Toilet

Selama di Amerika, saya akan mencoba menuliskan beberapa hal positif dari perilaku dan interaksi masyarakatnya yang menurut saya sangat patut kita ikuti dan teladani. Eh tunggu dulu, sepertinya kita tidak perlu ikut-ikutan dan meneladani, karena sepertinya apa yang mereka lakukan di sini terkait kedisiplinan, kebersihan, keteraturan dan penghormatan tanpa sekat sosial sudah jauh dikenalkan lewat naskah-naskah suci agama dan pesan-pesan adat budaya kita. Mungkin lebih tepatnya untuk mengingatkan kita bahwa ada bangsa di luar sana yang jauh lebih mengamalkan nilai-nilai positif yang kita tuliskan dalam lembaran-lembaran kitab suci dan lontara’ kita, dibanding kita sendiri, terutama saya secara pribadi.

Tulisan berikut ini boleh jadi subjektif, karena memang yang saya jadikan patokan hanyalah kampus saya di Northern Virginia Community College. Tapi tak apalah kita belajar sedikit. Di Amerika, salah satu konsep dasar dalam bermasyarakatnya adalah Equality atau Kesetaraan. Saya belum terlalu mengamati bagaimana kondisi lingkungan kerja di lembaga-lembaga swasta, namun untuk lembaga pemerintah, kesetaraan itu sangat terasa.

Ada beberapa contoh yang mungkin bisa saya sampaikan. Pertama, kebanyakan dosen di sini lebih senang dipanggil dengan namanya langsung, embel-embel Profesor tidak terlalu menjadi patokan utama bagaimana mereka disapa, meskipun mereka sebenarnya adalah para profesor dengan ratusan publikasi internasional.

Kedua, di dalam kelas, pada beberapa mata kuliah, anda bebas untuk makan dan minum asal tidak mengganggu proses belajar mengajar didalam, karena makan dan minum adalah hak anda. Bahkan, suatu ketika, teman saya pernah tertidur hingga mendengkur di dalam kelas, profesor yang sedang mengajar saat itu hanya berkata “Kasihan, sepertinya dia sangat lelah hari ini”. Alhasil teman saya itu tidur di dalam kelas dengan penuh kedamaian sampai kelas usai.

Ini bukan berarti di semua kelas kita bisa melakukannya. Karena pada beberapa mata kuliah juga ada dosen-dosen yang lumayan ketat untuk urusan makan-minum, menggunakan telepon genggam apalagi tidur dalam kelas, tapi, jikalau pun kita melakukan hal itu, mereka akan menegur dengan cara elegan seperti seorang teman yang mengajak kita keluar sebentar lalu berbicara empat mata dan kadang menawarkan solusi seperti apakah kita butuh waktu untuk makan ataupun menggunakan telepon genggam saat di dalam kelas.

Intinya, masing-masing dosen di sini punya karakteristiknya masing-masing, mulai dari yang paling slengean dengan mengajar di kelas dengan celana jeans, baju kaos polo dan beberapa tato keren di badan, sampai yang sangat ketat dengan berbagai macam aturan yang membuat kita serasa belajar di negeri sejauh belasan ribu kilometer disana. Tapi satu poin utama bahwa posisi dosen dan mahasiswa dalam hal berinteraksi satu sama lain boleh dibilang sangat setara. Mereka semua sangat terbuka dan menerima semua masukan yang kita berikan terkait bagaimana proses belajar mengajar yang akan kita jalani kedepan.

Namun, berlepas dari prinsip kesetaraan di kelas itu, ada satu hal yang setelah sekian lama baru saya sadari. Di sini, saya juga bekerja paruh waktu di kantor kampus di bagian Faculty and Staff Resource Center. Di kantor ini pula lah ruangan Dekan berada. Setelah bekerja sekitar satu bulan, saya baru menyadari bahwa ruangan dekan ini hampir sama besar dengan ruangan staf lainnya. Di dalamnya hanya ada beberapa komputer dan setumpuk berkas. Printer disediakan di ruang tengah dengan koneksi nirkabel.

Jadi, bila “Pak Dekan” hendak mencetak sesuatu di komputernya, dia tetap harus berjalan keluar ruangan dan mengambil hasil printnya. Beberapa kali saya menawarkan dia untuk memanggil saya saja untuk mengambilkan hasil printnya tapi dia menolak. Menurutnya, kita semua sama di sini, yang membedakan hanya Jobdesk dan tanggung jawabnya.

Belum lagi bila kita berbicara bagaimana mereka berinteraksi di kantor. Sangat jauh berbeda dengan apa yang saya lakukan di Indonesia. Prinsip equality alias kesetaraan itu memang betul-betul sudah mendarah daging di sini. Pernah suatu hari, di hari pertama saya bekerja di sini, seorang staff kampus datang kepada saya di kantor dan bertanya kurang lebih begini “Hey, si Brad masuk kantor kah hari ini?” Saya pun bingung dan mencoba bertanya kepada staf lain yang lebih senior.

Saya bertanya kurang lebih begini “Eh, di depan ada staf yang cari si Brad, si Brad itu staf bagian mana?”. Teman saya dengan santainya menjawab, “Owh sepertinya dia masuk hari ini. Coba kamu cek di ruangannya di ujung sana.” Saya pun berjalan menuju keruangan paling ujung itu dan menemukan sebuah nama di pintu yang bertuliskan “Dr. Bradley, Dean of LRT”. What? Ternyata si Brad itu pak dekan yah? Saya sepertinya lupa bahwa dalam banyak hal di sini, gelar akademik dan jabatan hanya dipakai di saat kepentingan akademik dan kepentingan dinas. Jadi bila berinteraksi biasa saja, semua itu hilang.

Dari sekian banyak peristiwa unik yang saya alami di sini, saya menemukan satu hal yang menurut saya sangat lucu. Tidak seperti di negara yang berjarak belasan ribu kilometer dari sini, yang di setiap ruangan “bosnya” selalu memiliki toilet dan ruang tamu masing-masing, di sini, ruangan si Dekan tidak memiliki ruangan tamu dan toiletnya sendiri. Hampir semua mahasiswa, staf, dosen hingga dekan di sini menggunakan toilet umum yang tersedia, alhasil, hampir 80% toilet umum di kampus ini selalu bersih dan harum sepanjang hari.

Mungkin karena toilet umum di sini memang betul-betul “Umum”, alhasil pihak-pihak yang bertanggung jawab mengelola kebersihan dan kenyamanan toilet bakal bekerja serius dalam mengelola toiletnya karena si “Big Boss” juga memakai toilet yang sama dengan yang dipakai mahasiswa dan stafnya. Apakah kita juga bisa menerapkannya?

 

Sumber gambar: Google

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *