Semua tulisan dari Sulhan Yusuf

Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.

In Happiness

There is no happiness. Happiness is the way (Buddha)

Tersebutlah seorang penggurutu, Eric Weiner. Ia berkeliling dunia mencari kebahagiaan. Persisnya, negara paling membahagiakan. Sederet negara dikunjunginya. Setiap negara ternyata warganya berbeda cara mengekspresikan kebahagiaannya. Weiner mencatat, Belanda = angka, Swiss = Kebosanan, Bhutan = Kebijakan, Qatar = Menang lotre, Islandia = Kegagalan, Moldova = Berada di tempat lain, Thailand = Tidak berpikir, Britania Raya = Karya yang sedang berlangsung, India = Kontradiksi, dan Amerika = Rumah.

Catatan Wiener dapat dieja pada buku, The Geography of Bliss. Buku ini dianggap aneh, mulai dari penulisannya, sebagai campuran tulisan perjalanan, psikologi, sains, dan humor. Pun, mengunjungi tempat-tempat aneh dan bertemu orang-orang aneh. Namun, batasan buku ini menegaskan, tidak ditulis untuk mencari makna kebahagiaan, tapi di mana.

Saya pun membatin, ketika batasan tersebut tidak mengulas makna, berarti dimensinya bukan dalam diri, melainkan luar diri. Penegasan kata di mana, sudah cukup memadai buat mengalamatkan ruang luar. Menegaskan jalan menuju bahagia, bukan kebahagian adalah jalan. Bahagia dulu, lalu berjalan.

***

Belakangan ini, saya banyak menempuh perjalanan. Meninggalkan mukim di kota Makassar, yang pengurus negerinya menabalkan sebagai menuju kota dunia. Saya sering menyata di daerah tak jelas status ke-kota-annya: Bantaeng. Baik sendiri maupun secara bersama.

Pada setiap perjalanan, saya selalu berbekal maksim dari Paul Theroux, seorang penulis perjalanan dan novelis Amerika. “Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukan perjalananku.” Kalimat sakti dari Theroux, melapangkan arena kedirian, mengalami bersama. Berjalan bersama menunjukkan gatra luar diri, sedangkan pengalaman pribadi menyimpaikan matra dalam diri.

Paling kiwari, saya bersama beberapa kawan, menyata di tiga sekolah berbasis kejuruan. Melakukan workshop tentang literasi dan inovasi. Kami bersama, punya pengalaman bersama, mengalami momen kebersamaan selama empat hari. Banyak tulisan,foto, dan video mengawetkannya. Amat ekspresif rekaman-rekaman itu. Tidak sedikit tawa ditawarkan. Pun sesekali ada senyum mengulum. Tawa tanda kesenangan, senyum alamat bahagia. Tertawa berarti menampakkan faset luar diri, tersenyum bermakna mewujudkan aspek dalam diri.

***

Penabalan diri sebagai persona senang dan bahagia, selalu saya tuturkan setiap kali melibatkan diri dalam acara pelatihan atau workshop dengan sekotah peserta. Termasuk tatkala berhadapan dengan sekaum guru selama empat hari di sekolah kejuruan itu. Saya datang mencari di mana kebahagiaan ala Weiner. Namun, terselubung agenda pribadi, menemukan makna kebahagiaan.

Sejak memasuki halaman sekolah, saya sudah melihat tanda-tanda orang senang. Paling tidak, sederet mobil dengan aneka merek, model, dan warna. Harus diakui, bagi sebagian orang, mobil bukan sekadar sarana transportasi, tapi bagian dari cara menyenangkan diri. Buktinya? Saya melihat, setiap guru yang turun dari mobilnya, riang gembira penampakannya. Itu baru satu contoh. Saya pun ikut senang, menyaksikan guru senang. Apatah lagi, jikalau menyenangkan bagi siswa.

Bahagia pun mulai menghidu saya. Apa passala? Pasalnya saya sua dengan beberapa sahabat lama. Kawan dulu di sekolah, entah itu di SD, SMP, SMA, dan PT. Maklum saja, jenjang persekolahan saya, semuanya saya tamatkan di Bantaeng. Setelahnya kuliah di IKIP Ujung Pandang. Akumulasi perkawanan tersebut, betul-betul membahagiakan saya saat jumpa kembali. Semacam reuni terbatas, mengenang masa-masa ketika ada masalah, kami gadaikan. Masalah diselesaikan tanpa masalah.

***

Bagi saya, guru adalah sosok paling mudah senang dan bahagia. Cukup menegakkan perintah kurikulum, mempraktikkannya dengan dukungan seabrek fasilitas pembelajaran, maka sang guru akan disenangi oleh siswa. Jadilah pengajar. Menjadi guru menyenangkan dan disenangi oleh siswa. Imbalannya? Biaya hidup tercukupi. Karena hidup itu murah, biayanya saja yang mahal.

