Arsip Kategori: Cerpen

Presiden-Presidenan

Teman, bagaimana kabarmu sekarang? Kelihatannya kamu tambah sejahtera dan bahagia saja.

Kamu katakan dirimu belum sukses? Ukuran sukses itu relatif, teman. Menjadi petani, nelayan, pegawai, atau apapun pekerjaanmu, terpenting bisa bemanfaat. Sebenarnya kamu itu sudah sukses.

Janganlah kamu ukur kesuksesan dirimu dengan melihat kesuksesan orang lain. Terlebih jika kamu mau membandingkan dirimu dengan saya,

Oh iya, teman. masih ingatkah kamu, saat dulu kita sama-sama duduk di bangku sekolah? Untuk pertama kalinya kita bertemu, berkenalan lalu kian akrab.

Saya rasanya ingin mengulangi masa-masa itu teman. Apalah daya. Kita tak mampu merayu waktu agar mau berjalan mundur.

Tapi, tiada mengapa jika kita mengulangi itu dengan berbagi cerita saja.

Baik, saya yang pertama bercerita, meskipun cerita saya tak seasyik kisah nyata yang sebenarnya, seperti apa yang saya dan kamu telah lalui.

Tahukah kamu, teman. Ada satu kejadian yang hingga saat ini, sulit saya lupakan. Saya, jika mengingatnya, sering tertawa sendiri. Demikian pula bila saya ceritakan ke istri dan anak-anak, mereka ikut ikut tertawa. Mereka sedang menertawai saya, atau cerita saya, entahlah.

Ah, bukan itu teman. Bukan saat kamu menulis surat untuk si Jelita, yang kamu titip melaui saya. Dan dia menolakmu. Tidak pantaslah saya mengenang duka laramu itu teman.

Tapi, yang selalu saya ingat dan membuat saya terpingkal-pingkal tanpa sadar, adalah saat kita masih siswa baru di kelas satu. Lalu, diospek oleh kakak senior.

Teman, dari sekian banyak permainan yang ditampilkan kakak senior kita dulu, ada satu permainan yang hingga saat ini tidak bisa saya lupakan. Bahkan, telah membuat saya terobsesi mewujudkannya.

Masa sih kamu sudah lupa?

Ya. itu, main presiden-presidenan. Masih ingatkah kamu aturan mainnya? Ah, sudah lupa juga? Padahal kamu tak pernah dihukum kakak senior, jika mereka memainkan, permainan ini. Selalu lolos, jalanmu sangat mulus. Tapi, bisa jadi karena kemulusanmu itulah, yang membuatmu tak mengingatnya sma sekali. Karena  menganggapnya sesuatu yang tidak istimewa, untuk dijadikan kenangan.

Pantas pula, kamu tak bisa jadi presiden kalau begitu. Main presiden-presidenan saja, enggan kamu ingat. Tapi, beruntunglah kamu lebih memilih bertani dan berkebun. Hidupmu pasti sangat tenang. Berbeda dengan yang berambisi jadi presiden, hidupnya selalu gelisah. Seperti yang saya alami teman.

Karena kamu tak ingat sama sekali. Tak apalah saya ulang peraturan permainan itu.

Setiap yang ditunjuk menjadi presiden, menyebutkan namanya terlebih dahulu, kemudian kata presiden, presiden. Lalu diikuti nama teman lain yang hendak ditunjuk. Misalnya. Ahmad pesiden, presiden Ali. Ali akan menjawab. Ali presiden, presiden Syukri. Begitu seterusnya.

Jika yang disebut namanya ternyata tidak menjawab, atau telat merespon. Akan dikasih hukuman oleh kakak senior. Kamu masih ingat kan, hukuman yang paling sering diperintahkan kakak senior?

Ya, betul itu yang saya maksud. Menyanyi, ketawa sepuluh macam, menulis nama pakai pantat, atau merayu kakak senior.

Untunglah, saat itu saya masih belum bisa merayu. Pasti kakak senior yang punya tahi lalat di pipi kanannya itu, akan menggelepar mendengar rayuan saya.

Buktinya, sekarang. Ribuan hingga jutaan orang mau mengikuti saya, itu karena kepiawaian saya merayu. Sebenarnya mereka tahu dan sadar, bahwa saya pandai merayu. Tetapi mereka percaya bahwa rayuan saya itu sangat bagus.

Kamu tahu teman, siapa yang mengajari saya rayuan? Itu, kakak senior yang memulai permainan presiden-presidenan yang sedang kita bicarakan saat ini.

Saya bertemu dengannya, saat dia menjadi penghuni terlama di kampus. Dan saya masih calon mahasiswa yang akan digunduli dan diospeknya lagi.

Ternyata, permainan presiden-presidenannya, dia bawa hingga ke perkuliahan. Lebih hebatnya lagi, dia terpilih menjadi presiden di kampus sampai tiga kali, gara-gara permainan itu. begitu katanya. Pasti kamu meragukan dan tak memercayainya, bukan? Saya pun demikian, awalnya.

Nah, pasti sekarang kamu sudah ingat, teman? Bukan. bukan senior itu yang saya minta untuk kamu ingat. Tapi, permainan itu.

Saat main permainan itu, saya selalu kena hukuman. Setiap saya yang ditunjuk untuk melanjutkan presiden-presiden. Saya hanya menyebut diri saya sendiri.

Waktu ospek di kampus pun, saya melakukan itu. Nah, saat itulah kakak senior itu, mengenali saya.

Dia bercerita. bahwa, saat diospek dia mendapatkan permainan itu di kampus. Padahal, sudah diketahuinya. Lalu, dia memainkan permainan itu. Sebagaimana saya memainkannya. Itulah yang membuatnya terkenal di kampus.

Satu sampai dua kali, kesalahan itu saya lakukan. Bahkan, tiga hingga empat kali. Saya masih saja dianggap salah. Padahal, saya menganggap diri saya benar.

Saya tidak mau menyebut atau menunjuk yang lain menjadi presiden. Hanya saya saja yang boleh menjadi presiden. Sekalipun itu hanya dalam permainan presiden-presidenan.

Teman-teman kita, termasuk kamu, selalu menunjuk orang lain untuk menjadi presiden. Hingga kalian tidak mendapat hukuman. Sementara saya. Saya ingin menjadi presiden. Meski hanya presiden-presidenan. Makanya saya menunjuk dan menyebut diri saya. Amir presiden, presiden Amir . Amir presiden, presiden Amir.

Orang-Orang Kalah

Pagi ini cuaca cerah. Suasana di jalan-jalan kota sedikit lengang oleh kendaraan bermesin. Kecuali di tempat-tempat tertentu sedikit agak riuh oleh warga yang berolah raga. Dari yang bersepeda, berlari-lari santai, berjalan kaki, hingga melakukan senam berkelompok di ruang publik terbuka. Belum selesai aku berpikir dan bertanya dalam hati, kenapa Sabtu ini alun-alun kota yang sebagiannya telah dialihfungsikan menjadi tempat perbelanjaan, sangat padat pengunjung berolah raga. Anakku telah menjawabnya.

“Bapak, mungkin karena musim Pilkada ya, sehingga tempat ini yang biasanya tidak sesak, tapi hari ini agak kesulitan kita berjalan cepat.”

“Apa hubungannya?” Kilahku.

“Ada-lah, Pak. Mungkin mereka sedang melakukan sosialisasi dengan biaya murah. Coba lihat pengunjung yang berkelompok-kelompok itu, itu umumnya mereka berseragam tagline dan gambar kandidat, baik calon Gubernur dan wakilnya, maupun calon Walikota dan wakilnya.”

“Oooo ya, masa sih, aku tak memperhatikannya.”

Setelah perhatianku kualihkan ke beberapa kelompok barulah aku sadar bila salah satu penyebabnya alun-alun ini sangat padat pengunjung, baik yang berolah raga maupun yang hanya sekedar datang kongkow-kongkow dengan teman-temannya. Sebagian besar mengenakan kaus yang bertagline dan bergambar kandidat masing-masing.

Bahkan di sebuah sudut alun-alun itu, ada yang saling sindir, saling menjelekkan kandidat masing-masing. Dengan suara gempita mereka hampir bersamaan meneriakkan yel yel masing-masing kandidat tim pemenangan. Hampir saja terjadi adu fisik bila satu dari dua kelompok itu tidak mengalah. Urung diri dari lokasi alun-alun itu yang mestinya peruntukannya untuk berolah raga namun dimanfaatkannya untuk bersosialisasi dan berkampanye sebelum waktunya. Mereka tidak sadar bila ruang publik ini diperuntukkan untuk semua orang untuk berolah raga, dan perlakuan mereka mengganggu pengguna ruang-ruang publik itu.

Setelah reformasi berhasil menurunkan presiden Suharto dari tahta kuasanya yang dipeluknya hingga lebih dari tiga puluh tahun, nampaknya suasana politik menjadi tak karuan di tangan para elit yang campur sari antara yang betul-betul elit pengawal reformasi dan para elit penumpang gelap yang dulunya berdansa dansi menikmati dan berkontribusi besar dalam perjalanan politik otoritarianisme dan militerisme.

Mereka seolah-olah bangun dari kubur tidur panjangnya dan menjelma sebagai seorang pahlawan. Tipikal pejuang seperti inilah yang banyak mewarnai perjalanan reformasi kemudian, dan para muda yang dulunya ikut berjuang mengusung lahir dan mengembangnya gerakan reformasi ikut bermetamorfosa dengan penumpang gelap itu lalu mengusung gerakan mundur ke masa silam dengan topeng reformasi dan pembaharuan.

***

Musim ini musim pesta. Pesta para pemilik modal dan para manusia bebal. Mereka berkolaborasi dengan para politisi di partai-partai mereguk kuasa dari suara-suara rakyat jelata yang kebanyakan di antara mereka tak pernah diberi pendidikan politik dengan baik. Hal ini agar suaranya dapat disebut suara Tuhan yang bisa dipertanggungjawabkan oleh penerima suaranya kelak sebagai amanat yang melekat secara spiritual dan sosiologis.

Dalam tiga dekade reformasi diusung yang nampak berkembang adalah kebebasan liar nyaris tak terkendali. Hukum nyaris mati suri oleh kelompok-kelompok dominan yang melakukan tekanan kepada kelompok-kelompok minoritas yang mestinya telah dilindungi oleh undang-undang. Para elit politik di partai-partai tidak akan berperan banyak dalam perlindungan kaum minoritas yang ditekan oleh kelompok-kelompok yang sesungguhnya secara jumlah juga tak terlampau banyak hanya menang dari sisi kenekatan dalam melakukan aksinya. Karena hal ini terkait dengan image partai yang berharap suara mayoritas kala pemilu nantinya disemua level pemilihan.

Para pendukung telah mencuri start kampanye dan sosialisasi sebelum KPU (Komisi Pemilihan Umum) mengangkat bendera start sebagai petanda bahwa kompetisi dan pesta Pilkada sudah mulai dihelat dengan berbagai aturan main yang telah disepakati dan disetujui. Yang lebih mengkhawatirkan adalah perang bully hoax berlangsung dengan sangat intens di Medsos (media sosial). Perang ini nampaknya mencapai puncaknya kala pemilihan presiden dan wakilnya pada tahun 2014 lalu dan berkecambah terus setelahnya seakan tak hendak menurun kala memasuki perhelatan Pemilu selanjutnya.

Suatu waktu dalam suasana santai di meja makan, anak-anakku yang berjumlah tiga orang menanyaiku dengan mimik serius.

“Kenapa teman-teman saya yang aktif bermedia sosial ikut-ikut pula saling membully dan menebar hoax di akun masing-masing, Bapak?”

“Tapi, kamu tidak kan?” Imbuhku santai.

“Iya, Pak, kami bertiga tidak, cuma prihatin saja. Padahal di rumah ini juga kita-kita kan sudah ada pilihan, baik untuk calon walikota dan wakilnya maupun calon gubernur dan wakilnya,” cerocos anakku yang paling sulung.

“Iya, sayang, karena teman-temanmu itu mungkin tidak memiliki pengetahuan tentang politik dan tujuan memilih yang sesungguhnya. Apatahlagi bila orang tua mereka masuk sebagai tim pemenangan di salah satu kandidat dan tidak memiliki kesadaran dan welas asih kepada sesama. Pasti mereka akan melakukannya sebagai sebuah strategi yang meghalalkan segala cara. Dan strategi yang demikian itu bila digunakan terus menerus dalam waktu yang cukup panjang akan berdampak pada ambruknya nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya mulia. Bahkan tatanan sosial pun akan menjadi rusak jadinya. Jadi, keluarga kecil kita mesti memberi contoh yang baik pada tetangga-tetangga kita bagaimana berpolitik dan berdemokrasi yang lebih baik dan santun,” imbuhku, panjang lebar menjelaskannya.

Di dalam keluarga kami memang dari hal-hal kecil hingga yang paling rumit selalu dirembukkan dan didiskusikan hingga sedetail-detailnya sampai substansi masalah. Sehingga setiap masalah-masalah sosial dan politik yang berkembang di luar sana membuat keluarga kami sudah khatam dan sepemahaman termasuk cara dan strategi menghadapainya. Termasuk Pemilukada yang akan dihelat dalam waktu dekat ini.

Di masyarakat via medsos yang dipergunjingkan dan diperdabatkan hanya pada aspek-aspek permukaan. Semisal penampilan fisik, gerakan spontanitas yang tiba-tiba menarik perhatian dunia medsos.

Sedang di keluarga kami telah mengulik jejak rekam setiap paslon (pasangan calon) walikota dan wakilnya, dan gubernur dan wakilnya. Program-program yang disuguhkan kepada pemilih, paling tidak pada aspek rasionalistas, proporsionalitas, keterukuran, dan keterjangkauan. Agar kami tidak memilih paslon seperti memilih kucing dalam karung.

Kami juga menghindari perdebatan-perdebatan yang tidak terlalu substansial di medsos. Bahkan dari ketiga anak kami yang sudah beranjak dewasa semua tidak terlalu intens bermain di medsos kecuali untuk menjalin hubungan silaturrahim, mengembangkan wawasan, dan juga bisnis. Sebab, kami telah menyimpulkan bahwa sebagian besar perdebatan-perdebatan politik di medsos bermuara pada hoaks dan bullying dan hal tersebut dalam durasi waktu yang panjang, baik langsung maupun tak, akan merusak jiwa dan keperibadian. Pun, akan merusak hubungan silaturrahim yang menjadi urat nadi akhlakul karimah atawa budi mulia yang diutamakan dalam spiritualitas agama.

***

“Hei.. Mira, kenapa kamu berlari kayak kesetanan,” tergurku dengan nada khawatir membuncah.

Mira, anak keduaku tak segera menjawab karena masih ngos-ngosan berburu dengan nafasnya. Ia nampak pucat sepucat kain belacu. Aku di beranda rumah menikmati hari jelang sore dengan kopi dan pisang goreng falm sweker. Seperti biasanya setelah usahaku di pasar tradisional tak jauh dari rumahku telah kututup untuk istirahat siang.

“Itu Pa, di perempatan jalan Kalimantan dan jalan Seram terjadi perkelahian massal dua kelompok pendukung paslon dan kebetulan aku lewat di sana sepulang dari sekolah.”

“Yapi, kamu baik-baik saja kan?”

“Iya Pak, tapi aku nyaris ketimpuk batu yang berseliweran saling bersahut.”

“Alhamdulillah kamu luput dari batu-batu itu, Nak. Itulah satu lagi pembelajaran buat keluarga kita, bahwa ketidak-dewasaan berpolitik dan mungkin ketidak-pahaman makna-makna mulia dari tujuan demokrasi maka akan melahirkan proses anarkisme sebab semua diorientasikan untuk kekuasaan semata. Dan kekuasaan sangat rentan dengan laku korup.”

Entah bagaimana muasalnya sehingga dua tim sukses paslon kepala daerah sua di perempatan jalan tak jauh dari rumah kami padahal oleh KPU (Komisi Pemelihan Umum), para paslon dan tim kampanye dan pemenangannya dilarang melakukan kampanye pada hari dan waktu yang bersamaan. Kala ditanya, jawabnya bukan kampanye hanya konvoi anak-anak muda saja, padahal sebagian memang memakai atribut Paslon.

Malam berganti pagi hingga kembali malam lagi. Kemudian hari-hari berproses hingga melampaui minggu dan bulan. Jelang Pemilukada digelar proses kekerasan dalam mengawal masing-masing paslon dalam Pemilukada kali ini, kekerasan nampaknya tak hendak usai, bahkan kekerasan verbal dan tulisan khususnya di medsos semakin menggila saja. Banyak hubungan keluarga, kerabat, hingga sahabat terputus hanya karena berbeda paslon yang diusung.

“Jadi, bagaimana sikap kita, Pa, menghadapi Om Nasrun. Kelihatannya Dia sedang kalap membabi-buta hingga seperti orang tak sadarkan diri saja. Semua orang termasuk keluarganya sendiri akan dijauhinya bahkan dimusuhinya bila berbeda pilihan.”

“Santai saja, sayang. Pada waktunya dia akan sadar juga. Selain mungkin karena memang pilihannya mungkin juga kakak saya itu mendapatkan keuntungan material dari pilihan politik yang ditempuhnya sebagai seorang pengusaha, dan sudah lama dia lakukan. Yang mengherankan memang pada Pemilukada kali ini agak berbeda, karena di samping kepentingan materil juga dibumbui dengan isu-isu agama. Nah kalau isu  ini yang dimainkan biasanya orang-orang akan dirasuki fanatisme yang tak rasional lagi, akal sehat terbang menjauh, yang mungcul adalah kebencian.”

“Padahal, Paman, saban hari ke rumah ini ya, walaupun hanya sekedar hallo say dan menanyakan kabar kita semua,” cerocos anak bungsuku.”

“Ya demikian itulah, katanya. Ada dua jenis orang yang tidak mempan dinasehati, yakni, orang yang sedang jatuh cinta dan pendukung Paslon, hehehe..”

Kami terkekeh serentak mengamati dan mendiskusikan sikap keluarga dekat dan para pendukung paslon di musim perhelatan demokrasi ini. Mereka bak orang jatuh cinta yang konon tai kucing pun sudah rasa coklat dibuatnya. Betapa membiuskannya kekuasaan itu. Katanya seperti candu yang merasuki tubuh dan psikis penggunanya, semakin jauh dan lama ia dikomsumsi maka semakin menggiurkan pula.

Sesungguhnya dalam kompetisi demokrasi dengan cara-cara kasar dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan adalah cara-cara Machiavellian yang melahirkan dendam kesumat yang tiada henti. Dalam perspektif moralitas dan akhlak sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang kalah kendati dalam realitasnya mereka menang dan menduduki kekuasaan. Kalah menang mereka adalah orang-orang kalah.

Potret Ayah

 

Ayah menyambangiku di sebuah malam sepi senyap. Ia datang dengan wajah ringis selimuti rupanya yang rupawan hingga tampak kusut. Tak seperti biasanya, ayahku selalu datang menyambangiku dengan tersenyum tanpa kata hanya rona wajah dan gesture tubuhnya yang ceria dan senang.

Aku masih tercenung di beranda rumah panggung adikku di kampung moyangku jauh dari hiruk pikuk kota. Kehadiran ayah menyambangiku dengan wajah dan gesture tubuh yang kurang menyenangkan membuatku galau terbagun tengah malam dan tak bisa lelap lagi.

Rokok sudah berbatang-batang kuisap dan kopi tubruk yang disajikan adik iparku sudah gelas ke dua tandas. Pisang goreng telah lumat sepiring sebagai pengantar ngopi pagiku. Tapi wajah ayah yang cemberut seolah mengejekku tak hendak hengkang menjauh, sangat menggangguku.

Jelang siang, aku belum beranjak dari beranda rumah panggung adikku, entah batang rokok keberapa telah kuhabiskan, setelah adikku kembali dari sawah dan ladangnya dengan sisa-sisa peluh yang masih meronai wajah dan tubuhnya yang tak mengenakan secarik kain pun kecuali celana pendek hingga selutut.

“Daeng, ada masalah kah di kota?” tanya adikku singkat.

“Tapi tidak berat, biasa saja,” jawabku pun singkat.

Seperti biasa, adik bungsuku yang penyabar ini tahu bila aku menghadapi masalah di manapun termasuk di kota tempat domisiliku selama ini, pasti aku bertanggung jawab sendiri tanpa melibatkan siapapun termasuk adikku. Adik bungsuku sepertinya sudah mafhum. Dia juga senang sebab bila aku menghadapi masalah yang cukup berat pasti rumahnyalah yang di pelosok kampung ini sebagai tempat pelarianku menenangkan diri sembari berpikir mencari jalan keluar untuk mengambil keputusan yang tepat untuk semuanya.

Setelah menunai salat zuhur, adikku mengajakku santap siang bersama. Kami melantai di atas tikar daun pandan santap bersama, tentu kami riang dan gembira, sebab momen seperti ini jarang sekali kami temukan lagi setelah kami sama-sama dewasa dan menjalani hidup masing-masing.

“Boleh kah aku bantu menyelesaikan masalah yang menimpa, Daeng?” tanya adikku sembari menikmati santap siang yang lezat hasil racikan istrinya.

Aku hanya melenguh sembari menggelengkan kepala, seperti biasa bila aku ada masalah dan berhari-hari istirahat di rumahnya, dan adikku pun tahu jawaban saya. Pertanyaannya itu hanya ingin menunjukkan rasa empatinya kepada kakak yang ia sayangi dan kasihi, walau sesungguhnya jawabannya telah ia tahu terlebih dulu.

Istrinya pun hanya tersenyum mendengar dan menyaksi percakapan kami yang terputus-putus tak lancar.

“Mungkin besok aku kembali ke Makassar menyelesaikan masalah yang telah menimpaku dan menjalani hidup kembali seperti biasa,” ujarku, sembari kubagi senyumku pada adik bungsuku dan istrinya yang baik hati.

Walau pun adik bungsuku dan istrinya ini hanya hidup berdua karena anak semata wayangnya telah berlayar ke berbagai negara setelah menamatkan sekolah pelayarannya di Makassar, mereka nampak sangat bahagia, yang kerap membuatku kagum pada ke duanya.

Aku membatin, sebelum aku menyelesaikan masalah yang kuhadapi dengan baik dan gentlemen, pasti ayahku akan datang lagi sebentar malam dengan wajah dan gesture tubuh yang kurang menggembirakan.

***

Di kantor polisi, aku diinterogasi selama tiga jam lamanya. Aku menjelaskan bahwa tetanggaku itu memukul anak tetanggaku yang berkelahi dengan anaknya, pas aku lewat dan melerainya. Karena tidak puas memukul anak tetanggaku aku pun dipukulnya karena jengkel padaku telah melerai pemukulan yang dia lakukan, dan kala itu aku melawan membela diri, memukulnya hingga pingsan. Mestinya, tetanggaku itu yang ditahan dan diterungku sebab melakukan kekerasan pada anak, jelasku panjang lebar di hadapan penyidik polisi.

Demikian itu sepotong kisah dari masalah yang kuhadapi kali ini sehingga membuatku harus mengurung diri sejenak beberapa hari di kampung moyangku jauh nun di keriuhan kota Makassar.

Membuat adik bungsuku dan istrinya sedikit cemas walau pun mereka berdua tahu bila aku bisa menyelasaikan masalahku tersebut dengan baik setelah mukim di rumahnya beberapa hari. Sebab, ini bukan pertama kali terjadi dan menjadikan kampung kami ini sebagai tempat semedi dan kontemplasi untuk mencari dan mencairkan jalan buntu yang merentang di hadapanku. Sudah kerap kali dan jalan lapang terbentang terinspirasi setelahnya. Mungkin banyak dipengaruhi oleh faktor alam sekitar dan kedekatan secara emosional dengan keluarga besarku dan khususnya kedekatan dengan ayahku secara psikologis.

Keramahan dan kebaikan adik bungsu serta istrinya. Suasana alam sekitar pun punya andil yang mebuatku tenang di rumah panggung adik bungsuku itu. Di belakang rumahnya terdapat sungai besar dengan suara ritmik air mengalir bak suara padu padan orkestra yang mengasyikkan. Di depan rumahnya melintang jalan desa yang sunyi dan hamparan sawah sejauh mata memandang, sedang di ujung jauh di sana nampak jejeran bukit-bukit karst yang memesona. Aku membayangkan bila seorang penyair domisili di sini maka aku yakin akan melahirkan karya-karya syair yang indah.

***

Seorang intel yang cukup karib denganku bertandang ke rumahku dan menawarkan perdamaian tanpa syarat.
“Kalau denganku, tidak masalah, pak Arif,” jawabku, setelah intel itu menjelaskan maksud keinginan berdamai tetanggaku itu. Tapi, bagaimana keluarga anak tetanggaku yang dipukulnya.

“Itu urusan aku,” katanya singkat.

Rupanya, pak Arif, intel senior berpangkat kompol itu didaulat sebagai juru damai entah oleh siapa, apakah keluarga, Daeng Gassing tetanggaku si pemukul anak kecil yang berkelahi dengan anaknya dan berkelahi pula denganku karena tak ingin aku melerainya kala ia memukul anak tetanggaku itu, ataukah, pak Arif ditugaskan khusus oleh komandannya setelah mempelajari kasus ini secara seksama atau pun ada permintaan khusus dari keluarga besar, Daeng Gassing untuk berdamai, sebab kami dari tiga rumpun keluarga yang telah lama bertetangga tak mungkin dalam sengketa berlama-lama. Sebab, selama ini kami semua di kampung ini sangat rukun dan damai. Entah, setan apa yang merasuki, Daeng Gassing sampai ia membela anaknya mati-matian sehingga mata hatinya tertutupi ego dan emosi yang cukup akut.

***

Dinihari jelang subuh, ayahku datang lagi menyambangiku, tapi, kali ini ia tak lagi bermuka masam dan tampak sedih. Tapi, melempariku senyum walau hanya senyum tipis dan sedikit ekspresi senang tanpa kata kecuali gerak gesture tubuhnya. Mungkin karena masalahku dengan, Daeng Gassing tetanggaku dan anak tetanggaku yang dipukulnya dan kupukulnya pula hingga pingsan telah selesai dan hubungan kami cair seperti sediakala sebagai tetangga.

“Bagaimana masalahnya dengan, Daeng Gassing, Daeng?”

Adik bungsuku menanyaiku, kala menyambangiku bersama istrinya setelah sekian pekan tak mendengar kabarku, sejak aku meninggalkan rumahnya untuk semedi dan berinstrospeksi serta mencari inspirasi jalan keluar dari masalah yang kuhadapi.

“Alhamdulillah sudah kelar, dik.”

“Pak Arif, intel senior di Polres telah menfasilitasi perdamaian tiga keluarga bertetangga yang bersengketa. Kami menandatangani surat damai di atas kertas bermaterai yang di saksikan langsung kapolsek dan Wakapolres,” jelasku panjang lebar.

“Alhamdulillah,” seru adik bungsuku hampir bersamaan dengan istrinya. Wajah cemas tadi spontan berubah berseri setelah mendengar penjelasanku.

“Eh..ngomong-ngomong, adik menyimpan foto ayah?”

“Kayaknya tidak ada, Daeng.”

“Nanti saya cari dulu di almari, Daeng,” timpal Aminah, adik iparku yang baik hati yang karib kusapa Mina.

“Iya, tolong cari ya, karena aku telah mencarinya juga dan belum kutemukan, sejak rumah Ibu kebakaran beberapa tahun silam itu.”

Setelah santap siang bersama, jelang sore adik bungsuku dan istrinya berpamitan. Mereka berdua memang bila menyambangiku tak pernah bermalam semalam pun. Mungkin karena ternak dan ladangnya tak ada yang jaga dan dia tidak mau mempercayakan pada tetangga dan keluarga lainnya. Kecuali ada hajatan penting keluarga di kota, itu pun paling banter yang bermalam hanya istrinya.

Ayahku, sosok yang sangat baik dan bijak. Bukan hanya di keluarga kami, pun oleh tetangga dan masyarakat sekampung sangat menghormatinya. Beliau sangat peduli dan memiliki rasa empati yang tinggi pada sesama, walau tak memiliki harta melimpah. Bila ada yang butuh pertolongannya, tak menunggu komentar ba bi bu, ia langsung mengulurkan tangan dan dirinya langsung membantu. Salah satu kebiasaannya yang sulit dilupakan para tetangga adalah, setelah menunai salat subuh di masjid kampung dekat rumah, ayahku berkeliling kampung menyapa setiap orang yang ditemuinya, menurutnya, itulah jalan silaturrahim yang paling enteng dan murah. Sehingga, beliau digelar walikota oleh orang-orang sekampung, mungkin karena gandrungnya bersilaturrahim dan sukanya menolong orang yang butuh pertolongannya.

***

Sudah seminggu ini, aku mengunjungi beberapa rumah keluarga dekat tapi tak satu pun yang menyimpan potret ayah. Walau rupanya tak pernah lekang dari ingatanku hingga garis dan gurat-gurat wajahnya. Hampir semua keluargaku mengatakan diantara kami bersaudara sekandung yang terdiri dari tujuh orang, akulah yang paling mirip dengan ayah termasuk wajahnya. Entah kenapa, beberapa minggu belakangan ini aku sangat merindukangannya, sangat ingin memandangi potretnya, tapi setelah kucari ke beberapa tempat di rumah-rumah keluarga, tak satu pun yang menyimpannya termasuk di rumah kakak dan adikku.

Hingga suatu pagi aku mengunjungi seorang kawan pelukis, dan membawakan potretku padanya, tapi yang kusuruh lukis adalah wajah ayahku. Temanku itu sedikit agak bingung. Tapi setelah kujelaskan untuk melukisnya dalam usia tujuh puluh tahun tapi dengan dasar potretku yang masih berusia awal empat puluhan tahun. Temanku Sang pelukis itu akhirnya bersedia juga.

Lebih dari sebulan lamanya, setelah berkali-kali memperlihatkan lukisan itu pada kerabat dekatku untuk mecocokkan gurat wajah ayahku dalam lukisan itu, barulah rampung. Bolak balik dari kerabat satu ke yang lainnya. Perubahan dan goresan kecil sesuai saran dan masukan dari keluarga.

Aku menyampir lukisan potret ayahku di ruang tengah agar aku dapat memandangnya lebih mudah dan leluasa. Sebab, ruang tengah di rumahku ini selain tempat ngasoh bila suntuk dan lelah dalam bekerja, juga di salahsatu pojoknya adalah ruang tempatku bekerja dan memungut serta menenun inspirasi.

Di suatu malam, setelah suntuk dan lelah seharian mengurus pernikahanku yang kedua, setelah aku ditinggal mati istriku beberapa tahun silam. Aku tertidur lelap di sofa ruang tengah pas di atas potret lukisan ayah tersampir. Lagi-lagi ayah datang menyambangiku. Kali ini ia datang tidak sendiri, tapi menggandeng almarhum istriku dengan senyum semringah dan keduanya mengangkat jempolnya.

Tidurku bahagia, tidurku riang, keduanya kupeluk erat dengan rindu yang buncah.

Itulah ayah, sejak mangkat lebih dari sepuluh tahun silam tetap selalu datang menyambangiku dalam beragam rupa dan ekspresi. Bila aku bermasalah dan berlaku buruk, maka ayahku datang dengan rupa dan wajah ringis dan sedih. Bila aku secara intens melakukan kebajikan membahagiakan orang-orang di sekitarku maka ayahku akan datang dengan wajah berseri dan berbagi senyum semringah dalam waktu panjang.

Pernah suatu malam jelang subuh, ayahku datang menyambangiku, dengan telanjang dada tak mengenakan baju dengan ekspresi gigil kedinginan dan sepertinya ia meminta tolong padaku untuk mengenakan bajunya atawa pakaian karena kedinginan. Aku terbangun kaget dan berpikir cepat dan jauh. Apa gerangan yang telah kulakukan atau kulalai melakunya sehingga ayahku datang dengan rupa dan eskpresi seperti itu. Setelah sejenak berpikir dan berwudu. Barulah kusadari, bila hampir sebulan ini karena sangat sibuk aku selalu lalai mengirimkannya shalawat dan al fatihah untuk setiap kali usai menunai salat lima waktu.

Makassar, September 2017.

Daeng : panggilan untuk orang yang dituakan pada suku Bugis dan Makassar.

 

Sumber gambar: http://paharulgol.com/deviantart-abstract-art/deviantart-abstract-art-non-parlarne-mai-agnes-cecile-on-deviantart/

 

Tikus-tikus di Jendela Kantor

Senja nan indah telah jauh meninggalkan hamparan bumi berganti malam jelang ranum. Bulan dan bintang-bintang seolah semringah berbagi senyum pada semesta dan penghuni bumi. Di bulan jelang purnama tampak La Sakka menyusuri trotoar yang dinaungi rerimbun pohon trembessi. Dengan langkah pelan menunduk, sesekali Ia sebar pandangnya ke berbagai penjuru depan, kiri dan kanan. Di celah daun-daun pohon yang Ia lewati cahaya bulan dan lampu-lampu jalan berebut menerpa tubuhnya dan La Sakka menikmatinya sebagai sebuah keindahan yang dinikmatinya gratis.

“Kok Ayah terlambat pulang ?”

“Iya Ma, motorku bermasalah dan kutitip di kantor.”

“Tapi, ini sudah pukul Sembilan lewat, Yah..”

“Aku jalan kaki.”

“Ooo kenapa tidak naik pete-pete?”

“Uang yang tersisa di kantongku akan kupakai untuk memperbaiki motor itu besok.”

Dengan tergesa, Daeng Ngai menyambut suaminya dan beranjak dengan cepat ke dapur menyeduhkan kopi hitam kesukaannya.

Ia tak kuasa memberondongnya pertanyaan selanjutnya setelah tahu musabab keterlambatannya kembali ke rumah.

La Sakka, istirahat sejenak di ruang tamu yang sederhana dan tak seberapa luas itu.

Hanya beberapa menit, Daeng Ngai datang membawa nampan berisi segelas kopi hitam dan sepiring pisang goreng yang sudah mulai dingin, karena disiapkan untuk sore hari setiap kali, La Sakka, suaminya pulang dari kantor.

“Alhamdulillah,” seru, La Sakka menyambut istrinya.

“Tapi, pisang gorengnya sudah dingin, Yah..”

“Tidak apa-apa semua harus disukuri.”

“Sungguh baik istriku,” gumamnya pelan nyaris tak terdengar oleh, Daeng Ngai.

Hening sejenak, lalu, La Sakka memecahkan keheningan dengan menanyakan ketiga anaknya yang tak tampak.

“Iwan masih belajar di rumah temannya, sedang Yusri dan Ida baru saja masuk kamar?” jelas, Daeng Ngai.

***

La Sakka dan Daeng Ngai, telah menikah sejak sepuluh tahun silam dan dikaruniai tiga orang anak. Dua putra dan satu putri. La Sakka bekerja di kantor dinas pendidikan dan olah raga di kota kelahirannya. Baru saja naik golongan setelah empat tahun lalu mengikuti ujian persamaan paket C setara sekolah menengah atas (SMA) dan mengusulkan penyesuaian golongan sesuai ijazah terakhirnya. Ia dikenal sebagai pegawai yang berdesikasi tinggi dan baik hubungan personalnya kepada semua pegawai di kantornya. Jujur dan motivasi belajarnya pun sangat tinggi. karenanya, La Sakka cukup disenangi oleh hampir semua teman sejawatnya di kantor, dari pucuk pimpinan hingga pegawai di level bawah sepertinya.

Hingga suatu pagi, oleh pimpinannya di kantor memanggilnya masuk di ruang kerjanya.

“Assalamu alaikum..”

“Wa alaikum salam, balas Pak Dody Iskandar.”

“Silakan masuk, Pak Sakka.”

“Baik, terima kasih, Pak.”

“Bagaimana keadaan keluarga kamu, Pak Sakka?”

“Alhamdulullah baik, Pak.”

“Alhamdulillah..”

Setelah mengobrol ringan dan nyaris basa-basi antara pimpinan dan anak buahnya,

Pak Dody, menyampaikan maksud baiknya.

“Pak La Sakka, rencana saya libatkan di proyek renovasi dan pembangunan infrastruktur sekolah untuk anggaran tahun depan yang tak lama lagi jalan. Saya butuh orang cekatan dan baik serta jujur. Nah dari beberapa orang yang saya amati dan nilai, Pak Sakka cocok untuk job itu.”

“Terima kasih, Pak. Tapi apakah aku layak dilibatkan di proyek itu ?”

“Iya, semua pegawai diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya bisa berprestasi,” timpal Pak Dody menjelaskan singkat.

“Baik Pak. Semoga saya bisa.” Sembari tersenyum semringah dan sedikit jengah.

“Pak Lasakka, nanti bantu-bantu di bagian pengadaan barang.”

La Sakka mengangguk dan berterima kasih dengan suara nyaris tak terdengar.

La Sakka, keluar dari ruang kerja pimpinannya dengan hati dan wajah riang. Sehinnga kawan –kawan sejawatnya ikut pula menyambutnya riang walupun mereka belum tahu persis kenapa, La Sakka seriang dan sebahagia itu. sepanjang siang itu di kantor tampak wajahnya berseri-seri hingga kembali ke rumah bersua istri dan anak-anaknya dan bahkan terbawa mimpi. La Sakka membayangkan peningkatan penghasilannya yang otomatis membantu pembiayaan sekolah anak-anaknya.

***

Di meja makan sederhananya, La Sakka bercerita pada istri dan anaknya tentang dilibatkannya dirinya pada proyek-proyek kantornya tahun depan. Semua menyambutnya suka cita penuh bahagia.

“Tapi, hati-hati, Pak. Saya lihat di televisi banyak orang yang ditangkap polisi dan KPK (Komisi Penanggulangan Korupsi) karena gagal mengelolah proyek yang ditanganinya dengan baik,” tukas Daeng Ngai.

“Iya, InshaAllah. Karena Bosku juga sangat disiplin dan jujur. Beliau sangat ketat dalam seleksi menunjuk person dalam proyek-proyek yang dia tangani selama ini.”

“Tapi kan, baru tahun depan bapak dilibatkan.”

“Iya, kan belum lama juga golonganku naik setelah ijazah sekolah menengah atasku aku usulkan dan di sesuaikan.”

“Iya Pak, semogalah semua bisa berjalan lancar dan tak ada hambatan yang berarti.”

Di balik suka cita yang meruahi hatinya ada pula kegundahan yang menyelimuti dan menghantui hati, Daeng Ngai. Ia khawatir suaminya terjerumus pada suap atawa korupsi dan sejenisnya.

“Aku berangkat dulu ya Ma..”

“Assalamu alaikum.”

“Wa alaikum salam.”

“Hati-hati di jalan, Yah.”

La Sakka, memacu motor bututnya melewati jalan-jalan yang hampir setiap hari dilewatinya. Di jalan tertentu bersua macet yang belum bisa diantisipasi dan diurai dengan baik oleh pemerintah kota. Kerap pula Ia melintasi jalan-jalan tikus yang jaraknya lebih jauh tapi secara waktu lebih cepat tiba karena jalan-jalan itu tak terlampau padat bahkan kerap pula sepi.

Seperti biasa, La Sakka tiba di kantornya sebelum pukul tujuh dan langsung finger sebagai syarat kehadiran atawa bahasa lain dari absensi kehadiran yang menggunakan teknologi lebih maju. Teknologi optic jari tangan itu langsung terekam dan terbaca oleh bagian keuangan dan kepala dinas, yang tentu berkonsekuensi pada kedisiplinan, sangsi, kenaikan pangkat, dan gaji. Sejak menggunakan absensi finger itu semua ANS (Aparat Negeri Sipil) tak berani terlambat sebab konsekuensinya berat dan tak boleh diwakili. Waktu pulang pun demikian harus finger pada jam minimal yang ditentukan, walaupun waktu pulang lebih awal bisa disiasati dengan menuliskan form surat meninggalkan kantor karena tugas luar yang ditandatangani atasan langsung, dan di situ kerap terjadi persekongkolan menyiasati waktu dan korupsi waktu terjadi di banyak waktu.

“Hai Pak Sakka selamat pagi, bagaimana kabarnya,” sapa seorang dari pojok ruang tamu kantornya.

“Eeeee.. selamat pagi, Pak Idam.”

“Kapan datang, sapa La Sakka ramah.”

“Kemarin malam, pesawat terakhir dari Jakarta.”

“Pak Iwan, lagi ada rapat di kantor gubernur, pak Idam.”

“Iya, saya sudah telpon kemarin. Kami janjian memang siang.”

“Ooo baik Pak. Saya tinggal sebentar ya.”

Pak Idam, adalah Kepala bagian keuangan di Kementerian Pendidikan. Kehadirannya kali ini dalam rangka monitoring dan evaluasi proyek yang sedang berlangsung dan telah hampir selesai, dan juga akan mendiskusikan dengan Kepala Dinas (Kadis) proyek-proyek tahun depan. Termasuk proyek yang akan melibatkan, La Sakka.

Kadis yang cukup lama memimpin kantor Disdik kota ini dikenal jujur dan menurun ke anak buahnya. Selama kepemimpinannya yang sudah masuk tahun kedelapan, hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan internal audit selalu mendapat peringkat memuaskan atawa yang terbaik di antara seluruh Dinas, Badan, dan kantor yang ada di kotanya. Ia pun menjadi buah bibir di kalangan ANS dan masyarakat atas kesederhanaan dan kebersahajaannya. Dia tegas menghindari keterlibatan dalam kontestasi politik, baik di kotanya, propinsi dan pemilihan umum secara umum. Pak Dody memilih bekerja secara profesional dan memanajemeni rekan kerjanya secara egaliter dan bertanggung jawab dengan mengedepankan pendekatan persuasif. Berkali-kali dapat tekanan dari anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) berkenaan dengan proyek-proyek yang di bawah tanggung jawabnya, tapi tak digubrisnya. Ia mengalir saja tak terbendung. Tak terhitung pula isu-isu santer yang akan me-non-job-kan atawa memindahkannya di bagian lain. Tapi walikota tak mempunyai pilihan lain sebab kinerjanya sangat bagus sementara hendak menaikkannya ke jenjang yang lebih tinggi juga berisiko akan berhadap-hadapan dengan DPRD yang tak menyukai, Pak Dodi.

Hingga suatu waktu, jelang Pemilukada dihelat di kotanya. Walikota yang saat ini juga lumayan baik kinerjanya tak mencalonkan diri lagi sebab sudah dua priode menjabat sebagai Walikota. Biasanya perhelatan politik seperti ini membuat orang-orang di jajaran pemerintahan pangling. Ada yang memanfaatkan momentum itu menaksir kandidat atawa paslon yang kansnya besar. Di situlah para pejabat penjilat yang berkinerja buruk dan tak percaya diri melakukan atraksi dukung-mendukung secara diam karena pagar-pagar aturan yang membatasinya dengan sangat ketat.

Hingga tiba waktunya Pemilihan Walikota dihelat. Seperti pada waktu-waktu lalu, Pak Dody sendirilah yang secara terbuka maupun diam-diam yang tidak terlibat dalam proses demokrasi yang dihelat setiap lima tahun sekali untuk memilih Walikota dan wakilnya melanjutkan kepemimpinan Walikota terdahulu yang secara politis telah habis masa jabatannya. Riuh rendah perhelatan demokrasi di kotanya terasa juga keras dan sengitnya dari tiga kompititor yang sah. Termasuk hiruk pikuk para pejabat dukung mendukung Paslon, kecuali, Pak Dody dan stafnya. Di kantornya sejak awal kepemimpinannya, mengajak dan memotivasi anak buahnya untuk bekerja profesional melakukan pelayanan pada masyarakat.

***

Usai sudah perhelatan akbar politik di kota La Sakka, setelah menelan banyak korban. Tujuh orang di antaranya meninggal dunia dan beberapa orang dirawat di pelbagai rumah sakit karena perkelahian masif antar pendukung. Dua pekan ke depan pemenang dalam kontestasi Pemilukada ini akan dilantik. Semua perangkat dinas bersiap-siap menerima pemimpin baru termasuk konsekuensi logisnya bagi pejabat kota yang suka melakukan petualangan politik. Sebab, pengaturan posisi para pejabat atawa kepala dinas, kantor, dan Badan, adalah hak prerogatif pimpinan daerah atawa Walikota. Momen-momen seperti itulah kerap dimanfaatkan oleh para pejabat melakukan gerilya dengan beragam modus operandi.

Formasi baru pejabat kota pun mulai menggelinding, padahal Walikota baru yang terpilih belum dilantik. La Sakka dan kawan-kawannya di kantor, pun telah mengendus desas-desus itu. sebagian besar ANS di kantor La Sakka sudah mulai khawatir bila Bosnya yang baik itu akan dimutasikan ke jabatan lain. Hanya sedikit saja yang senang hanya orang-orang yang tidak terlalu senang dengan sepak terjang pimpinannya yang disiplin dan menghendaki tim kerjanya bekerja melayani masyarakat secara profesional.

Pada saat rapat pembentukan tim proyek untuk proyek-proyek tahun depan, Pak dody nampak tetap santai seperti biasanya. Tak nampak sedikit pun ada perubahan pada senyumnya dan gerak gestur tubuhnya. Walaupun rupanya gelinding isu-isu tentang mutasi besar-besaran yang akan dilakukan oleh Walikota dan wakilnya yang baru saja diumumkan keabsahan keterpilihannya sebagai walikota dan wakilnya oleh KPU.

“Hari ini saya perjelas dan pertegas komposisi pelaksana proyek, dan saya berharap SK-nya (Surat Keputusannya) sudah terdistrubusi paling lambat dua hari kemudian,” kilah, Pak Dody kemudian.

“Apakah misalnya bila terjadi mutasi atau rotasi pejabat daerah setelah walikota baru telah disahkan dan dilantik, tidak berpengaruh lagi pada sturuktur pelaksanan proyek ini, Pak?” tanya La Sakka singkat.

“Ooo.. kecil kemungkinanya, Pak Sakka. Jadi, pak Sakka santai saja,” imbuh Pak Dody, dengan suara datar cenderung dingin.

***

Kabar burung yang pernah berhembus kencang akhirnya betul terjadi setelah sebulan pelantikan Walikota dan wakilnya usai dihelat. Pak Dody, di mutasi sebagai Sekwan yang sama sekali tidak berhubungan lagi dengan kantor dinas yang pernah dipimpinnya.

“Itu yang saya khawatirkan, Pak sejak awal,” tukas, Pak La Sakka kala sua dengan, Pak Dody.

“Pak Lasakka, tidak perlu khawatir. Bukankah penaggungjawab proyek tidak melekat pada pribadi seseorang tapi pada jabatan. Jadi, siapa saja yang menggantikan saya sebagai Kadis di kantor ini dia akan otomatis menjabat penanggung jawab projek,” demikian, Pak Dody berusaha menenangkan dan meyakinkan, Pak La Sakka dan kawan-kawannya.

Pak La Sakka, hanya merunduk diam mendengarkan penjelasan, pak Dody di depan beberapa teman sejawatnya di tim proyek yang telah ditandatangani SK-nya.

Setetelah sampai di rumah, La Sakka menyampaikan kabar yang kurang menyenangkannya ini pada istrinya.

“Mau apalagi, itu adalah keputusan biasa bila terjadi pergantian di kantor mana saja. Jadi, Ayah jalan saja seperti biasa. Tradisi bekerja profesional yang telah ditanamkan, Pak Dody tetap diimplementasikan dengan baik,” jelas, Daeng Ngai.

***

Proyek yang dikerjakan, La Sakka dan timnya berjalan lancar. Pak Roy, yang bernama lengkap, Roy Permana sangat senang menyaksikan anak buahnya yang belum terlalu lama dipimpinnya bisa bekerja secara profesional dengan sangat baik. walaupun Ia cukup menyadari bila dirinya kurang bisa berkomunikasi secara baik dengan tim proyek yang sudah terlanjur bekerja itu.

“Pak Sakka, saya sudah bicara dengan para rekanan, ada beberapa jenis bahan bangunan arahkan ke villa yang sedang di bangun, Pak Walikota di kebunnya.”

“Tapi Pak, apakah nanti tidak mengurangi bestek yang ada dalam rencana bangunan-bangunan proyek kita?”

“Tidaklah.. itu hanya hadiah dari para rekanan.”

“Eh.. saya juga sudah bilang ke para rekanan itu, untuk membantumu. Untuk menyelesaikan rumahmu yang belum selesai itu.”

“Waaahh.. untuk saya tidak perlu, Pak.” La Sakka berusaha mengelak.
“Kenapa, ini kan bukan bahan-bahan dari proyek kita yang diambil.”

“Hitung-hitung ini hanya ucapan terima kasih dari para rekanan.”

La Sakka, tak bisa lagi berbuat apa-apa karena penjelasan, Pak Roy berintonasi perintah dan kedengaran sedikit menekan. Daeng Ngai istrinya pun sama dengannya, tak bisa berbuat apa-apa setelah dijelaskan secara panjang lebar oleh suaminya. Awalnya mereka berdua, La Sakka dan Daeng Ngai diliputi galau dan gelisah. Tapi, setelah bahan-bahan bangunan itu tiba di rumahnya senyum semringah pun menenggelamkan kegalauan dan kegelisahannya. Bahkan lebih jauh, Pak Roy memberi keistimewaan tambahan pada, La Sakka. Selain bahan bangunan juga support tenaga kerja berupa tukang dan kuli untuk menyelesaikan rumahnya yang telah lama terbengkalai tidak selesai karena kurang biaya juga didapatkannya dari, Pak Roy.

Rupanya, Pak Roy sudah mulai meracuni, La Sakka dan kawan-kawannya dengan cara-cara yang halus, dengan umpan-umpan kecil yang tak menyolok bak mencabut benang dari timbunan tepung secara perlahan. Entah Ia sengaja atau tidak untuk mencapai target-target jangka panjangnya, menjilat ke atas dan merayu ke bawah. Menyetor upeti ke boss barunya dan meracuni idealisme dan kerja-kerja profesional anak buahnya yang belum terlalu lama diamanahkan padanya.

Proyek-proyek pada tahun pertama berjalan mulus. Evaluasi dari kantor pusat dan audit dari BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan) dinyatakan lolos tanpa catatan. Tentu semua perangkat proyek dalam suasana suka cita. Mulai dari pimpinan hingga staf paling bawah. La Sakka dan Dang Ngai pun larut dalam suka cita itu. apa yang di awal mereka khawatirkan tidaklah terjadi. Rumah yang dulunya tidak selesai-selesai karena terkendala oleh biaya, kini telah di tempatinya dengan aman dan nyaman. Bahkan uang jajan dan tunjungan sekolah anak-anaknya telah teratasi dan bahkan sedikit sedikit telah memiliki tabungan. Tak ada keluhan soal pembiayaan seperti dahulu yang selalu mengkhawatirkannya.

***

Hingga tahun ke tiga, Pak Roy memimpin Dinas yang di dalamnya, La Sakka dan kawan-kawan menjalankan proyek-proyek fisik dan non fisik cukup lancar dengan evaluasi dan audit tanpa temuan yang signifikan dan dinyatakan pelanggaran. Tentu, semua anggota tim yang terlibat di dalamnya semakin bersemangat bekerja. Hasil evaluasi dan audit diberitakan di berbagai media, baik cetak maupun online. Tim proyek ini juga tahu bila media yang memberitakan secara kontinyu keberhasilan proyek-proyek yang di kelola, La Sakka dan timnya, termasuk hasil evaluasi dan audit adalah para wartawan yang kerap silih berganti menemui, pak Roy di ruangannya.

“Ayah, kok kelihatan lesu dan kurang semangat ?”

La Sakka, tidak menjawab pertanyaan istrinya di meja makan tempat biasanya bercengkrama dan berbagi cerita kejadian di keseharian masing-masing.

La Sakka, menyesap kopi hitam yang masih ngepul. Matanya tak secerlang biasanya. Di retinanya nampak gundah dan galau.

“Anu Ma.. Pak Roy terjerat OTT (Operasi Tangkap Tangan) di sebuah loby hotel, oleh KPK kemarin malam. Tadi siang, tim KPK sudah menggeledah ruangannya dan membawa berkas-berkas sebagai pendukung bukti-bukti.”

Mendengar penjelasan singkat suaminya, wajah Daeng Ngai spontan pucat menggerus darah dari wajahnya. Ia pun dirundung galau seperti suaminya.

“Semoga tak menyeret-nyeret nama ayah nantinya.”

“Ia Ma, semoga. Doakan ya.”

Permintaan, La Sakka hanya dijawab anggukan kepala dengan sorot mata kosong, Daeng Ngai.

***

La Sakka dan tim proyek lainnya, akan menjadi saksi pada persidangan Tipikor atas kasus korupsi Kadis Pendidikan dan Olah Raga, Roy Permana. Demikian penggalan berita di beberapa media cetak dan online hari ini.

Makassar, 2018 – 2019.

Sumber gambar: https://www.deviantart.com/johnvega3d/art/Detective-s-Office-301952145

Rasa yang Hidup di Kelut Hati

Apa kabar sang pemilik hati ?

Denting nada masih mengumandang dari ufuk timur. Ayam-ayam menyapa ‘kita’ yang masih terlelap tidur, dan sebagian makhluk jelata ada yang menjelajah, menunda buana, serta tersungkur. Para pemabuk terkapar di jalanan atau tentang rumah pantai yang akan kita tempati tempati untuk memenanam rindu kepada jarak.

Mentari pun mengkedokan cahayanya, seinci demi seinci mulai memasuki jeda jendela yang terbuat dari kaca-bersolek penuh pesona. Butiran air benih embun di rerumputan hijau membawa riuh angin sejuk ke dalam diri yang terbungkus ‘kain sutra’ “sontak-sontak diri, betapa dinginnya suhu pagi.”

Pagi bernuansa, memainkan rasa yang kian tumbuh membumbung tinggi, bak embun dengan mentari selalu merindu dalam lirih. Membuai jiwa-jiwa dalam petikan lagu. Hingga mendendangkan rindu yang menjelma di kelut hati. Gilasannya teramat sedikit dan sangat menyemit hingga sipit, sedangkan netra-Nya berlika-liku di tiap lekuk gerakmu.

“Bangunlah, bangun !! Rindu yang terbenam saat malam yang berkesimpuh kepada adzan subuh.”

Ada rahasia yang takjub kepada Tuhan yang Maha Esa, para malaikat pun turun membawa teka-teki dan hadiah di ‘sunrice’ yang menanti. Ini adalah hari yang panjang bahwa kita mengambil dua, bukan hanya kau dan aku yang akan kita kenali, lebih banyak ‘insan’ di dunia bisa di ambil cuti. Juga bagai angin yang memberi kesejukan kedati serta tak pernah ternampak dari luput gengaman.

Daun-daun yang berseliweran dan berguguran di halaman, telah rela tersapu angin tanpa arah tujuan. Lalu, mengungkir kata itu di hamparan padi basah tempat senyum mendarat di hati, kemudian terbang tinggi melewati jendela rasa yang hinggap, dan berkeciap menjelma menjadi burung-bung yang melantungkan “kerinduan”

***

Kukecup udara dengan aroma kopi yang melekat hinggap di pinggir-pinggir bibir. Aroma doa pun merasuk-masuk ke pelupuk paru-paru hingga tembus ke dalam hati.

“Aku mengamini doamu tentang menua di suatu bukit atau di tepi pantai.”

Langit putih lazuardi memodifikasi rasa yang menjeletup di kelut hati. Melati pun memandang hati pada bulan januari. Aku merumuskan teka-teki dan matematika untuk lika-liku jalan menuju pintu hati. Dengan begitu, logika untuk kau lupakan, tidak mudah seperti membalik telapak tangan untuk mencari kebebasan mengonta-ganti hati.

Kita masih dalam luka dan kerinduan yang sudah cukup lama menetap diam terpenjara oleh hati, sedih pun tak akan mampu mengubah ke adaan untuk hari kedepan.

“Aku pikir kamu tidak akan lelah, kamu tidak akan bosan berbicara denganku setiap harinya. Aku pikir kamu akan tinggal di dalam lubuk hati berabad-abad tahun lamaynya.”

Di penghujung sudut kamar dengan secangkir kopi yang kuracik di atas meja tak beralas. Tiba-tiba ilusinasi mendobrak dinding batok kepalaku. Gelas kaca yang kugenggam pecah begitu saja. Ada sampiran kaca yang menghadang kesadaraan batin, hingga lunglai dalam suara mistik. Lalu mengucap, “Astagfirullah”. Terlahir namun lupa bagaimana caranya merindu. Sementara aku mengurai serpihan-serpihan kaca itu, hingga menggores ujung telunjuk jemariku.

“Apakah kau terluka ?” ujar seseorang kekasih dari ujung dapur.

Mencucur darah dari goresan yang meleleh di sela-sela jemariku hingga ke telapak tanganku. “Apa kau perlu aku obati, Wahai ! pemilik hati ini ?”

“Ya tentu, aku butuh di obati. Sebab, iman dan ilmu yang akan menuntun dan menguatan pergelangan tangan untuk menggenggammu menjelajahi bumi. Dengan menulis, aku bisa mengandeng-mu menuju hidup abadi !! di pangkuan ilahi rabbi.”

Senja pagi yang sedang mengobati luka di jemari. Kulihat dari ratap matamu yang menyimpan sejuta pancaran cahaya yang sejuk menghipnotis hati. Serupa sedang memahami teka-teki terbesar yang telah melipur gundah di hati, melukis sederet aksara yang berbait puisi. Berada di dekatmu, aku merasa kedamaian di dalam hati yang bertubi-tubi menghancurkan sebuah ilusinasi. Dan di hatimu adalah rumah ternyamanku, seolah-olah dunia hanya ada, hanyak untuk kita berdua, segala keluh-luluh dan rasa sakit-pun bisa membuatku sembuh dalam mimpi.

Tiba-tiba…..

“Cukup Sudah !! Waktuku telah habis. Saatnya aku pergi.” Kau acungkan jari telunjukmu di antara wajahku yang sedang berilusi.

Membalik tubuh yang pesonamu itu dan membelakangiku serta terus melangkah jalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Kau tinggalkan aku yang menyendiri diselimuti sepi, dan hanya rindu yang men-sweeping hati setelah engkau pergi jauh dari alam sadarku, mengiris-menyayat-menebus ‘Fuad’ yang dingin dan basah. Tersentak aku terbangun kaget…

“Nyatanya, kau hanya mimpi !! Ya, semuanya hanya mimpi yang menyulam di kelut hati. Dasar penipu, Tau-kah kau ketika rasa ini tumbuh di dalam hati ? Dasar kau, Penipu hati !!”

Kini, aku terbangun di mimpi bulan Januari. Meski mentari sudah menghangatkan bumi, hati sudah tertusuk onak yang berduri, dan ‘aku tidak ingin berhenti bermimpi, jika berhenti !! pasti rasa di dalam hati telah mati, dan kamu ternyata hanyalah bayang-bayang yang terbenam dalam angan-angan ilusi antara sadar dan tak sadar. “Kau boleh dengan yang lain, tapi jangan engkau berikan hati-mu kepada orang lain.”

Meskipun semua itu hanya mimpi, aku masih bersamamu yang telah hidup di kelut hati. Karena entah bagaimana, kadang-kadang dalam hidup ini, aku bisa mengalami terluka dan bisa merasakan sakit yang menyebar di nadi-nadi-ku saat pagi dini.

“Ketika aku bukan apa-apa, tapi aku bisa terluka.”

 

Sumber gambar: https://www.deviantart.com/cameliabaican/art/The-Shadow-Woman-762706432