Sangat ajib ramalan para Darwinis. Manusia dan binatang bisa saling bertransformasi dimensi.

Hutan Evolusi dalam Sastra

Berbagai jenis prilaku manusia terpapar dalam O. Segala bentuk tindak kekerasan, pelecehan, pencabulan, pelacuran, percurian, penipuan, iri hati, dengki, sumpah serapah, dan setumpuk permasalahan manusia lainnya, sangat apik diracik oleh Eka. Jumlah karakter yang sangat banyak, dan alur cerita yang rumit berbelit; semakin memperjelas titik dan letak posisi hutan evolusi. Di sinilah, O dan Entang Kosasih mempertaruhkan roh kemonyetannya agar dapat berevolusi menjadi manusia. Sayangnya, O yang imunitas tubuhnya lemah, mati tanpa pernah berubah menjadi manusia.

***

Di dunia sastra, banyak dijumpai fabel dunia binatang. Genre yang satu ini banyak mengisahkan fenomena binatang di hutan lestari. Ada persahabatan, dan ada permusuhan. Ada pertarungan, ada pula perdamaian.

Para sastrawan dunia yang menjadi saksi terpenuhinya ramalan demi ramalan evolusi, beramai-ramai mengabadikan ke dalam karya masing-masing. Timur dan Barat, tak ada beda. Semua percaya, manusia dan binatang bisa saling bertransformasi dimensi. Bisa saling bersahabat, bermusuhan, menolong, maupun saling bunuh.

The Lion and the Mouse, sebuah fabel anak terkenal asal Inggris. Menceritakan persahabatan yang sifatnya tak disengaja. Adalah singa sedang lelap dalam tidurnya. Tiba-tiba seekor tikus melompat ke tubuhnya. Singa terbangun dan hendak menerkam tikus. Setelah menyadari kesalahannya, tikus pun meminta maaf. Ia berjanji, jika ia dilepaskan maka suatu hari akan membantu singa.

The Two Goats, oleh Aesop. Kisah dua ekor kambing hutan, mencoba menyeberangi sebuah jembatan tua, di atas sebuah sungai berarus deras. Ego keduanya pun saling beradu, tak ingin menjadi yang kedua meniti jembatan yang telah rapuh itu. Sial, keduanya terjatuh ke sungai. Setelah berpikir, bahwa kepentingan mereka sama, yaitu terbebas dari arus sungai, akhirnya membuat mereka bersatu dan terbebas dari petaka.

Panchatantra, adalah kumpulan fabel Hindu, ditulis oleh Pandit Vishnu Sharman. Fabel ini diyakini tertua di dunia, dan ditulis sekitar 200 tahun SM. Kumpulan fabel ini menceritakan banyak hal tentang hikmah kebijaksanaan dan kejahatan kepada beberapa pangeran. Semua kisah diungkap dalam karakter binatang. Fabel ini telah diterjemah Inggris oleh Arthur W. Ryder (The Panchatantra, University of Chicago Press, 1925). Terjemahan lainnya, Thirty Five Stories From the Pachatantra, oleh Mr. D. Ghosal, Kalkuta, 1925.

J.J Greystock, seorang bocak lelaki ceria dan cerdas dari pasangan John Greystock dan Alice Greystock, pemilik perusahaan energi ternama di Amerika, Greystock Energy. Dalam film animasi ringan berjudul Tarzan (2013) ini, sutradara Reinhard Kloos mengubah nasib bocah kaya J.J menjadi seorang anak berprilaku kera. Jauh dari didikan, asuhan, dan sentuhan tangan manusia menjadikan J.J benar-benar lupa dengan kemanusiaannya. Otot yang kekar dan jadwal terbang yang tinggi di belantara, menjadikan manusia Tarzan disegani oleh para hewan yang menjadi rivalnya.

Berbeda dengan sosok Mowgli, lelaki rimba yang hidup di belantara terdalam India. Pertama kali diperkenalkan sebagai sosok Tarzan versi lain oleh Rudyard Klipling pada 1894 dalam fabelnya The Jungle Book. Berbeda dengan Tarzan versi Edgar Rice (1993) yang merindu pulang ke kehidupan manusia, Mowgli malah menolak ide itu. Bagi Mowgli, tak selamanya memenuhi panggilan nurani manusia adalah kebaikan. Kepentingan kelompok adalah hal terpenting untuk dapat memenangkan pertarungan hidup pada seleksi alam. Akan lestari!

Kembali sekawanan Darwinis menyempurnakan hujjah atas Entang, bahwa evolusi di kalangan manusia dan binatang adalah hal yang lumrah. Jangankan binatang bodoh menjadi manusia, J.J. bocah cerdas saja, berevolusi menjadi seekor kera besar, si raja rimba. Para Darwinis percaya bahwa proses kehidupan terjadi mengikut pada hukum alamiah bumi, bahwa siapa kuat memberi pengaruh, akan lestari. Jika lemah, maka binasa.

Benarkah Evolusi? Atau Tranformasi?

Ada apa dengan dunia binatang dan manusia? Mengapa berbelit-belit? Adakah terjadi kesalahan  pada saat monyet bertransformasi menjadi manusia? J.J menjadi kera? Betalumur menjadi babi? Burung Simurg menjadi Tuhan? Laki menjadi transwomen? Straigh menjadi LGBT?

Manusia adalah makhluk ajaib bumi. Sebenarnya, ajaibnya manusia bukan karena unsur kehewanannya (otot kekar dan tubuh atletisnya), melainkan pada kemampuan berkomunikasinya (nathiq jiwa dan nathiq alam pikirnya). Manusia juga adalah hewan yang pengalaman hidupnya ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Dengan melihat siapa guru, sahabat, pasangan, ayah, dan ibu seseorang, maka sedikit banyak membentuk kemanusiaan seseorang.

Ketika manusia dididik oleh seekor kera, besar kemungkinannya akan tumbuh dengan prilaku kera, seperti bocah J.J. Ketika seekor panda diasuh oleh seorang master sifu, maka ajarannya tak jauh dari kungfu dan kearifan Timur. Ketika seorang dididik dalam madrasah Nubuwah, maka tumbuh pribadi-pribadi Ali, Hasan, Husain, Khadijah, Fathimah, Zainab, dan lainnya. Nathiq Jiwa dan pikiran manusia ditentukan oleh aliran pendidikan yang dianutnya. Oleh para filsuf, perubahan ini tidak dikatakan berevolusi dan melewati proses seleksi alam. Melainkan terjadi transformasi, yang tidak pada identitas dzat. Melainkan pengalaman kognitif, emosional, dan spiritual.

Jujur. Saya termasuk pendukung kelompok Darwinis. Bahwa benar, monyet dapat menjadi manusia. Atau, manusia menjadi kera. Tapi untuk menunggu O—di pasca kematiannya—wajib menjalani tahapan evolusi terlebih dahulu, kemudian tercipta kebetulan-kebetulan lain bernama daur kehidupan, yang awalnya adalah karbon dan fosforus, bersenyawa dengan air, terjadi petir yang membentuk asam amino, lalu tercipta protein sebagai unsur terpenting perkembangan sel hidup, lalu kemudian menjadi bayi manusia O; itu terlalu bodoh! Sebab hampir dipastikan, sejarah ilmiah evolusi ini adalah nihil. Kecuali mengadopsi asal usul penciptaan dalam pandangan filsuf Yunani dan animisme Mesir kuno.

Setiap Orang Perlu Berubah

Perubahan adalah sesuatu yang pasti. Tak satu benda pun di semesta ini, tak berubah. Gerak perubahan ini adalah niscaya. Semua meyakini ada dan benarnya. Hanya saja, terkait pola,  jenis, dan model geraknya, orang berberda pandangan. Sebagian menyakini bahwa gerak hakiki adalah pada substansi, dan sebagian lainnya aksiden. Sebagian meyakini meterialisme-mekanistik, sebagian lagi transendental.

Saya tertarik dengan J.J, Greystock, Tarzan berkulit putih yang tumbuh besar di hutan Afrika dalam pengasuhan ibu kera, bapak, saudara, dan sahabat-sahabat kera. Film dibuka oleh keceriaan J.J kecil, bertutur pada ibunya, Alice, “Aku Tarzan. Aku kera tak berbulu. Aku penguasa hutan.”

Ketika seleksi alam membenturkannya pada ujian keterpisahan dengan orang tuanya, seketika sistem otak J.J akan bekerja untuk mencoba bertahan dan beradaptasi dengan kehidupan kera yang tidak memiliki kecakapan nathiq jiwa dan pikiran ala manusia, Sebab pengalaman kognitif yang diterima adalah pendidikan kera, maka lengkap sudah ketarzanan J.J.

Bahrul Amsal, dalam jurnalnya, Otak Manusia, Sindrom Tarzan, Kucing dan Lelaki Harimau, menyebutkan bahwa pada otak manusia terdapat miliaran neuron (sel syaraf). Setiap neuron memiliki cabang-cabang yang menghubungkan dengan neuron lain. Pada titik perhubungan neuron terbentuk sebuah jaringan sinapsis yang di dalamnya terbentuk sirkuit informasi pada setiap detiknya.

Uniknya, menurut Amsal, jaringan sinapsis ini terus saja bercabang membentuk sinapsis baru yang beradaptasi dengan waktu dan tempat di mana seorang hidup dan tumbuh berkembang. Bahasalah yang berperan sebagai pengantar data dan informasi, membentuk sirkuit informasi raksasa dalam otak. Makin berkualitas mutu bahasa, makin kuat bangunan karakter seseorang. Makin buruk, maka semakin hancur.

Ketika jaringan sinopsis ini penuh dengan ajaran-ajaran kiri, maka lahirlah para Marxis baru. Ketika sirkuit informasi Entang Kosasih hanya menangkap dan menampung bahasa kode dari Armo Gundul, maka wajar saja jika Entang, si monyet kota ini lebih memilih menjadi manusia daripada kera. Menjadi seorang radikal-konservatif pun seibarat itu. Banyak doktrin telah terdata rapi dalam jaringan sinapsis otak dan mengendap di alam bawah sadar. Maka sangat berhati-hatilah kita, bersama siapa duduk bermajelis dan berkongsi. Sebab akan sangat menentukan bentukan, seperti apa akhir dari kemanusiaan kita kelak! Monyet, anjing, batu, atau babi!

Peringatan bagi setiap ibu dan ayah. Berhati-hatilah dengan bahasa dan kalimat-kalimat yang akan kalian sampaikan kepada anak dan anggota keluarga lainnya. Bahasa preman anda memang tak sampai menghilangkan jiwa anggota keluarga detik itu juga. Tapi, membunuh karakter dan menghambat pertumbuhan psikis yang berefek pada mental (ini pasti),  dan juga bahkan fisik!

Peringatan bagi para istri. Jika suami anda melakukan tindak kekerasan verbal-non verbal, maka tinggalkan! Selain tak menghormati kemuliaan insaniah anda sebagai seorang pasangan dan hamba Tuhan, juga membunuh kemanusiaan anda secara perlahan!

O, Eka, memanglah, menyajikan banyak makanan busuk para manusia. Tapi belajarlah mengenali kebusukan, untuk mencari dan memilih sajian yang baik, sehat,  dan bersih.

Solidaritas Bersama Indonesia Maju: No Kemalasan!

Siapa sih yang tak ingin maju dan sukses? Setiap orang menginginkanya. Hanya saja terkadang, kemalasan datang menghadang. Penyakit malas menyerang tanpa melihat orang, waktu, dan tempat. Ketika rasa malas mendera, maka tak satu kerjaan pun bakal rampung secara baik. Ingin rasanya hidup santai, tanpa beban pikiran!

 

Butuh Gerak Solid

Kemalasan berubah bak monster menakutkan, saat berakumulasi bentuk menjadi kemalasan kolektif. Jika wabah ini menjangkiti satu bangsa, maka niscaya bangsa tersebut telah tertimpa satu kemalangan, yaitu ketertinggalan di segenap aspek kehidupan, baik ekonomi, teknologi, sosial, maupun politik budaya.

Hampir semua orang sepakat, bahwa kemalasan terkait dengan miskin gerak. Hubungan antara keduanya bersifat linier. Semakin lambat pergerakan maju satu bangsa, semakin kuat sinyal kemalasan sosial yang mendera. Hubungan linear lainnya, yaitu antara kemalasan dengan ikhtiar. Semakin kuat tekad, semakin lemah kemalasan. Semakin lemah tingkat kemalasan, maka semakin tinggi tingkat produktivitas bangsa. Sebagai warga negara yang baik, mestinya sadar untuk ikut bagian membangun negara. Semua berawal dari gerak solidaritas!

Tentu saja, untuk membangun solidaritas sosial dibutuhkan satu gerak solid! Gerak solid adalah gerak bersama, tanpa tendensi ragu, dan saling curiga. Membangun solidaritas sosial menuju Indonesia Maju, bukan hal mudah. Butuh satu gerak solid. Butuh tekad kuat untuk memajukan bangsa dalam berbagai sektor, baik ilmu pengetahuan ilmiah, sosial, budaya, industri, pertanian, ekonomi kreatif, dan lainnya. Sekali lagi butuh gerak maju menciptakan SDM smart, membangun infrastruktur, ekonomi sektor jasa, industri, dan lainnya. Gerak maju ini adalah gerak maju tanpa kemalasan!

 

Horor Kemalasan

Kemalasan kolektif sangat horor. Bak mesin penghancur, melindas rasa percaya diri satu bangsa. Memupuk potensi konsumtif, tertawan zona nyaman, diperbudak oleh teknologi modern, serta kelemahan lain yang membuat sulit untuk bercipta karya.

Bangsa yang enggan membangun gerak solidaritas sosialnya secara bersama, akan kesulitan mempertahankan peradabannya. Alih-alih, bahkan semakin lemah, terbelakang, dan berpangku tangan. Masyarakat bangsa akan menjadi semakin konsumtif, lagi modern-primitif. Alih-alih membangun dan mempertahankan peradabannya, bahkan satu-satu menyerang dan menghancurkan bangsanya sendiri!

Sebuah bangsa butuh solidaritas bersama atau kesadaran kolektif untuk berkorban demi persatuan dan kesatuan bangsa. Ada yang dijaga bersama, yaitu sejarah dan identitas diri. Ada yang diperjuangkan, yaitu kemerdekaan!

Tapi sekali lagi, gerak solidaritas sosial mati kutu bersekutu dengan kemalasan. Mati gaya!

Penyakit malas mesti diobati, diterapi, dan disembuhkan. Terlebih lagi di masa-masa sulit pandemi yang membuat hampir seluruh bangsa di dunia, berada dalam ancaman dan kesulitan besar. Masa-masa pandemi menuntut negara-negara untuk mengerahkan kemampuannya, melindungi dan menyelamatkan warganya dari ancaman maut Corona, serta dampak sosial-ekonominya. Solidaritas sosial sangat dibutuhkan di masa-masa seperti sekarang ini, masa-masa pandemi. Masyarakat dituntut smart menjalankan protokoler standar. Jangan seenaknya, apalagi alasannya malas ngambil masker di laci meja.

 

Visi Indonesia Maju 2045

Untuk melanjut langkah Indonesia Maju saat ini, memang terasa sulit. Jantung ekonomi berdetak lambat. Langkah dunia bisnis sangat berat. Butuh mengencangkan ikat pinggang lebih erat, yang risikonya dapat menghilangkan pinggang bagi yang berpinggang kecil.

Pemeritah Indonesia mengikut pada aturan WHO, mengeluarkan berbagai kebijakan dalam memerangi virus cerdas Covid-19. Di saat ekonomi Indonesia masih terus berjuang, pemerintah mengucurkan alokasi dana yang tidak sedikit. Tidak hanya untuk dunia usaha, melainkan juga bagi para pekerja, dan keluarga pra sejahtera. Semua ditempuh untuk kelangsungan hidup bernegara.

Semua paket kebijakan pemerintah tentu tak akan sukses tanpa dukungan seluruh masyarakat, dunia usaha, militer, serta politikus negara, Sekali lagi, solidaritas sosial sangat dibutuhkan. Perlu adanya satu penegasan bersama lagi, seperti dahulu saat para pemuda Indoneisa mengikatkan kesadaran jiwanya pada Sumpah Pemuda, 28 oktober 1928. Pancasila menjadi simbol pemersatu, lambang sakti, dan sekaligus saksi solidaritas dan integritas pemuda Indonesia terhadap NKRI.

Untuk terus bergerak maju, Indonesia butuh satu visi yang kuat, baik jangka panjang maupun pendek. Visi jangka panjang bagai ruh bagi mesin penggerak nasional. Ketika ruh ini mati, maka sistematik pergerakan pun ikut berhenti. Adapun visi operasional lainnya, bersifat kontekstual-komunikatif.

Para bapak pendiri bangsa telah mengukuhkan satu visi kebangsaan, yang kokoh dan telah teruji sepanjang sejarah. Indonesia bangkit dan maju bersama ruh Pancasila sebagai landasan ideologis bangsa. Pengalaman sejarah telah membuktikannya. Kecuali memang, jika kemalasan kolektif telah mewabahi bangsa, tentu faktanya lain lagi. Sebab Pancasila hanya akan efektif dengan pengamalan sila dan nilai-nilainya, tanpa intervensi rasa malas!

 

Kemalasan Penghalang Indonesia Maju

Untuk membawa Indonesia menuju bangsa maju tentu diperlukan SDM unggul dan relevan. SDM unggul adalah para pemikir, pengusaha, pekerja, pemerintah, mahasiswa, dan rakyat yang berpikiran maju. SDM unggul adalah individu produktif yang bekerja sebagai penggerak kemajuan bangsa dan rakyatnya. SDM unggul adalah penyumbang ide, gagasan, sekaligus tutor yang melatih insan-insan mula untuk bergerak.

Tentu saja karakter dibutuhkan. SDM unggul sangat bergantung pada bibit unggul yang cerdas, kritis, logis, produktif, dan jauh dari kemalasan. Rasa malas yang mendera massal satu bangsa, perlu segera ditangani, dan dipangkas dari karakter bangsa, terutama pada generasi muda.

Telah disebutkan dalam kajian agama-agama, bahwa kemalasan adalah penghancur dan penghambat kemajuan satu bangsa. Meladeni rasa malas, bukanlah tradisi para Nabi, Rasul, dan Tokoh besar dari Islam, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dan lainnya.

Dalam tradisi Islam diajarkan bahwa kemalasan adalah syiar syaitan dan penghalang kesempurnaan maknawi. Imam Khomeini dan para pendiri Republik Islam Iran percaya bahwa kemalasan adalah akar kefasikan dan kejahatan. Kemalasan adalah akar musibah, penjajahan, dan ketertinggalan. Kemalasan adalah penghalang izzat bangsa. Sebaliknya, kerja keras adalah pembangkit semangat juang, mendatangkan kebanggaan bagi bangsa, kepercayaan diri, dan obat kefakiran.[i]

 

Kerja, kerja, kerja…!

Benar. Kerja adalah formula paling ampuh melawan wabah kemalasan. Kerja pada hakikatnya adalah gerak dari titik asal menuju akhir untuk mencapai satu tujuan tertentu. Sangat tepat jika Presiden RI, Joko Widodo, mempopularkan dan menjadikan syiar “Kerja, kerja, kerja…!” sebagai satu gerak kebangkitan nasional menuju Indonesia Maju 2045.

Mensyiarkan slogan “Kerja, kerja, kerja…!” secara nasional, tentu bukan hal sepele. Kebijakan ini berangkat dari pengenalan hakikat malas, dampak negatif dari kemalasan, serta kerusakan fatal yang ditimbulkannya bagi negara. Kebijakan ini juga didasari dari ma’rifat dan pengamalan nilai-nilai pancasila yang dalam terkait kerja, solidaritas sosial, gotong-royong, tolong-menolong, kemuliaan insani ditilik dari aspek gerak transendental, dan bahasan lainnya.

Tak heran, Presiden Joko Widodo begitu yakin dan percaya diri dengan visi Indonesia Maju 2045 yang digulirkan bersamaan dengan momen peringatan 74 tahun Indonesia Merdeka. Sebab, ada kemalasan kolektif yang mesti segera diperangi!

Jika sukses, maka beliaulah pahlawan dan Bapak Kemajuan Bangsa Indonesia yang sejati. #SelamatHariPancasila

 

[i] Sabuk Zendegi-ye Eslami (4), Tanbali-ye Ejtemaie, Mane’ Asasi dar Phishraft-e Melli, p. 60, Moassese-ye Farhangi Hunari Qadr-e Welayat, Teharan, 1395