Arsip Kategori: Resensi Buku

Bahaya Laten Identitas

”Dasar Bugis e”. Dengan nada mengejek begitu caranya teman sepermainan membuli. Dengan logat khas anak NTT tentunya. Bugis tiba-tiba jadi sasaran, yang waktu itu belum saya mengerti dengan baik, apa itu yang namanya kekerasan berbasis suku.

Di waktu kecil di lingkungan rumah, hanya ada dua keluarga berlatar belakang suku Bugis. Salah satunya adalah Iwan, seorang anak beranjak remaja yang saat itu sudah duduk di bangku SMP, dan tentu juga saya yang masih berseragam merah putih.

Latar belakang Iwan berasal dari keluarga pedagang, yang rumahnya lumayan jauh kalau menempuh dengan berjalan kaki. Di kios miliknya, saya sering lebih banyak tergiur dengan deretan toples berisi aneka permen dan cokelat, yang dengan melihatnya membuat saya sadar, demi membeli cokelat-cokelat itu  membuat saya terdorong menjadi pencuri dengan membuka dompet Bapak secara sembunyi-sembunyi. Di kios milik Iwan jugalah di musim tertentu menjual banyak layang-layang. Iwan adalah orang  pertama yang memiliki sepeda di lingkungan itu .

Di Kupang, sebagian besar orang Bugis banyak bergerak di bidang ekonomi menjadi pedagang-pedagang di pasar, atau membuka toko kelontong seperti keluarga Iwan. Sementara sebagiannya, seperti dilakukan Bapak, bekerja sebagai abdi negara, yang karena itu sewaktu muda membuatnya merantau sampai ke Nusa Tenggara Timur.

Sama-sama sebagai warga pendatang, tidak otomatis membuat Iwan mendapatkan perlakuan rasis seperti saya. Setidaknya umurnya membuatnya jauh lebih aman dibandingkan saya yang jauh lebih muda.

Nasib sebagai pendatang, dan usia yang masih bau kencur menjadikan saya jauh lebih mudah untuk dibuli. ”Bugis e!”

Pasca konflik SARA 98, saya mulai mengerti agama seseorang bisa menjadi masalah cukup serius. Di saat itu saya juga mulai mendengar beberapa orang suka mempermasalahkan keberadaan etnis Cina di Tanah Air.

Di saluran televisi kadang tidak sengaja saya menangkap informasi menyangkut perang saudara di Bosnia, yang saat itu mengundang rasa heran, mengapa ketika banyak negara di dunia sudah merdeka mereka justru beramai-ramai masih suka mengangkat senjata.

Pendudukan Paletina oleh Israel, konflik berkepanjangan antara Irlandia Utara dan Inggris, Pakistan India, masyarakat muslim Rohingya di Myanmar, dan jangan lupakan kerusuhan berbasis etnis dan agama di Indonesia, adalah sederet fenomena yang sampai sekarang menjadi masalah tersendiri  bagi umat manusia.

Fenomena-fenomena ini, entah karena didorong permusuhan atau usaha membela diri, secara gradual membentuk suatu tatanan segregatif dan hirarkis, membelah masyarakat menjadi faksi-faksi, kelompok-kelompok kepentingan, perkampungan, dan kelas-kelas masyarakat  ke dalam satuan-satuan fragmentaris satu sama lain hanya karena satu soal: identitas.

Ibarat lahar panas, yang akan meledak ke permukaan, identitas adalah katalisator paling berbahaya, bukan karena sifatnya yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi pertalian asal usul, keterikatan, dan perkumpulan, melainkan sifat primordialnya yang mampu membuat orang bertindak di luar dari kebiasaan alamiahnya.

Identitas adalah kata yang tampak paling jelas tapi menjadi yang paling khianat, ungkap Amin Maalouf dalam bukunya In The Name of Identity (Atas Nama Identitas) terbitan Resist Book penerjemah Ronny Agustinus.

”Semua mengira kita paham apa makna kata itu dan terus mempercayainya, bahkan dengan culasnya ia mulai berucap yang sebaliknya,” demikian Maalouf membuka uraiannya (h.9).

Ya, apa yang dikatakan Maalouf dalam permulaan bukunya itu patut direnungkan. Sampai sekarang umat manusia masih terbelah secara paksa oleh entah yang dilahirkan melalui kekerasan, atau kekejaman dalam bentuk lain, yang semuanya berdalih mengetahui dengan baik apa itu identitas.

Banyak orang menganggap identitas adalah sesuatu yang ia bawa semenjak lahir, dan karena itu ia mengenalinya tanpa distorsi sedikit pun sama seperti saat ia mengenal dengan baik siapa orangtuanya dari masa anak-anak.

Sebagian dari mereka juga beranggapan identitas adalah penanda tunggal dan tidak akan sama sekali berubah meski seseorang melambari dirinya dengan beragam pengalaman.

Identitas karena sifatnya yang demikian sama seperti kepercayaan agama, tidak dapat berubah apalagi digugat. Ia tunggal dan secara defenitif adalah suatu penanda ajeg dan baku.

Amin Maalouf menyatakan pandangan seperti ini adalah pandangan kemanusiaan yang berbahaya. Menurut Maalouf, keyakinan yang menganggap identitas semacam substansi tunggal seolah-olah mengyakini adanya sejenis ”kebenaran fundamental”, berupa hakikat yang ditakdirkan fix tidak akan berubah meski pengalaman seseorang datang silih berganti (h.2).

Maalouf mengangkat fenomena zaman berkaitan dengan adanya desakan untuk ”menonjolkan identitas”, yang mendorong seseorang mencari pertalian-pertalian fundamental entah religius, nasional, rasial, atau etnis, dan kemudian membanggakannya di depan publik. Fenomena semacam ini menurut Maalouf berisiko memarginalisasi keberagaman identitas dan dengan sendirinya akan melahirkan sentimen-sentimen identitas.

Sejarah dunia adalah pelajaran tanpa guru yang sangat baik dan bisa dipelajari dalam masa yang panjang, bagaimana seorang Adolf Hitler pernah kesetanan karena keyakinannya terhadap ras Arya.

Di masa lalu, hanya Hitler satu-satunya  manusia yang berambisi membangun negara dengan berdasarkan ras manusia. Ras Arya, dinyatakan Hitler sebagai golongan manusia unggul, yang dengan itu berhak memimpin dan membumihanguskan umat manusia lainnya.

Di negara-negara pecahan Uni Soviet, seperti dicontohkan Maalouf, orang bisa saling bertikai berdarah-darah hanya karena perbedaan apakah ia seorang Serbia atau Bosnia. Di Afrika meski sama-sama berkulit hitam, konflik bisa pecah antara suku Tutsi dan Hutu.

Di Turki, meski orang-orang Kurdi juga berkeyakinan muslim, bisa menimbulkan konflik wilayah dengan penduduk Turki.

Nampaknya, bukan saja Hitler di masa lalu, peristiwa yang mengabsolutkan identitas terjadi juga di banyak tempat di dunia ini.

Identitas sejatinya bukan substansi tunggal, apalagi bisa dibagi-bagi berdasarkan sisi-sisi keturunan, agama, tradisi, dan etnis.

Maalouf memberikan contoh dari dirinya sendiri yang lahir dan besar di Lebanon, dan hidup sejak muda di Prancis.”Saya jelaskan bahwa saya lahir di Lebanon dan tinggal di sana sampai berumur 27 tahun; bahwa Arab bahasa-ibu saya; bahwa dalam terjemahan bahasa Arablah  saya pertama kali membaca Dumas dan Dickens serta Gulliver’s Travel; bahwa di daerah asal sayalah, desa para leluhur, saya mengalami nikmatnya masa kecil dan mendengar dongeng-dongengan yang nantinya mengilhami novel-novel saya. Bagaimana mungkin saya melupakan semua itu” (h.2).

Masih dalam paragraf yang sama: ”Di sisi lain, saya sudah tinggal di tanah Prancis selama 22 tahun. Saya tenggak air dan anggurnya, tiap hari tangan saya menjamah bebatuan kunonya, saya tulis buku-buku dalam bahasanya—tak akan lagi Prancis menjadi negeri asing bagi saya”(h.3).

”Jadi apakah saya ini separuh Prancis dan separuh Lebanon. Tentu saja tidak. Identitas tidak bisa disekat-sekat” (h.3).

Identitas, nyatanya adalah suatu kombinasi kompleks yang berkelindan  sedemikian rupa melalui beragam sejarah,  tradisi, dan pengalaman. Seseorang tidak bisa menyebut dirinya seorang Bugis, atau seorang Jawa, atau menyebut diri paling pribumi, tanpa memperhatikan pertalian kompleks dirinya berdasarkan asal usul keturunan, tradisi, bahasa, profesi, pendidikan, afiliasi kepercayaan, dan lain sebagainya yang  membentuk dunia pengalamannya.

”Identitas tidaklah terberi sekali untuk selamanya: ia dibangun dan berubah sepanjang kurun hayat seseorang”, kata Maalouf  (h.23).

Meski demikian, menurutnya jenis kelamin, warna kulit dan ciri-ciri fisik lainnya adalah ciri-ciri bawaan yang tidak bisa ditolak dari diri seseorang. Tapi, apakah itu akan dengan sendirinya menentukan dengan signifikan identitas seseorang? Justru tidak sejauh darimana pengertian itu didudukkan.

Dengan kata lain, warna kulit seseorang, akan berbeda artinya jika ia terlahir di keluarga di Afrika atau di Amerika. Akan sangat berbeda pula identitas seseorang Tionghoa ketika tumbuh besar di bawah rezim Orde Baru, atau ketika ia berada di Singapura.

Lebih jauh, melalui buku ini, Maalouf secara problematik mengangkat globalisasi (dan modernisasi) sebagai salah satu pemicu mengapa identitas menjadi ibarat besi panas. Maalouf berpendapat globalisasi yang meniscayakan terjadinya peleburan batas-batas kultural geografis, menyebabkan saling silang pertukaran pengetahuan antara bangsa-bangsa yang secara langsung berpengaruh kepada semakin menipisnya perbedaan.

Ada dua hal dari globalisasi yang sulit dipisahkan karena masing-masing bekerja secara bersamaan, yakni universalitas dan uniformitas, yang keduanya dapat menghilangkan identitas lokal suatu komunitas. Dua hal ini tidak saja mengancam tradisi, adat, dan kebiasaan lokal, tapi juga membangun hegemoni kebudayaan, terutama Barat bagi masyarakat Timur.

Globalisasi mengancam atau lebih tepat menghilangkan sekat-sekat ikatan lama yang mulai kehilangan pengaruh. Agama, atau bahkan etnis seseorang merupakan identitas tua yang mengalami ancaman global sehingga memunculkan kekhawatiran sampai ke tingkat eksistensial.

Cairnya pertukaran informasi, kebudayaan, dan paham dunia lainnya, membuat pertalian-pertalian tua khawatir dengan perubahan yang serba cepat  dan menghadirkan yang oleh Maalouf disebut sebagai para pembunuh sama seperti yang disaksikan dalam konflik-konflik berbasis SARA.

”Dan para pembunuh ini akan melaksanakan kekejian yang paling mengerikan berdasarkan kepercayaan bahwa mereka berhak melakukannya dan layak mendapatkan kekaguman rekan-rekan mereka di dunia ini serta rahmat di dunia setelahnya” (h.29).

Apakah itu terdengar familiar?

Sang macan, begitu metafora Maalouf terhadap globalisasi, perlu untuk dijinakkan jika tidak dengan sendirinya menyerang secara membabi buta. Analogi yang mirip dengan Juggernaut a la Jurrgen Habermass ini, disinyalemenkan sebagai pertaruhan tersendiri bagi manusia masa kini dalam mendefenisikan diri dan komunitasnya.

Itu artinya, setiap pengalaman global dalam aras waktu dan ruang adalah anasir-anasir penting yang menentukan identitas seseorang, yang mesti ia dialogkan dalam-dalam melalui refleksi panjang dan terus menerus. Ia kata Maalouf perlu ”ditelaah, dipelajari dengan tenang, dipahami lantas ditundukkan dan dijinakkan bila kita tidak ingin dunia berubah jadi hutan rimba” (h.144).

Di Indonesia—dan juga di kawasan lain, identitas menjadi term yang sulit didudukkan dengan baik di tengah keberbagaian etnis, suku, bahasa, dan keyakinaan. Seringkali identitas menjadi faktor utama pemicu permusuhan meski banyak latar belakang kesamaan yang lebih dahulu bisa dikemukakan dari pada perbedaan itu sendiri.

Di kancah politik elektoral, misalnya, identitas menjadi komoditas untuk mendulang dukungan dan keberpihakan sektarian. Karena dorongan politik, identitas menjadi gerakan populis yang digerakkan segerombolan intoleran yang bercorak obskurantis.

Tidak sedikit juga, dalam konteks kehidupan sosial, determinasi politik identitas memperkeruh keberagaman dan keanekaan masyarakat.

Melalui pertimbangan semua di atas, In The Name of  Identity merupakan buku yang bakal dibutuhkan dan masih relevan bagi keadaan masa kini, yang disesaki pandangan kemanusiaan sempit dan sektarian hanya karena satu soal yang siapa pun sulit mengetahuinya dengan baik: identitas.

Identitas buku:

Judul: In The Name of  Identity (Atas Nama Identitas)

Penulis: Amin Maalouf

Penerbit: Resist Book

Penerjemah: Ronny Agustinus

Terbitan: 2004

Halaman: 180

Dimensi: 14 x 20 Cm

Bahasa: Indonesia

ISBN: 9793723025

Dua Kebodohan Manusia dan Hidup Arif a la Arthur Schopenhauer

Seandainya pertanyaan kisah kecantikan putri salju dilempar di masa kini: kiwari, siapa perempuan paling cantik di dunia? Tanpa ragu, Anda masih bisa menunjuk beberapa nama perempuan dengan paras rupawan, sama seperti keyakinan cermin ajaib menyebut putri salju sebagai perempuan paling cantik sejagad cerita. Tapi, bagaimana cermin ajaib menjawab pertanyaan ini: siapa manusia paling bahagia di dunia saat ini?

Dunia di luar dongeng putri salju, tidak ada cermin ajaib, yang dapat berbicara, dapat menerka, dan memberikan kepastian atas pertanyaan yang Anda ajukan kepadanya. Jadi sebenarnya, sangat sederhana memecahkan masalah ini hanya jika Anda mengganti tugas cermin ajaib dengan kotak pencarian paling ajaib masa kini:

Sekarang, siapa manusia paling bahagia di dunia?

Mesin pencari berhenti pada satu nama: Matthieu Ricard, seorang biksu Budha yang bemukim jauh di pegunungan Tibet, Tiongkok. Dia, oleh peneliti psikologi Richard Davidson, disebut sebagai manusia paling bahagia setelah 12 tahun meneliti reaksi otak Matthieu, ketika menghabiskan 5000 ronde meditasi. Hasilnya, otak Matthieu dinyatakan ”sangat ringan”, dan menemukan keseimbangan emosi, kasih sayang, dan pikiran.

Percaya atau tidak, otak Anda dan Matthieu diciptakan dari hukum alam yang sama, walaupun  akhirnya bukan jaminan otak Anda akan digunakan dalam tugas-tugas yang persis seperti Matthieu. Sama sepertinya, tugas setiap otak adalah berpikir dan menarik kesimpulan atasnya. Meski demikian fungsi setiap otak berbeda-beda tergantung siapa yang menggunakannya.

Di titik ini, Anda bisa menggolong-golongkan kecerdasan seseorang, atau kejeniusan, atau  kebodohannya, atau tidak kedua-duanya, dengan cara melihat apakah ia menggunakan otaknya dengan arif atau sebaliknya. Semakin arif ia menggunakan otaknya, semakin berkualitas kehidupannya. Sebaliknya, semakin ia tidak membutuhkan otaknya, semakin ia akan menyerupai seekor kambing.

Itu sebabnya, setiap pengalaman yang sama akan direspon berbeda dari dua orang yang berlainan. Setiap manusia memiliki pemahaman, perasaan, dan kemauan yang sama sekali tidak serupa, yang karena itu akan merespon dengan cara berbeda situasi yang identik. Semua perbedaan itu akan tampak wajar belaka, dan bagaimana cara Anda menggunakan otak akan sangat menentukan kearifan macam apa yang bakal akan Anda temukan.

Buku Kearifan Hidup: Himpunan Esai Schopenhauer, diterjemahkan Ratih Dwi Astuti  diterbitkan Basabasi, demikian menantang diuraikan. Esai berjudul asli The Essay of Schopenhauer; The Wisdom of Life berintikan ulasannya mengenai apa dan bagaimana  kearifan hidup itu sebenarnya, yang ia artikan sebagai seni menata hidup demi meraih kebahagiaan (eudaemonia).

Filsuf yang filsafatnya menganjurkan pesimisme ini, menilik uraiannya atas kearifan manusia dari tiga kategori keberkahan hidup Aristoteles: keberkahan yang datang dari luar, keberkahan rohani, dan keberkahan jasmani, yang semuanya tersebar dari setiap pengalaman manusia. Atas tiga keberkahan ini dicacah Schopenhauer dengan pembagiannya sendiri, yang ia sebut pembagian yang membedakan tiga kelompok umat manusia:

  1. Hakikat manusia yang ia sebut jati diri manusia dalam arti luas berupa di dalamnya kesehatan, kekuatan, kecantikan, watak, karakter moral, keceradasan, dan pendidikan.
  2. Kepemilikan manusia: yaitu properti dan segala macam barang milik.
  3. Derajat manusia, yang ia sebut ditentukan melalui cara pandang  seseorang atas orang lain.

Sama seperti Budha, ajaran yang menginspirasi filsafat Schopenhauer, kebahagiaan tidak datang dari mana-mana selain daripada dimulai dari diri manusia. Melalui pemahaman semacam ini, di bab-bab awal esainya, Schopenhauer ingin mendudukkan kembali bahwa kesejatian manusia bukan seperti yang ada dalam dua ketegori kelompok manusia yang mementingkan properti (kepemilikan) dan kedudukannya (derajat manusia).

Mengetahui hakikat manusia sesungguhnya adalah kunci kebahagiaan, dan semua usaha manusia dalam meraih kebahagiaan mesti diarahkan khusus ke dalam inti hakikatnya.Schopenhauer mengutip perkataan Metrodotus murid Epicurus: kebahagiaan yang kita dapatkan dari diri kita sendiri jauh lebih besar dari pada yang kita peroleh dari sekelilingi kita (h.2).

Menurut Schopenhauer, kebahagiaan sangat ditentukan dari cara bagaimana seseorang melihat dunia di sekelilingnya. Tandus, bosan, dan dangkalnya dunia, tidak akan sama artinya dibandingkan dengan orang yang meresepsi dunia dengan perasaan dan terlebih lagi cara berpikir terbuka, yang karenanya melihat dunia menjadi tampak panoramik dan mengagumkan.

Orang yang pertama di atas kemungkinan menerima dunia ini dengan picingan mata, seolah-olah dunia tidak menarik dan mengancam eksistensinya, menganggap dunia membelakangi seluruh harapan dan keinginan-keinginan rendahnya sehingga mendorongnya merasa bertanggung jawab untuk mengubah dunia ini sesuai apa yang ia yakini.

Sama dengan orang yang melihat dunia secara terbuka dan panoramik, orang jenis di atas sama sekali tidak menggunakan perangkat lain selain daripada pikirannya, yang sayangnya berisi hal-hal negatif.  Meskipun sama-sama mengandalkan isi pikirannya, yang membentuk cara pandangnya, secara tersirat Schopenhauer mengatakan akan berbeda kualitas pengalaman seseorang karena yang satu menggunakan pikirannya dengan cerdas, sementara yang lain justru sebaliknya.

Saat mendengar tentang peristiwa-peristiwa menarik yang terjadi dalam hidup seseorang, banyak orang berharap peristiwa serupa juga terjadi dalam hidup mereka, lupa sepenuhnya bahwa seharusnya mereka merasa iri dengan kemampuan mental yang menjadikan peristiwa-peristiwa itu penting tatkala orang tersebut menceritakannya; bagi seorang jenius persitiwa tersebut merupakan petualangan seru; tetapi bagi pemahaman tumpul orang biasa semua itu hanyalah kejadian-kejadian basi setiap hari (h.3).

Ya, setiap hari Anda banyak menyaksikan kisah kesuksesan orang lain tidak sama seperti hidup Anda yang malang. Anda merasa kehidupan ini  tidak diciptakan demi Anda, dan lebih berpihak kepada orang-orang yang Anda jadikan contoh pencapian, yang semua itu tidak pernah Anda rasakan.

Dalam hal ini, jika Anda hanya bisa menggunakan otak Anda dengan mengutuk keberhasilan orang lain, membulinya, iri dan bersikap nyinyir, Schopenhauer sudah membuat diri Anda masuk dalam golongan orang yang ia sebut berpahaman tumpul. Suatu golongan yang sebenarnya banyak ditemui tidak jauh dari di mana Anda tinggal saat ini. ”Kok, rumput tetangga selalu hijau dari rumput rumah sendiri,” begitu suara nyinyir Anda.

Dua kebodohan manusia

Zaman sekarang, bagi sebagian orang adalah zaman reputasi dan kepemilikan. Bagi sebagian lainnya, reputasi dan kepemilikan atas barang-barang, harus diperjuangkan sama seperti gigihnya segerombolan semut yang menimbun makanan demi ratunya. Sayangnya, banyak manusia menjadikan dirinya seperti ratu, bukan raja, yang keinginannya bersolek dan berperangai persis seperti seekor burung merak memamerkan bulu ekornya yang mencolok.

Sekarang, perangai burung merak begitu mudah ditemui, bukan saja di dunia nyata, tapi juga di dunia virtual. Reputasi dan kepemilikan barang tidak sedikit yang mengyakininya adalah komponen utama kebahagiaan. Meski ini adalah pemahaman yang keliru, tindakan ini masih sering menghinggapi banyak orang karena kelemahan dirinya.

Reputasi, kekayaan, kecerdasan, jabatan, nama besar, dan bentuk-bentuk ”ekor merak” lainnya, kerap ditunggu penilaiannya dari orang lain. Tanpa kesabaran semua kebesaran itu ingin disaksikan banyak orang lain, dan Anda ingin mendengar kabar baik atas itu semua. Kebahagiaan yang diraih dengan cara semacam itu, menurut Schopenhauer, adalah manifes jati diri yang lemah. Suatu kebodohan karena penilaiannya masih bergantung dari pandangan orang lain.

Kebahagiaan jenis ini, dengan metafora yang pas disebut Schopenhauer sama seperti seekor kucing yang akan segera mendengkur setelah merasakan belaian tuannya, yang meskipun penilaian itu berbohong, kebohongan itu tidak akan menjadi masalah (h.55).

Kebodohan lain dibicarkan Schopenhauer dalam esai ini adalah reputasi, atau harga diri yang lahir dari keangkuhan. Bagi Schopenhauer, perbedaan mendasar antara harga diri yang sesungguhnya dan yang palsu dilihat dari, jika yang pertama lahir dari dalam, yang merupakan penghargaan langsung atas diri sendiri, sementara yang kedua adalah hasrat untuk mendapatkan penghargaan meskipun itu secara tidak langsung dari luar (h.64).

Menurut Schopenhauer, harga diri yang sesungguhnya mesti berakar kepada keyakinan, dan dia sama seperti pengetahuan lainnya memiliki musuh terkuat yakni keangkuhan. Harga diri kata Schopenhauer, mendapakan nilainya tidak dalam pujian orang lain, melainkan dalam dirinya sendiri (h.64)

Dua Jenis Kekayaan

Ed Diener, psikolog dari Universitas of Illionis pernah melakukan penelitian kepada100 orang terkaya versi majalah Forbes, yang hasilnya menyatakan kekayaan bukan jaminan kebahagiaan. Bahkan uang membuat sebagian besar dari mereka menderita.  Orang kaya versi Forbes ini sudah pasti tidak sama dengan Biksu Matthieu seperti disebutkan di atas, yang merasakan ketentraman dan hidup bahagia meski jauh dari ”peradaban barang” seperti masa kini.

Kekayaan yang mereka miliki adalah dua jenis kekayaan yang ambivalen. Yang pertama semakin dimiliki semakin membuat orang kesusahan, sementara yang kedua, semakin dimiliki semakin membuat seseorang bahagia. Yang pertama kebahagiaan semu, dan yang kedua adalah kekayaan batin.

Jika saja kebahagiaan itu ditentukan melalui kekayaan, kepemilikan barang-barang, dan reputasi, 100 orang terkaya versi Forbes sudah pasti akan menjadi orang paling bahagia di dunia, dan pribadi seperti Matthieu adalah orang paling sengsara di atas muka bumi.

Dunia objektif seratus orang terkaya versi Forbes, atau seribu orang, atau malah lebih dari itu, yang hidup bagai sultan di puncak-puncak kerajaan, nyatanya tidak mampu memberikan sumbangsih kekayaan batin terhadap dunia subjektif mereka. Menurut Schopenhauer, orang semacam ini adalah jenis manusia yang tidak memiliki individualitas istimewa berupa pemahaman yang baik menyangkut hakikat diri mereka, yang masih terjerat benda-benda di sekitarnya (h.7).

Schopenhauer menegaskan, individualitas istimewa merupakan unsur subjektif bagi seseorang, dan lebih penting bagi kebahagiaan dan kegembiraan dari pada unsur objektif. Melalui individualitas inilah seseorang dapat memilih apakah harus berbahagia atau tidak, meskipun kehidupannya dilanda bencana atau penderitaan.

Dengan kata lain, reputasi, harga diri, dan kekayaan melimpah adalah unsur objektif manusia, yang membuat seseorang bisa memilih apakah ia harus memikirkannya terus menerus, yang membuatnya terobjektivasi dan teralineasi atasnya, atau memilih merdeka tanpa terpengaruh sedikit pun dari semua itu.

Kebahagiaan di masa kini

Kebahagiaan merupakan hak semua orang. Itu artinya kebahagiaan adalah pilihan, dan nilainya mandiri dari intervensi apa pun. Bencana alam berupa gempa bumi, banjir bah, dan kelaparan, meskipun mengundang perdebatan apakah terjadi karena takdir Tuhan atau ada campur tangan manusia, adalah fenomena objektif. Semua keadaan itu dihadapi semua orang, dan merupakan keadaan yang tidak bisa begitu saja ditampik. Tapi, apakah itu akan membuat orang bersangkutan bersedih, atau malah sebaliknya, lebih memilih berbesar hati meski dirundung soal.

Masa sekarang masa disrupsi, di samping dunia masih menghadapi pandemi yang tak kunjung selesai. Di sisi lain, bencana ekologis melanda sebagian isi bumi seolah-olah bumi sedang merevitalisasi dirinya sendiri.  Dari semua bencana itu riwayat umat manusia sedang dipertaruhkan, apakah sekali lagi bisa keluar dari krisis bertubi-tubi semacam ini atau tidak. Terlepas dari problem macam demikian, kehidupan manusia masih kian berlanjut, meski masih banyak yang tidak arif melakoninya.

Mau apalagi, Schopenhauer sudah menyatakan sejak dulu jangan terlalu optimis menatap kehidupan ini, karena di saat bersamaan masih ada sebagian orang yang masih berpikir sama persis seperti seekor keledai menggunakan otaknya. Mengutip Perjanjian Lama, Schopenhauer membubuhkan: ”hidup orang bodoh lebih buruk dari kematian.”

Menemukan orang semacam ini, apalagi hidup bersamanya, kemungkinan akan membuat hidup Anda bakal menderita. Tapi tidak usah khawatir, Anda punya pilihan. Anda bisa memilih apakah akan hidup bodoh bersamanya sambil menelan kekecewaan, atau memilih hidup bahagia meski dengan seekor keledai sekalipun.

Info buku:

Judul: Kearifan Hidup: Himpunan Esai Schopenhauer

Penuli: Arthur Schopenhauer

Penerjemah: Ratih Dwi Astuti

Cetakan: November 2019

Penerbit: Basabasi

Jumlah halaman: VIII + 130 halaman

ISBN: 978-623-7290-38-4

Kecamuk Perang Dalam Diri Manusia: Pertempuran Melawan Serigala

Perang dunia pertama dan kedua sudah lama  berakhir, walaupun sudah tutup buku, sampai kiwari perkubuan bangsa-bangsa masih sering saling jegal, dan sama-sama membayangkan di akhir sejarah nanti perang teramat dahsyat bakal terjadi.

Prediksi ini, meskipun terdengar berlebihan, masih jadi ketakutan bangsa-bangsa adi daya hari ini, dan karena itu diam-diam sedang menyusun angkatan bersenjata raksasa jika hal itu betul-betul terjadi.

Benar atau tidak, perang dunia pertama dan kedua membuktikan di waktu mendatang akan lahir orang-orang semacam Adolf Hitler, atau Josef Stalin, yang berimajinasi dunia bisa ia kendalikan hanya dengan cara membumihanguskan negeri-negeri lain. Orang-orang semacam ini, pernah hidup dalam sejarah dengan memobilisasi masyarakat agar mempercayai ilusinya, dan malangnya tidak sedikit yang mengyakininya.

Perang bukan fenomena baru bagi peradaban manusia, karena meskipun dunia mengalami masa damai yang panjang, di dalam dirinya sendiri berkecamuk perang yang jauh lebih dahsyat sama panjangnya dengan seluruh usianya.

Dalam konteks itu, Erich Fromm menarasikan akar psikologis mengapa manusia mengalami kecamuk pertempuran dalam dirinya, dan mengapa  peradaban manusia sering tersedot perang dan hancur karenanya, melalui suatu buku: Perang Dalam Diri Manusia, Studi Psikologis Mengenai Akar Kehancuran.

Jangan terkecoh dengan frase ”studi psikologis” di sampulnya itu, karena selain penjelasan Fromm yang lebih mendekati penjabaran filosofis, buku ini nyatanya tidak sampai 100 halaman, yang itupun menjadi pantas disebut buku karena masih ditambahkan esai komentar beberapa kolega Fromm menyangkut ”makalahnya” ini.

Jadi, tidak ada studi psikologi dalam buku ini, sama seperti suatu uraian panjang yang dihasilkan dari suatu penelitian berkelanjutan berdasarkan temuan-temuan fakta ilmiah. Itu artinya, meskipun buku ini ditulis Fromm yang berlatar belakang ilmu psikologi, pokok-pokok uraian buku ini lebih tepat disebut sebagai studi filosofis tentang manusia.

Medan perang manusia.

Konon, orang-orang Indian mempercayai sebuah legenda, dalam diri setiap orang tinggal seekor beruang. Sama seperti perbedaaan warna hitam dan putih, tiap beruang bagi tiap orang berbeda-beda perangainya.

Ada beruang yang jinak sehingga tidak mengganggu jiwa orang bersangkutan, tapi tidak sedikit yang menjadi mangsa beruang jahat yang liar dan sulit diatur. Orang-orang Indian percaya, setiap manusia bisa menjinakkan beruangnya setelah sebelumnya ia melakukan pertarungan besar-besaran denganya.

Kurang lebih sama seperti narasi di atas—dan juga narasi baik-buruk agama-agama—Fromm menyatakan dalam diri manusia ada keyakinan yang membuat mereka percaya bahwa sebagian manusia dicipta berperangai seperti jiwa domba, dan sebagiannya lagi mengganggap jiwa dirinya adalah serigala.

Berdasarkan logika domba-serigala ini, Fromm mengatakan kehidupan manusia terpolarisasi sedemikian rupa sehingga mendudukkan manusia serigala bisa menguasai sekawanan domba. Anehnya, manusia berwatak domba tanpa ada perlawanan berarti kalah telak atas kekuasaan serigala, yang memperdayai dan mengajaknya agar berlapang dada mengikuti seluruh perintah si serigala (h.7).

Dengan menganggap segerombolan domba gampang diatur dan mudah dimanipulasi, manusia serigala mendirikan kekuasaannya sama seperti seekor laba-laba membuat sarangnya. Melalui keadaan semacam itu, kata Fromm, seolah-olah pemimpin mereka layak mengambil keputusan, meski itu dengan kekuasaan yang total, ke dalam angkara hasrat serigala: agresif dan mematikan.

Keputusan demikian akan dianggap sebagai kewajiban moral karena kekuasaan serigala lebih besar dari nilai apa pun. Itu yang membuat mereka bisa melakukan apa saja, seolah-olah mereka seperti dianugerahi  kekuasaan istimewa yang bertugas dan bertanggung jawab dapat membebaskan manusia dari keterpurukannya (h.8).

Ini sama bentuknya dengan pendakuan Thomas Hobbes, yang hidup dalam konteks masyarakat yang hancur karena perang dan saling menghancurkan di beberapa abad lalu, bahwa manusia sesungguhnya adalah serigala bagi manusia yang lain.

Logika serigala-domba, meski terdengar sederhana dan hitam putih, menurut Fromm sedikit banyak telah menjerumuskan kehidupan banyak orang ke dalam kehancuran, entah melalui perang, eksploitasi, kekerasan, dan pembunuhan berskala besar. Lebih dalam dari itu, menurut Fromm, ada uraian khusus yang dapat mendekati kenyataan semacam itu, yang membuat kehidupan ini terlihat lebih sebagai tragedi, walaupun ada sebagian di antara kita yang menyenangi keadaan semacam itu alih-alin menolaknya.

Cinta kematian dan Cinta Kehidupan

Mengapa sebagian kehidupan dari peradaban manusia mencapai puncaknya sekalipun dengan jalan perang? Apa yang membuat kekerasan, penyerangan, dan penghancuran atas ras manusia tertentu galib ditemukan? Mengapa orang semacam Hitler maupun Stalin memiliki kapasitas membunuh tak terbatas, yang membuat banyak orang bergidik saat melihat perang pembantaian bercucuran darah? Apakah tindakan semacam itu demi kehidupan itu sendiri? Apakah hanya dengan cara itu kehidupan mempertahankan diri?

Erich Fromm mengutip sindiran Miguel de Unamuno, seorang filsuf cum rektor Universitas Salamanca, saat terjadi Perang Saudara Spanyol tahun 1936, terhadap Jenderal Millán Astray mengenai apa yang disebut nekrofilia. Saat itu Jenderal Millán berkesempatan berpidato di kampus Unamuno, dengan membuka salam menggunakan motto favoritnya: Viva la Muerte, yang berarti hidup kematian. Melihat itu, Unamuno menyatakan kemuakkannya terhadap Jenderal Millán.

”Baru saja kudengar seseorang nekrofil yang tak berperasaan berteriak: ”Hidup kematian!” Dan, aku, yang telah menjalani hidupku membentuk paradoks yang membangkitkan amarah banyak orang, harus kukatakan kepadamu sebagai otoritas yang berpengalaman bahwa paradoks yang aneh ini memuakkan bagiku” (h.13).

Di peristiwa itu terjadi adu mudut antara Unumano dengan Jenderal Millán, yang berakhir menjengkelkan bagi keduanya. Unamano melabeli Jenderal Millán dengan predikat nekrofil, dan di akhir pernyataannya itu membuat panas telinga Jenderal  Millán. ”Abajo la inteligencia!” (persetan dengan inteligensi), maki Jenderal Millán.

Lalu apa itu nekrofil atau nekrofilus yang diejekkan Unamano kepada Jenderal Millán? Menurut Fromm, nekrofilus adalah kecenderungan seseorang yang terpikat kepada kematian, atau sesuatu yang sudah mati: mayat, kebusukan, feses, dan kotoran. Nekrofil merupakan orang yang gandrung berbicara tentang kematian, kesakitan, penguburan, dan menjadi lebih hidup ketika bicara tentang semua itu (h.16).

Nekrofilus adalah unsur paling mendasar yang membedakan manusia secara psikologis dan moral antara satu sama lain, yang  membuatnya rela bertindak bar-bar demi kehancuran dan kematian. Unsur kejiwaan ini, menurut Fromm, berkebalikan dengan biofilus, yakni suatu warna kepribadian yang mengorientasikan kehidupan sebagai tujuannya dan menyenangi apa saja yang sedang tumbuh.

Jika nekrofilus dikatakan Fromm dekat dengan sadisme, maka biofilus sebaliknya, ia mewujud dalam proses jasmaniah seseorang, dalam emosinya, dalam pikirannya, dalam gesturnya. Bentuk paling dasar mengenai orientasi biofilus diungkapkan dalam  manusia yang utuh, dan kecenderungan organisme hidup untuk hidup (h.23).

Nekrofilus dan biofilus bukannya dua unsur yang saling bernegasi, dikarenkan keduanya dapat bercampur sedemikian rupa sehingga tidak dapat diartikan seseorang nekrofil otomatis bukan biofil. Keduanya dapat ditemukan di dalam jiwa yang sama pada orang yang sama. Itu artinya, setiap orang berkencedurangan memiliki dimensi nekrofilus dan biofilus dengan rumusan yang sama sekali bisa berbeda-beda setiap orang.

Lalu, apa hubungannya dengan kekejaman perang, atau tindakan penghancuran yang dilakukan pemimpin-pemimpin totaliter di masa lalu? Berdasarkan analisis Fromm, walau terdengar generalis dan esensialis, itu semua bertolak dari perangai cinta kematian, yang mendorong seseorang menemukan kenikmatan dan kebermaknaan dari kematian dan sadisme.

Orang nekrofilus itu bisa dijumpai dari cara berpenampilan mereka yang dingin, kaku, tertib waktu, dan menunjukkan semacam keangkuhan dari raut mukanya yang seolah-olah sedang mencium bau sesuatu.  Dan, menurut Fromm, figur yang cocok dengan deskripsi itu tiada lain dan tiada bukan adalah Hitler belaka (h.21).

Hitler atau orang semacamnya, sama seperti kenikmatan seksualitas, merasakan perasaan kenikmatan puncak  saat terlibat dalam kematian sesuatu. Menurut Fromm, para nekrofil memiliki kehendak dan kekuatan membunuh yang tinggi, sangat menyukai segala hal yang berkaitan dengan kekuatan, serta menemukan sesuatu yang ia cari dalam sadisme. Kata Fromm, nekrofilus bahkan sangat ingin mengubah apa saja yang berbau organik menjadi anorganik.

Singkatnya, nekrofilus menurut Fromm adalah kecenderungan yang sangat mengerikan, berbahaya, dan sangat bertolak belakang dengan asas-asas kehidupan. Fromm menggenapkan, orang nekrofilus jika menyadari dengan baik kesadaran macam ini, akan menemukan sensasi kesenangan saat ia meneriakkan: ”hidup kematian!”

Nekrofilus di sekitar Anda

Membayangkan seseorang sebagai biofilus, lebih sulit dibandingkan dengan ketika melihat banyak orang di masa kini lebih suka menjadi seekor serigala bagi manusia lainnya. Dalam arti yang lebih general, nekrofilus bisa termanifes di mana-mana. Mungkin ia adalah seseorang sahabat Anda yang suka ”mematikan” jati diri Anda di hadapan teman-teman sepergaulan, seorang koruptor yang merampas ”hak hidup” kehidupan publik, seorang kriminil yang membunuh korbannya, atau seperti sekelompok teroris yang merencanakan aksi bom bunuh diri demi memakan korban sebanyak-banyaknya.

Kelihatannya terdengar kurang cocok, tapi jika sedikit lebih cermat, Anda bakal lebih banyak menemukan gejala-gejala nekrofil lebih baik di sekitar Anda dibandingkan di atas (Apakah itu juga termasuk kesenangan memposting gambar-gambar vulgar korban kematian dari bencana alam, kecelakaan, atau pembunuhan di medsos?).

Dalam kajian psikologi, nekrofilus adalah gejala spesifik yang melanda orang-orang bermental tidak normal. Secara harfiah ia sudah dijelaskan melalui Erich Fromm di atas, yang sedikit banyak sama uraiannya dengan insting thanatos (insting kematian) yang dijelaskan Sigmund Freud.

Saat menulis di bagian ini, saya ingin mengajukan semacam pertanyaan melalui contoh lain menyangkut gejala insting kematian: apakah saat ini ketika dunia dilanda pandemi ganas Covid-19, dan orang-orang yang tidak patuh protokol kesehatan layak disebut satu fenomena masyarakat yang menyukai kematian? Atau orang-orang yang menentang Covid-19 hanyalah ilusi, dan dengan berani tidak ingin divaksin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedang menentang maut? Bukankah itu manifestasi dari, jika bukan nekrofil, adalalah insting kematian?

Peradaban masa kini

Setelah membaca buku tipis ini saya menemukan beberapa hal yang patut disanggah dari uraian Erich From, yang terjebak secara esensialis dalam menilik hakikat utama manusia. Pandangannya yang esensialis atas sifat dasar manusia ini, juga tidak masuk akal ketika membuatnya sebagai alasan paling mendalam dari cara ia menguraikan akar-akar kekerasan dan peperangan. Dari sisi ini, Fromm seolah-olah melupakan akar disiplinnya sebagai seorang psikolog yang mengutamakan temuan-temuan klinis berkaitan ciri kejiwaan manusia yang misterius itu, dan lebih memilih menjadi seorang filsuf.

Meski demikian, uraian Fromm ini, terutama saat ia mengkorelasikan sisi terdalam manusia dengan tindakan-tindakan ”sadisme” pemimpin seperti Hitler, patut diperhatikan. Gejala-gejala peradaban hari ini setidak-tidaknya memberikan satu dua anasir, bahwa ada sebagian dari kita  malah dengan sadar meninggalkan unsur biofilusnya dan lebih mengutamakan nekrofilusnya, dengan mendorong suatu komunitas menuju kematiannya.

Analisis Fromm memang terbatas dalam konteks masyarakat industrial awal, dan hanya melihat Hitler sebagai nekrofilus, yang ke depannya orang semacam Hitler ia sebut bakal melahirkan peperangan nuklir antar bangsa-bangsa. Agak mengkhawatirkan analisis Fromm ini, tapi bukan berarti itu akan segera terjadi oleh karena kita kehilangan kepekaan biofilus di sekitar kita.

Masyarakat pasti memiliki mekanismenya sendiri agar sesegera mungkin menjerat seekor serigala tidak dapat menjadi seorang pemimpin sekawanan domba. Jika itu terjadi, maka tanpa direncanakan sekali pun, kehidupan ini akan bergerak ke dalam jurang kematiannya sesuai rancangan-rancangan sang serigala tadi.

Tapi, itu tidak akan terlalu menjadi masalah dibandingkan ketika saat ini, kita lebih sulit membedakan antara yang mana domba dan serigala sesungguhnya. Kebingungan itu semakin akrab karena kita sering mendengarkan petitihnya, dan menuduh pemimpin kita karena siasatnya: dasar serigala berbulu domba! Jika sudah seperti itu, mau dibawa kemana hubungan kita coba?!

Info buku:

Judul: Perang Dalam Diri Manusia, Studi Psikologis Mengenai Akar Kehancuran.

Penuli: Erich Fromm

Penerjemah: Aquarina Kharisma Sari

Cetakan: Juni 2020

Penerbit: IRCISod

Jumlah halaman: 104 halaman

Melawan Tak (Selalu) Salah

 

“Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)

Beberapa hari lalu, publik  kembali resah. Ihwal pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditengah kegelisahan menghadapi Pandemi. Mencongol reaksi banyak pihak jadi tidak terhindarkan.

Mulai dari analisis jitu para pakar hingga aksi massa melengkapi respon  tadi. Tidak ketinggalan, warga daring (dalam jejaring) juga mengambil peran. Untuk soal bentuk, tentu saja banyak ragamnya. Seminar daring hingga menggalang orang-orang ke salah satu titik tertentu (demonstrasi) salah satu dan salah duanya. Satu tujuan, menggagalkan RUU HIP disahkan.

Konon, rancangan undang-undang tersebut jika disahkan bisa berdampak buruk pada dasar negara kita. Pancasila. Tidak tanggung-tanggung, ideologi dedemit palu-arit ikut dikaitkan. Bahkan, wacana pemakzulan Presiden kembali mendapat ruang. Seolah hantu masa lalu dan sosok Presiden (Jokowi) jadi penghalang terwujudnya Indonesia  Gemah Ripah Loh Jenawi. Terkait dua hal tadi bisa jadi penanda kelompok mana yang memainkannya, bukan?

Ferguso dan kawan-kawannya.

Perlu diakui, kesungguhan kelompok ini dalam memainkan isu hantu palu-arit dan pemakzulan cukup efektif untuk memancing rasa ingin tahu khalayak akan masa lalu. Pertanyaan, siapa sosok hantu tersebut? Bagaimana hantu tersebut bisa ada dahulu? Dan apa hubungannya dengan sejarah Indonesia?

Saya kemudian tertarik membuka kembali salah satu buku keluaran I:Boekoe, tahun 2009. Berjudul Pemberontak Tak (Selalu) Salah: Seratus Pemberontakan di Nusantara, buah tangan Petrik Matanasi (PM). Setidaknya, kitab ini bisa kita jadikan kunci membuka pintu mesin waktu sejarah Republik.

Buku setebal 539 halaman dengan ukuran 24 cm ini bercerita tentang banyak kejadian sejarah yang luput dari radar teks kementrian pengampu pendidikan di Indonesia. Salah satu sebab, menurut PM adalah pelabelan pahlawan itu sendiri. Yang jika kita telurusuri lebih jauh, gelar mentereng ini hanya milik kaum bangsawan dan kelas menengah. Termasuk juga bentuk campur tangan pucuk dalam membikin persepsi khalayak tentang perjalanan bangsa ini.

Maka dari itu, pria kelahiran Balikpapan 1983 ini menawarkan sejarah lewat bentuk narasi populer. Tujuannya, sebagai kepingan sejarah kita. Untuk mewujudkan hal itu, buku yang terbit sebelas tahun silam ini tidak dibuka dengan pengantar ahli atau pesohor bidang kesejarahan. Bayangkan saja, penulis membuka seratur cerita pemberontakan ini dengan pengantar yang bukan main panjangnya. Alhasil, dari halaman lima hingga halaman delapan puluh, pembaca “dituntun” oleh penulis sendiri dalam memaknai setiap cerita sejarah yang menjadi inti dari buku ini. Di sinilah salah satu keberhasilan penulis yang memang jarang diikuti oleh banyak sejarawan lain.

Selain itu saya anggap berhasil, upaya mandiri penulis mengantar pembaca juga bisa dimaknai optimisme. Bahwa, saat pertama pembaca memutuskan untuk memiliki buku bersampul hitam potongan gambar “orang yang sedang digantung ini”, adalah mereka yang tidak terjebak dengan kepopuleran pakar sejarah. Hal ini dipertegas dengan cap “Edisi Terbatas” dari penerbit. Singkatnya, buku ini sangat beda dan menarik.

Kita lanjut pada isi dari buku ini. Setelah suguhan panjang kali lebar  penulis tadi, pembaca kemudian disuguhkan seratus daftar menu esai sejarah (hal 83-89). Secara garis besar, banyak cerita di sini berdiri sendiri. Meskipun ada juga yang masih berhubungan. Misalnya rangkaian pemberontakan pada cerita “Suksesi Demak” (hal 98), “Intrik Mataram” (hal 102), “Politik Mataram”(hal 106). Ada juga disinggung perjalanan panjang Partai berlogo palu-arit yang kemunahannya ditandai dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966.

Dari segi rentang masa, daftar menu esai sejarah penulis berada antara tarikh 1222 (Konflik Singasari, hal 90) hingga 2007 (Neo RMS, hal 506). Untuk sebaran wilayah konteks sejarah, PM membahas cerita secara merata. Baik dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, NTT, dan Papua. Meskipun hampir semua esai sejarah dalam buku ini berkisah perlawanan akan ketidakadilan, akesntuasi tetap pada rakyat kebanyakan. Seolah penulis ingin berkata, gelar pahlawan itu sebenarnya bukan monopoli kelas menengah dan kaum bangsawan saja.

Jika rentang waktu menyentuh angka 7 abad, dan sebaran wilayah mencakup seluruh pulau besar NKRI, bagaimana dengan tendensi penulis? Jangan khawatir. Alasan penulis membuka dengan kisah perlawanan Ken Arok pada Tunggul Ametung (Konflik Singasari), semata karena titik berangkat waktu saja (Tahun 1222). Begitupun esai sejarah keseratus yang berkisah seputar pengibaran Bendera RMS di depan SBY juga karena titik akhir kisah berdasarkan tahun. Sekaligus memberi bukti bahwa penulis coba meletakkan sejarah sebagai subyek.

Terkait hantu palu-arit yang sering disebut-sebut oleh golongan Ferguso, PM juga cerita banyak. Terutama pada kejadian antara rentang tahun 1926-1927 (hal. 252-271 dan hal. 276-279).  Juga kejadian tahun 1948 (Madiun Affair Melawan Pemerintah, hal 364), dan kejadian tahun 1965 (Kudeta Sial Letkol Untung, hal. 468 dan Pemberontakan dari Ruba, hal. 486).

Dari segi sudut pandang, delapan esai sejarah partai berlogo palu-arit ini cenderung tidak jauh berbeda. Adalah kekecewaan pada kondisi yang berlaku pada saat itu. Terutama sepak terjang kolonialisme kepada kaum terprentah (Istilah Tirto Adhi Soerjo), Adapun aktor penggerak dari masing-masing tahun juga berbeda. Dalam rentang tahun 1926-1927 dan 1948, generasi Musso dan kawan-kawannya adalah motor. Sedangkan era 1965 adalah dari kelompok tentara.

Yang tidak kalah menariknya, meskipun diksi “berontak” mengalami makna peyoratif saat ini, ternyata hampir semua kalangan pernah melakukan. Termasuk juga dunia ketentaraan. Pemberontakan prajurit PETA terhadap “ibu kandung”(tentara Jepang) dalam judul “Gara-gara Iba Tentara Jepang”(hal. 332) adalah salah satunya. Salah duanya, pemberontakan dalam tubuh KNIL. Cerita tentang Thomas Mattulessy bisa kita ambil contoh.

Dari dua kondisi tersebut di atas, sebenarnya kita bisa ambil pelajaran. Meskipun pengelola negara berupaya sekuat tenaga untuk melemahkan makna dari berontak turut serta pelakunya mengalami diskriminasi kesan, fakta sejarah atau kebenaran tetap menemukan ruang untuk menyeruak.

Ditambah lagi upaya kelompok Ferguso yang mencoba menghidupkan hantu PKI tapi tuna-tahu sejarah perjalanan bangsa dan riwayat (semua) pemberontakan, bagi saya bukan saja aneh melainkan juga ceroboh. Sedikit saran dari saya, sebaiknya lebih dulu mendaras sebelum berteriak keras.

Akhir kata, sebagai orang yang pernah mencecap ilmu sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta (2002-2009), gaya penulisan Patrick Matanasi bagi saya tergolong segar. Bahkan, tidak berlebihan kiranya 100 esai sejarah ini adalah bukti dia pantas disandingkan dengan sejarahwan tersohor seperti Anhar Gonggong, Kuntowijoyo, bahkan Ong Gol Ham.

 

Judul Buku. : Pemberontak Tak (Selalu) Salah – Seratus Pemberontakan di Nusantara

Penulis.         : Petrik Matanasi

Penerbit.       : I:Boekoe, 2009

Halaman       : 539; 24 cm

ISBN.             : 978-979-1436-14-7

 

 

 

 

Corona, Imajinasi Destruktif, dan Sikap Seorang Muslim

 

Sejak ditetapkannya sebagai status pandemi oleh WHO pada 11 Maret lalu, Covid-19 atau Coronaviruses telah berhasil mengubah ragam tatanan praksis hidup umat manusia di abad 21 ini. Di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, budaya dan praktik keagamaan mulai merasakan imbasnya. Semua praksis yang semula sesak dengan kerumunan aktivitas manusia untuk melaksanakan suatu kewajiban, tetiba terpaksa senyap selama beberapa waktu ke depan.

Situasi amat mencekam, masyarakat mulai diterungku ketakutan, hiruk-pikuk tetiba sepi, kehadirannya pun disesaki dengan pelbagai rupa tafsir. Dari pengalaman atas pengamatan pada situasi, muncullah seabrek imajinasi destruktif sekaligus konstruktif untuk menafsiri keadaan. Destruktif, ketika dengung interpretasi yang begitu nyinyir melihat bahwa Corona merupakan azab langsung dari Allah.

Sinisme ini bukan tanpa alasan. Ia bermula dari pemahaman temporer perihal kehidupan sosio-kultural hulu  virus.  Cina, selama ini, khususnya dalam kebanyakan perspektif pemuka agama dipandang sebagai suatu negara yang amat sering menelurkan isu-isu kontroversial. Ejawantah isu kontroversial itu merujuk pada pemahaman ihwal makanan, gaya hidup, bahkan mesin-mesin kapitalis yang berafiliasi dengan politik dan pemerintahan Cina pun tak luput jadi sorotan publik.

Penafsiran destruktif tersebut perlahan senyap tatkala virus secara gradual mulai menyebar ke seantero dunia. Termasuk negara-negara dengan mayoritas berpenduduk muslim, semisal Indonesia, dan negara-negara bagian Timur Tengah lainnya.

Dalam situasi wacana yang kalang kabut perihal eksistensi Corona, seorang pakar tafsir yang amat masyhur, M. Quraish Shihab, turut menjejakkan wacana keabadiannya dalam Corona Ujian Tuhan:  Sikap Muslim Menghadapinya. Sekilas judul berusaha meluruskan interpretasi nyinyir yang sejauh ini berdengung di kalangan fanatisme penganut beragama. Ia lebih memilih diksi Ujian dari pada Azab. Menandakan sebuah realitas yang sejuk di tengah pagebluk.

Quraish Yang Meluruskan

Ada beberapa term yang berusaha diluruskan Quraish perihal keberadaan Corona di awal buku. Azab, ujian, musibah, dan siksa Ilahi merupakan term yang banyak menghias imajinasi publik mutakhir. Pendefinisian ihwal term yang kadang tidak sesuai dengan konteksnya bisa jadi membuat pemahaman publik menjadi kabur. Ikhtiar pengarangan buku tidak lain sebagai sebuah upaya meluruskan pemahaman publik terkait term-term mengerikan selama pagebluk berlangsung.

Quraish mengklasifikasi term tersebut berdasar pada taraf hidup seorang hamba melalui pendekatan yang lebih kontekstual. Sebagai seorang pakar tafsir, menyediakan ruang bagi interpretasi ayat Al-Quran dan penggalan hadis yang relevan dengan konteks merupakan kesungguhannya dalam menekuni suatu bidang. Tak lupa, ia juga menghadirkan wawasan Ali Karramallahu Wajhah dalam menjelaskan term terkait

Ali suatu kali pernah berucap. “Kalau ada musibah, jika ia menimpa yang durhaka, maka itu adalah adab/pendidikan. Bila menimpa yang taat maka itu adalah ujian. Jika nabi dan rasul, maka itulah peningkatan derajat dan kedekatan kepada Allah. Sedang bila menimpa para wali, maka itu adalah penghormatan untuknya “. (Hal 15-16).

Serupa dengan pernyataan Ali, turunnya bencana Corona yang menjadi penyebab salah satu krisis terbesar umat manusia saat ini merupakan penanda momentum untuk mengevaluasi diri. Quraish mengajak umat manusia senantiasa merenungi segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Di balik sesuatu yang Ia kehendaki, mesti ada mutiara pembelajaran yang patut dipungut sebagai bahan permenungan.

Semisal, menjadi lebih tahu dan paham tuntunan agama dan perlunya beragama, rasa kekerabatan antar keluarga akan terjalin sedemikian intim, membantu untuk meluruskan kesalahpahaman dengan meningkatkan hubungan baik dan kemesraan, menjadi sadar betapa manusia adalah makhluk lemah, merupakan satu-kesatuan, menyadarkan bahwa aneka kenikmatan material bukan segalanya, dan hidup sangat berharga sehingga harus diisi dengan hal yang bermanfaat lagi langgeng (Hal-51-54).

Meski bagi Quraish, Corona merupakan sesuatu yang buruk. Namun, menurutnya, bukankah Allah menurunkan keburukan agar hamba-Nya dapat mengetahui kebaikan.  Muskil kiranya seorang hamba dapat melakukan kebaikan tanpa  menghindari laku keburukan terlebih dahulu. Dengan begitu, ia bisa membedakan mana yang hak dan batil. Juga agar manusia lebih waspada dalam mengarungi hidup pasca pandemik berakhir.

Allah senantiasa menurunkan ujian bagi hamba-Nya. Menurunkannya pun penuh kesesuaian dengan kapasitas  kemampuan seorang hamba. Karena penuh kesesuaian, segala anugerah Allah yang berupa kemampuan itu harus betul-betul dimanfaatkan sebaik mungkin. Quraish optimis, jika Corona disikapi secara arif dan legawa menggunakan kemampuan yang dimiliki, akan ada sesuatu yang pasti berdampak baik segera menanti.

Atas dasar inilah inti pati hikmah pemahaman Quraish terhadap keberadaan Corona tidak sedikit pun menyinggungnya sebagai sebuah azab. Melainkan ia sebagai ujian yang kudu disikapi dengan mata air kesabaran dan ikhtiar memakbulkan diri darinya.  Di titik inilah samudera doa menjadi medium ampuh dalam upaya memohon agar pagebluk segera berlalu.

Mayoritas Ulama memiliki analogi tersendiri untuk memadankan istilah doa dan bencana. Komparasi keduanya amatlah kontras, namun ia akan menjadi padu tatkala bertemu di suatu kondisi tertentu. Bencana dianalogikan sebagai sesuatu yang mewujud dari atas.

Sedang doa merupakan sesuatu yang membumbung dari bawah. Apabila keduanya bertemu akan mengakibatkan terhalangi atau bergesernya bencana sehingga tidak menimpa yang berdoa/didoakan. Atau bisa juga bencana akan tetap jatuh tetapi jatuhnya ditumpukan jerami.

Quraish juga meyakinkan bahwa kalaupun apa yang dimohonkan tidak sepenuhnya tercapai, namun dengan doa tersebut seseorang telah hidup dalam suasana optimisme, harapan dan hal ini tidak diragukan memberi dampak yang sangat baik dalam kehidupannya (Hal-25).

Hadirnya buku merupakan wacana sejuk Quraish di tengah pagebluk. Di setiap lembarannya kita akan bersua dengan bahasa penuh kedamaian, santun, mudah dipahami dan seakan mendayu representasi kegelisahan sang penulis. Buku yang terlahir lewat pengamatan yang bersungguh pada realitas, menjadikan cocok dibaca bagi kalangan muslim secara keseluruhan dalam menghadapi pandemi Corona ini. Wallahu A’lam.

Keterangan buku:

Judul : Corona Ujian Tuhan; Sikap Muslim Menghadapinya

Penulis : M. Quraish Shihab

Penerbit : Lentera Book

Cetakan I : April 2020

Tebal : 136 halaman

ISBN : 978-623-7713-26-5

 


Sumber gambar: https://koran.tempo.co/read/buku/453041/corona-puasa-dan-sikap-kita?