Ketika guru ingin bahagia, menjadilah guru inspirasi. Jadilah pendidik. Tiada yang lebih membahagiakan bagi seorang siswa, manakala gurunya menjadi teladan inpirasinya. Siswa bahagia, sebab guru memantik kebahagiaan. Siapa memantik kebahagiaan, maka bahagianya berlipat ganda. Sesungguhnya, puncak kebahagiaan itu memasukkan rasa bahagia pada orang lain. Hanya guru bahagia yang bisa memantik kebahagiaan pada siswanya.

Sudahkah saya menemukan di mana dan makna kebahagiaan itu? Kala saya bersenang-senang dengan setengah lusin kawan pengiring dan sekaum guru, sudah cukup bukti untuk menandaskan jawaban atas tanya di mana kebahagiaan. Dan, selagi menubuhkan diri di acara workshop, saya merasakan begitu banyak makna hidup buat berbahagia. Saya merasa seperti makhluk spiritual yang punya pengalaman menjadi manusia.

***

Pascasua dengan sekaum guru, saya pulang ke mukim. Melata kembali di kota yang digadang sebagai kota yang bergegas menuju kota dunia. Pada jeda di kedirian, saya berselancar di media sosial. Tertumbuklah saya pada akun seorang sahabat, Syahril Syam, seorang penulis dan motivator. Ia mengunggah kata-kata bijak, “Bahagia itu bukan karena mendapatkan sesuatu. Karena jika tidak mendapatkannya akan melahirkan kekecewaan, bahkan penderitaan. Bukan juga karena berhasil mendapatkan sesuatu, karena sesuatu itu akan selalu ada titik jenuhnya.”

Ditegaskannya, “Bahagia adalah tentang menaikkan level kesadaran; menaikkan level motivasi; menaikkan level jiwa; terjadi proses pemberdayaan diri atau proses menjadi (being). Sehingga ketika diri ini terus terjadi being, maka walaupun terdapat rintangan dan hambatan hidup, walaupun belum berhasil atau telah berhasil meraih sesuatu, hati senantiasa termotivasi dan merasakan kebahagiaan. Karena bukankah bahagia itu di dalam diri, sehingga dirilah yang mesti diberdayakan (being) agar merasakan kebahagiaan.”

Teringatlah saya pada 31 meditasi terakhir dari Anthony  De Mello, sosok pastor Jesuit, dalam bukunya, The Way to Love, yang membagi dua jenis perasaan sebagai penanda derita atau bahagia. Ingatlah perasaan Anda ketika ada orang memuji, disetujui, diterima, dan disanjung. Bandingkan dengan perasaan saat memandang matahari terbit atau terbenam, menonton film, dan membaca buku yang sepenuhnya Anda nikmati. Perasaan pertama berasal dari luar, pemujaan diri, dan promosi diri. Itulah perasaan duniawi. Sementara perasaan kedua, merupakan pemenuhan diri, sebentuk perasaan jiwa. Perasaan duniawi mengantarkan kesenangan, tapi bisa jadi derita ketika hilang. Perasaan jiwa, menuntun kebahagiaan lalu membenamkan diri pada yang alami. Ah, sepertinya sangat elok kalau saya kunci saja dengan sabda Budha,”Tidak ada kebahagiaan. Kebahagiaan adalah jalan. There is no happiness. Happiness is the way.”

Ilustrasi: rokigambar.blogspot.com

Menyarut? Tak Mengapa

“Bermaulid atas Sang Nabi, sebentuk cara melawan para penistanya. Waima hanya telur warna-warni sebagai persembahan, itu juga semacam tanda cinta. Maulid Nabi, sebagai alamat cinta yang pasti. Sekaligus penghalau sekotah pembencinya.” (Maksim Daeng Litere, 011120-021120- 031120)

Tak elok saya sebutkan namanya, demi laku bijak. Pun inisialnya, lebih buruk lagi, sebab menimbulkan sak wasangka. Definitnya, ia seorang penganjur kebaikan dan pengawal ilmu. Serupa dai dan sekaligus guru. Sosok yang telaten mengisi mimbar Jumat dan majelis ilmu lainnya. Seorang yang selalu menyata di ruang-ruang kelas sekolah.

Sekali waktu, saya sua untuk ke sekian kali. Ia berkeluh kesah. Mengeluhkan keadaan dan mengesahkan pengurus negeri. Seolah ia berkhutbah pada saya, bahwa pengurus negeri, dari hari ke hari semakin mengkhwatirkan umat. Khususnya, berkaitan dengan keberpihakan pada kejayaan Islam.

Disodoknya menteri agama. Ia menukas, sang menteri terlalu gegabah mengutak-atik apa yang sudah lazim. Contoh paling dini, menyarut hari libur nasional, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Semestinya hari Selasa, 19 Oktober 2021, tapi digeser ke Rabu. Baginya, ini bagian dari mengaburkan semangat keberislaman. Sebelumnya, serupa terjadi saat peringatan tahun baru Islam, 1 Muharram 1443 H.

Sederet kasus lain, pun ia uarkan. Terutama peristiwa-peristiwa yang sempat viral, tak memihak pada Islam. Saya hanya terdiam. Lalu ia minta tanggapan, bagaimana pendapat saya? Limbung juga rasanya ditanya. Bukan karena tak punya jawaban, melaiankan mulai dari mana menjawab dan menjelaskan di hadapan sosok i-literasi, amat rendah literasi informasi digitalnya?

***

Tepat di hari peringatan Maulid Nabi, selepas tunaikan salat Isa, mendapat kiriman sebentuk paket dari kerabat. Satu ember berisi aneka penganan. Produk tradisional dan modern. Nasi putih, songkolo, ayam goreng, telur warna-warni, mie goreng, udang tumis, bandeng presto, apel, dan biskuit, serta cemilan. Bayangkan sendiri, bagaimana besarnya ember tersebut.

Saya terkenang pada kenangan penganan itu. Dulu, sewaktu masih cilik, tatkala Abba saya aktif keliling kampung, menandangi sudut-sudut negeri, mengayomi peringatan maulid, biasanya, selalu ada paket yang dikirim ke mukim kami. Apatah lagi kalau ada serumpun keluarga melaksanakan maulid, pastilah kami dapat bagian paket besar. Namanya: Baku Karaeng.  

Baku sejenis wadah yang terbuat dari daun lontar. Karaeng, berarti raja. Jadi, maksud dari Baku Karaeng itu, wadah buat raja, tepatnya dalam makna kiasan, wadah paling besar. Sebab, ada pula baku yang lebih kecil. Nah, di dalam Baku Karaeng ini, berisi songkolo dan satu ekor ayam kampung. Selain itu ada male, sejenis telur atau kue warna-warni ditancapkan pada songkolo. Istilah secara umum terhadap paket itu: Songkolo Maudu.

Membandingkan antara satu ember kiriman kerabat dan baku karaeng, jelas ada pergeseran. Bergeser wadah dan isi, tapi substansinya sama: maudu. Maulid atau maudu, bentuk-bentuk persembahannya, senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Sangat tergantung pada apa wadah paling praktis yang populer di masyarakat. Ada proses menyarut bentuk, agar tidak menyulitkan pencinta Nabi.

***

Rabu, 20 Oktober 2021, masjid dekat mukim saya, juga melaksanakan maulid. Tahun lalu tidak ada, sebab pandemi Covid-19 merajai negeri. Kiwari, seiring dengan melemahnya serbuan pagebluk, anak-anak negeri sudah mulai mencicil segala kebiasaan yang tertunda, meskipun dilengkapi dengan syarat-syarat protokol kesehatan.

Peringatan maulid kali ini, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Cukup sederhana pelaksanaannya. Hanya ceramah maulid bakda Magrib sampai Isa. Padahal, sebelumnya super meriah. Penyelenggaraannya dua model: tradisional dan modern.

Jelang siang, sekelompok masyarakat dan jemaah masjid, melakukan maulid dengan cara membaca kitab Barazanji disertai ritus-ritus pengiringnya. Inilah yang disebut maulid ala tradisi. Malamnya, cara modern. Ceramah maulid dan Shalawat Badar. Namun, ada kesamaannya, unsur songkolo dan male selalu ada. Sebab, kedua penganan ini merupakan pemikat bagi sekaum cilik dan ngalep berkah bagi orang dewasa.

Sebagai akibat dari masa adaptasi dalam berkumpul, pengurus masjid menyesuaikan acara peringatan. Sesederhana mungkin. Terpenting, terlaksananya peringatan maulid. Cermah maulid dari Magrib hingga Isa, sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Apalagi, masih ada penganan dalam bentuk snack. Sekali lagi terjadi pergeseran cara bermaulid. Nampak jelas proses kreatif. Pengurus masjid menyarut tata cara dan acara peringatan maulid.

***

Sajian tiga kasus menyarut peringatan maulid, tak perlu dipersoalkan. Apatah lagi dikaitkan dengan unsur-unsur pelemahan Islam, seperti jalan pikiran seorang dai sekaligus guru tersebut di atas. Seharusnya, ia tampil sebagai pendakwah, bukan pendakwa. Mendakwahkan semangat mencintai Nabi dengan menimbang situasi negeri. Bukannya mendakwa pengurus negeri, selaku aktor pelemah Islam.

Bukankah pengurus negeri telah menerangkan maksud dari menyarut peringatan maulid? Saya kutipkan saja, agar benderang duduk perkaranya. Wapres RI, KH. Ma’ruf Amin, dilansir oleh Antara (17/10/2021),mengatakan, “Kami menggeser itu untuk menghindari orang memanfaatkan hari kejepit itu, sehingga orang keterusan (liburan). Oleh Karena itu, kami coba (menggeser) itu, walaupun memang (kasus COVID-19) sudah rendah, tapi tetap kita antisipatif.”

Namun, saya tetap memaklumi kondisi pendakwah yang berubah jadi pendakwa itu. Ia terlalu banyak menyantap kabar viral yang sepotong-sepotong. Ia suka sekali memakan hoax (berita bohong), menenggak fake news (urita palsu). Akibatnya, ia mencret dengan hate speech (ujar kebencian). Jika tiga komponen tersebut telah menerungku diri, maka sakit jiwa pun menyata. Mampu mengubah pendakwah menjadi pendakwa.

Tidak sedikit ayat suci Al-Quran dan sabda Nabi yang meminta agar jangan diterungku oleh hoax, fake news, dan hate speech. Artinya, membebaskan diri ketiga penyokong sakit jiwa itu, merupakan perbuatan nyata mencintai Nabi. Sedangkan mencurigai tata cara  dan acara maulid Nabi, juga perbuatan tak elok. Artikulasi maulid boleh menyarut, tapi api cinta pada Nabi tak pernah surut.

Ilustrasi: pinterest.com

Tukang Sampah atawa Petugas Kebersihan

“Hari ini mengaduk sampah. Esok lusa akan menuai pupuk. Sampah diri pun bila diolah, akan jadi energi kehayatan.” (Maksim Daeng Litere, 210420)

Bagaimana selaiknya memperlakukan pengurus sampah? Mungkin pertanyaan tidak penting bagi sebagian orang. Apatah lagi jika sudah ada personil profesionalnya, secara rutin mengurus, mulai dari mengambil di rumah warga hingga ke tempat pembuangan akhir. Dan, lebih dari itu sudah ada imbalan gaji, plus mendapatkan keuntungan sampah sebagai bahan daur ulang. Nilai rupiahnya cukup menjanjikan.

Dari sekian banyak warga, mungkin saya salah seorangnya, ingin memperkarakan pengurus sampah. Mau mengacuhkannya, selaku makhluk paling berharga dalam siklus bermasyarakat. Satu pertanyaan sederhana saja, kalau saja pengurus sampah tidak ada, atau ada pengurusnya, tapi berhalangan beberapa hari, mau bilang apa anta?

Pangkalnya, sederhana saja. Di mukim saya, tatkala tidak pigi-pigi ke luar kota, biasanya urusan sampah, saya coba tangani. Paling tidak, membawa ke depan mukim, sebelum pengurus sampah menjemputnya. Sampah-sampah sudah tersortir dalam tiga katagori. Basah dan kering (kertas, kardus, dan plastik).

Nah, sekali waktu, pasangan saya meminta agar membawa sampah ke depan mukim. Saya lihat, sampah kemarin belum terangkut. Saya pun bertanya padanya, kenapa tukang sampah tidak datang? Bukannya dijawab,malah mengoreksi kata-kata saya. Tak baik bilang “tukang sampah”, sebaiknya gunakan kata-kata “petugas kebersihan”.

Semula, koreksinya saya mau perbalahkan. Namun, saya diam, lalu mengkhusyukkan diri, memaknai dua lema tersebut, tukang sampah atawa petugas kebersihan. Sejurus pilihan menohok pikiran, menghujam di batin. Satu cermin diri, buat berkaca di kejernihan dan kebeningan.

Memangnya, ada apa dengan dua penggalan kata itu? Maksudnya mungkin sama. Hanya akhlak memanggil pembedanya. Bukankah kesempurnaan seorang manusia ada pada akhlaknya? Bahkan, diperlukan seorang Nabi buat menegaskannya.

Sampah sering dikonotasikan dengan kotor. Tukang sampah, berarti tukang yang mengurus kotoran. Jorok, bau, dekil, dan sederet stigma lain. Buntutnya, tukang sampah menjadi serupa dengan pekerjaan kaum rendah. Kadang tidak dibutuhkan ijazah, cukup seseorang mau berkotor-kotor, lalu dapat imbalan gaji. Perlakuan terhadapnya pun terkadang kurang baik.

Sesarinya, tukang sampah, secara substansial memproses dari sesuatu yang kotor menuju bersih. Dialah mata rantai penentu berubahnya posisi dari tak bernilai mewujud bernilai tinggi. Kotor ke bersih. Sangat layak didapuk sebagai petugas kebersihan. Maka perspektif terhadapnya ikut berubah. Memandang pengurus sampah selaku sosok pembersih.

Cobalah singkap perubahan sikap ini. Akan lahir perlakuan pada pengurus sampah, bermetamorfosis sebagai petugas kebersihan. Memandangnya dalam suasana bersih, senyum selalu merekah, sapaan manusiawi mengemuka, penghormatan meninggi. Sudahkah kisanak dan nyisanak, tersenyum lalu menyapa, serta menghormatinya?

Jangan karena pekerjaan pengurus sampah tak berpendidikan tinggi, nyaris tak perlu ijazah, sehingga menyepelekannya. Apatah lagi berbanding lurus dengan penghargaan terhadap seorang berpendidikan tinggi, profesinya penuh tuntutan ijazah meski minim tuntunan. Profesi mentereng, tapi penghasil sampah terdepan.

Posisi sosial bagus, tapi buang sampah di sembarang tempat. Berpendidikan tinggi, walau sering menggerutu pada pengurus sampah. Manusia degil, sudah menghasilkan sampah, mengumpat pula. Paripurna sudah sepak terjangnya, memproduksi sampah, baik sampah jasmani maupun rohani.

Jagat sampah, mungkin bisa dijadikan analogi buat diri, kala diri kotor. Setiap diri berpeluang menjadi kotor: dosa. Jika berdosa, maka diri bersampah. Meninggalkan keburukan menuju kebaikan, sepadan dengan berjalan dari kotor ke bersih, setara maksud bersafar dari gelap ke cahaya.

Daeng Litere bertutur, dalam buku Maksim Daeng Litere, pada kode 220420, “Suluknya sampah, berkelana dari kotoran mewadak pupuk. Waima diri bersampah, bila safar niscaya sua takdirnya.” Mungkin takdir yang dimaksud, hadirnya seorang anak manusia sebagai makhluk citra ilahi. Sebentuk makhluk spiritual yang punya pengalaman memanusia.

Jika mendefinitkan pengurus sampah masih sebagai tukang sampah, maka diri pun belum berjalan. Diri sedang selaras dengan sampah. Lagi bersampah. Seperti stagnannya hamba sahaya, seonggok tanah lumpur yang belum terhidu ruh ilahi. Gelap bin nircahaya.

Padahal, Daeng Litere telah menegaskan di kode 190420, “Sahaya bersafari dari bahaya menuju cahaya. Hanya tiga kata. Sahaya-bahaya-cahaya.” Kegelapan hamba sahaya, penuh bahaya. Hanya cahaya kebutuhannya. Bermetamorfosis dari bahayanya kegelapan sahaya, menuju citra cahaya ilahi, demi bercahayanya kehidupan, untuk segenggam energi kehayatan.

Terkait safar spiritual atau perjalanan rohani, seorang penulis produktif kelahiran Inggris, Helen Luke, menyodorkan seikat quote, “Mencapai kesadaran bukanlah semacam penemuan baru; hal itu merupakan perjalanan kembali yang panjang dan menyakitkan, dan memang demikianlah perjalanan itu, dari dulu.”

Muncullah Mark Nepo, menerangkan maksud Luke, tersaji dalam bukunya, Kitab Kebahagiaan, setiap orang dengan titik tanpa beban—bebas dari: pengharapan, penyesalan, ambisi, rasa malu, ketakutan, dan kecemasan—titik pusat kasih, tempat setiap orang disentuh Tuhan untuk pertama kalinya.

Tempat sentuhan itu, beraneka istilahnya. Psikolog menyebutnya sebagai Psyche, teolog memaksudkannya serupa Jiwa, begawan Hindu mengatakannya selaku Atman, pengikut Budha menabalkannya sebentuk Dharma, Yesus menyabdakannya semacam Pusat Kasih, dan para sufi memadahkannya seturut Kalbu.

Memahami titik sentuhan, berarti mengenal diri. Bukan penanda permukaan, tiada pula sejenis identitas profesi, semisal di mana bekerja, apa yang dikenakan, atau bagaimana ingin disapa. Melainkan tempat merasakan hubungan dengan Yang Mahakuasa. Bila titik ini tersingkap, maka akan tiba pada pencerahan, dan bermuara di kesempurnaan selaku manusia terhidu cinta ilahi. Demikian tafsiran Nepo.

Seseorang mulanya hanyalah sampah, lalu menemukan titik sentuhan. Arkian, Tuhan menghidunya, ia pun mewadak sebagai pupuk kehidupan, mempersembahkan energi kehayatan.

Bergumul dari tukang sampah menuju petugas kebersihan, baik sebagai objek pengurus sampah, maupun selaku subjek yang berempati. Setidaknya, tindakan awal mengubah cara memanggil—tukang sampah menjadi petugas kebersihan—sebab sudah menandakan cara hidup bercitra ilahi.

Ilustrasi: kpantherrka.blogspot.com

Napas

“Saking rutinnya menghirup dan mengembuskan napas, sehingga diri lupa pada aktivitas vital itu. Lupa diri.” (Maksim Daeng Litere, 080620)

Melodi indah nan harmonis, mengantar tindisan-tindisan jari pada papan ketik laptop, kala saya mulai menulis esai ini. Petikan gitar menyayat, tapi lembut. Begitulah intro tembang, “One Last Breath”, kepunyaan Creed, satu band rock alternatif dari Amerika Serikat. Tembang ini amat mengesankan saya, seolah lagu rohani yang diberi sentuhan rock. Lagu ini mulai akrab di telinga saya, sejak lagu tersebut selalu menjadi penutup acara, Mata Najwa, di Metro TV. Beberapa tahun lalu.

Namun, saya tidak sedang ingin mengulas konten lagu tersebut, melainkan konteksnya yang memahamkan, bagaimana satu tarikan napas bisa menentukan, apa masih bisa melata di bumi atau segera pindah ke alam lain. Artinya, aktifivitas bernapas amat penting bagi hidup dan kehidupan. Waima, lebih banyak yang mengabaikan prosesnya. Baik untuk keperluan jasmani maupun rohani.

Perhatian intens saya pada perkara napas, sejak pagebluk Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi. Saya lebih banyak tinggal di rumah. Menjadi penganggur kentara. Meskipun sebelumnya, saya sudah memperkuat jemaah penganggur tak kentara. Nyaris tak punya penghasilan tetap. Nah, saat itulah, nyaris setiap hari saya ikuti program yang ditawarkan Guruji Gede Prama, sosok guru spiritual, langsung dari akun facebooknya, sebentuk meditasi sederhana, agar tetap bahagia dalam terungku pandemi.

Program itu sudah berakhir, tapi rekamannya di Youtube masih ada. Apa yang berkesan dari ajakan Guruji? Saat meditasi yang tak begitu lama durasi waktunya, sesantai mungkin, kita diajak untuk memperhatikan sirkulasi bernapas dan jeda di antara dua napas. Yah, “jeda di antara dua napas” ketika menghirup dan membuang napas. Kalau tak salah ingat, program ini berlangsung hampir empat bulan.

Kiwari, saya lagi jatuh hati pada Gobind Vashdev, seorang heartworker dan Buteyko Instructor. Ia mempromosikan cara hidup sehat lewat pentingnya memahami aktivitas bernapas yang benar agar sehat. “Bernapas lewat hidung”, itu kata kunci yang sering ditabalkan. Pasalnya, banyak orang yang bernapas, dominan tidak melewati hidung, melainkan melalui mulut.

Lebih khusyuk Gobind menerangkan, ada perkakas hidup yang bisa mengontrol kehidupan. Namun, tidak dipelajari dengan baik. Orang kebanyakan tertarik mempelajari seabrek mata pelajaran, padahal belum tentu berguna bagi hidupnya. Ketika diajukan pertanyaan, berapa orang yang telah memelajari cara bernapas yang benar? Seringkali dijawab dengan rasa heran, apa perlunya belajar bernapas?

Tatkala ada orang sakit, ketika mengonsul kesehatannya, maka tenaga medis selalu menanyakan, bagaimana pola makan, tidur, istirahat, dan olah raga? Nyaris tak pernah ditanyakan bagaimana pola napasnya? Sungguh, makan, tidur, istirahat, dan olah raga bisa tidak dilakukan dalam rentang waktu tertentu dan tidak mati. Namun, dalam sekian menit tak bernapas: mati.

Berlapikkan olah napas ini, Gobind menawarkan satu teknik bernapas lewat Buteyko. Menurutnya, Buteyko bukan saja mengajarkan teknik bernapas, melainkan juga teknik pemprograman napas. Melatih otak yang mengendalikan napas untuk bernapas dengan baik dan benar. Selain itu, teknik ini membuat tubuh rileks, amat cocok dengan gaya hidup orang modern, yang sering susah tidur, bermasalah dengan berat badan, punya persoalan hormonal, alergi, asma, darah tinggi, dll.

Lebih dari itu, Buteyko memunyai lifetime apps yang membimbing latihan, sehingga jauh lebih efektif, ada reminder-nya, data peserta bisa diakses instruktur, agar dalam konsultasi bisa lebih akurat. Pungkas Gobind.

Apa saya sudah ikut pelatihan? Belum. Justru pasangan saya yang lebih telaten berlatih. Bahkan ia sudah ikut pelatihan. Padahal, saya yang pertama kali mengenalkan olah napas ini, dengan cara membagikan kepadanya video Gobind. Maklum saja, ia seringkali mengalami gangguan pernapasan. Biarlah saya belajar dari muridnya Gobind: pasangan saya.

Percakapan demi percakapan dengan pasangan saya, tentang olah napas, semesta pun mendukung. Entah kenapa saya terbimbing secara tak sengaja meraih satu buku, yang terselip di rak buku. Saya iseng bolak-balik paginanya. Mata saya tertumbuk pada topik “Penyucian Mental”. Buku ini sudah lumayan lama saya miliki, sejak awal tahun 2000-an. Bahkan, termasuk salah satu buku yang kena banjir beberapa waktu lalu. Titelnya, Dimensi Spiritual Psikologi, anggitan Inayat Khan, seorang sufi kelahiran India, hidup 1882-1926.

Inayat mengungkapkan, salah satu cara menyucikan pikiran adalah melalui pernapasan. Para ilmuan bergerak sejauh ini dengan mengatakan bahwa seseorang mengembuskan karbondioksida: gas yang buruk dilemparkan ke luar dari tubuh melalui pengembusan. Para ahli mistik lebih jauh lagi mengatakan bahwa bukan hanya dari tubuh kotoran dapat dikeluarkan, tetapi juga dari pikiran. Jika manusia mengetahui bagaimana dia dapat menghilangkan kotoran tersebut, ia akan mendapatkan keuntungan lebih dari yang dapat ia bayangkan. Kotoran dapat dihilangkan dengan pernapasan yang benar.

Lebih dalam Inayat menjelaskan, ketika sampai pada rahasia pernapasan, ada wilayah lain sekaligus. Selama ini, pernapasan dapat terasa di lubang hidung sebagai udara masuk dan udara keluar, hanyalah efek dari pernapasan, bukan pernapasan itu sendiri. Karena penafsiran ahli mistik adalah aliran yang mengangkut udara ke luar dan ke dalam. Udara tersebut dapat dirasakan, sedangkan alirannya tidak dapat dirasakan. Pernapasan, sejenis daya tarik eter, semacam aliran listrik yang lebih halus, arusnya mengalir ke dalam dan ke luar, menyebabkan udara bergerak. Ahli mistik menyebutnya sebagai nafs, yang berarti diri. Napas adalah diri; diri terdalam manusia.

Guruji Gede Prama, Gobind Vashdev, dan Inayat Khat, bila saya setubuhkan tutur-tuturnya, akan tiba pada simpai simpulan, perkara napas bukanlah perkara sepele. Napas sangat vital adanya, tapi manusia mengabaikan keberadaannya. Manusia amat sering tertipu pada alat-alat vital lainnya, meskipun kevitalannya tiada, manusia masih dapat hidup.

Benarlah maksim Daeng Litere, seperti yang saya kutip di mula esai ini. Sebentuk ungkapan sentakan, serupa interupsi, agar mengacuhkan keberadaan napas. Napas sebagai unsur mahapenting dalam kehidupan, bisa dipahami melalui kajian sains, psikologi, dan spiritual, sehingga berdimensi holistik.

Usai berjibaku dengan beberapa tindisan jejari di papan laptop, dalam satu tarikan napas, esai ini pun kelar. Tembang dari Creed saya putar ulang. Sebaris bait menubuh diri, but I’am down to one last breath. Bak acara Mata Najwa yang berakhir dengan iringan tembang rock tapi lembut. Bernapaslah hingga tarikan napas terakhir.

Sumber ilustrasi: amazingblogsszshadow.blogspot.com

Ka’bah dan Gode

Ada dua jagat hidup dan kehidupan, bagai dua sisi mata uang: politik dan sepak bola. Keduanya amat atraktif. Satu urusan jiwa, lainnya perkara raga. Politik selaras jiwa, sepak bola seturut raga. Definitnya, politik merupakan olahjiwa, sedangkan sepak bola adalah olahraga. Dan, bila keduanya makin diminati, maka akan bermuara pada jargon, politik sepak bola dan sepak bola politik.

Gambaran pergolakan politik sangat mudah dijelaskan manakala diibaratkan dengan permainan sepak bola. Begitu pun sebaliknya, persepakbolaan bisa berjaya, ketika ada kebijakan politiknya. Sepak bola tanpa kebijakan politik sebagai payung kebajikannya, dipastikan persepakbolaan akan semrawut.

Aku ingin menukil gundah dua orang warga net, terkait politik dan sepak bola, saat ia ditanya oleh facebook, “Apa yang Anda Pikirkan?”

Syamsu Rijal Ad’han menorehkan kalimatnya, “Baliho politisi saat ini mulai semarak di mana-mana. Bak cendawan di musim hujan. Padahal 2024 masih jauh. Yang di depan mata adalah Indonesia sedang krisis akibat pagebluk. Banyak orang kehilangan kerja, anak-anak banyak yang jadi yatim bahkan yatim piatu. Politisi pasang baliho sebenarnya wajar saja. Mereka ingin populer. Mungkin juga di masa krisis ini mereka telah banyak berbuat, mungkin mereka telah nyumbang banyak. Tetapi rasanya tidak elok ya? Kurang etis. Foto foto di baliho itu tersenyum penuh semangat ingin meraih kekuasaan. Sementara di berbagai sudut Indonesia rakyat sedang menangis.Lagi pula jika dihitung hitung jumlah baliho di seantero Nusantara, biayanya tak sedikit. Kalau itu dikumpul, mungkin bisa meringankan mereka yang terdampak pagebluk.”

Lain halnya Saprillah Syahrir Al-Baycuni. Ia menjawab, “Setelah Messi memenangkan segalanya, Barca malah enggan memperpanjang kontraknya. Alasannya, gak ada duit. bukan. itu bukan alasan. Messi adalah pemain dengan masa depan investasi yang buruk. mmpertahankan Messi hanya akan menguras keuangan sedangkan semakin lama harganya semakin tergerus usia. bukankah lebih baik mencari pemain muda berbakat untuk melanjutkan sejarah kesuksesan Barca. pasca Messi. No legend in football. Just Capitalism!”

***

Dua pekan lebih aku menyata di Bantaeng. Agendaku beraneka rupa. Mulai dari hajatan keluarga, hingga helatan literasi. Kemeletaaanku di kampung kelahiran, tentulah selalu melibatkan separuh napasku yang menubuh ke Daeng Litere. Sebagai misal, di penggalan waktu, pada salah satu sudut perempatan kota, di Warkop 99. Aku dan dia sudah duduk lumayan lama. Entah kenapa, Daeng Litere, menarik napas lumayan dalam. Pertanda ada gelisah di hatinya dan gejolak di pikirannya.

Aku menatapnya, lalu kuajukan tanya , “Adakah?”

Nyaris tiada jeda, ia langsung bertutur, “Ente ingat dua kawan kita yang baru saja berpulang pada keabadian?”

“Ya, Nasrun Ka’bah dan Rustam Gode, bukan?”

“Betul sekali. Bukankah usianya sama dengan usia kita? Jangan-jangan berikutnya…” jawab Daeng Litere, yang segera kususul dengan ungkapan, “So pasti, kita-kitalah yang akan menysulnya.”

Suasana jadi hening. Nantilah susulan kopi memecahkan suasana, sehingga percakapan berlanjut. Daeng Litere memintaku untuk menghangatkan ingatan pada dua kawan yang baru saja wafat dalam dua pekan ini. Nasrun Ka’bah dan Rustam Gode.

Nasrun Ka’bah, lebih akrab dipanggil Ka’bah. Mengapa? Sewaktu masih bersekolah di SMP Neg 1 Bantaeng, kami semua memanggilnya dengan Ka’bah. Maklum, bapaknya, Mahmuddin Sinongko, adalah Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berlambang Ka’bah. Kala itu, masih kuat-kuatnya rezim Orde Baru. Panggilan itu melekat, hingga kami lanjut di SMA Neg 1 Bantaeng. Dan, ia pun menegaskannya sebagai nama akun medsosnya.

Kesetiaan Ka’bah pada PPP, berlanjut semasa kuliah, hingga ia pernah duduk sebagai anggota DPRD Kota Makassar mewakili PPP. Setelah ia tidak lagi terlibat dalam politik praktis, ia tetap menjadi konsultan politik bagi warga PPP yang ingin mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Bagiku, sosok Ka’bah serupa persona pilihan. Tidak tergiur pindah partai. Bahkan, kala partainya dirundung perpecahan, dua kepengurusan, ia tetap di PPP. Ia seorang politisi yang setia pada partainya.

Begitu juga dengan Rustam Gode. Aku yakin nama lahirnya, Muhammad Rustam, tapi popular disapa Gode. Ia kawan SMP dan SMA-ku. Profesinya sebagai ASN di Bantaeng. Jabatan terakhirnya sebagai Kepala Seksi Bidang Olahraga Dispora Bantaeng. Gode, lebih dikenal oleh masyarakat Bantaeng sebagai pemain sepak bola. Bahkan, kadang sesama pemain memanggilnya sebagai kapten. Terakhir kali bertemu dengan Gode, sewaktu ada arisan para mantan pemain Persatuan Sepak Bola Bantaeng (Persiban), yang diadakan di mukim kakakku. Maklum, abangku mantan salah seorang pemain bola Bantaeng dan pernah mendirikan salah satu klub sepak bola di Bantaeng.

Ka’bah wafat pada 31 Juli 2021, karena sakit. Setelah dirawat beberapa waktu di Rumah RSUD Anwar Makkatutu Bantaeng. Dari unggahan facebooknya, ia pernah dibesuk oleh Bupati Bantaeng, Ilham Azikin. Sebagai seorang politisi, ia dikenal baik oleh bupati. Lain halnya dengan Gode. Ia wafat 7 Agustus 2021, saat ia bersama Bupati Bantaeng bertandang ke Kabupaten Maros guna bermain bola. Ilham Azikin adalah pecinta bola, sering bermain bola bersama pemain Persiban. Ia mengajak Sang Kapten ke Maros. Gode wafat masih menggunakan seragam bola.

***

Maraknya baliho para politisi dan hengkangnya Messi dari Barca, menubuhkan pelajaran berharga bagiku. Mungkin, Daeng Litere pun demikian. Pasalnya, tempat bercermin selaku politisi yang setia dengan partai, seperti yang dicontohkan oleh Ka’bah amat langka.

Bukankah setiap pemilu digelar, para politisi bak pemain sepak bola, senantiasa mengajukan diri untuk satu partai buat kendaraannya menuju gedung wakil rakyat? Kesetiaan pada partai, sulit ditemukan, sebab politik sudah jadi industri. Persis seperti klub sepak bola yang jual beli pemain, setiap pergantian musim.

Menjadi wajarlah celotehan dua warga net, yang mengkritisi laku aktor politik dan tingkah pemain sepak bola. Keduanya mendakukan campur tangan kapitalisme dalam politik dan sepak bola.

Jujur. Saya tidak hendak membandingkan para politisi berbasis baliho itu dengan kawanku, Ka’bah. Atau mengkritik klub sepak bola yang jual beli pemain dengan kawanku Gode. Sekali lagi, tidak. Aku hanya mengajukan peristiwa pembelajaran. Seperti juga Daeng Litere mengakuinya, “Mari kita belajar, pada dua sosok anak negeri yang punya kesetiaan. Satu bersetia pada partainya, satunya lagi berkomitmen pada lapangan hijau.”

Di sisa waktu, pada sisi pikiran masing-masing, aku dan Daeng Litere tertegun beberapa lama. Masih di Warkop 99. Merasakan aura panggilan berikutnya, akan menyuusul dua kawanku kelak. Namun, Daeng Litere, setengah berbisik di palung hatiku, “Sepak bola politik dan politik sepak bola akan sangat indah, seandainya dua kawan kita itu menuntaskannya di pikiran Bupati Bantaeng, sebelum keduanya berpulang.”  

Ilustrasi: Nabila Azzhra