Negeri Baliho

 

Sungguh, saya benar-benar kecanduan. Serupalah para cilik yang ingin merasakan dahsyatnya narkoba, tapi tidak punya fulus, sehingga jatuhnya pada menghirup lem tertentu. Ngelem namanya. Kata orang banyak, efeknya, malah lebih hebat dari narkoba. Sesarinya, kecanduan memang sesuatu yang tidak normal. Apa saja. Bila sudah kecanduan, maka ketidakseimbangan pun menanti di ujung akibat.

Mulanya, sederhana saja. Normal adanya. Tatkala sekaum panitia pelaksana mendapuk saya menjadi salah seorang pembicara, seputar gerakan literasi. Terpajanglah sebuah baliho raksasa, yang besarannya layak dipertandingkan dengan baliho para calon bupati dan gubernur. Taksiran biayanya, sekira di atas lima ratus ribu rupiah. Demikian dugaan saya. Takjublah saya pada baliho itu. Betapa tidak, saya sendiri, nyaris tidak percaya, sebegitu memukaunya tampilan saya di baliho itu. Perkaranya, bukan saja soal gambarnya yang sudah dipermak sedemikian aduhainya, tapi kata-kata bertuah, dan sederet  gelar pun ikut nangkring.

Bagi orang seperti saya, yang baru saja meresakan efek pukau baliho itu, tentulah mendambakan bukan kali itu saja, melainkan ingin berkali-kali. Soalnya, model yang semisal saya, amat garib mendapatkan kesempatan berbaliho ria. Dulu, di waktu lampau, kala masih muda di “zaman old”, sama sekali tidak pernah merasakan ketakjuban. Meski sering diajak untuk menjadi pembincang di berbagai forum, kusususnya di kalangan kaum muda mahasiswa. Paling banter, diganjar dengan pamplet-pamplet hitam putih. Kadang berwarna, cuman kertasnya doang. Kini, di masa kiwari, ketika ketuaan hadir di “zaman now”, baliho mulai memanggil untuk dijajal. Karenanya, baliho adalah candu yang menggiurkan.

Pun, seiring dengan makin seringnya saya diajak, tepatnya dibajak jadi pemantik perbincangan seputar gerakan literasi, maka saya makin sering melakukan perjalanan. Memenuhi panggilan, menjadi lelaki panggilan atas nama perhelatan literasi. Ibarat artis, undangan manggung makin menjadi. Lagi moncer bersama animo masyarakat,  yang lagi jatuh hati pada geliat gerakan literasi. Dan, dalam perjalanan itu pula, saya mulai mengangankan pajangan tampang saya di baliho-baliho raksasa.

Pada perjalanan memenuhi panggilan berliterasi, baik di kabupaten bagian  selatan, maupun bagian utara Kota Makassar, sepanjang jalan, saya banyak menemukan baliho-baliho raksasa. Tapi, alamak celaka tiga belas, sayangnya bukan baliho saya. Baliho raksasa itu, tiada lain adalah kepunyaan para calon bupati dan gubernur. Tampangnya, slogannya, janjinya, gelarnya, dan sederet penambah citra, sekotahnya terpatri di baliho itu. Ada yang memaksakan diri tersenyum, pun ada jua yang menatap tajam, seolah penuh wibawa. Jargon dan salam sapanya apa lagi, sedapat mungkin menambah kasiat bujuk rayu, agar rakyat memilihnya kelak.

Lalu, buat menghibur diri yang kecewa, saya cukup membayangkan saja. Setiap wajah dari mereka yang terpampang itu, saya tempelkan wajah saya, menutupi wajah mereka. Pastilah, semua tulisan penyemangat di baliho itu, saya tukar pula. Sehingga, selama perjalanan itu, sepertinya saya melihat diri sendiri, mengagumi, menakjubi berbagai ragam pose gambar saya, seperti yang selama ini telah saya umbar di facebook dan instgram saya.

Sesekali, tangan saya melambai ke baliho itu, jika baliho itu bergambar  melambaikan tangan. Kadang juga, saya tersenyum, membalas senyuman di baliho itu. Momen lain, saya kepalkan tinju, guna membalas kepalan tangan yang di baliho.Alangkah indahnya perjalanan ini, berjalan-jalan di negeri baliho. Setiap tempat merupakan sarana baliho, dan setiap wajah  adalah  rupa saya. Sehingga, saya pun membatin, nyatakanlah dirimu lewat baliho.

Kenikmatan pada kecanduan baliho ini, makin menggila. Sebagai contoh, ketika sekelompok  kaum muda meminta saya untuk menjadi pembincang acara seputar literasi, maka salah satu syarat yang saya ajukan agar mereka membuatkan saya baliho. Dan, ketika mereka bertanya ukurannya, saya langsung menukas, sebesar baliho para calon bupati dan gubernur itu. Bila perlu lebih besar. Kalau terasa berat pengadaannya, tidak usah siapkan uang pembicara, apalagi plakat, atau nanti saya tambah kekurangan duit penyelenggara. Hanya ada tiga kata, baliho, baliho, dan baliho.

Pada kenikmatan senggama pada baliho, sebelum mencapai orgasme kecanduan, tetiba saja konsentrasi persetubuhan buyar. Apa pasal? Gara-gara tertuju pada ingatan lain, yang sudah lama terpendam.  Munculnya kata-kata, yang hadir menginterupsi tanpa tabik. Ikut nangkring  pada baliho raksasa yang paling bagus desainnya. Kata-kata itu berbahasa lokal, Bugis dan Makassar, sebagaimana etnik yang dominan di Sulawesi Selatan. Terpampanglah slogan, Puji Ale dalam bahasa Bugis, dan Ero’ Nikana dalam bahasa Makassar.

Kata-kata itu bak tamparan keras, yang membuat saya limbung, selimbung-limbungnya, padahal saya bukan orang Limbung (sebuah daerah di Kabupaten Gowa). Ibarat  pesohor yang lagi manggung, lalu mati lampu. Hanya gulita yang mengada. Apa yang bisa dibikin dalam keadaan gelap, selain meraba-raba?  Itu pula yang saya lakukan. Meraba-raba, apa maunya kata-kata interupsi itu, yang membuat baliho raksasa nan megah itu kehilangan daya pikat.

Rabaan saya ternyata tiba pada sebuah buku, Ruang Sadar tak Berpagar, anggitan Alwy Rachman. Di buku ini, ada satu esai yang bertajuk, “Mitos-Mitos Puji Ale dan Ero’ Nikana”. Ternyata, kata sepadan untuk mengenali kata-kata lokal itu, adalah narsisme, memuji diri sendiri. Oleh Jean M. Twenge dan W.Keith Campbell, sebagaimana dinukil Alwy Rachman, sebagai abad Narsisme. Suatu abad yang narsistik, bisa dikenali dengan tanda-tanda: arogan, sombong, melihat dirinya besar dan berkharisma singa, dan segala sesuatu berpusat pada dan untuk dirinya sendiri.

Dan, puncak dari pribadi narsistik itu, terpahat pada laku, “seorang manusia yang lapar dengan sebutan, haus akan gelaran. Orang-orang yang seperti ini segera menjadi agresor ketika sedikit dicubit. Satu lagi, mereka tidak pernah tertarik pada hubungan yang intim, jujur dan akrab”. Demikian Alwy Rachman mendakukan tohokan pada manusia narsisistik.

Sungguh, saya betul-betul ketagihan. Sebentuk pengembara di jalan ruhani, yang tergila-gila pada kekhusyukan jalan hidup. Ketagihan pada tamparan kesadaran hidup, agar menjadi manusia apa adanya saja. Ketagihan pada gelap gulita, biar keinginan untuk meraba benderang kebaikan hidup, semakin menggila. Kecanduan pada baliho, sedapat mungkin segera berlalu. Ketagihan  pada sari diri, sesering mungkin mulai dicicil. Jika tidak, “sungguh terlalu”, begitu Bang Rhoma bilang. Sungguh.

 

Sumber gambar: https://sagligabiradim.com/wp-content/uploads/2016/03/%C3%B6zsayg%C4%B1.jpg

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *