Quarter Life Crisis dan Menjadi Bahagia ala Julian

 

Rasa-rasanya, di usia saya yang sekarang. Kebahagiaan menjadi barang mahal yang hampir tak terbeli. Saya mungkin sedang memasuki sebuah fase dalam hidup yang dalam bahasa psikologi dinamai quarter life crisis. Sebuah fase di mana saya mengalami kecemasan akan masa depan, keraguan terhadap kemampuan diri, juga kebingungan menentukan arah hidup. Semuanya mengarah pada ketidakpastian masa depan. Fenomena ini terjadi pada rentang usia 25-30 tahun. Saya tak tahu pasti, apakah fenomena ini dialami oleh setiap orang atau tidak dalam hidupnya. Yang jelas, jika fase tidak di-manage dengan baik, maka akan merenggut masa-masa muda yang bergelora.

Saya dan mungkin anda seringkali menerka-nerka, akan seperti apa kehidupan di masa datang itu? Adakah kebahagiaan di sana? Adakah?

Harus diakui, memang ada semacam kekeliruan filosofis dalam cara saya—mungkin juga sebagian orang— dalam melihat kehidupan selama ini. Saya seringkali mengimajinasikan bahwa kebahagiaan hanya ada di masa depan, ketika sudah memiliki ini dan itu, bukan di sini dan bukan sekarang. Kita seringkali dibuat lupa, bahwa kebahagiaan sebenarnya adalah kondisi batin yang ‘manipulatif’. Kebahagiaan itu bisa kita ciptakan sendiri dengan sugesti-sugesti positif dalam diri, dengan kerja-kerja yang dapat merangsang otak memproduksi hormon endorphin—hormon kebahagiaan.

Saya teringat kembali dengan tokoh Julian dalam buku The Monk Who Sold His Ferrari yang ditulis dengan apik oleh Robin Sharma. Dalam buku tersebut, dikisahkan Julian Mantle, seorang pengacara hebat dengan jadwal yang super padat, dan kekayaan yang melimpah, tapi, memiliki kadar spiritual yang menyedihkan. Hingga suatu hari, ia terkena serangan jantung di ruang sidang. Kejadian itu lantas memberikannya waktu jeda sejenak, menginterupsi kesibukannya selama ini.

Setelah kejadian itu, Julian diultimatum oleh dokter untuk memilih berhenti dari dunia hukum atau kehilangan nyawa. Julian lalu pergi ke India melakukan ekspedisi. Dia ingin menyederhanakan hidupnya dan “mencari jawaban” atas pertanyaannya selama ini. Dunia hukum yang kompetitif telah mengorbankannya, tidak hanya secara fisik dan emosi, tapi juga spiritual. Ia menjadi lebih tua dari usianya yang sebenarnya, hal tersebut mencerminkan bagaimana tekanan yang dialaminya selama ini. Karenanya, ia kemudian berinisiatif untuk mencari kesejatian diri, juga tujuan hidup yang sesungguhnya. Ia sadar betul, bahwa selama ini ia tak pernah benar-benar menikmati hidupnya. Julian adalah saya saat ini (meski tak kaya, juga tak sibuk-sibuk amat), mungkin juga anda.

Dalam perjalanan itu, Julian kemudian bertemu dengan kaum Bijak Sivana yang tinggal di puncak Himalaya. Dalam mitologi mereka, Sivana berarti ‘mata air pencerahan’. Konon, para biarawan ini seolah-olah memiliki penampilan dan pengaruh ilahiah.

Di sinilah Julian memulai pencariannya, di antara Kaum Bijak Sivana, kehidupan sederhana, tenteram dan harmonis.

Selama hidup di tengah-tengah Kaum Bijak Sivana itu, Julian mempelajari tujuh nilai kebajikan hidup tercerahkan. Khusus tulisan ini, saya akan membagikan nilai yang pertama saja terlebih dahulu. Kedepan, semoga saya bisa menyelesaikan sisanya. Semoga.

Kuasai Pikiran

Pikiran seringkali dianalogikan sebagai sebuah taman, jika mengolahnya dengan baik, maka taman itu akan tumbuh subur dan menumbuhkan bebungaan yang indah. Namun, jika sebaliknya, taman yang tidak dirawat, akan diambil alih oleh rumput liar (baca: pikiran negatif), jika demikian, maka kedamaian hati tidak akan pernah menghampiri.

Manusia memikirkan sekitar enam puluh ribu pikiran dalam kepalanya saban hari. Dan yang mengejutkan adalah, 95 persen pikiran tersebut berasal dari pikiran kita sehari sebelumnya. Pikiran pada mantan masa lalu, kecemasan terhadap masa depan adalah makanan otak kita sehari-hari. Kesemuanya menjadikan hidup berada dalam labirin kecemasan yang dibuatnya sendiri. Inilah yang disebut oleh Julian sebagai tirani berpikir yang memiskinkan. Jika sudah terjebak dalam situasi seperti ini dan tak berusaha mencari jawaban, sungguh merugilah kita.

Tak salah, jika suatu ketika Dalai Lama ditanya tentang siapakah makhluk paling membingungkan di dunia ini? Beliau menjawab: “Manusia, karena mengorbankan kesehatannya demi uang. Lalu dia mengorbankan uangnya demi kesehatan.”

Dalai Lama kemudian melanjutkan bahwa manusia sangat kuatir dengan masa depannya, hingga dia tidak bisa menikmati masa kini. Akhirnya, dia tidak hidup di masa depan ataupun di masa kini. Manusia hidup seolah-olah tidak akan mati, lalu dia mati tanpa pernah benar-benar menikmati hidup.

Untuk menghentikan itu semua, maka memang diperlukan manajemen berpikir yang baik, menjaga pikiran untuk senantiasa positif. Mungkin akan terasa sulit dan pasti akan begitu, sebab selama ini pikiran kita tak pernah dididik dengan baik, hati tak pernah bersih dari prasangka. Ini hanya soal kebiasaan saja, soal kegigihan mendidik pikiran, juga berefleksi. Layaknya otot lainnya dalam tubuh, pikiran juga harus sering dilatih dan digunakan agar tidak lemah. Sedang hati, mesti terus dibersihkan agar tak mudah kotor.

Ketika perasaan iri, dengki, dan pikiran negatif dominan dalam diri kita, itu bukan karena kejadian di luar atau orang lain yang menyebabkannya. Semua adalah peran kita dalam memupuk kesuburannya. Begitulah pendakuan Gobind Vashdev, seorang Heartwroker.

Harus diakui, banjir informasi kiwari ini justru tak menjadikan manusia hidup berenang dalam kolam emas kebahagian. Sebaliknya, justru menyeret mereka pada kebingungan memilah dan memilih, hingga menjadikan mereka tenggelam dalam prasangka yang seringkali destruktif.

Untuk hidup secara maksimal—menurut Julian—kau harus berjaga di gerbang tamanmu dan hanya mengizinkan informasi terbaik yang masuk dan tidak boleh mengizinkan informasi negatif masuk. Tidak satu pun.

Bagaimana malakukannya? Julian mempelajari teknik menguasai pikiran Kaum Bijak Sivana yang disebut dengan “Jantung Mawar”. Hal pertama yang diperlukan dalam latihan ini adalah mawar dan tempat yang hening.

Mulailah dengan memandang pusat mawar itu, yaitu jantungnya. Yogi Raman—yang menjadi guru Julian—mengatakan bahwa mawar adalah simbol kehidupan: kau akan bertemu duri di sepanjang jalan, tetapi jika memiliki keyakinan dan kepercayaan pada mimpimu, pada akhirnya kau akan melewati duri dan mencapai bunganya.

Kemudian, tataplah mawar itu. Perhatikan warna, tekstur, dan desainnya. Nikmati wanginya dan berpikirlah hanya tentang benda indah di depanmu. Awalnya, pikiran-pikiran lain akan mulai memasuki pikiranmu, mengalihkan perhatian dari jantung mawar itu. Ini adalah pertanda pikiran yang tidak terlatih, pikiran yang liar, pikiran yang mencoba jadi tuan. Namun, tak perlu cemas, kondisi itu akan segera diperbaiki. Cukup kembalikan perhatianmu pada objek dan fokus. Dalam sekejap pikiran akan semakin kuat dan berdisipin.

“Agar ritual ini menjadi efektif, maka harus dilakukan setiap hari. Di hari pertama mungkin akan terasa sulit, meski hanya lima menit sekalipun. Hidup sekarang memang dipenuhi dengan ingar-bingar, sehingga keheningan sejati tampak asing dan menggelisahkan. Namun, jika bisa meluangkan waktu lebih lama dan semakin lama untuk menikmati jantung mawar, maka setelah seminggu atau dua minggu, kau mestinya dapat melakukan teknik ini selama dua puluh menit tanpa pikiran yang mengembara ke mana mana.” Tutur Julian.

Inilah yang menjadi indikasi pertama, bahwa pikiran telah berhasil dikuasai. Setelahnya, pikiran hanya akan berfokus pada apa yang diperintahkan. Dengan begitu, maka pikiran akan menjadi hamba yang luar bisa. Pilihannya memang hanya itu; kita mengendalikan pikiran, atau pikiran yang akan mengendalikan kita. Saya sepakat dengan Julain, bahwa pikiran adalah hamba yang hebat, tapi tuan yang buruk. Sungguh buruk.

Dengan penguasaan pikiran yang baik, maka akan lebih mudah mengarahkannya pada hal-hal yang kita inginkan. Salah satunya untuk berkontemplasi yang memang membutuhkan konstentasi dan fokus yang tinggi.

Kaum Bijak Sivana memanfaatkan waktu sehari-hari dengan berkontemplasi dalam sunyi untuk merenungkan dirinya, tak hanya tentang keadaannya sekarang, tapi juga ke mana arah mereka bergerak. Mereka meluangkan waktu untuk merefleksikan tujuan dan bagaimana menjalani kehidupan, setiap hari. mereka secara konsisten terus memikirkan bagaimana memperbaiki diri di hari berikutnya. Perbaikan bertahap setiap hari, pada gilirannya akan memunculkan perubahan positif.

Refleksi memang sebuah pekerjaan sederhana yang sudah jarang sekali manusia modern lakukan. Ketika terjadi sesuatu, kita lebih suka menyalahkan sesuatu yang berada di luar, tinimbang melihat ke dalam diri sendiri dan belajar. Sesederhana itu.

Pada akhirnya, perihal hidup adalah tentang keberanian menghadapi masalah. Dan seperti yang sering diulang-ulang oleh orang bijak. Masalah tak bisa diselesaikan dengan situasi yang sama saat masalah itu muncul. Kita mesti menjadi lebih baik agar bisa menyelesaikan masalah. Masalah kelas 1 SD, akan lebih mudah kita kerjakan tatkala berada di kelas 2. Begitu pula dalam hidup. Karenanya, teruslah belajar, dan manfaatkan anugerah pikiran yang diamanahkan Tuhan.

Saya kira, dalam melihat kebahagiaan, penting kiranya juga kita mengeja kembali nasehat Khalifah Umar bin Khattab empat belas abad yang lalu, “Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.” Semoga dengan demikian, kita bisa menjalani hidup dengan bijak dan bajik. Bersedih secukupnya, berbahagia selebihnya.

 

 

 

 

 

 

Jejak Khilafah di Nusantara dan Konsep Negara Islam

Beberapa hari terakhir ini publik cukup ribut dalam menyikapi film Jejak Khilafah di Nusantara. Film yang disutradarai oleh Nicko Pandawa ini memang sejak peluncurannya sudah dililit masalah. Karena mencatut nama sejarawan Peter Carey sebagai tamu spesial tanpa izin saat perilisan film tersebut. Namun yang paling menarik perhatian publik sebenarnya adalah masalah konten yang disajikan dalam film Jejak Khilafah di Nusantara.

Hal tersebutlah yang akan saya komentari. Bukan hanya masalah kontennya saja, namun juga motif peluncurannya, serta problem hak-hak kebebasan berpendapat dan berkspresi di balik kisruh film tersebut. Agar semua dapat bagian dan tidak ada yang merasa dispesialkan.

Bukti Tak Kuat, Klaim Terkesan Dipaksakan

Setelah saya menonton film berdurasi hampir satu jam itu, saya mendapatkan kesimpulan, Jejak Khilafah di Nusantara mencoba untuk menjadi kajian alternatif sejarah Islam di Indonesia. Saya melihat memang ada semangat untuk mendekonstruksi narasi besar dalam sejarah masuknya Islam di Nusantara. Hal tersebut sah dan positif. Namun sayang, tidak didukung dengan klaim yang meyakinkan. Sehingga sejarah alternatif tersebut disajikan dengan tidak ilmiah.

Hal-hal yang tak bisa dibuktikan dalam film tersebut, tak adanya dukungan manuskrip yang kuat berupa dokumen-dokumen sejarah. Padahal dokumen adalah bahan penting dalam penulisan sejarah. Yang terdengar dari perkataan para narasumber yang ada di film tersebut hanya “menduga”, “meyakini” tapi tak bisa menyajikan data pendukung keyakinan dan dugaannya tersebut.

Klaim tidak berdasar itu tentu tidak bisa dijadikan rujukan untuk membantah kajian sejarah Islam di Nusantra yang telah mapan selama ini. Di mana diketahui jika Islam masuk ke Nusantara melalui sumber langsung Arab dan itu pun disebarkan oleh para sufi bekerjasama dengan pedagang muslim. (Lihat: A.H. Johns, Sufism as a Category in Indonesian Literature and History). Melalui pengaruh para pedagang muslim, Kerajaan Perlak diislamkan sebagaimana kesaksian Marco Polo. Hingga Islam menyebar dari Perlak ke Samudera Pasai.

Jadi sejauh ini dokumen-dokumen sejarah hanya membuktikan adanya proses islamisasidi Nusantara. Sementara Samudera Pasai pernah  berbaiat ke Khilafah Abbasiyah hanyalah klaim dan asumsi subjektif dari para narasumber dalam film tersebut. Bahkan klaimnya dikeluarkan dari konklusi yang terburu-buru. Salah satu narasumber mengatakan, kesultanan di India memuliakan Khalifah Abbasiyah, dan kesultanan India punya hubungan yang erat dengan kesultanan di Samudera Pasai. Sehingga mereka menyimpulkan kesultanan Samudera Pasai berbaiat pada Khalifah Abbasiyah. Itu kan klaim yang sangat “cocologi”atau mencocok-cokkan saja.

Apalagi katanya makam Bani Abbasiyah di Lhokseumawe Aceh, adalah bukti bahwa Samudera Pasai berbaiat kepada Khalifah Abbasiyah. Argumen ini jelas tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal saya sebenarnya menunggu naskah-naskah rujukan para narasumber terkait klaimnya tersebut, minimal publikasi ilmiah yang telah mereka tulis terkait klaimnya tersebut, agar bisa dipelajari. Tapi sayangnya tak ada satupun yang disebutkan.

Memang tak bisa dimungkiri jika Khilafah dan Nusantara memiliki keterkaitan historis. Bahkan, hubungan tersebut sudah terlihat sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu Maharaja Sriwijayah pernah menyurat ke Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan dan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Surat tersebut menyebut jika Maharaja Sriwijaya meminta utusan berupa guru yang bisa mengajar Islam di Sriwijaya. (Lihat: S.Q. Fatimi, Two Letter The Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early of Islam in the East).

Surat menyurat tersebut memperlihatkan adanya kontak antara Raja di Nusantara dan Raja Arab. Bahkan menjadi bukti jika pada abad ke-7 Masehi, sudah ada proses islamisasi meski belum massif. Namun, fakta sejarah tersebut bukanlah bukti tentang jejak khilafah di Nusantara, karena Maharaja hanya ingin ada islamisasi di Nusantara, dan bukan bermaksud menjadi bagian dari khilafah. Tentu itu dua hal yang berbeda.

Pun dengan hubungan antara Turki Utsmani dan kesultanan di Nusantara, sejarawan berbeda-beda menaggapi hal ini. Ada yang mengatakan tak ada hubungan, ada juga yang mengatakan memiliki hubungan namun hanya sebatas hubungan diplomatis. Apapun bentuk perbedaan tersebut, sejauh ini belum ada bukti otentik yang membuktikan jika kerajaan dan kesultanan di Nusantara pernah jadi bagian dari kekhalifaan sebagaimana yang dikatakan Prof Oman Fathurahman (lihat:cnnindonesia.com) dan Prof Carey (lihat: sindonews.com).

Adakah Konsep Negara Islam?

Saya memandang, klaim bahwa  kesultanan di Nusantara pernah jadi bagian dari Khilafah cenderung dipaksakan untuk mendukung pandangan bahwa Nusantara pernah tunduk di bawah naungan Khilafah. Klaim tersebut bisa menjadi alasan pihak tertentu untuk melakukan proyek politik “khilafanisasi” di Indonesia, dengan alasan bahwa Khilafah sudah pernah ada di Nusantara. Padahal untuk menebarkan nilai-nilai Islam di Indonesia, tak perlu memaksakan sistem Khilafah agar dianut di Indonesia. Toh, tanpa Khilafah, Islam bisa disebarkan ke Indonesia. Bahkan diislamisasi melalui proses yang lembut dan moderat, tanpa memusnakan kebudayaan masyarakat setempat.

Jika ada pihak yang ingin sekali menerapkan sistem Khilafah di Indonesia, pertanyaannya, adakah konsep negara Islam itu? Karena sejauh ini apa yang disebut konsep negara Islam tidak memiliki kebakuan. Dari proses pergantian pemimpin di masa Khulafaur Rasyidin, sistemnya berbeda-beda mulai dari Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib.

Setelah wafat, Rasulullah Saw diganti oleh Sayyidina Abu Bakar yang dibaiat melalui kesepakatan bersama. Sebelum wafat, Sayyidina Abu Bakar melakukan penunjukan langsung ke Umar bin Khattab untuk mengganti Beliau dan itu disampaikan terlebih dahulu pada komunitas muslim. Pun, cara Umar bin Khattab berbeda dalam prosesi pergantian pemimpinnya. Beliau menunjuk dewan pemilih. Dewan tersebut bersepakat menunjuk Utsman bin Affan sebagai kepala negara dan setelah itu digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.

Di masa Khulafaur Rasyidin, sistem pergantian pemimpin memiliki model yang berbeda-beda. Meski demikian, prosesnya dilakukan dengan cara demokratis. Berbeda dengan Dinasti Umayya hingga Turki Utsmani yang proses pergantian pemimpinnya justru menyalahi prinsip-prinsip Khulafaur Rasyidin, dengan menerapkan model pewarisan ayah ke anak-anaknya. Sehingga kepemimpinan pasca Khulafaur Rasyidin lebih cocok dibilangkan sebagai dinasti daripada kekhalifahan.

Jadi kelihatan sekali jika sistem pemerintahan negara Islam dari zaman ke zaman memiliki perbedaan. Karena memang tak ada konsep baku negara Islam, bahkan ketika konsep tersebut hendak dicari secara normatif dalam Alquran. Pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan dinasti-dinasti Islam setelahnya harus dibaca sebagai ijtihadiyyah para pemimpin berdasarkan konteks zamannya. Nah, dalam konteks kehidupan masyarakat yang berperadaban negara-bangsa seperti saat ini, sistem Khilafah sudah tidak bisa lagi diterapkan, karena konteks masyarakatnya berbeda.

Itulah mengapa, tokoh muslim di zaman kemerdekaan dulu bersedia menghapus tujuh kata pada sila pertama piagam Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan diubah menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Mereka mengalah untuk tidak melanjutkan obsesi penerapan Islam sebagai dasar negara demi persatuan bangsa. Karena para tokoh muslim yang tak lagi diragukan kealimannya itu telah mengakui bahwa persatuan dalam kebinekaan lebih penting diutamakan. Dan kehidupan berbangsa itulah yang paling sesuai untuk konteks kehidupan masyarakat saat ini.

Tentu saja Islam tak akan punah hanya karena ia hidup dalam peradaban negara-bangsa. Nilai-nilai subtantif Islam sangat bisa hidup dan menghiasi peradaban meski berada dalam sebuah peradaban yang bineka. Hal tersebut harus didukung oleh komitmen pemerintah suatu bangsa yang bersedia menjamin kebebasan berkeyakinan masyarakatnya. Dan sepanjang pemerintah komitmen untuk memakmurkan rakyat dan menjalankan pemerintahan yang adil.

Pemblokiran Tindakan yang Tidak Demokratis

Meski hanya klaim dan tak bisa jadi rujukan ilmiah, namun film Jejak Khilafah di Nusantara seharusnya tak perlu diblokir. Itu menandakan Pemerintah bersikap otoriter dan tindakan tersebut jelas tak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sejauh tidak melanggar hukum dan tidak merugikan banyak warga negara, kenapa harus dilarang? Jika alasannya adalah menangkal ideologisasi HTI, sesungguhnya tindakan tersebut sangat tidak beralasan. HTI sebagai organisasi memang sudah dibubarkan, tapi gagasan tak bisa dikekang.

Jika tak setuju dengan klaim dalam film tersebut, sebaiknya dihadapi dengan gagasan tandingan. Biarkan gagasan-gagasan saling berkontestasi dalam ruang demokrasi. Justru karena di situlah letak sehatnya demokrasi. Sepanjang tak melakukan kekerasan, dan pemaksaan gagasan melalui intimidasi, mengapa harus dilarang? Pemblokiran yang dilakukan Pemerintah terhadap film tersebut adalah kesalahan besar dan tidak demokratis.

Seni, Teknologi, dan Kemerdekaan

 

Semangat perayaan kemerdekaan rakyat Indonesia semenjak proklamasi 17 Agustus tahun 1945 tidak pernah pudar hingga kini, meski tengah dijajah oleh bala tentara Covid-19, atau dikenal dengan istilah corona virus diseases. Pasukan penjajah tanpa pandang bulu. Kaya, miskin, penguasa, bahkan kaum melarat pun tak luput dari bidasannya. Tidak hanya itu, mereka juga melumpuhkan berbagai sektor kehidupan terutama perekonomian dunia. Lantas bidang manakah yang tak goyah dari serangan tersebut? Salah satu bidang ilmu yang tetap eksis di tengah dunia yang sedang terpuruk adalah seni dan teknologi. Kedua bidang ilmu ini memiliki korelasi yang besar dan mampu mengubah tatanan kehidupan bangsa bahkan dunia.

Korelasi seni dan teknologi menjadi penyambung lidah masyarakat meneriakkan gemuruh sukaria kemerdekaan. Twibbon, pamflet, dan stiker sebagai medium presentasi perayaan secara visual. Konsep visual menjadi salah satu opsi yang lasuh untuk mengekspresikan diri dalam semarak perayaan 17-an. Sebab yang menjadi substansi dalam perayaan kemerdekaan adalah peran masyarakat/patisipasi publik menstimulasi jiwa nasionalisme.

Selain itu, eksistensi seni juga tidak sebatas di media sosial, melainkan juga teraktualisasi di lingkungan masyarakat secara luas. Beberapa di antaranya berupa pernak-pernik guntingan kain merah putih di lorong-lorong kota, mural, serta  cat tembok memantas pagar yang antar ragam sebagai emblem semarak DIRGAHAYU NKRI ke-75. Hal tersebut tidak lain sebagai konkretisasi simbol-simbol kebangsaan yang estetis dan historiologi.

Perayaan HUT-RI ke-75 tahun in nampaknya terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Perayaan yang didominasi oleh lomba-lomba kini hampir tak lagi dijumpai. Antusiasme masyarakat dalam mengambil peran beraneka ragam. Di antara yang paling mencolok adalah mekarnya budaya pengibaran bendara merah putih sebagai identitas bangsa. Selain itu, karya-karya seni pun tidak luput mengambil peran.

Apabila berkaca pada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, tentunya seni memiliki andil besar dalam memperjuangkan  hak kemerdekaan bangsa Indonesia . Perjuangan para seniman diejawantahkan dalam bentuk karya ekspresi diri dan pernyataan sikap melalui kritik kebijakan pemerintah.

Menyoal perkara momentum 17-an, tidak lain berbicara tentang  kemerdekaan parsial yang dinamis. Kemerdekaan parsial dalam arti merdeka dalam segala hal tanpa terkecuali individu maupun kelompok, sedang dinamis menunjukkan bahwa kemerdekaan yang terus berevolusi berteraskan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Selayaknya salah satu yang diagihkan aleh Sutan sjahrir bahwa “Kemerdekaan nasional bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya.” Sebab, dengan kebebasan berkarnya maka melahirkan sejuta produk bangsa yang kreatif, inofatif dan bernilai terapan bahkan bernilai ekonomi.

Setiap individu memiliki hak dan ruangnya tersendiri untuk berekspresi, berjuang dan berkarya. Dari pernyataan tersebut sangatlah jelas bahwa setiap orang punya hak untuk berkontribusi bagi bangsa dan negaranya, baik dari segi pemikiran/gagasan dan tindakan berdasarkan bidangnya. Sebagai seorang seniman sejak era era kolonialisme berdalih dengan isyarat bahwa berjuang untuk kemerdekaan tidaklah selamanya harus mengankat senjata layaknya seorang prajurit.Tetapi, entitas perjuangan seorang seniman dielaborasikan dalam bentuk semangat riuh dan suara batin yang lantang juga tulus.

Lukisan Memanah karya Henk Ngantung merupakan salah satu dari sekian banyak karya lukis yang menginspirasi semangat perjuangan kemerdekaan. Lukisan dengan judul Memanah, lukisan yang besar pengaruhnya bagi tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, Bung karno dalam merevitalisai pergerakannya. Karya tersebut memberi kesan awal kepada Bung Karno sebagai simbol pergerakan bangsa Indonesia yang terus maju. Bung Karno kemudian melantaskan keinginannya untuk membeli karya tersebut yang belum rampung lantaran perihal model. Tanpa ayal Bung Karno pun menawarkan dirinya sebagai model, hal itu tak ditampikan Henk Ngantung. Seusai digarap, karya ini kemudian dijadikan koleksi oleh Bung Karno di Istana Kepresidenan.

Menelisik sejarah sosok seniman Henk Ngantung kelahiran 1 Maret 1921 Manado, Sulawesi Utara. Seorang yang dikenal sebagai seniman otodidak, seniman yang banyak melahirkan sketsa-sketsa perjuangan di antaranya sketsa tentang Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville, dan Perundingan Kaliurang serta sketsa monumental lainnya. Tidak hanya sebatas berkarya, ia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” yang menghimpun seniman-seniman 45 termasuk Khairil Anwar, Haruddin M.S., Mochtar Apin, Basuki Resobowo, Asrul Sani, dan lainnya. Kemudian pada agustus 1948, Henk Ngantung dan kawan-kawan aktif menggelar pameran keliling di indonesia ditengah situasi perang.

Usut punya usut, kedekatan Henk Ngantung dengan Bung Karno tidak sebatas motif karya seni melainkan adanya implikasi struktural pemerintahan. Henk Ngantung Seorang seniman sekaligus  wakil gubernur DKI Jakarta periode 1960-1964. Selepas menjabat sebagai wakil gubernur 1964, ia kembali diangkat oleh Bung Karno menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965. Pengangkatan tersebut dilakukan Soekarno dengan dalih ingin menjadikan Jakarta kota budaya, karena dinilainya memiliki bakat artistik. Meski dalam pengangkatannya menuai banyak protes dari berbagai pihak. Selepas menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, kebiasan berkarya Henk Ngantung tidak pernah dinafikannya hingga akhir hayat.

 


Sumber gambar: https://lukisanku.id/lukisan-memanah-henk-ngantung/

Menyelamatkan HMI Penyelamat

 

Sungguh sedih dan malu rasanya mendapati kenyataan bahwa kini telah lahir kubu sempalan HMI-MPO yang dipelopori oleh setidaknya tiga cabang utama, yaitu Cabang Jakarta, Cabang Jakarta Selatan, dan Cabang Kendari. Kubu sempalan ini lahir dari kekecewaan karena kandidat yang mereka jagokan tidak berhasil memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan formatur/ketua umum PB HMI-MPO pada Kongres ke-32 di Kendari pada bulan Maret 2020 yang lalu—terlebih sang kandidat juga gagal membujuk formatur untuk menunjuknya sebagai Sekretaris Jenderal. Lebih sedih dan malu lagi rasanya lantaran kubu sempalan ini langsung merapat kepada rezim yang berkuasa, sebagaimana bisa kita cermati pada pernyataan kubu ini yang mengecam deklarasi KAMI yang digawangi Din Syamsuddin cs. Saya sendiri tak tertarik dengan gerakan KAMI, tapi menurut saya di negara demokrasi kelompok oposisi semacam KAMI perlu diberi ruang sepanjang mereka tidak melakukan tindak kekerasan dan upaya makar. Tapi kubu sempalan HMI-MPO ini tampak pasang badan membela rezim yang berkuasa dari kelompok oposan; persis seperti yang dilakukan parpol atau ormas yang pecah di mana salah satu pecahannya akan segera merapat dan cari muka kepada kekuasaan untuk mendapat perlindungan, juga fasilitas.

Setelah mengorek keterangan dari sejumlah peserta Kongres ke-32, dari kedua kubu, juga setelah membaca kembali Konstitusi HMI-MPO, maka saya berkesimpulan bahwa terpilihnya Sdr. Affandi Ismail sebagai formatur/ketua umum PB HMI-MPO adalah sah alias konstitusional. Kesimpulan yang sama juga diyakini oleh mayoritas cabang-cabang HMI-MPO se-Indonesia, sepanjang yang saya ketahui. Klaim kubu sempalan yang digawangi Sdr. Ahmad Latupono yang menyebut memperoleh 50%+1 dukungan cabang-cabang se-Indonesia, sejauh ini tidak bisa dibuktikan secara formal administratif. Jika klaim itu benar, mestinya kubu Latupono menunjukkan surat resmi dari cabang-cabang sejumlah 50%+1 tersebut untuk meyakinkan publik HMI-MPO; dan untuk selanjutnya dapat menggelar Kongres Luar Biasa guna mengoreksi keputusan Kongres ke-32.

Saya termasuk warga HMI-MPO yang cukup kecewa dengan terpilihnya Affandi Ismail, sebab menurut saya yang bersangkutan tidak memiliki kualifikasi atau portofolio yang memadai untuk memimpin PB HMI-MPO. Sikap itu telah saya utarakan dalam artikel yang berjudul “HMI-MPO yang Mulai Tercemar dan Tersusupi” terbitan Kalaliterasi.com yang sudah dibaca luas oleh publik HMI-MPO. Hingga kini, sikap saya tersebut belum berubah—dan karenanya tak perlu saya bahas lagi. Kendati saya kecewa dan menyesalkan terpilihnya Affandi Ismail, saya tetap berpandangan bahwa Sdr. Affandi sah sebagai Ketum. Bahwa Affandi Ismail disebut tidak memenuhi salah satu persyaratan, maka tetap saja ia sah sebagai formatur/ketua umum, sebab sudah ditetapkan di dalam forum Kongres dengan ketukan palu pimpinan sidang atas persetujuan mayoritas peserta Kongres (kuorum). Kubu sempalan berpendapat bahwa Latupono ditetapkan dan dilantik oleh forum Kongres yang sama sesaat setelah penetapan Affandi Ismail. Yang masalah, kubu Latupono tidak bisa menunjukkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional bahwa penetapan Latupono sebagai formatur tersebut dilakukan setelah digelar sidang yang mengoreksi ketetapan sebelumnya (yaitu penetapan Affandi Ismail sebagai formatur) yang disetujui oleh 50%+1 peserta Kongres. Jika kubu Latupono bisa menunjukkan bukti baik berupa dokumen konsiderans persidangan, daftar hadir peserta yang memenuhi kuorum, dlsb, mengenai persidangan yang menetapkan Sdr. Latupono sebagai formatur, maka tentu kubu Latupono-lah yang sah dan benar.

Publik HMI-MPO, juga pihak eksternal, sesungguhnya tidak sedikit yang bingung dengan duduk perkara polarisasi PB HMI-MPO itu. Kebingungan tersebut menjadi berlarut-larut karena tidak ada penjelasan yang memadai dan jernih tentang perkara ini, terutama dari PB HMI-MPO dan para peserta Kongres ke-32. Kedua kubu, baik yang pro Kongres maupun pro Latupono, hanya berdebat kusir di media sosial, saling mengumpat dan mencaci maki, baik dengan menggunakan akun asli maupun akun palsu. Dan apa yang mereka lakukan itu setidaknya menunjukkan tiga hal: (1) keterbelakangan intelektual, (2) kebobrokan etika, dan (3) sikap kekanak-kanakan.

Tiga Krisis

Dalam amatan saya, di usianya yang sudah lebih dari tiga dekade, HMI-MPO secara nasional justru dihadapkan pada persoalan elementer tapi signifikan: degradasi akhlak (etika). Sebenarnya saya agak sungkan bicara apalagi menilai soal akhlak, utamanya akhlak orang lain, lantaran akhlak saya sendiri tidaklah bagus benar. Perilaku buruk yang saya lakukan sudah banyak diketahui orang, namun tentunya lebih banyak lagi yang orang lain tak ketahui. Tapi saya harus jujur mengatakan soal ini (agar kita bisa memikirkan dan menyelesaikannya bersama). Indikasi kuat adanya politik uang oleh kandidat ketua umum PB (utamanya di Kongres ke-32), tergodanya sejumlah peserta Kongres oleh gratifikasi, umpatan dan caci maki di media sosial, pelibatan preman dalam forum Konfercab/Musbadko di cabang-cabang tertentu, serta sikap oportunistis elite pengurus HMI-MPO adalah sedikit dari banyaknya masalah yang terkait dengan aspek etika ini.

Dewasa ini HMI-MPO setidaknya mengalami tiga krisis: (1) krisis intelektual, (2) krisis spiritual, dan (3) krisis etika. Krisis intelektual ditandai dengan fakirnya tradisi literasi serta sunyinya HMI-MPO dari diskursus wacana pemikiran yang berat. Tradisi penerbitan jurnal/buku yang bermutu, penulisan artikel di koran/media, diskusi dan silang pendapat terkait pemikiran tertentu, sudah cukup lama hilang dari HMI-MPO. Krisis spiritual ditandai dengan penghayatan atas ajaran Islam yang begitu lemah, termasuk dalam aspek ritual. Sekitar tahun 2013, dalam forum Pleno III PB HMI-MPO yang dihadiri oleh hampir semua pimpinan cabang se-Indonesia, saya sempat mencak-mencak di dalam forum gara-gara hanya sekitar 10% peserta forum yang bangun salat Subuh, dan selebihnya rata-rata baru bangun sekitar pukul delapan pagi (dan tidak salat), yang membuat agenda persidangan menjadi molor. Waktu saya mencak-mencak itu, hanya 2 orang yang tunjuk tangan mengaku bahwa ia salat Subuh walau terlambat, dan selebihnya diam seribu bahasa. Kalau elite-elite cabang yang hadir ketika itu saja (ketum, sekum, kabid), tidak patuh melaksanakan salat ya gimana dengan angota-anggotanya di cabang dan komisariat? Ketika saya berkunjung ke cabang-cabang atau menghadiri forum-forum nasional HMI-MPO (saat menjabat Ketum PB) perkara salat ini selalu saya perhatikan diam-diam, tapi malu sekali rasanya saya untuk menuliskannya lebih detail di sini. Kalau untuk perkara salat fardu saja sudah bermasalah, tentu kita tidak perlu lagi bertanya soal ritual-ritual sunah seperti tahajud, puasa Daud, mengaji, dlsb, baik itu di forum-forum, sekretariat, maupun di training-training HMI-MPO—sesuatu yang dulu begitu mentradisi di HMI-MPO.

Sementara itu, krisis etika ditandai dengan terdegradasinya aspek adab, sopan santun, integritas, dan yang terkait dengan relasi ikhwan-akhwat dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan HMI-MPO. Fenomena gratifikasi di Kongres ke-32 yang lalu menunjukkan bahwa etika politik sudah diabaikan, dianggap tidak penting. Sejumlah peserta Kongres yang mudah dibeli menggambarkan integritas mereka yang sudah bangkrut. Contoh lain terkait etika ialah aksi saling serang di media sosial antara dua kubu terkait hasil Kongres. Bila saja saling serang itu melibatkan argumentasi yang cerdas dan berbobot (intelektuil), tentu akan sangat membanggakan. Tapi yang terjadi justru pelibatan kata-kata dan informasi sampah dalam silang sengketa itu. Celakanya lagi, tidak sedikit kader-kader baru (yang usia keanggotaannya masih seumur jagung—itupun kalau dia aktif), tapi berlaku sangat agresif menggunakan diksi tak terpelajar, menyerang seniornya atau alumni yang coba memberinya nasihat. Pertimbangan dan nasihat dari para senior dianggapnya sebagai intervensi, bahkan dicemooh sebagai “pengajian”. Sungguh kader celaka!

Kelembagaan yang Keropos

Dari segi fasilitas dan jumlah cabang, HMI-MPO saat ini sudah terbilang luar biasa jika dibanding era-era sebelumnya. Tahun 2011 PB HMI-MPO memiliki sekretariat permanen di Jakarta setelah 25 tahun menjadi “kontraktor”. Cabang-cabang baru tumbuh di Sumatera dan Indonesia Timur. Setidaknya dua aspek itulah yang cukup menonjol dari perkembangan HMI-MPO dewasa ini. Namun sekretariat permanen PB itu diawali dengan sengketa dan kegaduhan, di mana saya juga terlibat di dalamnya. Cabang-cabang baru memang bermunculan, tetapi cabang-cabang tua yang memiliki sejarah panjang justru mengalami kemunduran signifikan seperti yang dialami saat ini oleh Cabang Jakarta, Cabang Semarang, Cabang Purwokerto, Cabang Yogyakarta, Cabang Makassar, dan Cabang Palu. Di cabang-cabang tua itu jumlah kader merosot tajam dari waktu ke waktu berbarengan dengan merosotnya tradisi intelektual dan spiritual di cabang-cabang tersebut.

Pelaksanaan Basic Training (LK I) di sejumlah cabang terpaksa dilakukan dengan prosedur darurat, sebab mereka tak punya SDM yang memadai untuk mengelola training paling dasar sekalipun. Pemandu kurang, pemateri langka. Yang terpaksa diturunkan adalah pemandu dan pemateri yang miskin jam terbang dan bermutu pas-pasan bahkan kurang. LK I dicukur habis-habisan muatan kegiatannya, sementara follow-up lepasan LK I tak pernah dijalankan dengan konsisten. Di banyak pelaksanaan LK I, kegiatan ekstra seperti puasa sunah, salat tahajud, kultum, mengaji Al-Quran, dlsb, dihilangkan dengan berbagai macam alasan, tapi utamanya lantaran para pemandu tidak mampu menanganinya karena faktor kapasitas, juga kemalasan. Apa yang tercantum dengan sangat bagus di Pedoman Perkaderan HMI tak lagi benar-benar dijalankan.

PB HMI punya data tahun 2013 tentang peta kekuatan kelembagaan HMI-MPO se-Indonesia. Data itu kami kumpulkan selama kepengurusan periode 2011-2013, yang di dalamnya tercantum dengan rinci: jumlah cabang, jumlah anggota tiap-tiap cabang, serta data kelembagaan cabang seperti Korkom, KPC, Kohati, dan lembaga kekaryaan. Data itu tercantum dalam LPJ PB HMI-MPO periode kami. Saya tidak tahu apakah PB HMI berikutnya memperbarui data tersebut atau tidak. Namun demikian, besar dugaan saya kekuatan riil HMI-MPO dewasa ini mengalami kemerosotan dibanding periode sebelumnya. Dari data 2013 itu, cabang yang memiliki Korkom, KPC, Kohati, dan lembaga kekaryaan jumlahnya sangat kecil, bisa dihitung jari. Kalau KPC saja tidak dimiliki oleh sebuah cabang, maka bagaimana bisa kita mengharapkan LK-LK dilakukan secara memadai? Dalam sejumlah kasus, beberapa cabang malah menurunkan kader non-SC sebagai pemandu dan pemateri LK I. Kohati juga sama: beberapa cabang membentuk lembaga Kohati padahal anggota-anggotanya tidak pernah mengikuti Penataran Kohati atau Latihan Khusus Kohati. Mereka merasa bahwa setiap anggota putri HMI otomatis menjadi anggota Kohati, padahal sejatinya tidak demikian. Lemahnya kapasitas personel, peran, dan kelembagaan Kohati di cabang-cabang menyebabkan institusi Cabang melemah pula. Kenapa? Selain berfungsi sebagai pemasok SDM, Kohati juga sangat bisa diandalkan menjaga integritas dan independensi Cabang.

Badko sebagai ujung tombak pembinaan teritorial cabang-cabang HMI kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Badko malah acap kali ikut-ikutan menangani masalah politik-lokal di wilayahnya, padahal sejatinya Badko hanya mengurusi aspek internal organisasi. Tugas pokok Badko ialah melakukan pembentukan dan pembinaan cabang-cabang di wilayah kerjanya. Badkolah yang bertanggung jawab atas kondisi kesehatan cabang-cabang. Itulah kenapa kader yang ditunjuk sebagai pimpinan dan pengurus Badko mestilah pengader senior cabang yang memiliki jiwa dan dedikasi yang tinggi pada perkaderan, bukan mereka yang punya jiwa politik yang bergelora. Sementara itu, PB HMI kurang bisa kita andalkan berjibaku mengatasi kesehatan cabang-cabang yang kian merosot, sebab dalam logika Konstitusi saat ini: (1) PB sebatas pengambil kebijakan (regulator), bukan eksekutor lapangan secara teknis, (2) peran pembinaan cabang sudah didelegasikan kepada Badko, dan (3) PB didorong untuk lebih banyak berperan secara eksternal.

Masalah di Seputar Kongres

Benih polarisasi PB HMI-MPO muncul dari forum Kongres ke-32 yang sesungguhnya terbilang sukses dalam hal seremoni dan teknis penyelenggaraan. Kongres ke-32 boleh dikata sangat monumental, sebab di Kongres ini hadir Pj. Ketua Umum PB HMI (Dipo) dan mantan Ketum PB HMI (Dipo) lainnya, termasuk hadir pula Harry Azhar Azis (mantan Ketum PB HMI yang terkait dengan peristiwa di sekitar gejolak asas tunggal). Lebih dari separuh mantan Ketum PB HMI-MPO hadir—kehadiran mantan Ketum terbanyak dibanding Kongres-Kongres sebelumnya. Namun demikian, patut disayangkan bahwa Kongres ke-32 memiliki catatan buruk dalam aspek integritas, yang di kemudian hari memicu lahirnya polarisasi. Problematika seputar bobot dan tertib-konstitusi pada Kongres HMI-MPO belakangan ini sesungguhnya disebabkan oleh perangkat (keras dan lunak) Kongres yang bermasalah hampir secara keseluruhan, sebagai berikut:

Pertama, tidak ada lagi tradisi di mana SC Kongres mengirim draf materi pembahasan dalam Kongres sebulan/dua bulan sebelum hari-H Kongres kepada cabang-cabang. Di era sebelumnya, cabang-cabang HMI-MPO mendiskusikan dan memperdebatkan isi draf dari SC Kongres tersebut sebelum mereka berangkat ke Kongres; dengan demikian, mereka mengikuti Kongres tidak dengan kepala kosong. Diskusi mengenai draf Kongres tersebut biasanya mengundang para pengader senior atau alumni cabang yang dianggap paham Konstitusi dan punya gagasan yang bernas. Belakangan, draf Kongres baru didapatkan oleh cabang-cabang ketika sidang pleno di dalam Kongres, sehingga mereka tidak punya waktu yang cukup memikirkannya secara lebih jernih.

Kedua, di era yang lalu, cabang-cabang sangat selektif memberikan mandat kepesertaan Kongres, baik untuk peserta penuh/utusan maupun peserta peninjau. Peserta penuh yang diberi mandat oleh masing-masing cabang adalah presidium cabang dan pemandu senior di cabangnya. Peserta penuh yang berkualifikasi namun tidak memiliki dana pribadi untuk perjalanan, akan disubsidi oleh cabang supaya mereka tidak punya alasan untuk tidak menghadiri Kongres. Belakangan, mandat kepesertaan Kongres diberikan secara serampangan; yang hanya lepasan LK I (tapi punya dana pribadi untuk perjalanan) pun diberikan mandat demi memenuhi kuota kepesertaan. Keserampangan mandat utusan ini juga disebabkan oleh kurangnya anggota cabang yang memenuhi kualifikasi ideal (pemandu senior sekaligus presidium cabang) sebagai peserta penuh.

Ketiga, di masa lalu, PB HMI-MPO sangat tertib memberlakukan penstatusan cabang, yakni cabang penuh dan cabang persiapan. Di dalam Kongres, hanya cabang penuh yang diberi hak mengutus peserta penuh dan peserta peninjau; sementara cabang persiapan cukup mengutus peserta peninjau. Cabang persiapan tidak memiliki hak suara di dalam Kongres, baik untuk menilai LPJ PB HMI, mengusulkan/memilih formatur, dlsb. Belakangan, tak ada lagi klasifikasi yang ketat dari PB HMI mengenai cabang penuh dan cabang persiapan. Terkadang sebuah cabang-baru agak terburu-buru dinaikkan statusnya dari cabang persiapan menjadi cabang penuh, sementara kapasitas perkaderan dan kelembagaan cabang tersebut belum siap. Tiadanya disiplin penstatusan cabang membuat cabang yang baru dibentuk beberapa bulan saja sudah ikut memiliki hak suara di dalam Kongres. Ada sementara kandidat Ketum PB bahkan yang mendorong pembentukan cabang-cabang baru karbitan ini semata-mata untuk ia manfaatkan hak suara cabang tersebut guna memperoleh suara pada sidang pleno pemilihan formatur.

Keempat, penunjukan tuan rumah Kongres mulai didasari pada pertimbangan teknis dan politis an sich, bukan pertimbangan kelembagaan. Elite pengurus PB/Badko/Cabang yang mengincar posisi strategis seperti Ketum atau Sekjen, mendorong agar tuan rumah Kongres adalah cabang/wilayah yang memudahkan langkahnya untuk mencapai tujuan politisnya. Dalam hal pertimbangan teknis, tuan rumah ditunjuk hanya sekadar karena alasan kesiapan/kesanggupan pendanaan dan kepanitiaan, tanpa melihat kapasitas kelembagaan sang tuan rumah. Kesiapan/kesanggupan pendanaan dan kepanitiaan memang urgen, tapi kapasitas kelembagaan cabang tuan rumah jauh lebih urgen. Contoh yang paling mutakhir adalah penunjukan HMI Cabang Kendari sebagai tuan rumah Kongres ke-32. Secara teknis (pendanaan dan kepanitiaan), Cabang Kendari memenuhi kualifikasi tersebut; tapi apakah secara kelembagaan Cabang Kendari juga berkualifikasi? Faktanya HMI Cabang Kendari sukses menyelenggarakan Kongres ke-32 secara teknis, tapi belakangan elite HMI Cabang Kendari (Ketum Cabang dan Ketua Badko) justru berada di garis depan menolak hasil Kongres khususnya hasil pemilihan formatur. HMI Cabang Kendari menampar dan mempermalukan dirinya sendiri; padahal mestinya dialah (selaku tuan rumah) yang pasang badan membela mati-matian hasil Kongres yang sah, bukannya malah turut memelopori pengingkaran atas hasil Kongres, hanya gegara kandidat yang dibelanya gagal terpilih. Sungguh ironis!

Dalam Pedoman Struktur HMI-MPO, terdapat identifikasi kesehatan Cabang yang dibagi atas lima tingkatan, yaitu: (1) Awas, (2) Bina, (3) Sehat, (4) Kuat, dan (5) Mapan. Data mengenai identifikasi tersebut harus dimiliki oleh Badko dan PB HMI. Idealnya, cabang yang ditunjuk sebagai tuan rumah Kongres adalah Cabang kategori mapan, atau minimal kategori kuat; di bawah itu tidak layak ditunjuk sebagai tuan rumah Kongres. Cabang kategori mapan akan sangat mandiri, dan karena itu PB HMI tidak perlu banyak melakukan bimbingan dalam hal teknis penyelenggaraan Kongres. Pengalaman selama ini, Cabang kategori mapan jika ditunjuk sebagai tuan rumah Kongres akan menunjukkan sikap yang dewasa dalam menilai hasil Kongres, sekalipun hasil Kongres tidak selalu menguntungkan mereka secara politis. Tapi hal itu akan berbeda dengan penunjukan tuan rumah Kongres kepada Cabang tidak mapan.

Kelima, fenomena “mencalonkan diri” untuk menjadi Ketum baru tren dalam 15 tahunan terakhir di HMI-MPO, baik di Kongres apalagi di Musbadko, Konfercab, dan RAK. Di masa lalu, Ketum di struktur pimpinan HMI-MPO selalu “dicalonkan”—mereka menjadi Ketum karena terpaksa ataukah dipaksa, bukan karena menawarkan diri. Mencalonkan diri dan dicalonkan adalah dua hal yang beda: yang pertama si calon aktif, yang kedua si calon pasif. Makin ke sini jabatan Ketum rupanya makin berharga; sekaligus menandakan bahwa HMI-MPO sudah cukup besar dan menjanjikan. Di era sebelumnya, sang calon yang aktif berkampanye akan menjadi musuh bersama cabang-cabang, dan dijamin tak bakal terpilih. Di bab Kepemimpinan dalam Khittah Perjuangan HMI-MPO sebenarnya telah dijelaskan bahwa kepemimpinan merupakan amanah. Di dalam amanah tentu ada tanggung jawab besar baik morel, materiel, maupun spiritual. Karena kepemimpinan merupakan amanah, maka sejatinya ia tidak diperebutkan, bahkan kalau perlu dihindari atau dijauhi dalam konteks ini. Demikianlah doktrin adiluhung yang termaktub dalam Khittah Perjuangan. Tapi faktanya, dewasa ini jabatan di struktur kepengurusan HMI-MPO sudah diperebutkan bak piala. Tak jarang para pemburu jabatan itu melakukannya dengan menghalalkan segala cara. Penentuan posisi strategis di kepengurusan, misalnya Sekjen PB HMI, dilakukan secara transaksional, bukan atas pertimbangan kapasitas. Koalisi politik di dalam Kongres pada umumnya terjalin berdasarkan transaksi komposisi kepengurusan. Di organisasi lain yang demikian itu lumrah belaka, namun di HMI-MPO sejatinya tidak demikian sebab Khittah Perjuangan tak mengajarkan yang seperti itu.

Pencalonan diri para kandidat Ketum PB HMI-MPO makin ke sini makin canggih dan sistematik. Di lokasi Kongres, para kandidat gencar melakukan kampanye bahkan sebelum Kongres dibuka secara resmi. Kongres diwarnai gerilya dan lobi sana sini tim sukses kandidat Ketum kepada pemilik suara. Hotel di sekitar arena Kongres dibooking oleh kandidat tertentu guna mengarantina pemilik suara sekaligus sebagai basecamp tim sukses. Kandidat tertentu dan tim suksesnya gencar menjanjikan tiket perjalanan untuk Cabang-Cabang yang bersedia memilih mereka, dan peserta kongres yang mata duitan dan tak punya prinsip itu bersuka ria dengan gratifikasi demikian. Fenomena ini baru muncul secara sangat terbatas sejak Kongres ke-30 di Tangerang (2015), mulai menguat di Kongres ke-31 di Sorong (2018), menjadi tren di Kongres ke-32 di Kendari (2020), dan akan dianggap normal dan wajar di Kongres-Kongres berikutnya.

Pandemi Hedonisme

Seiring waktu, kini alumni-alumni HMI-MPO cukup banyak yang ekonominya boleh dikatakan mapan, terutama alumni yang berlatar belakang politisi, birokrat tinggi, dan pengusaha. Tak ayal, kemapanan ekonomi itu membuat institusi HMI-MPO kecipratan rezeki pula. Di lain sisi, anggota-anggota baru HMI-MPO juga cukup banyak yang datang dari kelas menengah bahkan menengah atas. Sejurus dengan itu, kesan “kere” yang berpuluh-puluh tahun akrab tergurat di wajah HMI-MPO perlahan-lahan pupus. Hal ini sebenarnya suatu berkah tersendiri dan tentunya patut disyukuri. Tapi situasi ini rupanya menimbulkan efek samping yang tak terbayangkan sebelumnya: pandemi gaya hidup hedonis di kalangan elite pengurus HMI-MPO.

Saya tak mengkhawatirkan apalagi keberatan dengan gaya hidup para alumni HMI-MPO, sebab hal itu adalah aspek privasi atau pilihan bebas masing-masing orang. Yang saya cemaskan adalah gaya hidup elite-elite pengurus HMI-MPO. Saya sendiri masih mengidealisasikan gaya hidup lama para aktivis HMI-MPO yang bersahaja dan asketis. Gaya hidup demikian telah terbukti dalam sejarah sukses menempa aktivis HMI-MPO untuk: (1) konsisten dan bernyali menghadapi rezim Orde Baru, (2) tetap idealis dan independen di masa-masa awal Reformasi, dan (3) terlatih dengan diskursus pemikiran intelektual yang berat. Menurut hemat saya hanya gaya hidup bersahaja dan asketislah yang paling cocok (kompatibel) dengan identitas HMI-MPO sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan. Sulit rasanya bicara soal perkaderan dan perjuangan kepada aktivis HMI-MPO yang hedonistis.

Pilihan untuk tetap bersahaja dan asketis membuat HMI-MPO tidak membutuhkan dana besar (yang berada di luar kemampuannya) untuk mengelola organisasi. Latihan-latihan kader, Konfercab, atau Kongres cukup dilangsungkan di tempat-tempat sederhana sehingga panitia dan pengurus HMI-MPO tidak perlu menggadaikan harga diri dan idealismenya guna memperoleh dana besar. Aktivis-aktivis HMI-MPO mesti menghindari gaya hidup ala kelas atas, sehingga ia tak perlu menjual integritas, martabat, dan kehormatannya guna mengongkosi gaya hidup mahal semacam itu. Di tengah kehidupan serba-materi (materialisme) seperti saat ini, gaya hidup sederhana dan asketis bagi seorang aktivis mahasiswa adalah sesuatu yang patut dibanggakan, bukannya malah diratapi dan membuat minder.

Seleksi Alam

Polarisasi di tubuh HMI-MPO yang melahirkan kubu sempalan Latupono cs, perlu dilihat dari sisi lain; bahwa polarisasi ini merupakan suatu ujian bagi HMI-MPO untuk segera memperbaiki dirinya sehingga ia bisa naik ke kelas yang lebih tinggi. Terjadinya polarisasi tersebut merupakan buah dari buruknya perkaderan dan kelembagaan HMI-MPO selama bertahun-tahun yang dikelola tanpa mengacu pada cita ideal Khittah Perjuangan, Konstitusi, atau pedoman yang ada. Ahmad Latupono sendiri bukan orang baru dalam konflik dan kegaduhan politis di tubuh PB HMI-MPO; yang bersangkutan dan kelompoknya dari Cabang Jakarta sudah saya hadapi sekitar sembilan tahun silam ketika saya memimpin PB HMI (2011-2013). Karena cukup mengenal Sdr. Latupono dan lingkarannya sedari dulu, maka saya tidak terkejut ketika kelompok ini melakukan aksi polarisasi. Lingkaran inilah yang dulu memantik bentrokan fisik di Kongres ke-28 di Pekanbaru (2011) dan Kongres ke-29 di Bogor (2013); di mana di kedua Kongres tersebut saya dan teman-teman berhadap-hadapan dengan mereka. Lingkaran ini jugalah yang ketika itu getol mempersoalkan pengadaan dan pembangunan sekretariat permanen PB HMI dan Gedung Training HMI—dengan menggunakan sejumlah tudingan. Maka ketika saya dapat kabar Sdr. Latupono sempat berupaya menduduki sekretariat PB HMI (yang dulu ditentangnya habis-habisan itu), saya hanya bisa senyum-senyum dari jauh.

Saya sendiri tak terlalu cemas dengan lahirnya kubu sempalan Latupono cs itu, sebab kubu ini dibangun di atas pijakan politik-pragmatis, bukan pijakan ideologi. HMI-MPO yang menyempal dari HMI (Dipo) tahun 1986 bisa bertahan lebih dari tiga dekade karena memang kelahiran HMI-MPO saat itu dilandasi oleh pijakan ideologi: dijiwai oleh spirit ajaran Islam dan idealisme gerakan mahasiswa. Saya tidak melihat paradigma ideologis itu hadir dalam manuver gerakan Latupono cs, sehingga saya yakin betul bahwa kelompok ini tak akan memiliki napas panjang. Bahkan besar dugaan saya bahwa kubu ini memang tidak dimaksudkan untuk bertahan dalam jangka waktu lama; artinya, jika kepentingan politik dan materielnya sudah tercapai, maka mereka akan bubar sendiri atau setidak-tidaknya memvakumkan diri sampai munculnya lagi momentum untuk dihidupkan guna dikendarai kembali. Hal lain yang meyakinkan saya tentang itu adalah bahwa di kubu Latupono cs tak ada satu pun pentolannya yang punya pengalaman panjang dan berdarah-darah dalam merawat perkaderan dan kelembagaan di HMI yang sangat kompleks. Satu dua orang memang ada yang pernah terlibat dalam mengelola pelatihan-pelatihan HMI dan menjadi elite pengurus Cabang, tapi lagi-lagi rekam jejak dan integritasnya tidak meyakinkan. Cabang Jakarta tempat asal Sdr. Latupono sendiri merupakan cabang yang berstatus tidak sehat alias sakit-sakitan lebih dari satu dekade terakhir. Kalau di cabangnya sendiri Sdr. Latupono terbukti gagal memperbaiki indeks kesehatan cabang, maka bagaimana mungkin kita yakin dengan gerakan Latupono cs ini? Belum lagi, lebih dari separuh Cabang yang mendukung Sdr. Latupono merupakan cabang-cabang baru yang tidak punya jejak historikal yang kuat di HMI-MPO. Dua cabang tradisional tua HMI-MPO di wilayah tengah dan timur, yaitu Yogyakarta dan Makassar, tak mendukung kubu Latupono.

HMI-MPO adalah organisasi yang sangat independen dari otoritas struktur negara/pemerintah. Salah satu bentuk independensi HMI-MPO adalah dalam aspek administratif. HMI-MPO sama sekali tidak terdaftar dalam sistem administrasi pemerintah. Kepengurusan HMI-MPO tidak memerlukan legitimasi atau pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM atau lembaga negara lainnya. Dengan demikian, ketika terjadi polarisasi kepengurusan seperti saat ini, maka kubu mana yang akan bertahan atau bernapas panjang akan sangat ditentukan oleh “seleksi alam”. Masa depan PB HMI-MPO versi Kongres ke-32 dan versi Latupono bergantung pada seberapa besar penerimaan komunitas HMI-MPO di cabang-cabang terhadap kedua kubu tersebut. “Komunitas” yang saya maksud di sini adalah warga Komisariat dan Cabang, serta alumni HMI-MPO. Komunitas HMI-MPO juga dikenal sangat sensitif terhadap aspek integritas. Mereka yang punya catatan integritas yang buruk akan segera terpelanting dari komunitas. Hadirnya pejabat teras Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pelantikan kubu Latupono merupakan blunder serius yang dilakukan Latupono cs, khususnya terkait aspek integritas, yang justru menimbulkan antipati yang kian luas dan kuat dari komunitas HMI-MPO terhadap kubu ini. Tudingan bahwa kubu Latupono turut disokong pihak luar melalui suatu operasi khusus, lantas mendapat pembenaran yang meyakinkan. Di sepanjang Orde Baru aktivis HMI-MPO kenyang betul berurusan dengan aparat intelijen, dan gelagat Sdr. Latupono yang menunjukkan kedekatannya dengan pejabat BIN, apa pun penjelasannya, justru membuatnya terpojok sendiri.

Sumber gambar: Qureta.com

Desa vs Covid-19

 

Ya, pembahasan masih belum move on, masih berkutat di isu Covid-19 yang nampaknya belum ada kejelasan kapan berakhir. Sangat kontradiktif hubunganmu dengan dia yang sudah selesai. Ya, sejak virus itu turba ke Indonesia dan menginfeksi orang-orang. Situasi sungguh berubah seratus delapan puluh derajat. Jalanan berubah lengang, sekolah tutup, warung makan tutup, juga hati. Pokoknya segala hal yang bisa mengundang interaksi orang-orang dibatasi. Begitulah kira-kira gambaran beberapa bulan yang lalu, tatkala Covid-19 baru saja ‘masuk’ Indonesia. Kita sungguh takut, juga waspada.

Kini, berbulan setelahnya. Situasi nampaknya kembali seperti biasa, meski tak senormal sebelumnya. Ahh, ribet amat. Sebut saja New Normal. Di Bantaeng disebut dengan istilah yang lebih mudah “Kebaikan Baru”. Beda penamaan saja. Namun, sepertinya ini merupakan salah satu upaya psikologis Pemerintah mengedukasi warga. Memakai masker, rajin cuci tangan, dan menjaga jarak adalah kerja-kerja kebaikan, tak ada bedanya dengan kebaikan lainnya, dan bukankah semua hal baik itu selalu mendatangkan manfaat? Di sisi lain, Istilah kebaikan baru nampaknya lebih mudah diterima. Kalau New Normal terlalu kebarat-baratan, apatah lagi menyebut istilah tersebut langsung menerbangkan memori kita pada trauma kematian orang-orang akibat pandemi.

Sebagai orang yang tinggal di desa. Sebenarnya, sejak Covid-19 masuk ke Indonesia dan turba ke wilayah Indonesia. Nampaknya, masyarakat di desa adalah yang paling santuy menanggapi pandemi ini. Namun, jangan disalahpahami ke-santuy-an kami. Maksudnya, masyarakat desa tetap beraktivitas normal seperti biasa: bertani dan beternak. Sawah dan kebun tak mungkin ditutup kan? Rasa-rasanya para petani di desa adalah pekerja paling aman di tengah pandemi, bebas dari PHK, juga dari virus.

Jika pun ada yang merisaukan kami, mungkin karena harga komoditi pertanian yang tidak stabil akibat pandemi ini. Tersendatnya mobilitas barang menjadikan harga komoditas pertanian menjadi fluktuatif. Juga penutupan masjid-masjid untuk sementara waktu, juga sempat membuat warga desa bingung. Namun, mereka lekas paham dan tidak bandel setelah diberitahu. Setidaknya begitu di desa saya, meski di awal-awal sempat terjadi juga ‘penolakan’ juga oleh sebagian warga.

Apakah masyarakat desa aman dari Covid-19? Saya tidak bisa menjamin seratus persen. Yang bisa saya pastikan, bahwa kami di desa juga takut terhadap virus ini. Ketakutan itulah mungkin yang menjadikan kami lebih waspada jika keluar. Ibu-ibu di desa kalau ke pasar pasti menggunakan masker, berusaha tidak bersentuhan saat bertransaksi, juga langsung mandi setelah pulang ke rumah. Terkadang, ketakutan justru menjadi penyelamat kita dalam situasi seperti ini. Takut yang wajar, tidak dilebih-lebihkan. Apalagi dilebay-lebaykan.

Bagaimana dengan bapak-bapak? Tak jauh beda, saban pagi sehabis ngopi mereka ‘ngantor’ di kebun atau sawah, merawat tanaman juga ternak. Kalau capek, pulang ke rumah: tidur. Kadang juga bercengkrama dengan anak, istri dan tetangga dekat rumah. Bapak-bapak di kampung sangat jarang keluar desa. Mereka keluar kalau ada hal penting saja, misalnya hajatan keluarga. Apatah lagi ketika hajatan untuk sementara dilarang, semakin jaranglah mereka keluar desa.

Kalaupun ada yang berpotensi ‘merusak’ desa dengan membawa virus dari luar, ya pastilah anak-anak muda. Kenapa? Merekalah yang paling aktif bepergian, entah mengurus apa, entah ketemu siapa. Anak muda juga ini juga yang paling ‘bandel’ menanggapi Covid-19 ini. Malas pakai masker, malas cuci tangan, malas jaga jarak sama mantan, ehh. Apatah lagi, jika kepala mereka sudah dibanjiri arus informasi yang tak sanggup lagi mereka filter benar salahnya, juga baik buruknya. Banjir informasi sungguh berbahaya jika tak dilengkapi dengan saringan berpikir yang baik.

Hingga hari ini, Covid-19 masih berkeliaran di sekitar kita, dan jika Sir Mark Walport yang menjadi Penasehat Kelompok Penasihat Ilmiah Untuk Keadaan Darurat Inggris itu benar, maka virus Covid-19 ini akan hadir selamanya dalam beberapa bentuk dan lainnya. Inilah alasan mengapa kewasapadaan dan kewarasan mesti terus dijaga.

Beraktivitas seperti biasa di era ‘kebaikan baru’ memang sah-sah saja, dan bahkan dianjurkan untuk beberapa alasan. Namun, tetap saja, kewaspadaan masih harus tetap diperhatikan. Jangan sampai, kelengahan kita bisa menyebabkan lahirnya klaster-klaster baru hingga bermuara pada lahirnya gelombang kedua Covid-19. Jangan sampai.

Sebagaimana yang telah terjadi di Vietnam di awal bulan ini, setelah tiga bulan sebelumnya tidak mencatat penularan lokal, kini Vietnam sedang berjuang menangani gelombang kedua Covid-19, sebagaimana dilansir oleh Liputan6.com yang dikutip dari Channel News Asia.

Di Korea Selatan juga terjadi hal serupa, yang mencatat kenaikan harian tertinggi sejak bulan Maret. Klasternya berasal dari sebuah gereja Salang Jeil di Seoul, juga dari demonstrasi politik. Alasan utama penyebaran virus ini tentu saja akibat pengabaian protokol kesehatan yang sebelumnya telah diperingatkan oleh Pemerintah. Jika keadaan tetap tidak berubah, maka Pemerintah akan memberlakukan status keadaan darurat level 3, yang berarti sekolah harus ditutup kembali dan murid mesti belajar daring kembali dan pertemuan ruangan lebih dari 10 dilarang.

Saya rasa, masyarakat Indonesia bisa belajar dari dua kasus di atas. Covid-19 masih ada hingga kini, karenanya waspada di era ‘kebaikan baru’ adalah hal yang tak bisa dipandang remeh. Penting untuk memiliki rasa takut, bersikap berani yang tidak pada tempatnya hanyalah bentuk kearogansian semata. Karenanya, Bersikap waspada di tengah pandemi adalah sebentuk ikhtiar menjaga kedaulatan dan kemerdekaan negeri dari tirani Covid-19.

Tetap waspada, Bro.