Mengenal, Awal Cinta (Bag-1)

Ada banyak persoalan rumit dalam hidup ini. Satu di antaranya adalah ketika kita dituntut berpikir sebelum berbuat, di saat yang sama, keinginan memaksa segera melakukan tindakan. Kerumitan-kerumitan ini, kadang membuat sebagian orang tak berdaya olehnya. Saya misalnya, untuk mengikat ide dalam tulisan ini saja, bukan main rumitnya. Saya mesti bolak-balik buku, mengganti bacaan satu dengan lainnya. Tidak sampai di situ, saya pun harus berusaha memahami dengan baik, menyimpulkan sendiri, mengurai sendiri, dan seterusnya. Betul-betul butuh sebuah kesabaran, energi dan perenungan yang kuat.

Tabiat manusia itu sederhana. Ia tidak senang dengan kerumitan. Ia lebih senang dengan kemudahan-kemudahan. Ketika ia merasakan sesuatu dan menginginkannya, saat itu pula ia berharap segera aktual. Namun, faktanya tidaklah demikian, mestilah didahului dengan berdarah-darah, mondar-mandir, banting otak kanan kiri, barulah harapan dapat segera dilakukan, itupun baru akan melakukan yang belum tentu berhasil.

Sama halnya ketika kita menelaah pemikiran-pemikiran filosofis, pun didahului kondisi berdarah-darah, banting otak kanan kiri, jarang di rumah karena lebih banyak di luar, lebih banyak nongkrong di ruang-ruang intelektual, demi untuk mendapatkan sesuap imajinasi dan alam ide.

Sebenarnya menelaah pemikiran filosofis itu gampang-gampang susah. Kita hanya butuh sedikit perhatian dan konsentrasi, dengan begitu semua akan terasa lebih mudah. Dalam kehidupan manusia sehari-hari, dapat dikatakan bahwa setiap manusia adalah seorang filosof. Hal ini terlihat dari apa yang ia lakukan, ya setidaknya orang tersebut memiliki sedikit pertanyaan, terhadap sesuatu yang dihadapi, serta mampu memilih dan menentukan benar-salah, baik-buruknya sesuatu. Dan pada saat ia melakukan hal demikian, maka dia telah menerapkan prinsip berpikir dan bertindak secara filosofis.

Namun, ada juga sih susahnya, salah satunya adalah, ketika membahas hukum-hukum metafisika, pada saat yang sama, seseorang masih dipengaruhi pola-pola pikir yang berdimensi fisik. Dunia fisik, yang di dalamnya terdapat ruang dan waktu, tak jarang menjadi logika ataupun faktor pembentuk ide kita. Pola kesadaran manusia sangat kuat hubungannya di mana ia berada. Misalnya orang Makassar, kesadarannya di pengaruhi oleh ke-Makassar-annya atau orang jawa kesadarannya sangat kuat dengan ke-Jawa-annya. Tentu hal ini bersifat relatif, tapi ini juga bersifat umum, umum khusus.

Lantas apakah pemikiran filosofi tidak memperhatikan alam fisik? Tentu maksudnya tidaklah demikian. Sebaliknya, pemikiran filosofis membahas dunia fisik dari sisi keber-ada-annya secara universal. Mislanya, bagaimana hukum-hukum wujudnya, apakah ia terdapat gerak di dalamnya, apakah memiliki sebab penggerak, apakah penggeraknya terkadung di dalam wujudnya, apakah penggeraknya juga bergerak dan seterusnya. Inilah wilayah kajian filosofis, hanya terkait hukum yang bersifat universal. Adapun hukum-hukum spesifik atau bagian, menjadi kajian ilmu-ilmu empirik dan eskprimen. Misalnya, ilmu kimia mengkaji unsur-unsur yang terkadung dalam materi, ilmu fisika mengkaji faktor-faktor perubahan materi secara eksternalnya, dan seterusnya.

Lantas apa hubungan antara filsafat dengan ilmu empirik-eksprimen? Jika manusia memperhatikan fenomena-fenomena di luar dirinya – termasuk fenomena dalam diri – maka manusia akan memahami bahwa, terdapat hukum keteraturan yang mengikat alam ini, hal itu terlihat dari adanya perubahan dan gerak yang terkandung di dalamnya. Misalnya, hukum sebab-akibat, seorang ilmuwan tidaklah mungkin dapat menetapkan sesuatu asumsi atau sebuah teori, tanpa memiliki kepercayaan pengetahuan awal ini, di mana prinsip tersebut adalah pegangan dalam mengkaji dan meneliti objek tertentu. Tugas seorang ilmuwan, dalam hal ini adalah mencari tahu sebab-sebab terjadinya sesuatu, baik melalui penelitian di laboratoium atau penelitian di lapangan.

Hukum-hukum yang bersifat niscaya dan aksiomatis di atas, merupakan pandangan yang bersifat filosofis. Dengan demikian, hubungan antara pandangan filosofi dengan pandangan ilmiah, ibarat pengetahuan dengan tindakan seseorang, di mana tindakan adalah akibat, dari adanya pengetahuan sebagai sebab. Jika kiranya manusia tidak memiliki pengetahuan awal akan suatu objek, maka mustahil baginya dapat berasumsi apapun. Maksud pengetahuan awal adalah pengetahuan yang darinya, suatu yang lain terpahami, seperti contoh yang dijelaskan di atas.

Kesimpulan sementara, menelaah pemikiran-pemikiran filosofi, mesti kita mampu melepas pola-pola berpikir parsial. Karena kajian-kajian yang “berbau” metafisika, pola berpikirnya sangat universal. Sebagaimana yang kita pahami, bahwa objek kajian filosofi adalah eksistensi, maka apapun yang termasuk di dalam wilayah eksistensi ini, akan menjadi objek kajiannya. Bahkan yang “tiada” pun diurai dalam wilayah ini. Sampai di sini dulu ya. Nantikan bagian selanjutnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *