Mapia, bukan Mafia

Adakah bahagia yang melebihi kebahagiaan tatkala sejumput janji telah ditunaikan? Mungkin saja ada, bahkan banyak. Namun, janji yang saya tunaikan kali ini, cukup menghasilkan bahagia yang meluap-luap, seperti meluapnya air yang tak tertampung di selokan depan rumah, karena derasnya hujan belakangan ini. “Janji adalah utang,” demikian kata bijak yang sering diuarkan. Dan, ketika saya membayarkan janji, untuk datang memenuhi permintaan tandang, maka dengan serta merta, utang saya pun lunas. Waima di pucuk persuaan, lahir lagi janji baru, yang berarti utang baru pula.

Utang yang saya lunasi itu, terjadi pada hari Ahad, 5 Maret 2017. Sebelumnya, saya sudah pernah berjanji untuk datang, saat mengunjungi Serambi Baca Tau Macca Loka, beberapa waktu yang lalu, tapi karena berhalangan, hingga baru separuh jalan, balik lagi ke mukim. Sekira pukul 11.00 siang, saya bersama tiga orang kawan, Dion, Mahbub, dan Aswin, tiba di Serambi Baca Tau Macca Mapia Lanying.

Komunitas literasi, tepatnya, serambi baca yang ada di Lanying ini, bolehlah dinyatakan sebagai kembarannya yang ada di Loka. Sebab, kedua komunitas ini dideklarasikan pendiriannya secara bersamaan. Bedanya, satu di Loka, lainnya di Lanying. Walau, sama-sama di Kecamatan Ulu Ere, Bantaeng. Pembeda lainnya, yang di Lanying, mereka menambahkan kata Mapia.

Sewaktu saya tanyakan, sembari menunjukkan rona wajah agak keheranan, apa itu Mapia? Oleh Jamal, salah seorang pendirinya, langsung disahuti dengan ucapan, “mapia, bukan mafia.” Semula, dalam benak saya pun sempat terlintas, kata “mafia” ini, sebab siapa tahu hanya teknik pengucapan saja yang kurang pas. Tapi, rupanya benar-benar “mapia” dan bukan “mafia.” Lalu didedahkannyalah maksud kata mapia ini. Bertolak dari ujar Jamal inilah, saya patenkan untuk jadi judul tulisan.

Bahwasanya, “mapia” adalah akronim dari Manusia Pecinta Alam (MAPIA).  Alamak, benar-benarlah saya tertegun. Sebab, seandainya pun yang Jamal maksudkan adalah kata “mafia”  tak jadi perkara,  karena saya pun bakal mengaminkannya. Soalnya, sering batin saya menabalkan pada diri sendiri, sesekali selaku pegiat literasi, bolehlah bermetamorfosis menjadi mafia literasi, biar lebih keren.

Sebagai komunitas pecinta alam, Mapia telah menunjukkan kreatifitasnya yang amat memadai. Dari deretan buku-buku yang terpajang di rak, terdapat pula hasil-hasil kerajinan tangan, yang terbuat dari limbah, sisa-sisa potongan kayu, kardus-kardus bekas, yang dijadikan hiasan dinding. Rupanya, mereka sudah sering mengikuti perhelatan pameran kerajinan. Saya takjub melihat sekotah hasil kreatifitas itu. Pada kedalaman hati, saya membatin, betapa dahsyatnya potensi kaum muda, yang terserak di pelosok desa. Di kecamuk pikiran, saya merenung, alangkah hebatnya capaian mereka, jikalau produk-produknya, mendapatkan sentuhan tradisi literasi.

Pelengketan akronim Mapia, pada Serambi Baca Tau Macca Mapia Lanying, adalah sebentuk penegasan dari titik berangkat gerakan literasi yang lebih maju. Seperti yang dinyatakan oleh Gola Gong, dalam buku Gempa Literasi, bahwa komunitas literasi, ditilik dari sudut geliatnya, dapat diklasifikasikan pada tiga kelas. Pertama, komunitas literasi, sejenis perpustakaan semata. Kegiatannya, hanya sebatas meminjamkan dan mengembalikan buku. Model semisal ini, banyak dilakukan oleh perpustakaan-perpustakaan pemerintah, termasuk perpustakaan desa.

Kedua, model komunitas literasi, yang di dalamnya ada perpustakaan, menyelenggarakan proses peminjaman dan pengemabalian buku, namun ada kegiatan lainnya. Misalnya, menjadi wadah bersawala, pelatihan keterampilan, penerbitan media, dan kegiatan proses belajar mengajar lainnya. Dan, ketiga, komunitas literasi yang menyambungkan aktifitasnya dengan ikon-ikon budaya pop. Jadi, sekotah wadah yang memungkinkan berkembangnya kreatifitas, yang mendukung gerakan literasi, disetubuhkan agar terjadi kelanggengan komunitas. Nah, sejauh rabaan saya, meski komunitas literasi masih seumur jagung, tapi kelihatannya, sudah langsung berada pada poin kedua, yang bila saja diberi sentuhan oleh para mafia literasi, ehem, maksud saya, pegiat literasi, bakal moncer ke poin ketiga.

Rombongan kami yang sedari awal kedatangan dan langsung bersawala dengan pengelola, melahirkan banyak perspektif, buat pengembangan komunitas literasi ini. Saya sendiri amat optimis pada komunitas ini, karena selain didukung oleh sumberdaya dari anak-anak pecinta alam, juga di tempat ini sekaligus sebagai rumah buat santri-santri pengajian dasar Alquran. Dukungan dua pilar ini, para pecinta alam dan para santri, sudah menjadi jaminan akan keberlangsungannya. Sehingga, akan terjadi sinergi yang utuh dalam tubuh segitiga yang saling menguatkan.

Toa mesjid dekat markas Serambi Baca Tau Macca Mapia Lanying bunyi, suara azan untuk ibadah zuhur memanggil. Sawala kami akhiri. Usai dirikan salat, sawala berlanjut beberapa saat. Namun sebelum semuanya berakhir, ada beberapa hal yang saya rekomendasikan. Diantaranya, mempersering dalam menguritakan kegiatan-kegiatan komunitas, agar berefek pada adanya hasrat bagi publik yang ingin berwakaf buku. Perlu pula diadakan sejenis pelatihan manajemen komunitas baca yang sederhana pengelolaannya.

Dan, di akhir segalanya, setelah saya tenggak habis secangkir kopi susu, yang sedari awal sawala tersaji, saya tawarkan pelatihan literasi, bersama dengan komunitas literasi kembarannya, yang ada di Loka. Tawaran ini, serupa lagi dengan janji, yang mesti saya tunaikan kelak. Selanjutnya, sungguh-sungguh di ujung persamuhan, rombongan kami menyerahkan beberapa eksamplar buku, yang diwakafkan oleh Teras Baca Lembang-Lembang, asuhan Dion Syaef Sain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *