Arsip Kategori: Kembara

Beribu Cinta Untukmu

Menyambut maulid Nabi

 Bak kulihat cahayamu di matahari menerangi semesta. Membasuh wajah-wajah lugu bersahaja hingga melek hidup, membasuh batin-batin letih para pencari cinta ke ruang dan waktu tak berbatas. Membasuh laku kasar penduduk sahara menuai santun. Semesta mewujud cinta dari perangaimu yang indah. Engkau hadir di remah hidup kaum tak berpunya, mengasihi mereka yang memusuhimu.

Menyelimuti cinta dan kasih semesta dan paradaban. Para penyair tak habis kalimat mengukir keindahanmu. Pena-pena para cerdik pandai tak hentinya menggores kebajikan yang engkau jejakkan. Jadi, bila mencintaimu dengan beragam ekspresi budaya, merindukanmu dengan berbagai laku yang kami jejakkan, lalu kami dituduh berlaku bid’ah dhalalah, tak mengapa,  sebab semuanya hanya sezarra ekspresi cinta kami dari gundukan semesta ini.

Membelamu tidak mesti dengan amarah tapi dengan cinta, seperti engkau mengasihi seorang buta berras Yahudi di pojok pasar Madinah, yang engkau suapi makan sembari memakimu karena tak memahamimu, padahal engkau punya kuasa ketika itu. Syahdan, ketika Rasulullah saw mangkat, Abu Bakar ingin mengganti peran Nabi yang saban hari menyuapi Yahudi buta itu. Namun si Yahudi buta menampiknya dengan keras. Abu Bakar berusaha meyakinkannya, namun ia tak yakin dan berseloroh “Kamu bukan orang yang setiap hari menyuapiku. Sebab dia sangat lembut dan penyayang, aku belum pernah menjumpai orang sebaik dia.” Abu Bakar terkesiap tak terasa tebing-tebing pipinya basah becucururan cairan hangat penuhi janggutnya.

Ketika kami masih kanak kerap kali aku menemui dan mendengar ibu dan nenekku melafazkan shalawat atasmu ketika mengobatiku dengan berbagai ramuan lokal karena terluka oleh benda tajam, ataukah adikku didera sakit perut  hingga ia tersiksa.

Acap pula kudengar nenekku merapal ayat-ayat suci Alquran sembari mengurut perut seorang perempuan hamil tua, dan di ujung jemari rentanya beliau menyudahi pegerjaan mengurutnya dengan bacaan shalawat kepada Nabiullah Muhammad SAW.

Di keriuhan pengantin di kampungku ketika aku masih belia, aku mendengar para tetua dan  “santri” senandungkan puji-pujian kepada al-Mustafa sang manusia agung itu dalam langgam barasanji dengan irama dan lafaz berbahasa Bugis. Dalam prosesi mappacci sebagai sebuah prosesi yang bermakna “membersihkan” sang pengantin dari kotoran-kotoran yang melekat di jiwanya.

Bersamaan dengan prosesi itulah barasanji disenandungkan. Bait-bait kecintaan pada Rasulullah memenuhi ruangan menyejukkan seluruh pojok-pojok hati sanak keluarga, handaitoulan, dan keluarga. Sang pengantin tak kuasa membendung rasa haru menyeruakkan bulir-bulir hangat dari kelopak matanya, simaklah beberapa bait dari keseluruhan syair barasanji yang indah itu.

Ya Nabi salam alayka.. ya Rosul salam alayka

Ya Habib salam alayka.. sholawatullah alayka

Asrakal badrun alayka fahtafahtalminhul buduri

Mislahkhusnikamara’aina.. kattuya wajeha syu’uri

Anta syamsun anta badrun.. anta nuurun fauqanuri

Anta iksyiru wagali.. anta mizbahu syuduri

Ya Habibi ya Muhammad.. ya aruszal khafiqaiini

Ya Muayyad ya Mumajjad.. ya Imamal kiblataini

Kalimat-kalimat cinta dan salam untuknya akan mengalun hingga akhir zaman dengan beragam ekspresi dari budaya lokal di semua negeri dan benua.

Aku terkenang pula di masa kanakku ketika bulan Maulid tiba kerabatku sekampung akan merayanya dengan sepenuh suka cita. Di surau-surau, di masjid jami (biasanya mesjid paling besar di kecamatan) di rumah-rumah para tetua. Di tempat-tempat ini pula disenandungkan barasanji dengan jumlah pelantun yang lebih banyak.

Keriuhannya mengalahkan semua perhelatan yang setiap tahun diraya di kampungku. Telur-telur beraneka warna dipadu dekorasi yang sungguh indah dan apik dengan beragam wadah, semisal perahu-perahu phinisi, rumah-rumah adat Bugis-Makassar, miniatur bendi (dokar), baku yang terbuat dari tembikar, ember yang dihias indah, dll. Semua wadah berisi kaddo’ minnya (penganan tradisional Bugis-Makassar terbuat dari beras ketan ditaburi beragam rempah dan berwarna kuning)

Ekpresi kecintaan pada Nabi betapa lekat dan terasa indahnya, suka cita mengangkasa memenuhi kampung-kampung saling bersahutan. Silaturrahim terasa sejuk menyelimuti hati ummat Muhammad SAW, suasana damai terasa hingga ke relung-relung hati di semua strata kehidupan masyarakat di kampungku. Tak ada bid’ah, tak ada caci maki, tak ada umpatan, dan sejenisnya. Indah dan damai merayainya. Kami yang masih kanak biasanya mengenakan baju baru berbondong-bondong memenuhi surau di desa atau mesjid jami di kecamatan.

Kala itu aku belum memahami betul mengapa kecintaan kepada Rasulullah SAW begitu mendalam pada ummatnya. Kerinduan akan datangnya bulan Maulid sebagai bulan kelahirannya begitu ditunggu dan dirindukan. Bahkan persiapan untuk merayakannya ada yang rela berutang untuk sekedar persembahan makanan untuk di santap bersama di hari suka cita itu.

Namun setelah beranjak remaja dan dewasa aku mulai sedikit melek akan hal perjalanan hidup beliau. Semua merindukanmu wahai al-Mustafa sebab engkau adalah pemimpin besar yang pernah lahir di bumi dengan tahta kemuliaaan laku tiada tara dan bandingnya. Tengoklah beberapa kisah di bawah ini yang secara manusiawi mengantarnya menjadi pujaan ;

Dalam sebuah kisah yang kerap diceritakan kepada kami oleh guru agama ketika duduk di tingkat akhir sekolah dasar. Ketika sang Nabi menceritakan tanda-tanda akan kemangkatannya, kemudian meminta sahabatnya untuk mengambil qisas atau “membalas” semua laku tak elok yang pernah di lakukannya sepajang hayatnya hingga ketika hari beliau memintanya, namun tak satu pun yang rela memintanya hingga beliau berulang kali memintanya.

Namun tiba-tiba keheningan pecah oleh seorang lelaki berdiri dan berjalan menuju Sang Nabi. Seluruh mata menatap kepadanya. Dialah Ukasyah Ibnu Muhsin. Kemudian berseloroh, Wahai Rasulullah kata lelaki itu “Dulu aku pernah bersamamu di Perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan akupun menghampirimu agar dapat menciummu. Namun, saat itu engkau melecutkan cambuk pada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, sesungguhnya ujung cambukmu memukul lambungku.”

Para sahabat yang mendengar kata Ukasyah tiba-tiba berubah marah. Suasana menjadi gaduh. Tetapi Muhammad Sang Rasul meminta mereka untuk tenang. Para sahabat kembali diam dengan rasa kesal yang menggumpal untuk lelaki kurang ajar bernama Ukasyah.

Mendengar keluhan Ukasyah atas perbuatannya. Muhammad pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah putri kesayangannya, Fatimah. Tampak keenggananan menggelayut di wajah Bilal, kepalanya menggeleng, langkahnya terayun begitu berat, sesungguhnya ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Meskipun penolakan ini akan menyinggung hati Sang Nabi, tetapi ia lebih tak ingin cambuk yang dibawanya melecut-melukai tubuh sang Kekasih yang sangat ia cintai. Tak apalah ia berdosa, katanya dalam hati, ia tak ingin membuat Muhammad merasakan sakit di tubuhnya yang sudah lemah. Tetapi Muhammad sungguh-sungguh memintanya, dengan berat hati ia melangkah pergi.

Masjid seketika bergemuruh bagai sarang lebah yang di ganggu. Semua orang menghardik Ukasyah dan menatapnya penuh kebencian, tak satupun di antara mereka mengira bahwa Ukasyah akan tega melakukannya.

Ukasyah tetap diam tak satu pun kata-kata keluar dari mulutnya

Tak lama, Bilal datang dengan dada yang berguncang, dengan wajah sedih yang tak rela. Segera setelah sampai, cambuk itu diserahkannya kepada Sang Nabi lalu Muhammad menyerahkannya pada Ukasyah. Dengan cepat cambuk berpindah ke tangan Ukasyah. Orang-orang semakin marah, tetapi Sang Nabi tetap memerintahkan mereka untuk diam. Mereka tertunduk lesu. Sungguh, demi Tuhan, mereka tak sanggup menatap Muhammad terkasih dilecut cambuk yang akan menyakitinya.

Saat Ukasyah bersiap, tiba-tiba melompatlah beberapa sahabat, mereka bergerak kehadapan Ukasyah, gemetar dan bibir yang menggigil berkata, “Wahai Ukasyah, cambuklah kami sesuka yang kau dera. Pilihlah bagian manapun yang paling kamu inginkan, jatuhkanlah qisasmu kepada kami, jangan sekali-kali engkau pukul Rasulullah kekasih kami.” Tagisnya kembali terisak dan dadanya berguncang. Ketika mereka hendak mendekati Ukasyah dengan tangan terkepal dan gigi gemertak, Muhammad sang nabi mencegahnya, “Duduklah kalian wahai sahabatku tercinta, sesungguhnya Allah telah mengetahui kedudukan kalian di sisiku.”

Ukasyah bergeming. Ia tetap menggenggam erat cambuknya.

Kemudian Ali bin Abi Thalib bergegas berdiri di depan wajah Ukasyah dengan gagah berani. “Wahai hamba Allah, dengan suara tegas, inilah aku yang masih kuat siap menggantikan qisas Rasulullah. Inilah tubuhku, ayunkanlah cambukmu sebanyak apapun kau mau. Deralah aku. Tapi kumohon, jangan kau lecutkan cambukmu kepada kekasih kami.” Suara terakhir Ali bergetar.

Tetapi Muhammad segera meminta Ali duduk kembali. “Allah swt sesungguhnya tahu kedudukan dan niatmu, wahai Ali duduklah kembali.” Kata sang Nabi lembut.

Lalu dengan suara lantang Hasan dan Husein menyusul ayahnya, berdiri “Hai Ukasyah engkau tahu kami kakak beradik kamilah cucu Rasulullah. Kamilah darah dagingnya. Bukankah ketika engkau mencambuk kami sama saja seperti meng-qisas kakek kami? Lecutkanlah cambukmu pada tubuh kami!.” Kini yang tampil di hadapan Ukasyah adalah cucu tercinta dari sang Nabi.

Sama seperti sebelumnya, Muhammad pun menegur mereka, “Wahai penyejuk mata, cucu-cucuku tercinta, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah, biarkanlah aku yang mengambil qisas ini.” Muhammad tersenyum pada Hasan dan Husein.

Masjid kembali ditelan senyap. Hening yang begitu mengguncangkan hati para sahabat. Isak tangis tak tertahan. Beberapa tertunduk dengan punggung yang berguncang.

Ukasyah melangkah, mendekat pada sang Nabi. Jantungnya berdegup kencang. Para sahabat menahan napas. Ukasyah terus melangkah dengan tegap. Kini, tak ada lagi yang berdiri menghadang Ukasyah mengambil qisas!

“Wahai Ukasyah, inilah ragaku, ambillah qisas-mu.” Muhammad melangkah maju.

“Wahai Rasulullah, Ukasyah menyela, saat cambuk kudamu mengenai lambung kiriku, ketika itu tak ada sehelai kain pun yang menghalangi lecutan cambuk itu di tubuhku.”

Tanpa berbicara, Muhammad langsung melepaskan ghamis-nya yang warnanya telah pudar. Dan tersingkaplah tubuh suci sang Nabi. Seketika pekik takbir menggema, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” semua yang yang hadir menangis pedih. Mereka tak sanggup melihat apa yang akan terjadi.

Melihat tubuh suci sang Nabi, Ukasyah langsung menanggalkan cambuknya dan menghambur memeluk tubuh Muhammad. Sepenuh cinta di rengkuhnya tubuh sang Nabi, ia ciumi punggung sang Nabi, ia dekap erat-erat. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada Muhammad ia tumpahkan seluruhnya saat itu. Ukasyah menangis gembira, ia bertasbih memuji Tuhan, menjerit haru, gemetar bibirnya mengucap sendu, “Tebusanmu, jiwaku wahai Rasulullah. Siapakah yang sampai hati meng-qisas manusia dengan perangai paling indah sepertimu? Sesungguhnya aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu, sehingga Allah dengan keistimewaan ini menjagaku dari siksa api neraka.”

Para sahabat yang semula marah terdiam membisu. Diam-diam air mata mengalir lembut di tebing pipi mereka. Ada jerit yang tertahan.

Sambil tersenyum, sang Nabi berkata, “Ketahuilah wahai manusia, barang siapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini.“ Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Tuhan. Sedangkan yang lain berebut mencium Ukasyah.

Tak ada yang menyangka takbir kembali bergema. Para sahabat berterima kasih kepada Ukasyah karena telah mengajarkan mereka makna terdalam dari cinta.

Dalam episode yang lain, Muhammad Sang Nabi pernah menjenguk, membelai sepenuh kasih dan mendoakan orang-orang yang pernah melukai hatinya, menaburi kotoran halaman di depan pintu rumahnya, bahkan menaburi kepala dan wajahnya dan hingga berlumur kotoran onta. Dan Fatimah Azzahra yang masih kanak ketika itu, putri yang sangat dicintainya hanya bisa  menangis sesenggukan melihat ayahnya diperlakukan kasar seperti itu.

Di kisah yang lain seorang yahudi yang jahil menuduh Nabi telah berutang dan menyebarkan ketengah khlayak sembari berkata “Anda sekarang harus membayar utang itu!” Rasulullah membantahnya seraya berkata “Sebelum saya membayar utang yang anda tuduhkan, buktikan dulu bahwa saya memang memiliki hutang dan bila terbukti izinkan saya ke rumah dulu karena saya sekarang tidak membawa uang!”

Si Yahudi tidak mau menerima usulan Nabi. “Saya tidak mengizinkan anda pergi ke rumah selangkah pun!”

Sementara Rasulullah sedang ingin melaksanakan salat. Dan si Yahudi mendesak terus agar Nabi membayar hutang saat itu juga. Rasulullah tetap melayaninya dengan penuh kelembutan tapi malah dibalas dengan sikap keras. Orang Yahudi itu semakin kurang ajar, ia menarik jubah Rasul dan kemudian diikatkan ke leher beliau serta ditarik dengan keras  sehingga membekas di leher beliau.

Para sahabat Nabi yang tadi menunggu berdatangan ingin membantu beliau. Tapi beliau tidak mengizinkan mereka ikut campur dan tetap memperlakukannya dengan baik. Sampai akhirnya orang Yahudi itu tidak tahan lagi. Saat itu juga ia menyatakan ke-Islaman-nya.

Namun dalam berbagai catatan, bahwa Rosulullah sangat lembut dan berakhlak paripurna bila berkenaan dengan pribadinya. Tapi bila berkenaan dengan aturan dan hukum yang telah disepakati maka ia akan berlaku sangat tegas termasuk kepada putrinya yang ia sangat cintai “Fatimah Azzahra sekalipun bila melakukan pelanggaran hukum akan kukenakan sangsi.” ujarnya.

Bagaimana mungkin aku tak berbagi cinta untukmu bila lakumu melampaui kebaikan seluruh makhluk Tuhan yang pernah diciptakan-Nya. Aku malu mengaku sebagai pengikutmu bila jejak-jejak yang kutoreh dalam hidupku menciderai kemuliaanmu.

Baca pula bagaimana Muhammad Iqbal (1877-1938), seorang filsuf asal Pakistan, mengatakan. “Tuhan bisa tak kau percaya, tapi Muhammad tak!” Sebab, bagi Iqbal, Muhammad terlalu sederhana, dekat dan nyata untuk bisa di tolak. Keagungannya terletak sungguh-sungguh sebab ia menjadi sahabat terdekat siapa saja. Sebab manusia biasa yang bisa sakit sakit dan terluka, namun pada dirinyalah Tuhan menitipkan cinta dan kasih sayang semesta. Pada dirinyalah nilai-nilai Tuhan yang kompleks dan tak terpermaknai menjadi sangat nyata, dekat, dan tak sanggup lagi di tolak. Sebab Muhammad adalah kekasih abadi Tuhan yang Ia balaskan menjadi cinta bagi siapa saja. Kata Iqbal, lagi, apapun tafsirmu tentang Tuhan, agama, dan apa saja yang melingkupinya, kau tak bisa menolak Muhammad, sebagai manusia suci dengan cintanya yang abadi, yang mengajarkan kita kebaikan, nilai utama dari alfa-beta dari kehidupan, alif-ba-ta cinta.

Ya Tuhan pemilik alam semesta dan seisinya, beri aku kekuatan untuk sekadar mencium aroma pekertinya dan cintanya  yang mewangi kesturi.

Subhanallah… bulan ini maulidmu, ya Rasulullah. Aku telah berusaha mencintaimu, merindukanmu, dengan caraku sendiri. Mengirimimu shalawat sebanyak yang aku mampu, torehkan hidupku seperti yang engkau teladankan sekuat raga dan batinku, walau di sana-sini diriku masih berselimut nista. Salam untukmu ya…Nabi, salam untuk keluargamu yang penuh cinta, salam untuk sahabatmu yang tercerahkan.

Sebagai penutup dari catatan ini aku ingin mengutip sepotong puisi dari Johann Wolfgang Von Goethe (1749-1832), filsuf dan penyair besar asal Jerman, tentang Muhammad. Padahal beliau seorang non muslim, namun ia mampu menguak makna cinta lintas keyakinan, yang di tulisnya dengan begitu indah ;

Banyak bintang yang berkelap-kelip

Ada bulan yang bercahaya lembut

Ada dian menerangi pondok petani

Kilau lampu-lampu listrik di tengah kota

Namun, hanya satu matahari,

Cahaya di atas cahaya,

Dialah Muhammad

Maha pemimpin

Maha manusia..

 

Ilustrasi: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/04/17/o5r9ao361-kisah-cinta-rasulullah-terhadap-keluarga

Takut

Maka tersingkaplah fajar setelah jelajahi gulita malam. Mentari seolah mematuk-matuk kulit ariku hingga menusuk tembus sadarku yang baru saja siuman dari lelapnya. Aku bergegas berkejaran dengan mentari menuju kerumunan makhluk di semesta. Di luar sana kompetisi meraih dunia fana nampaknya takkan pernah redup, malah semakin gempita saja menggunakan segala cara dan menafikan aura-aura etis dan estetis sekalipun. Jadilah, lomba perjalanan menuju cahaya beralih memasuki ruang-ruang buram dan gelap baik sengaja maupun tidak.

Dalam sebuah perjalanan panjang melintasi bentang katulistiwa di sebuah pesawat komersial yang sarat penumpang, sesekali berguncang dan kerap kali guncangannya keras. Spontan sekejap para penumpang hampir bersamaan menyapa tuhannya dengan ekspresi yang takut akut. Penumpang yang tadinya berwajah gelap karena berasal dari etnis tertentu berubah rupa menjadi pucat pasi dan berwajah tak lagi hitam walau tak juga putih nampaknya.

Takut tak mengenal agama, etnis, dan jenis kelamin. Semua orang pernah merasakan takut. Sebab, rasa takut dalam perspektif psikologis merupakan reaksi manusiawi yang secara biologis merupakan mekanisme perlindungan bagi seseorang pada saat menghadapi bahaya. Ketakutan adalah emosi yang muncul pada saat orang menghadapi suatu ancaman yang membahayakan hidupnya. Biasa juga dibilangkan dengan tanda peringatan terhadap hidup.

Dalam perjalanan panjang manusia meniti hidupnya di dunia fana ini banyak peristiwa yang menyandungnya membuatnya lupa pada hal-hal yang subtansial akan tujuan hidup yang telah diikrarkannya. Bergelimang pada hal-hal yang profan. Para ahli psikologi sosial menengarai masyarakat seperti ini tertelan pengaruh materialisme yang sedang merajai dunia dan tak berdaya membendungnya. Mungkin seperti yang dibilangkan, Emile Durkheim bahwa pola interaksi karakteristik fakta sosial yang secara substansial memaksa individu melepaskan diri dari kehendaknya, karsa dirinya melebur secara adaptif dengan kehendak fakta social structural yang ada secara ekternal di dalam dirinya. Jika proses sosialisasi fakta social structural ini berhasil, maka individu menikmatinya sebagai kehendak sendiri.

Sedianya manusia hanya takut pada zat yang maha tunggal penciptanya, tapi dalam berbagai situasi tanpa sadar dan mungkin juga sadar manusia diselimuti rasa takut dengan beragam alasan, dan didominasi alasan-alasan tak hendak berpisah dengan berbagai kesenangan materi yang telah lekat pada tubuhnya. Perangkap materialisme yang telah jauh merasuk hingga jasad dan jiwa menumbuhkan rasa takut yang akut. Takut terpisah dengan dunia fana yang gemerlap.

Manusia menjadi rapuh dalam kepribadian sebab tidak jelas orientasi dan tujuan hidup yang hendak dituju kecuali hanya bersiliweran pada kehidupan fana yang tak pasti. Sayyidina Ali berpesan “Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutanlah yang membuat kita sulit, karena itu jangan pernah mencoba untuk menyerah dan jangan pernah  menyerah untuk mencoba. Dan jangan katakan pada Tuhan aku punya masalah, tetapi katakanlah pada masalah bahwa aku punya Tuhan yang maha segalanya”.

Dalam sebuah dialog kecil, dua orang teman kantor yang beberapa bulan lagi akan memasuki masa purna bakti. Rupanya keduanya berbeda jalan dalam mempersiapkan masa istirahatnya setelah pension nanti. Satunya telah mempersiapkan beberapa petak tanah kebun sebagai peralihan kerja dan mencari nafkah kelak bila tiba waktunya dia istirahat total dari perusahaan tempatnya mengais nafkah selama ini. Satunya lagi telah menyiapkan toko sederhana sebagai tempatnya mencurahkan waktu kelak sembari menimang cucu, candanya.

Tapi, di ujung dialog kecil itu masih tersirat dan tersurat ke khawatiran-kekhawatiran untuk tidak mengatakan takut pada realitas kehidupan paska purna bakti nantinya. Yang ingin berkebun mengungkapkan rasa gundahnya, aku masih kuat tidak, masih mencukupi hasil untuk kebutuhan keluarga kami nantinya dari hasil kebun itu. Masih cukup tidak, keuntungan dari toko kami untuk membiayai kehidupan keluarga kami kelak. Kekhawatiran dan ketakutan seperti inilah yang banyak menghantui manusia di hari-harinya yang mesti ia nikmati dan berjuang untuk saling memuliakan di antara sesama manusia.

Kala senja datang lagi menjenguk bumi, hempaskan takutmu hingga ke pojok-pojok kehidupan fanamu. Hanya jalan itu yang dapat membuka tabir kegelapan semesta yang merajai jejak-jejak hidupmu. Pertarungan ini memang tak akan selesai hingga semesta sementara ini akan mengubur dan melanjutkan kehidupnya selanjutnya di mana di sana tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang menghinggapi manusia.

Kata para bijak, bila engkau mengenal Tuhanmu dengan baik maka engkau akan menjadi bagian dari-Nya sepanjang jejakmu. Ketika kesadaran itu sampai pada tahap paripurna, pada saat semua jalan-jalan kebajikan tersingkap, yang oleh para pejalan cinta membilangkannya tajalli. Proses perjalanan ke sana tak boleh berhenti sepanjang usia fana kita. Bahwa, di jalan-jalan yang kita jejak terdapat onak dan duri di situlah upaya-upaya kita terus diuji. Oleh Mohammad Iqbal, mengibaratkan perjalanan kita di Bumi fana ini ibarat ujian membakar jalan-jalan kita di tungku dunia.

 


sumber gambar: successbefore30.co.id

Sedekah Ilmu

 

Pagi bergegas nampakkan mentari menyinari semesta. burung-burung terbang ke sana ke mari berpindah dari dahan ke dahan yang merimbuni jalan-jalan menuju sebuah kampung. Bersama beberapa rekan kerja kami beramai-ramai menuju sebuah sekolah dasar di sebuah kampung di kaki gunung. Semesta kampung di kaki gunung itu seolah menyambut kami dengan riang gembira dan suka cita. bersama tim dari perusahaan tempat kami mengais nafkah akan mengajar di sekolah tersebut dengan program CSR (Corporate Social Responsibility) yang telah disepakati oleh semua unsur sekolah, dari kepala sekolah hingga para siswa, dan perangkat pemerintahan desa hingga kecamatan. Kawan-kawan membilangkannya program “sedekah ilmu”.

Tim kami bagi menjadi tiga kelompok, saya berdua dengan kawan yang lain akan mengajar di kelas lima dan enam dengan materi ajar bekerja sama dalam sebuah kelompok. Kelompok yang kedua akan mengajar di kelas empat dan tiga dengan materi belajar dengan gembira. Sedangkan tim kelompok tiga akan mengajar di kelas satu dan dua. Tiga kelompok ini akan menggabungkan kelas yang diajarnya. Misalnya kelompok satu akan menggabungkan kelas lima dan enam.

Sesungguhnya program ini sudah berjalan beberapa bulan lalu dengan jangkauan sementara SD (sekolah dasar) dan SMP (sekolah menengah pertama). Rencananya tim dari perusahaan akan mengunjungi dan mengajar di sekolah-sekolah yang sudah disepakati sekali dalam sebulan dengan konsep pengajaran partisipatif dengan materi tematik, semacam kuliah umum. Bahkan teman-teman dari ekplorasi dan mining, pun mempunyai agenda kuliah umum di perguruan tinggi di ibu kota provinsi.

Secara teknis proses pengajaran, kami gunakan metode partisipatif di mana peserta ajar dan pengajar harus sama-sama aktif berinteraksi dalam sesi-sesi pembelajaran dengan bermain. Dalam dunia pendidikan, proses belajar mengajar model partisipatif ini kerap juga dibilangkan metode pembalajaran dua arah atawa interaktif. Karena secara substansial peserta ajar bukanlah obyek semata tapi mereka juga subyek yang diasumsikan memiliki pengalaman dan pengetahuan bawaan. Sekolah-sekolah kita selama ini hanya menerjemahkan pendidikan sebagai “transfer of knowledge” yang dimiliki guru kepada siswanya, sehingga siswa terbebani dengan teori-teori hanya untuk menjawab soal-soal ujian, tapi tak mampu menerjemahkannya ke dalam realitas social. akhirnya pendidikan tercerabut dari persoalan-persoalan riil yang seharusnya mereka jawab.

Paulo Freire, mengatakan bahwa pendidikan adalah nilai yang paling vital bagi proses pembebasan manusia. Dalam beberapa tulisan, Freire, telah memberikan gambaran tentang bagaimana metode pendidikan dijalankan, bahwa humanisme menjadi titik tolak dari semua metode pendidikan atawa pembelajaran diterapkan.

Sembari mengajar aku terkenang Toto-Chan yang dikeluarkan dari sekolahnya yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Toto-Chan seorang anak yang gerak-geriknya hiperaktif , tidak bisa diam berlama-lama dalam suatu kondisi. Kerap membuat ulah di kelasnya. Membuat gaduh dan mengganggu seluruh murid yang ada di kelasnya. Melakukan sesuatu semaunya berdasarkan keinginnya sendiri. Karena sikapnya itu Ia pun dikeluarkan dari sekolahnya.

Hingga suatu waktu yang tidak terlalu lama jedanya, orang tuanya membawanya ke sebuah sekolah di pinggiran kota. Sekolah yang ruang belajarnya terbuat dari gerbong kereta api bekas. Dari lima puluh orang siswa-siswi belajar di enam gerbong kereta api.

Titik balik dari proses pencarian Toto-Chan kala sua dengan Sosaku Kobayashi. Seorang lelaki parubaya yang rambutnya mulai menepis. Seorang kepala sekolah “alternatif” yang mengajar siswa-siswanya untuk menjadi manusia. Sekolah yang menghargai potensi semua siswa tanpa ada pemilahan pintar dan tidak pintar, tidak ada strata rangking, dan lain sebagainya yang bisa menstratafikasi siswa-siswa yang belajar di sekolah itu.

Pertemuan pertama antara, Toto-Chan dan Sasoku Kobayasi membuat, Toto-Chan langsung jatuh cinta pada pertemuan pertama itu. Toto-Chan, yang periang dan hiperaktif, disuruhnya bercerita apa saja dan tidak dibatasi waktu. Maka berceritalah apa saja tanpa dibatasi tema dan waktunya. Hingga betul-betul, Toto-Chan kehabisan bahan cerita di hadapan kepala sekolah hari itu. padahal di sekolahnya yang dulu, Toto-Chan dikeluarkan, salah satu penyebabnya karena kesukaannya bercerita apa saja hingga dianggap mengganggu kawan-kawannya yang lain.

Sosaku Kobayashi, lelaki inspiratif mendedikasikan dirinya membangun sebuah sekolah yang tidak berorientasi ijazah, tetapi memotivasikan sekolahnya sebagai sekolah memanusiakan manusia sejak dini. Lalu, Kobayashi membawa Toto-Chan ke sebuah gedung pada siang harinya. Di gedung ini lagi-lagi Toto-Chan menemukan dirinya. Setiap anak yang membawa makanan dari rumah harus bisa menjelaskannya pada yang hadir dalam dua kategori. Makanan berbahan dari laut dan gunung. Toto-Chan terperangah melihat kawan-kawan barunya menjelaskan setiap makanan yang dibawa dari rumah masing-masing. Betapa merdeka dan dihargainya anak-anak di sini, gumamnya.

Sekolah gerbong kereta api ini menginspirasi banyak manusia di dunia pada metode pembelajaran, termasuk sekolah-sekolah alternatif di Indonesia, sekolah-sekolah plus, dll. Walaupun metodenya tidak persis sama. Program-program pemberdayaan sekolah yang disponsori oleh lembaga-lembaga donor juga melakukan hal yang sama. Pelatihan-pelatihan dan pendampingan guru dan sekolah untuk membangun pembelajaran partisipatif. Pelibatan orang tua siswa dalam menejemen dan pembelajaran. Membangun kelembagaan komite sekolah yang diharapkan dapat membantu sekolah semaksimal mungkin dalam proses pembelajaran dengan harapan sekolah menghasilkan luaran yang bekualitas dan manusiawi.

Tapi dalam prosesnya setelah bertahun-tahun dikembangkan tentu tidak serta-merta berjalan baik. di sana-sini masih terdapat kekurangan yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya manusia (guru) dan pengelola sekolah. Juga dipengaruhi staf kurikulum yang tentu membatasi para tenaga pegajar untuk berkreasi. Apatahlagi bagi guru-guru yang malas belajar dan meningkatkan kapasitas untuk mengembangkan dan mensiasati kekakuan kurikulum yang tersedia. Namun dalam realitasnya ada juga sekolah yang dikategorikan sebagai sekolah unggulan entah apa sebab dan indikator-indikatornya. Sehingga luaran dari sekolah unggulan itu sangat berbeda dengan sekolah-sekolah biasa. Mestinya secara bertahap sekolah-sekolah lainnya dari kota hingga pelosok desa menjadikan sekolah unggulan itu sebagai rujukan dan berproses sampai ke sana sebagai wujud pemerataan kualitas pendidikan. Jangan berhenti dan stagnan pada dikotomi unggul dan tidak unggul.

Di sekolah-sekolah swasta dikembangkan juga sekolah plus dimana sebuah sekolah yang dikategorikan plus, disamping pembelajarannya tetap merujuk pada kurikulum nasional juga memberi pelajaran tambahan di luar mata pelajaran berdasarkan kurukulum yang telah diatur pemerintah. Pun pada metode, mereka lebih kreatif dan menyenangkan. Sehingga para siswa yang belajar di sana lebih betah dan senang dengan opembelajaran yang partisipatif. Di sekolah tersebut relative tidak ada hukuman, tapi yang ada adalah pujian dan reward. Di sana dikembangkan proses belajar interaktif dan menyenangkan.

Sesi pembelajaran yang kami berikan pada anak-anak kala momentum sedekah ilmu di beberpa sekolah di atas adalah model pembelajaran bermain sambil belajar dan menyenangkan. Apatah lagi bila merujuk pada perkembangan psikologi anak bahwa, pada umumnya anak-anak di usia dini adalah fase usia bermain. Jadi, permainan yang kami berikan sesuai dengan perkembangan psikologi mereka. Diskusi kelompok dengan pola bermain. Setiap kelompok membuat pertanyaan sendiri yang berkenaan materi “kerjasama” kemudian kelompok lainnya yang harus menjawab. Begitu seterusnya, setiap kelompok membuat pertanyaan untuk dijawab oleh kelompok lainnya. Dan metode-metode pembelajaran lainnya yang partisipatif dan menyenangkan.

Usai pembelajaran yang kami lakukan dan jelang meninggalkan sekolah tersebut, mereka bergerombol mendatangi kami dan memberi apresiasi yang cukup bagus dengan ucapan terima kasih berkali-kali diucapkan anak-anak tersebut sembari meminta ke kami untuk datang lagi mengajar. Di mata dan wajahnya memancarkan keceriahan. Kami sangat senang bila bapak ingin mengajar kami sekali dalam sebulan. Kala kami menanyainya apakah mereka suka kami ajar dengan metode seperti tadi, mereka hampir serempak bersorak  suka, Pak. Sangat senang serunya.

 

Sumber gambar: http://rofalina.com/2013/03/masalah-pendidikan-di-indonesia.html

Sahabat

Seorang perempuan muda cantik dilamar oleh seorang lelaki muda untuk dijadikan istri pada sebuah momentum yang romantis. Namun perempuan itu menolak dengan alasan yang tak diduga oleh lelaki muda gagah Sang Pelamar itu. Padahal mereka berdua telah saling mengenal sudah cukup lama, walaupun pengungkapan isi hati prihal kesukaannya pada perempuan muda cantik itu baru pertama kalinya di momen yang menurutnya indah dan pas untuk menyampaikan rasa suka dan langsung melamarnya. Alasan penolakan perempuan itu cuma satu, bahwa selama beberapa tahun mereka akrab dan berteman hanya menganggapnya sebagai sahabat saja.

Di sebuah lontang (tempat minum tuak) hampir setiap hari mereka berkumpul merayakan persahabatan mereka dengan cara sedikit unik, minum tuak (hingga mabuk) sembari berdiskusi berbagai hal berkenaan dengan keluarga dan kehidupan sosial mereka. Sesekali perayaan itu di hibur oleh musik gitar dan perkusi menyanyikan lagu-lagu daerah berirama langgam. Mereka ini komunitas yang mengklaim diri diikat oleh persahabatan yang kuat. Namun realitasnya di tempat ini kerap pula terjadi perselisihan yang tajam di antara mereka bahkan saling berbunuh.

Dalam hubungan-hubungan yang akrab dan intens dengan lebih sedikit orang yang terlibat, dua hingga mungkin sekira sepuluh orang membangun komunkasi secara baik dalam durasi waktu yang cukup lama. Mereka pun mengklaimnya ikatan psikologis yang mereka lakukan dibilangkannya sahabat. Pada kelompok yang lebih kecil ini pun terdiri dari berbagai tingkatan usia, dari usia remaja hingga usia dewasa. Mereka mengikatkan diri dalam sebuah hubungan yang karib dalam waktu yang cukup panjang. Ada yang karena kesamaan hobi, kesamaan cara pandang tentang hidup, mungkin karena sekantor hingga intensitas pertemuan dan kesamaan suatu hal hingga mereka karib, keakraban karena merasa sependeritaan atau senasib dalam satu atau beberapa hal. Hingga kesemua itu mereka klaim atau membilangkan ikatan-ikatan yang mereka lakukan adalah persahabatan atau sahabat.

Dalam buku kecil Plato berjudul, Lysis yang dirujuk oleh F. Budi Hardiman, lewat bukunya, Filsafat untuk Para Profesional, bertemakan persahabatan membantu kita memahami bahwa persahabatan bersifat triangular (segitiga). Dua kawan bersatu karena ada pihak ketiga yang bernama kebaikan, boleh juga disebut “kepentingan”. Konteks besar pemikiran Plato akan membantu kita memilah bentuk-bentuk persahabatan. Ada kongkalikong dagang, karena kepentingan pengikatnya adalah uang; ada kesetiakawanan bonek (bondo/modal nekat), karena yang dibela adalah harga diri dan kekuasaan; dan akhirnya ada persahabatan yang indah dan benar karena yang menjadi pengikatnya adalah kebaikan yang sungguh-sungguh baik.

Dalam perkembangan selanjutnya, perbincangan berkenaan dengan persahabatan diramaikan pula oleh Sokrates, seorang filosof dan pemikir yang notabene adalah murid dari Plato itu sendiri. Menurut Sokrates klaim-klaim kebaikan pun perlu dikritisi. Bila kebaikan hanya sebatas berbagi dalam bentuk fisikal, seperti, Hippothales mendekati Lysis untuk menjadikannya kekasih dalam cerita Lysis-nya Plato, dengan mendeklamasikan puisi dengan puja-pujian secara fisik dan berharap dapat menjadikannya kekasih dengan beragam iming-iming bendawi. Menurutnya, cara mencintai dan bersahabat seperti ini adalah menggelikan. Karena kebaikan-kebaikan yang dimaksud hanya terbatas pada aspek bendawi.

Relasi cinta dan sahabat atas dasar fisik hanya menciptakan para pemburu cinta yang bodoh, katanya kemudian. Relasi persahabatan ditilik Plato dari dua sudut pandang, dari orang-orang yang terlibat dalam persahabatan (para pelakunya) dan dari hal yang menyatukan mereka yang terlibat dalam persahabatan (objeknya). Dari sisi pelaku persahabatan, lazim diterima bahwa persahabatan mengandaikan resiprositas (kesalingan) antara dua pihak yang saling berkawan.

Tapi bagi Sokrates, ada banyak kasus di mana orang menyahabati sesuatu tanpa berharap ada balasan (resiprositas) dari yang disahabati. Misalnya, orang yang besahabat (philia) atau karib dengan anjing. Dalam cintanya pada anjing dia tahu bahwa para anjing itu tidak bisa membalas persahabatannya sesuai kelaziman. Pun benda-benda yang kita sukai, disahabati dan dipelihara dengan baik tapi Ia tidak bersifat resiprok, tapi persahabatan sebelah pihak hanya satu arah, tanpa berharap balasan.

Mungkin kita berpendapat bahwa relasi persahabatan dengan binatang atau benda lainnya memang tidak bersifat resiprok, namun membangun relasi dengan sesama manusia pasti ada kesalingan berbagi, benarkah ? Sokrates membantah pendapat itu. Beliau memberi contoh, tentang persahabatan atau cinta orangtua kepada anak-anaknya diberikan sebagai bukti bahwa relasi philia memang tidak bersifat resiprok. Orang tua yang menyahabati dan mencintai bayinya berlaku demikian terlepas dari apakah ada balasan dari bayinya. Setelah besarpun orang tua tetap mencintai meski kadang mereka malah dibenci oleh anaknya.

Masih ingat bukan, sebuah lagu kala kita masih kecil, Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya mengitari dunia.” Cinta orangtua sepanjang jalan, cinta anak sepanjang galah. Sepenggal contoh di atas mebawa kita bahwa hampir semua orang tua membangun persahabatan dan rasa cinta pada anaknya dan manusia pada sesuatu tidak ditentukan oleh adanya resiprositas.

Mungkin ini pula yang dipersembahkan oleh sebagian pekerja social di pelbagai segmen kehidupan yang melakukan pekerjaannya dengan filosofi altruistic di mana semua pekerjaan yang dilakoninya berdasarkan atau mementingkan kepentingan orang lain tanpa mengharap balasan. Masih ingat kan? Bagaimana, Bunda Tresa, sosok yang monumental itu, melakukan pelayanan kepada para fakir miskin dan secara spesifik bagi orang-orang yang terjangkiti penyakit kusta di Kalkutta, India. Melayaninya sepenuh kasih sepanjang usia tuanya. Beliau tidak berharap sedikit pun balasan dari siapa saja. Sejak usia muda hingga keriput menjangkiti kulitnya waktunya dihabiskan mencurahkan persahabatan dan cinta kepada sesama manusia tanpa tersekat oleh perbedaan ras dan keyakinannya.

Di Jazirah Arab juga dikenal seorang lelaki penuh kasih yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk berkhikmat pada kemanusiaan. Pernah dengar atau baca kan kisahnya. Suatu waktu anaknya bernama Hasan Bin Ali, menjamu para tamu dan musafir di rumahnya di Kota Madinah. Kala seorang musafir dari kampung nun jauh usai menikmati jamuan yang dipersembahkan, mengambil lagi sepaket penganan. Sayyidina Hasan Bin Ali melihatnya dan menanyainya, penganan itu untuk siapa ? lalu langsung di jawabnya, bahwa untuk seorang tua di pinggir kota yang sedang duduk di tepi sebuah kebun kurma nampak kelihatan kelapan. Sayyidina Hasan, tak tahan langsung mengucurkan air matanya, lalu menjelaskan bahwa orang tua itu adalah ayahku yang sedang bekerja di kebun milik orang Yahudi. Semua upah yang dikumpulkan untuk menyediakan penganan para musafir dan fakir miskin yang memasuki kota ini.

Suatu waktu filosof dan pemikir, Aristoteles menyampaikan gagasannya yang singkat dan pendek berkenaan dengan sahabat atawa persahabatan dengan sebuah kalimat pendek “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” “Plato adalah sahabat, tetapi kebenaran adalah sahabat yang lebih besar.”

 

Ilustrasi: https://www.bintang.com/celeb/read/2667300/editor-says-rindu-keseruan-seperti-dulu-sahabat/page-1

Pak Ishak, Tralala, dan Bunga-Bunga

 

Makassar pada suatu hari, ketika aku usai bertamasya di gerai toko buku di bilangan mall Panakukang, aku beranjak bergeser ke sebuah kedai kopi hendak membaca buku yang baru saja kubeli. Menurutku itu adalah cara terbaik menunggu isteriku yang tengah membawa dua anakku ke sebuah praktik dokter yang tak terlampau jauh dari tempat ngopi yang kupilih. Aku belum menikmati kopi di sore hari ini.

“Kopi Kalosi Toraja, pak?” ujar seorang barista yang rupanya telah mengenaliku berikut pesanananku. Saban hari bila aku mengunjungi kedai kopi ini, aku selalu kepincut dengan racikan kopi Kalosi dan Toraja. Entah berapa lama aku larut dalam “Just After Sunset”-nya Stephen King, mengalun lagu dari Aiza Segulerra. Aku berusaha mengingat judul lagunya tapi kulupa. Kuteruskan bacaanku…

Sekitar satu jam aku menikmati sedapnya cerita Stephen King bersama kopi Kalosi Toraja. Aku menatap ke luar jalan. Ah magrib begitu deras, ada yang terhempas. Tiba-tiba aku teringat potongan sajak Sapardi Djoko Damono. Waktu telah beranjak dari sore menemui malam. Seorang lelaki lebih paruh baya yang sangat familiar bagiku duduk di sebelahku. Aku berbagi senyum untuknya sembari menyapanya, “Selamat malam, Pak.” Ia segera membalas dengan keramahanku dengan senyuman yang lebih akrab dan hangat, “Selamat malam.”

“Sejak tadi ya?” sapanya sopan.

“Sekitar satu jam lalu, Pak,” sahutku.

Mungkin dari sikapku yang tampak olehnya bila aku ingin sekali berbincang dengannya, beliau bergeser berpindah kursi semeja denganku. Beberapa saat kemudian beliau memanggil pelayan dan memesan Cappuccino dan dua buah roti.

Beliau membuka perbincangan dengan menertawai dirinya dan isterinya yang salah melihat tanggal dan hari dari sebuah hajatan pengantin salah seorang anak sahabatnya. Ia mengira hari ini padahal mestinya sabtu pekan depan. Jadilah bincang awal itu riuh oleh derai tawa kami berdua.

“Apakah adik mengenal Tralala?” (Saya samarkan namanya)

“Oh, iya saya mengenalnya, pak. Beliau termasuk kawan dekat ketika mahasiswa dulu walupun kami berbeda asal perguruan tinggi tempat kami mengais pengetahuan. Sekarang beliau sudah bebas dari rumah tahanan di Filipina setelah mendekam beberapa tahun di sana dan saat ini telah di Makassar. Lalu berceritalah dengan tema yang menarik minat kami berdua dengan cukup serius. Dalam waktu dekat beliau ingin menemuinya dan menulis kisahnya di catatan-catatan pendek yang setiap pekan di salah satu media lokal beroplah cukup besar di kota Makassar.

“Beberapa tahun lalu,” Pak Ishak memulai ceritanya, “Ketika media geger oleh penangkapan Tralala di negeri seberang, sebab tertuduh sebagai “teroris” yang selama ini telah diincar oleh pemerintahan Filipina, kumasukkan ia ke dalam daftar doaku. Sebagaimana kebiasaanku sebelum tidur, aku mendoakan orang-orang satu persatu khususnya sahabatku dan orang yang kukenal dan dalam keadaan dilanda masalah.”.

“Tapi malam itu, setelah beberapa orang saya doakan, wajah Tralala yang baru saja tertangkap di Filipina itu selalu menyambangiku dan tak hendak beranjak bayang-bayangnya, maka kulantunlah doa-doa yang cukup panjang untuk beliau demi kebaikan dan kesehatannya.”

“Pak, tapi beliau kan tertuduh “teroris” yang salah satu rencananya pernah hendak membom gereja yang ada di Makassar,” ujarku.

“Iya aku juga dengar seperti itu tapi sebelum ada bukti. Prasangka tidak boleh bersemayam di pikiran dan hati kita. Saya mengenalnya, kerap aku berdiskusi di rupa-rupa forum dan aku menyukai kelugasannya meyakini keyakinannya dan untuk hal itu ia bersuara lantang.”

“Setelah beberapa pekan penahanannya di negeri yang mayoritas penduduknya katolik itu. aku menemui isterinya melalui seorang mahasiswa saya di pasca sarjana tempatku mengajar sebab ia dalah salah satu dari beberapa sahabatnya. Setelah berbincang dengan isterinya, aku menyimpulkan bahwa perempuan ini adalah seorang ibu yang kuat menanggung beban psikologi dan materi. Hidup sebagai single parent adalah wujud cintanya kepada suaminya yang menempuh jalan “perjuangan” yang tidak lazim.”

“Beberapa hari setelah pertemuan itu aku mengunjungi seorang pastor dan menceritakan prihal pertemuanku dengan isteri tertuduh teroris itu. Dan meminta kepadanya untuk membantu dalam tiga hal. Pertama, bila berkenan tolong doakan kawan saya itu dan keluarganya supaya mereka tetap dalam kebaikan. Kedua, tolong umumkan di jamaah anda yang berjumlah lebih dari lima ribu itu bila hendak berbelanja kue-kue belanjalah di kedainya untuk membantu meringankan biaya hidup keluarganya. Ketiga, bila memungkinkan carilah jalan agar aku dan atau kamu dapat mengunjungi Tralala di rumah tahanan di Filipina.”

“Awalnya pastor ini rada bingung juga mendengar permintaanku,” Pak Ishak terus melanjutkan cerita dengan penuh semangat.” Namun setelah kujelaskan panjang lebar alasan-alasanku, akhirnya ia mengiyakan walaupun mungkin sedikit bimbang. Singkat cerita, suatu waktu doa-doaku nampaknya mewujud. Pastor yang kumintai tolong, diundang ke Filipna untuk menghadiri sebuah hajatan seminar Internasional yang diprakarsai lembaga gereja katolik di negeri itu.”

Di sela waktu hajatan, sang Pastor akhirnya bisa mengunjunginya di rumah tahanan. Sang tertuduh teroris ini tak kepalang terharunya ketika tahu bahwa yang menjenguknya adalah seorang pastor dari kota kelahirannya, jauh dari negeri seberang atas permintaan Pak Ishak. Dari bilik jeruji ia menulis surat untuk bapak penuh kasih ini dan juga buat isterinya di kampung halaman.

Kelopak mataku tak tahan membendung bulir-bulir air hangat basahi pipiku. Betapa lelaki lebih dariparuh baya di hadapanku memiliki cinta kasih yang tulus. Bulu kudukku tak hentinya merinding. Pak Ishak lalu berbisik kepadaku bila cerita ini untuk pertama kalinya ia ceritakan pada seseorang. Aku sungguh beruntung. Aku diliputi bahagia tak terkira dan sepenuh haru.

Aku membayangkan bagaimana Baginda Nabi dalam sebuah kisah. Saban hari di pojok sebuah pasar di kota Madinah menyuapi seorang buta Beragama Yahudi dengan sepenuh kasih sembari tak hentinya dari mulut si buta itu mencaci maki sang Nabi yang sangat penyayang. Sehingga ketika baginda Nabi wafat, seorang sahabatnya mencoba melanjutkan kebiasaannya menyuapi si buta, namun ia dibentak, “Siapa kamu?” Sahabat itu menjawab, “Aku yang biasa menyuapimu,” ujarnya. “Bukan!” kata si Buta, “Beliau sangat lembut dan penuh kasih. Sedang kamu tak seperti dia.” Sahabat itu menangis meninggalkan orang tua buta itu kemudian berujar bahwa beliau telah mangkat. Dialah Muhammad Sang Nabi Agung yang saban hari menyuapimu dengan lembut sepenuh kasih.

Aku teringat Mahatma Gandhi yang gelisah dan berpuasa sepanjang waktu bila masyarakat di kampung dan negerinya bertikai antar suku dan agama. Beliau menghabiskan umurnya mengayomi masyarakatnya membangun negerinya secara egaliter. Meneguhkan hak-hak kaum tertindas sepanjang waktu.

Aku teringat Bunda Theresa yang menggadaikan dirinya sepanjang hayatnya mendampingi masyarakatnya yang terjangkit penyakit kusta dan kaum papa lainnya tanpa mengenal ras dan agamanya.

Sebelum kami berpisah, bapak yang sangat bijak dan bersahaja yang kukagumi sejak dulu, meminta padaku satu pernyataan tentang karakter kawan yang jadi objek pembicaraan kami. Beliau bertanya padaku sebagai seseorang yang pernah bersentuhan cukup dekat dengannya. “Menurutku, yang paling menonjol padanya adalah sikap teguh pada sesuatu yang diyakininya,” kataku singkat.

“Itu poin bagus yang akan aku sampaikan bila beliau mengizinkanku menuliskannya kelak. Sebab kehidupan di kekinian, orang teguh bertahan pada sesuatu yang benar sudah mulai langka.”

Tak lama kemudian kami berpamitan. Beliau lebih dahulu meninggalkan kedai kopi tempat kami berbincang. Langkahnya pelan. Di tubuhnya kurasakan aura kasih sayang meliputinya. Memancarkan kasih yang tulus tak bertepi.

Seorang teman saya yang bertetangga dengan, pak Ishak Ngeljaratan, saban pagi di suatu musim mendapatinya menanam bunga baru di halaman rumahnya. Teman saya itu menyapa dan menanyainya, “Pak Ishak, rajin sekali menanam bunga.” Beliau hanya berseloroh, “Saya tidak mau kalah dengan pencuri yang setiap malam mengambil bungaku.”