Mengenal, Awal Cinta (Bag-4)

Lihat juga:

Mengenal, Awal Cinta (Bag-1)

Mengenal, Awal Cinta (Bag-2)

Mengenal, Awal Cinta (Bag-3)

***

Di tulisan saya sebelumnya, telah kita ketahui bahwa subyek filsafat adalah wujud (ada) mutlak atau wujud sebagaimana wujud itu sendiri. Konsep—pahaman—wujud adalah sesuatu yang paling badihi yang diabstraksikan benak manusia dari seluruh keberadaan. Ke-badihi-annya adalah bukti ia tidak membutuhkan definisi.[i] Konsep wujud adalah sesuatu yang dipahami setiap manusia secara huduri.[ii]

Dalam diskursus filsafat “Islam”, terdapat prinsip utama yang sejak awal mesti kita tegaskan. Yaitu antara pahaman (konsep) wujud dan realitas wujud. Struktur filsafat tidak akan dapat dipahami dengan benar, jika seseorang tidak menangkap secara jelas signifikansi pembedaan antara keduanya. Sebab apa yang disebut sebagai pahaman wujud, jelas bukanlah wujud itu sendiri. Wujud bukan pula realitas yang terlahir dari sebuah pahaman. Sebaliknya, suatu pahaman lahir dari adanya wujud itu sendiri.[iii]

Lalu apa yang dimaksud wujud itu badihi? Yakni wujud yang ditinjau secara konsep tidak dalam makna realitasnya. Konsep wujud, memang disadari oleh setiap manusia. Akan tetapi, ketika konsep ini dirujuk pada sesuatu yang bersifat eksternal (misdaq), ia menjadi sangat sulit terjelaskan. Dalam hal ini, Toshihiko Izutsu, memberikan perumpamaan, hal ini sama sulitnya dengan menjelaskan apakah Tuhan itu? Orang yang percaya dengan Tuhan mungkin dengan segera sadar terhadap-Nya. Ia merasakan kehadiran-Nya bersama seluruh wujud-Nya. Namun, ia akan kesulitan jika diminta menjelaskan apa Tuhan itu sebenarnya”.

Salah satu pertanyaan dalam pembahasan wujud (ada) adalah apakah wujud dapat diterapkan pada satu makna (univokal) atau beragam makna (ekuivokal)? Persoalan ini muncul disebabkan sebagian kaum teolog menyatakan bahwa berbeda antara makna wujud yang dipredikasikan pada Tuhan dengan makna wujud pada makhluk-Nya. Dalam pandangan teolog, wujud itu memiliki makna yang beragam (ekuivokal). Sebanyak apa objek yang kita predikasi pada wujud, sebanyak itu pula maknanya. Misalnya kita menyatakan bahwa Tuhan ada, makhluk ada, binatang ada dan seterusnya.

Untuk mendukung beragamnya makna pada wujud, para teolog biasanya membangun argumetasi bahwa jika kita menyamakan antara wujud Tuhan dengan wujud makhluk, antara yang tak terbatas (Tuhan) dengan yang terbatas (makhluk), maka yang terjadi adalah kontradiksi. Mengapa kontradiksi? Sebab Tuhan menciptakan makhluk. Suatu hal yang tidak mungkin disamakan antara yang menciptakan dan diciptakan hatta dalam tataran wujud. Intinya, wujud Tuhan dan wujud manusia, dua hal yang berbeda dan mustahil tersatukan dalam satu realitas.

Berbeda dengan para teolog, sebaliknya para filosof menyatakan, bahwa wujud Tuhan ataupun wujud makhluk memiliki satu makna (univokal/musytarak maknawi). Dalam arti, makna wujud atau ada dapat dipredikasikan pada apapun, yang terhimpun dalam satu kata wujud. Misalnya dikatakan bahwa, Tuhan ada, manusia ada, binatang ada, benda ada dsb. Apapun yang kita sebut sebagai sesuatu—tanpa menunjuk realitas eksternal—pasti dikatakan dia ada.[iv]

Prof. Mohsen Gharawiyan, menyatakan bahwa jika makna wujud yang kita nisbahkan pada Tuhan berbeda dengan makna wujud yang kita nisbahkan pada makhluk, maka muncul masalah lain. Saat kita katakan bahwa Tuhan ada, maka maknanya berbeda dengan saat kita katakan makhluk ada. Padahal predikat wujud (ada) di kedua subjek tadi lawannya adalah tiada—nonwujud. Dengan demikian, jika kita menerima pandangan para teolog, itu meniscayakan bahwa proposisi Tuhan ada sama dengan makna Tuhan tiada, sebab di antara ada dan tiada tak ada pilihan ketiga. Hal ini dipertegas oleh Prof. Gharawiyan, salah satu dalil kesatuan makna wujud adalah bahwa satu-satunya lawan ada adalah tiada, dan tiada hanya memiliki satu misdaq, yaitu lawan ada. Sesuai dengan konsep nonkontradiksi, maka ada dan tiada mustahil sama-sama terafirmasi sebagaimana juga mustahil sama-sama ternegasi.[v]

Untuk membuktikan kebenaran argumentasi di atas, para filosof mengutarakan beberapa dalil. Namun, di sini penulis hanya akan memberikan beberapa dalil saja. Misalnya kita membagi wujud atas wujud wajib dan wujud mumkin. Dari pembagian ini, kita menemukan tiga makna darinya. Pertama, baik wajib atau mumkin, keduanya tersatukan dalam kata wujud. Kedua, kita dapat membagi kata wujud sebagaimana makna yang kita pahami darinya. Misalnya, wujud terbagi dalam: wujud wajib dan wujud mumkin. Wujud mumkin terbagi dalam wujud substansi dan wujud aksiden dan seterusnya. Ketiga, ketika wujud menjadi objek pembagian, kita telah menambahkan sesuatu yang lain sehingga ia menjadi satu bagian. Misalnya, kata terbagi atas kata benda, kata kerja, dan sifat. Masing-masing setiap kata, baik ia kata benda, kata kerja, dan sifat tersusun dari dua bagian. Satu bagian—yakni sebagai kata—dan satu bagian khas yang menjadi pembedaan di antaranya, yakni kata benda dan kerja kerja. Dan bagian khas ini tidak lain adalah hubungan yang ditambahkan kepada makna kata.[vi]

Dalil yang lain, misalnya kita menerima adanya jiwa. Tetapi, kita ragu apakah ia adalah sesuatu yang materi atau non-materi, substansi atau aksiden. Namun, kita tetap yakin bahwa jiwa itu ada. Atau predikasi pada subjek, seperti Tuhan ada dan makhluk ada. Semua proposisi ini, tetap memiliki makna yang satu, yaitu wujud atau ada.

Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa wujud itu bermakna banyak, sebenarnya tidak mampu membedakan antara wujud dalam pengertian konsep dengan wujud dalam pengertian realitas. Itulah sebabnya mengapa Sabzawari menyatakan bahwa konsepnya—wujud—adalah sesuatu hal yang sangat jelas. Tetapi realitasnya berada dalam puncak kegelapan.[vii]

Tentu hal ini bukan sekadar permainan logika semata. Lebih dari itu, persoalan ini adalah tuntutan fitrawi tiap manusia yang senantiasa ingin menyingkap batin realitas. Walaupun kita terima bahwa, terdapat sesuatu yang tak tersentuh oleh akal dan pikiran manusia itu sendiri. Namun, akal adalah jalan terbaik untuk menemukan hal itu.

Bersambung……

[i] Jika kita mendefinisikannya, maka terjadi daur. Mislanya mendefinisikan wujud dengan ‘sesuatu yang nyata secara obyektif’. Kemudian ditanyakan lagi apa itu obyektif? Obyektif adalah sesuatu yang mewujud. Jawaban ini kembali lagi pada yang ditanyakan sebelumnya,yaitu wujud. Sehingga hal demikian menjadi daur, berputar.

[ii]Ilmuini biasa disebut ilmu intuitif, yang dimiliki setiap manusia.

[iii]Mungkin pemikiran Berkeley adalah contoh yang menarik dalam konteks ini.

[iv]Maksud menunjuk pada realitas ialah hakikat wujudnya

[v]Lihat, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam

[vi]Lihat,https://makkawaru.wordpress.com/2014/11/25/daras-filsafat-3/

[vii]Lihat Toshihiko Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *