Hari menjadi kering. Kemarau panjang melunasi banjir sebelumnya. Aku tak menduka mengalami kemarau yang entah ujungnya seperti apa. Entah hujan akan datang di saat seperti apa. Aku mengalami dahaga yang entah seperti apa aku mengakhirinya. Semenjak kepergiannya, segalanya seperti hancur lebur. Tak ada yang tersisa. Hati jadi remuk. Gairah jadi hilang. Aku linglung. Dia tak akan pernah kulihat lagi.
***
“Aku mencintaimu.”
Aku mengucapkan kata itu sebagai ungkapan rasaku kepadanya. Aku merasa ini sudah waktu yang tepat setelah bertahun-tahun aku memendamnya. Aku masih ingat persis situasi apa aku mengatakannya. Di saat hujan sedang turun pelan-pelan. Tak begitu deras, namun awet hingga sudah melahirkan genangan pada lubang jalan yang kami lalui. Motor Jupiter Z yang kupunya menjadi saksi hari itu. Dia tak menjawab. Dia hanya diam sambil memegangi ujung bajuku untuk menahan dirinya agar tidak terguncang dengan jalan berlubang kami lalui.
Setiba di rumahnya, sebelum membalikkan badan menuju pintu rumahnya, dia mengucapkan terima kasih kepadaku karena telah ditemani belanja untuk keperluan rumahnya. Setiap hari minggu dia memang selalu menyempatkan pergi belanja ke swalayan untuk kebutuhan rumahnya. Aku hanya mengangguk kepala sebagai tanda ucapan sama-sama. Walau dalam hati aku masih berharap dia mau membahas pernyataan cintaku padanya.
Aku belum beranjak dari depan rumahnya hingga benar-benar dia hilang di balik pintu yang ia tutup kembali. Setelah itu, barulah aku membunyikan motorku, lalu melaju pelan menelusuri jalan sambil memikirkan apa yang telah aku lakukan. Sedikit sesal hadir dalam pikirku. Mengapa aku harus mengatakan perasanku padanya. Tidakkah itu bisa membuat kedekatanku dengannya berjarak. Kenapa aku tidak menyimpan saja rasa cintaku padanya. Seperti selama ini. Mengalami sendiri tanpa harus membagi kepadanya. Bagaimana jika dia menolakku? Perasaanku kalut.
Hari Minggu datang lagi. Seperti biasa melalui pesan singkat dia meminta tolong ditemani. Mengantarnya pergi belanja. Di perjalanan menuju rumahnya, pikiranku penuh harap namun cemas. Mungkin kali ini dia sudah akan menjawab cintaku. Tapi kira-kira seperti apa jawabannya. Apakah menerima atau menolak. Gejolak jiwaku semakin tidak menentu.
Saat aku tiba di depan rumahnya. Dia sudah menunggu di teras rumah. Rumahnya sangat besar seperti istana. Aku belum pernah masuk ke dalam rumahnya. Dengan melihat dari tampak depan, aku hanya bisa mengira-ngira bahwa di dalamnya pasti mewah. Perabotnya bisa jadi impor dari luar. Dia pasti punya pembantu. Membantu untuk mengurus segala keperluan rumah. Tapi kenapa dia yang harus pergi belanja mingguan? Semua hanya tinggal pertanyaan. Aku tak berani mempertanyakan semunya. Aku hanya sering menunggu dia bercerita di sepanjang jalan menuju swalayan. Lalu tanya lain yang sering pula muncul kenapa dia tidak naik mobil ke swalayan. Secara, beberapa mobil yang bermerek terparkir digarasinya? Aku hanya mencoba membuat hipotesis sendiri, bisa jadi kalau bawa mobil jadi ribet karena jalan padat kendaraan, semuanya bisa lambat, atau barangkali ini cara dia untuk bertemu denganku.
***
Aku pertama kali bertemu Rani, Rani Afriani nama lengkapnya, di sebuah forum di kampus. Kala itu, kami sama-sama nimbrung dalam diskusi tentang feminisme. Aku lihat dia di antara para peserta. Satu hal menarik perhatianku kala itu adalah buku yang dibawanya. Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi dipeganginya sambil serius memperhatikan narasumber berbicara. Perempuan di Titik Nol sebuah novel yang ingin membela perempuan dari budaya patriarki. Ini budaya yang cukup lama menekan perempuan. Tak hanya Mesir sebagaimana setting novel itu, Nawal seperti mewakili seluruh perempuan di dunia.
Setelah diskusi selesai, aku menghampirinya. Lalu tegur sapa berjalan. Sekadar basa basi. Tanya nama satu sama lain. Kami akhirnya kenalan. Lalu berlanjut mengenai buku yang dibawanya.
“Sudah selesai membaca buku itu,” tanyaku sambil menunjuk buku yang dibawanya. Buku Nawal yang bersampul merah itu.
“Belum, sedikit lagi,” jawabnya singkat sambil memperlihatkan pembatas bacaannya.
“Kamu sudah membacanya,”
“Sudah, bulan yang lalu,” jawabku.
“Selesai aku baca kita bisa diskusi ya,” pintanya padaku. Mendengar itu, aku menganggukkan kepala tanda setuju.
Aku kira dia tidak seterbuka itu. Dugaanku ternyata kurang tepat. Tapi, dugaanku juga tidak sepenuhnya salah. Dia memang tertutup hal-hal lain. Selain bicara buku semuanya susah untuk diakses. Tak banyak kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya. Banyak rahasia yang ia simpan dalam pikiran dan hatinya. Kita tak bisa menebaknya.
Berselang dua hari dari acara diskusi itu, aku ketemu lagi dengannya di gazebo kampus. Di situlah aku diskusi buku Perempuan di Titik Nol. Aku banyak mendengar, sesekali saja aku menanggapinya. Ia sangat detail mengurai Patriarki. Baginya ini budaya sudah lama membunuh potensi perempuan. Beberapa generasi perempuan tidak bisa mengembangkan diri seutuhnya. Bayangkan jika budaya ini tidak ada dan sepanjang sejarah menjajah perempuan kita akan melihat bagaimana kontribusi besar perempuan dalam membangun dunia.
Semenjak diskusi di gazebo itu, akhirnya kami sering janjian. Ketemu dan mendiskusikan buku-buku yang masing-masing kami baca. Seiring waktu aku dan dia semakin akrab. Perasaanku yang awalnya seperti biji saat pertama kali melihatnya, kini semakin tumbuh dan sehat. Kebahagiaan mengisi ruas-ruas hatiku. Aku tak sabar menunggu waktu dan hari di mana kami janjian. Terus dan terus aku merasakan derita bila tak bertemu dengannya. Walau semua yang kurasai belum kusampaikan padanya. Tetap saja aku bahagia. Cintaku tak mesti aku sampaikan. Biarlah aku menyimpannya hingga ia menemukan waktunya sendiri untuk diungkapkan.
***
Rani seperti misteri yang memiliki lapis-lapis makna. Aku selalu saja terjebak pada dugaan yang tidak tepat. Aku tak bisa mengurainya dengan utuh. Selalu saja ada sisi yang terlewatkan. Berulang kali aku salah. Sudah bertahun-tahun aku mengenalnya. Tapi, tak banyak bisa aku ketahui. Tentang keluarganya ia sangat tertutup. Walaupun aku sudah terbuka bercerita keluargaku padanya. Hampir semua yang rahasia aku ceritakan dengan harapan dia bisa bercerita kembali. Namun, itu perbuatan sia-sia yang kulakukan. Dia datar menanggapi semua ceritaku. Aku pernah sekali memintanya bercerita tentang dirinya atau keluarganya, dia hanya bilang tak ada yang menarik dicerita dari diri dan keluarganya. Mendengar jawabannya itu, aku tak pernah lagi memintanya bercerita.
Entah dengan berjalannya waktu, semakin kesini, aku menjadi yakin bahwa akulah teman satu-satunya sangat akrab yang lain hanya teman begitu saja. Tak ada satu pun teman kelasnya yang karib padanya. Semua berjalan biasa. Apalagi teman kelasnya tidak ada yang suka pada buku. Sedangkan dia hanya ingin bercerita tentang buku. Ada satu seniornya, perempuan yang biasa ia temani, juga suka sekali membaca buku, namun satu tahun terakhir mulai sibuk dengan skripsi. Tidak ada lagi waktu mengajaknya mengobrol. Akhirnya, aku menjadi pilihannya. Mungkin saja aku adalah pilihan terakhir yang memiliki kesenangan yang sama pada buku. Atau bisa jadi, ia juga menaruh hati padaku. Tapi, entah. Aku tak bisa menebaknya.
“Hari ini selesai baca buku apa?” aku mulai mengobrol dengannya. Dan selalu begitu memulainya. Seperti sudah menjadi template.
“Aku baru saja selesai membaca Albert Camus,” jawabnya
“Buku yang mana?” tanyaku lagi
“The Outsider,”
Aku sangat terkesan apa yang dilakukan oleh Mersault. Albert Camus membuat tokoh yang mengusik apa yang hilang dari manusia yakni kejujuran. Mersault sangat jujur dengan kehidupan yang dimilikinya. Tak ada kepura-puraan. Semuanya ditampilkan apa adanya. Aku sangat ingin seperti tokoh di buku ini. Begitu ia melanjutkan setelah menyebutkan judul bukunya. Lagi-lagi aku hanya mendengar. Jika berhadapan dengannya dan mulai bicara buku, aku lebih banyak mendengar. Aku melihat dia sangat antusias jika mulai memaparkan buku yang dibacanya.
Di pertemuan selanjutnya, masih sama. Tak ada yang lain mengisi pembicaraan kami. Cuma yang berbeda dari sebelumnya, jenis buku yang kami bicarakan. Walau kadang jika ada hal yang menurutku berbeda apa yang kumaknai dari buku yang dibicarakan, bisa melahirkan debat yang serius di antara kami. Apalagi jika aku secara sengaja memilih argumentasi lain, diskusinya bisa jadi panjang. Tapi jarang aku melakukan hal seperti itu. Biasanya kulakukan, jika aku ingin melihatnya lama-lama. Menatap wajahnya yang tirus dengan balutan jilbab yang pas. Melihat bola matanya yang agak besar, hidungnya tidak terlalu mancung dan giginya yang rapi. Mengamati dagunya terbelah, bibirnya yang tipis dan lesum pipinya begitu mungil.
Masih sama, dua hari setelah kami berdebat serius, kami ketemu lagi di tempat biasa. Di gazebo kampus. Gazebo selalu saja kosong jika kami janjian di tempat itu. Seolah-seolah tempat itu dibuat untuk kami. Karl Marx jadi topik kami. Aku bilang padanya sesekali ia perlu membacanya. Ternyata dia sudah pernah membacanya. Menurutnya, hal dia sukai dari Marx yakni semangat perlawanannya terhadap ketidakadilan. Teori-teorinya dibuat untuk membela yang termarginalkah. Mengurai realitas yang timpang. Dia berharap ada tokoh Islam yang demikian. Mendengar itu, aku sarankan untuk membaca Ali Asgar, Hasan Hanafi dan Ali Syariati. Tokoh Islam punya semangat membela keadilan. Melawan penindasan. Menafsirkan Islam dengan semangat pembebasan. Mendengar saranku, dia akan membacanya di lain waktu katanya.
***
Kampus jadi rusuh. Ribuan mahasiswa melakukan protes. Gedung perkuliahan ditutup oleh demonstran. Dosen-dosen tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya pasrah melihat massa yang begitu banyak. Setelah pengumuman oleh Lembaga Anti Korupsi (LAK) bahwa salah satu pejabat tinggi korupsi Bantuan Sosial (Bansos) mahasiswa jadi marah. Ini adalah akumulasi kemarahan setelah sebelum-sebelumnya pejabat selalu lolos dari proses hukum. Namun, kali ini sulit rasanya pejabat itu lolos. Tekanan publik sangat kuat. Semua media memberitakan dan menjadi headline.
Aku salah satu dari ribuan massa yang ikut melalukan demonstrasi menuju gedung LAK. Di antara kerumunan itu, aku mencari-cari Rani. Sebenarnya, suatu yang sulit menemukan Rani dari ribuan massa yang ada. Aku hanya sempat melihat seniornya yang sibuk skripsi. Mungkin dia lagi mumet dengan skripsinya hingga mengisi waktu turun demo atau bisa jadi ini bentuk pedulinya terhadap masyarakat yang uangnya telah dikorupsi, begitu gumamku dalam hati setelah dari jauh kami hanya saling melempar senyum.
“Pancung koruptor…!!!
“Habisi kroni-kroninya…!!!
“Hidup rakyat….!!!
“Hidup mahasiswa….!!!
Teriakan-teriakan mahasiswa di depan gedung LAK menggema. Di balik gemuruh suara mahasiswa, aku tetap sibuk menoleh kiri kanan mencari Rani. Aku tetap berharap bisa melihatnya lalu mendekatinya. Bagiku, ini adalah momen paling romantis bisa bersama berjuang untuk rakyat, ditemani atau bersama dengan orang yang dicintai, walaupun belum pasti dia mencintai kita atau tidak. Tapi sampai demonstrasi selesai, aku tak bertemu Rani. Sampai di kampus kembali, Rani benar-benar tidak aku dapati. Jangan-jangan dia tidak ikut demonstrasi, ah tidak mungkin. Begitu aku menyangga pikiranku sendiri. Secara, dia sangat benci yang namanya korupsi. Beberapa kali juga dia ikut demo dengan isu yang sama. Beberapa kali juga dia menyampaikan kepadaku penuh amarah bahwa betapa merugikannya para koruptor itu.
Sehari setelah demo besar-besaran, media sudah memberitakan penangkapan Mulyono pejabat yang korupsi itu. Mulyono diduga korupsi 100 Milyar dana Bansos. Di media wajahnya ditampilkan, tapi raut wajahnya tak menampakkan penyesalan. Ketika dicegat oleh wartawan dan tanyai dia malah senyum-senyum saja. Sungguh menjengkelkan melihatnya. Aku sampai meludahi TV yang menampilkan wajahnya. Koruptor seperti Mulyono wajib dihukum seberat-beratnya, begitu pikirku. Dan, memang seperti itu tuntutan teman-teman mahasiswa. Mereka harus dimiskinkan. Segala kekayaannya baiknya disita.
Dua hari setelah penangkapan Mulyono, kehebohan terjadi lagi. Semua media memberitakan dan headline. Beritanya masih mengenai Mulyono. Kali ini, berita mengenai bunuh diri anaknya. Salah satu anaknya gantung diri di kamarnya. Menurut pemberitaan, anaknya bunuh diri karena merasa malu bapaknya jadi koruptor. Awalnya aku hanya mendengar dari teman-teman mahasiswa. Belum menonton langsung. Karena penasaran, akhirnya menyempatkan mampir di kantin kampus menonton beritanya. Tak lama aku, menonton aku begitu kaget, karena nama yang tertera di keterangannya sangat jelas tertulis Rani Afriani.
Wajah anak yang bunuh diri oleh TV diburamkan sehingga aku tidak bisa memastikan apakah itu benar-benar Rani. Tapi, hatiku mulai deg-degan. Pikiranku bercampur baur. Apakah benar Rani, atau hanya namanya saja yang mirip. Untuk memastikan semuanya, aku mencoba mendatangi teman kelasnya. Mencarinya di ruangan biasa mereka tempati kuliah. Di sana aku dapati teman-temannya berkumpul saling berhadap-hadapan dengan wajah sedih. Melihat itu, detak jantungku semakin tak karuan. Sedikit sesak menyerangku. Napasku terasa tidak teratur. Setelah masuk dalam kelas aku bertanya.
“Benar itu Rani?”
“Benar, itu Rani,” dengan hampir serempak, mereka menjawab sambil menoleh kepadaku. Aku seperti ingin terjatuh. Tubuhku rasanya tak bertulang. Aku berupaya menahan tubuhku agar tetap berdiri kokoh, lama-kelamaan aku jadi lemas dan hampir jatuh. Untung salah satu dari mereka datang memegangiku dan menuntunku untuk duduk di kursi. Mereka memang tahu, bahwa aku memiliki kedekatan dengan Rani. Bahkan kebanyakan dari mereka menganggap bahwa aku adalah kekasih Rani.
“Kapan kalian ke rumah Rani?” aku bertanya ke mereka, setelah sekian menit duduk di kursi dan menenangkan perasaan. Memperkuat kembali otot-ototku.
“Hari ini sepulang kuliah,” salah satu dari mereka menjawab.
“Oo, aku ikut rombongan kalian ya,?”
“Baiknya begitu,” salah satu dari mereka meresponku.
“Ya,” jawabku singkat.
***
Di jalan menuju rumah Rani, sesak di dada sanga terasa. Apalagi kenangan tentangnya terbayang. Air mataku menetes dengan sendirinya bila semuanya teringat kembali. Aku masih belum percaya mengapa dia memilih jalan seperti ini.
Setelah menempuh dua puluh menit naik angkot, kami akhirnya tiba di rumah Rani. Tampak orang sudah ramai. Ada juga beberapa polisi menjaga-jaga. Kami dipersilakan masuk ke dalam rumah. Baru kali ini aku masuk ke dalam rumahnya pas dia telah pergi. Rumahnya benar-benar istana. Tubuh Rani sudah terkujur dan ditutupi sarung. Aku melihat ibunya tak henti-hentinya menangis. Sambil mengucapkan kata “maafkan aku, Nak.”
Kami dipersilakan lebih dekat lagi dengan mayat Rani oleh salah satu keluarganya. Mungkin itu adalah kakaknya. Aku lihat wajah mirip dengan Rani. Ibu Rani, semakin meraung pas melihat kami bergantian mendekati dan melihat mayat Rani. Pas giliranku melihat mayat Rani, menatap wajahnya yang sudah pucat rasanya aku ingin berteriak, aku ingin meraung. Kekasih yang aku cintai benar-benar telah pergi. Tapi semuanya masih tertahan dengan takut melahirkan keheranan bagi keluarganya. Melahirkan pertanyaan siapa aku yang harus menangis seperti itu. Satu hal tak bisa aku tahan, air mata tetap menetes, tapi buru-buru aku mengelapnya dengan tanganku. Agar kelihatan sewajarnya saja bersedih. Sewajar sebagai teman kuliah.
Proses pemakan selesai. Aku dan teman-teman kelasnya, juga sudah ingin kembali ke rumah masing-masing. Di saat kami sementara menunggu angkot, tiba-tiba datang seorang perempuan yang sudah berumur. Rambutnya sebagian sudah memutih, menghampiri kami. Dia asisten rumah tangga di rumah Rani.
“Siapa di antara kalian bernama Ardi,” tanya kepada kami
“Aku Bu,” sambil mengangkat tangan
“Nak, ini ada titipan surat dari Nak Rani sehari sebelum dia meninggal, dia berpesan agar diberikan kepada Nak Ardi jika sudah datang ke rumah,” kata perempuan itu sambil menyerahkan surat itu.
Tanpa aku bertanya panjang, surat itu kuambil dan langsung kumasukkan dalam tas ranselku. Yang keluar dari mulutku hanya ucapan terima kasih kepada ibu itu. Ibu menganggukkan kepala kemudian memintaku bersabar. Katanya, dia mengenalku sebab Rani banyak bercerita tentangku kepadanya.
***
Aku sudah tiba di rumah. Langsung masuk ke kamar. Di dalam kamarku, aku membuka kembali tas ranselku mencari surat Rani. Aku sudah tak sabar membacanya. Suratnya sudah kudapat di antara sela-sela buku yang sedang kubaca. Melihat surat Rani, mulai terbayang wajah, gerak langkah dan tuturnya. Air mataku lagi tak terbendung. Di situ aku betul-betul melampiaskan semuanya. Berteriak sekencang-sekencangnya. Meraung. Menangis sejadi-jadinya. Perlahan aku mengatur napas, walau masih tersedu-sedu. Aku ingin mulai membaca surat Rani. Kubuka pelan-pelan suratnya. Amplopnya sedikit basah dengan air mataku.
Dear, Ardi Ardiles
Terima kasih atas waktu yang engkau berikan kepadaku selama ini. Kehadiranmu menemaniku bercerita dan berdebat banyak hal khususnya perihal buku sejatinya dapat mengurai kesepianku di rumah.
Kebersamaan kita beberapa tahun ini, benar-benar membentuk cara aku berpikir. Buku yang kita pertukarkan benar-benar membentuk kepribadianku. Diskusi kita tentang Albert Camus, Marx dan pemikir-pemikir yang lain membuatku mengerti bahwa hidup yang kita hadapi memang bajingan. Dan aku merasakannya sangat dekat yaitu dalam rumahku sendiri.
Aku minta maaf, jika selama ini aku punya salah kepadamu. Mungkin engkau bertanya mengapa aku memilih jalan ini, sebagaimana yang sering kita diskusikan bahwa korupsi adalah penyakit ekstrem yang mengatasinya dengan menghabisi semua kroni-kroninya. Memiskinkannya. Atau membunuh mereka secara sosial. Tapi ternyata korupsi itu merajalela dalam rumahku sendiri. Oleh ayahku. Aku memilih tak hanya bunuh sosialku, aku memilih yang lebih ekstrem yakni menghilangkan nyawaku. Sepertinya cara ini, mungkin bisa menyadarkan kita bahwa korupsi memang sesuatu yang kejam.
Satu minggu sebelum pengumuman LAK, aku sudah tahu bahwa ayahku korupsi Dana Bansos, ayahku jujur pada ibuku dan aku sempat mengupingnya. Tapi, Ardi tahu kamu, selama ini sebenarnya aku sudah risi dengan segala kemewahan yang dimiliki oleh orang tuaku. Fasilitas mereka punya sudah menimbulkan banyak kegelisahan dalam hatiku. Itulah membuat batinku bergejolak. Pernah sekali aku bertanya pada ayahku dari mana semua ini, katanya tidak usah bertanya cukup kamu nikmati saja. Namun jawaban seperti itu justru semakin melahirkan kecurigaan, bahwa ada yang tidak beres pada semua ini. Itu juga alasannya mengapa aku tertutup mengenai diri dan keluargaku pada siapa pun khususnya kepadamu.
Ardi, mungkin aku tak menyesal walau bagimu itu sudah terlambat untuk mengatakannya. Tapi biarkan aku mengatakannya. Aku juga mencintaimu. Maafkan aku terlambat mengatakannya. Dan maafkan aku memilih jalan lain untuk melawan korupsi. Bagiku perlawanan seperti ini paling romantis yang bisa kulakukan. Sekali lagi aku menyayangimu.
Sekian.
Setelah membaca suratnya, aku kembali menangis sejadi-jadinya.
Luka Viral
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata viral adalah menyebar luas dengan cepat. Menjadi viral artinya menjadi tenar, terlepas positif atau negatif. Bagi sebagian orang, ketenaran adalah hal yang ingin didapatkan. Bahkan, beberapa orang menggunakan cara yang terbilang konyol dalam membuat kontenagar bisa viral.
Menjadi viral lambat laun seperti suatu kebutuhan mendasar. Setiap orang berlomba-lomba merencanakan, membuat dan menyebar foto dan video yang telah diedit sedemikian rupa agar menarik perhatian publik.
Kebiasaan scroll feed pada media sosial untuk melihat konten yang sedang viral kini menjadi kebiasaan bahkan mungkin saja telah menjadi hobi sebagian besar manusia. Berbagai konten diposting oleh sang kreator. Seperti konten liburan, olahraga, pernikahan, hingga konten-konten yang berisi cerita pengalaman pahit sepertiperselingkuhan.
Kita menjadi tahu apa yang sedang dialami oleh keluarga, sahabat, teman bahkan orang yang sama sekali tidak pernah tahu kalau kita juga ada di muka bumi ini. Namun yang menjadi sorotan kita kali ini adalah konten yang berisi cerita pengalaman perselingkuhan yang membuat luka pahit pada si korban.
Seorang istri yang telah menyadari persekingkuhan suaminya atau sebaliknya akan jujur dan tidak merasa aib untuk mengutarakan yang sesungguhnya. Dan inilah gaya komunikasi atau perilaku zaman sekarang. Curhat ke sosial media sehingga semua orang bisa menghakimi serta ikut dalam persoalan ini. Mungkin si korban tidak kuat menanggungnya sendiri. Tapi pada umumnya begitu.
Seperti yang terjadi pada seorang owner skincare bernama Fenny Frans. Ia dikenal sebagai pengusaha skincare dengan brand FF di kota Makassar. Pada 17 mei 2024, netizen Indonesia dikagetkan dengan postingan yang diupload oleh Fenny di akun instagramnya. Ia memposting sebuah video yang cukup jelas apa yang sedang terjadi. Ditambah caption yang lumayan panjang, terjelaskanlah bahwa itu adalah kasus perselngkuhan suaminya dengan seorang pembantu di rumah mereka.
Bukan hanya perselingkuhan, Fenny juga mengungkapkan kenangan-kenangan pahit di masa lalu tentang perselingkuhan suaminya. Tidak lupa ia juga menceritakan kisah perselingkuhan pembantunya yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Bahkan netizen nampak garam ketika mengetahui pembantunya juga mencuri uang si owner tujuh ratus juta.
Kalimat dan emoticon sedih membanjiri kolom komentar. Selain itu, tak sedikit dari netizen yang menghujat si pelaku, “sudah punya berlian, malah pilih batu nisan” ujar seorang netizen. Ada pula yang nampak seperti putus asa dengan berkomentar “Gda yang bisa dipercaya didunia ini”. Kita bisa scroll untuk membaca berbagai kalimat sedih, hujatan bahkan seperti pesimis untuk memulai rumah tangga.
Dari kasus tersebut, si pelaku dijadikan bahan lelucon oleh netizen Indonesia. Bahkan ada yang membuat akun instagram untuk mempermalukan si pelaku. Mulai dari akun instagram sampai stiker whatsapp.
Dari tiap curhatan melalui story instagram atau media yang lain serta bukti dan catatan begitu lengkapnya hingga orang awam atau ahli selingkuh sudah mengerti dan tidak bisa mengelak kecuali mau playing victim. Keterbukaan informasi jaman now sudah tidak terelakkan karena jejak digital memang pahit.
Ini mungkin bisa menjadi pelajaran bagi kita, lisan teman, sahabat atau keluarga kita mungkin sulit untuk jujur tapi sosmed atau story mereka itu ungkapan hati terjujur. Sering-seringlah cek story teman, sahabat, atau keluarga sehingga tahu apa yang mereka rasakan kepada kita. Introspeksi diri dan ajak mereka diskusi. Jaman ini sudah melazimkan gaya komunikasi seperti itu dan melawan hal tersebut seperti melawan gerak jaman.
Privasi anda sudah hilang ketika mengunggah sesuatu ke media sosial. Dalam hitungan beberapa hari akun media sosial tertuduh dalam sekejap diambil alih(hack), untuk keamanan bersama katanya. Tapi inilah yang bisa kita banggakan dari netizen jaman sekarang. Kecepatan mereka mengambil alih akun serta membully tertuduh sangat terdepan. Mereka sering menyebutnya The PowerOf Netizen. Netizen Indonesia layak dijadikan aset berharga bangsa ini, semoga bisa dikelola pemerintah dengan optimal.
Dan yang sangat mengkhawatirkan melalui postingan seperti itu adalah tidak sedikit para netizen mengungkapkan di kolom komentar ketakutan mereka untuk menikah dan berumah tangga. Karena sangat khawatir hal serupa terjadi pada dirinya. Akhirnya menjadi jomblo sebagai langkah amannya. Karena luka dari beberapa orang yang telah viral, menjadi ketakutan bagi orang lain untuk merasakan luka yang sama.
Semoga kita semua tidak termasuk oarang-orang yang menggantungkan perasaannya pada postingan-postingan viral di media sosial. Jika ada luka viral maka tentu saja harus ada obat viral untuk luka itu. Maka jadilah obat viral dengan cara menyebarkan konten-konten positif yang berisi kebaikan. Tulisan ini tidak untuk menghakimi siapapun karena itu bukan tugasku.
Ketulusan yang Abadi
(40 hari wafatnya Muhamad Akil Rahman)
Saat itu tahun 1996. Entah awal, pertengahan, atau akhir tahun, saya tidak ingat. Betul-betul saya lupa, barangkali faktor usia yang sudah jelang setengah abad. Hanya selisih setahun dengan saudara Akil. Begitu saya biasanya menyapanya. Saya lebih senior dari segi umur.
Tapi yang sangat terkenang, setelah wafatnya saudara Akil, adalah di tahun itulah saya pertama kali mengenal beliau. Mengenal senyum ramah, tulus dan penuh harapan beliau yang tak berubah hingga di akhir-akhir pertemuan kami jelang wafatnya.
Perkenalan perdana itu terjadi di sebuah daerah yang masuk kategori Texas di Makassar. Jalan Maccini Gusung namanya, yang diapit oleh dua jalan utama, Jalan Gunung Bawakaraeng dan Jalan Kerung-Kerung.
Entah mengapa, tempat itu dipilih menjadi sekretariat HMI MPO Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Tapi di sanalah sering diadakan kajian bagi para lepasan Basic Training HMI, khususnya dari Kampus Merah, Unhas, dari semua Fakultas, karena saat itu Komisariat Sastra Unhas, terbilang besar dan berpengaruh.
Tak terkecuali dengan saudara Akil Rahman. Pasca digembleng di LK 1 HMI MPO, beliau juga mengikuti follow up di Kampus Maccini Gusung. Begitu kami sering menggelari sekretariat kami itu. Maklumlah, saat itu, kami menganggap HMI sebagai The Real University atau sebagai Universitas Alternatif. Bahkan, kami sempat mencetak baju “Universitas Alternatif” yang cukup diminati dan dicari di kalangan aktivitas MPO saat itu.
Menyebut Maccini Gusung, tentunya, kita tidak akan pernah melupakan beberapa nama yang dulu pernah mukim di sana, sebagai sesama aktivitas MPO, yang juga sudah berpulang ke sisi Allah, bahkan ada yang sudah puluhan tahun mendahului sebelum wafatnya saudara Akil.
Sebut saja, kanda Amir Alimsyah. Pemateri Retorika dan Gerakan Mahasiswa, yang wafat tahun 2000 awal. Kanda Syahruddin Parakkassi, wafat di pertengahan tahun 2017-an. Seorang inspirator dengan gaya khasnya yang selalu memantik semangat perubahan dan pergerakan. Kemudian di tahun 2020-an akhir saudara Madjid Bati juga berpulang ke Rahmatullah.
Yang disebut terakhir ini, sering digelari sebagai Konstitusi Berjalan. Bukan hanya karena beliau menangani bidang Keorganisasian HMI, tapi pemuda Tidore ini, tampaknya, juga hapal konstitusi HMI dan betul-betul konsisten menjalankan undang-undang HMI yang berlaku. Uniknya lagi, Madji Bati ini, sepertinya, lebih banyak menghabiskan waktunya bersama saudara Muhammad Akil, dibandingkan saya sendiri.
Betapa tidak, kebersamaan mereka berdua sudah berlangsung sejak masih di tingkat Komisariat atau di awal-awal kemahasiswaan. Berlanjut di tingkat Korkom (Koordinator Komisariat), level Cabang, Badko (Badan Koordinasi Indonesia Timur), hingga di level Pengurus Besar (PB HMI).
Kekompakan mereka berdua bukan hanya di pengurusan HMI, tapi juga di organisasi Komite Pemantau Legislatif (KOPEL). Sebuah organisasi nonpemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang salah satu inisiatornya, juga pernah berdiam bersama kami di Kampus Maccini Gusung, Syamsuddin Alimsyah.
Yang menarik dari saudara Akil Rahman adalah adanya keseimbangan yang coba ditegakkannya. Meskipun aktif di Universitas Alternatif, menjadi ketua Komisariat HMI MPO Unhas, Presidium HMI Cabang Makassar, Ketua HMI Badko Indonesia Timur dan masuk dalam jajaran PB HMI. Beliau juga tetap memperhatikan pendidikan akademiknya di Unhas, hingga menjadi dosen tetap di UINAM. Putra Mandar ini juga banyak terlibat di organisasi intra kampus, bahkan sempat menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi Unhas.
Hal ini, tentunya, bila dibandingkan dengan beberapa aktivitas sezaman beliau yang tidak betul-betul menyelesaikan studinya di universitas. Entah karena larut dalam aktivitas Universitas Alternatif. Atau karena persoalan pribadi masing-masing, yang menyulitkan dalam penyelesaian studinya. Apalagi adanya pressure dari rezim Orde Baru saat itu yang berlanjut pada Reformasi 1998.
Salah satu cerita menarik dari saudara Akil, ketika akan berlangsungnya pemilihan ketua umum HMI Cabang Makassar 1999. Sejatinya, beliau adalah salah satu yang digadang-gadang akan menempati posisi tersebut. Tapi di detik-detik terakhir, beliau gaib dari gedung perhelatan konferensi cabang di Asrama Haji Makassar. Kabarnya, beliau ada urusan penting di lokasi KKN. Barangkali, karena beratnya tanggung jawab sebagai ketua pada saat itu, dan posisi ketua bukanlah sesuatu yang diperebutkan atau yang diinginkan.
Ketika perhelatan selesai, saya bertanya kepada beliau “Dari mana saja, kenapa tidak hadir di Konferensi?” Beliau hanya senyum-senyum hingga tertawa setengah terbahak-bahak. Rupanya ia sengaja menghindar. Tapi pada akhirnya, beliau betul-betul banyak terlibat dengan penuh dedikasi di pengurusan sebagai salah satu presidium.
Suatu saat, tahun 2000, akhir milenium ketiga. Saya, saudara Akil dan beberapa presidium HMI cabang Makassar, menghadiri undangan dari Ust. Syamsuri Abd. Madjid, imam yang dianggap sebagai titisan Abd. Qahhar Muzakkar, dengan puluhan atau ratusan jamaahnya.
Dikiranya hanya silaturahmi biasa, ternyata semua hadirin diminta untuk berbaiat kepada sang imam bila saja kapan-kapan terjadi revolusi. Kondisi saat itu, memang relatif tidak stabil sebagai imbas dari Reformasi.
Saudara Akil sempat berbisik, sekali lagi dengan senyum khasnya, “Bagaimana kita ikut baiat atau pulang saja atau bagaimana?”
Saya hanya bilang, “Kita ikut saja, jangan sampai kita merusak suasana.”
Akhirnya, saat itu kami taqiyah saja, meskipun kala itu, saya belum paham betul apa itu taqiyah.
Berakhirnya kepengurusan HMI Cabang Makassar tahun 2000, menjadi akhir pula kebersamaan saya yang sangat intens dengan saudara Akil Rahman. Pertemuan berikutnya hanya sesekali saja karena kesibukan masing-masing.
Namun masa-masa Covid-19 dan setelahnya, kami kembali sering bersama-sama lagi, terutama ketika ada acara Majelis Quran malam Jumat, berupa Yasinan dan doa-doa yang berlangsung bergilir di kediaman alumni HMI MPO, bahkan pernah juga dilangsungkan di rumah beliau.
Dari seorang teman, saudara Akil berpesan, “Insyaallah kalo S3 saya sudah rampung, saya mau mi lebih banyak terlibat di kajian-kajian dan doa-doa bersama teman-teman.”
Akil, Amrin, dan Madjid
Akil, Amrin, dan Madjid. Siapa mereka? Mungkin bagi orang kebanyakan bukanlah siapa-siapa. Bukan para pesohor, tapi mereka penempuh jalan sunyi di keramaian masing-masing. Ketiganya pun menuntaskan kesunyiannya, karena telah berpulang pada keabadian.
Bagi sebagian orang, tentu selain keluarga masing-masing, ketiganya amat berarti bagi satu organisasi yang mengadernya, lalu menjadi aktivis, baik di zaman kemahasiswaan mereka, tepatnya di HMI MPO Cabang Makassar, maupun setelah menjadi alumni.
Bagi HMI MPO, khususnya Cabang Makassar, di Era Reformasi, maupun sesudahnya hingga di kekinian, mereka bertiga merupakan trio gelandang dalam satu tim sepak bola. Ibarat dalam kesebelasan Arsenal, trio gelandang bisa berfungsi sebagai gelandang serang maupun bertahan. Bila punya peluang, tak segan-segan mereka ikut cetak bola.
Waima usia biologis mereka berbeda-beda, tapi mereka segenarasi di HMI MPO Cabang Makassar. Uniknya, mereka bertiga tak pernah menjadi ketua umum. Bagai dalam tim kesebelasan sepakbola, mereka tidak pernah jadi kapten.
Namun, daya jelajah pengabdian boleh jadi melampaui jabatan struktural. Sebab, ketika mereka bertumbuh dalam arena mengemban amanah, jabatan ketua umum di HMI MPO Cabang Makassar, tak diperebutkan. Prosesnya nyaris selalu aklamasi.
Wafatnya Akil beberapa waktu lalu, Selasa, 28 Mei 2024, cukup mengagetkan banyak pihak. Pasalnya, pagi hari masih mengantar anaknya ke sekolah, setelahnya main bulu tangkis. Dan, di tempat berolah raga inilah ia pingsan. Lalu, sekitar pukul 10.00 WITA lewat, dokter menyatakan wafat.
Aku sendiri sedang di luar kota, berada di Bantaeng dengan beberapa agenda sampai akhir bulan. Sehingga tidak sempat melayat plus acara takziyah. Hanya pasanganku yang melayat. Urita wafatnya Akil pun kuperoleh dari japri pasangan saya, beserta video berdurasi 8 detik, saat Akil masih diberi pertolongan di lapangan oleh rekan-rekannya.
Muhammad Akil Rahman, salah seorang juniorku di HMI. Amat banyak kenangan bersamanya, baik sebagai aktivis semasa mahasiswa maupun setelahnya. Bahkan hingga berkeluarga. Keluargaku dan keluarganya sangat dekat, termasuk lokasi mukimnya tergolong tak terlalu jauh. Masih dalam kawasan Alauddin-Mannuruki Makassar.
Sewaktu Reformasi 1998 bergulir, selain aktif di HMI, ia juga bergabung dalam gerakan Solid Unhas. Ia pernah menjadi Bendahara HMI MPO Cabang Makassar. Sesudah mengurus HMI, ia banyak membantu saya di Paradigma Institute, menjadi lingkaran dalam. Lalu saya memintanya untuk bergabung ke Kopel Makassar. Arkian, Akil terangkat jadi dosen di UIN Alauddin Makassar, perlahan mulai konsentrasi mengajar dan studi. Ia sementara S3.
Bapaknya Akil, Abdul Rahman, mantan Kepala Kanwil Depag Provinsi Sulawesi Selatan. Sewaktu menjabat Kakanwil, bapaknya juga mengikuti kuliah S2, Pascasarjana UMI, program magister agama. Nah, saya bertemu dengannya sesama mahasiswa pascasarjana, satu kelas. Bahkan seringkali pergi dan pulang bersama, numpang di mobilnya. Dan, bila ibunya Akil mencarinya, cukup sang bapak mengontak saya, di mana Akil?
Sewaktu Akil telah berkeluarga, sebagai pasangan muda, ia membuka kursus sempoa. Dua putriku menjadi muridnya. Hubungan kami menjadi intim. Ketika ia sudah punya putri tiga orang, acapkali kugoda, agar punya anak laki-laki. Lalu, ia bertanya apa jaminannya, kalau yang lahir berikut sudah laki-laki? Dengan tangkas kujawab, jaminannya saya. Bukankah keluargaku, tiga putri berturut-turut? Nanti anak keempat: putra. Akil terkekeh, persis seperti bapaknya terkekeh, kala kami saling canda.
Perjumpaan terakhirku dengan Akil, sekitar tiga bulan lalu, kala Amrin wafat. Amrin Massalinri meninggal sehari sebelum Pemilu Legislatif dan Presiden 2024. Tepatnya, Rabu, 13 Februari 2024, sewaktu matahari masih semenjana teriknya. Amrin, juga junior saya di HMI MPO Cabang Makassar. Secara biologis lebih berumur tinimbang Akil. Wafatnya Amrin pun cukup mengagetkan, hanya demam tinggi selama tiga hari.
Sepak terjang Amrin selama ber-HMI dan setelahnya seperti Declan Rice, sang gelandang bertahan dan sesekali menyerang dari Arsenal. Tidak ada capeknya. Sekotah aktivitas dijelajahinya. Tukang demo, baik di kampus, jalanan, kantor gubernur, apatah lagi kantor DPR.
Saking aktifnya sebagai aktivis mahasiswa, ia tidak menyelesaikan studinya di UNM. Pungkas bermahasiswa, ia berkeluarga, lalu membuka usaha pengetikan di bilangan Tamalanrea depan Pintu 1 Unhas. Uniknya, banyak mahasiswa yang sementara S2 dan S3, pengelolaan datanya digarap oleh Amrin.
Aku pun buka Toko Buku dan Komunitas Papirus di Kompleks Pusat Dakwah Muhammadiyah (PDM) Tamalanrea Makassar. Jadi, aku bertetangga dengan Amrin. Begitu juga beberapa kawan yang ikut buka usaha.
Kawasan depan Pintu 1 Unhas dan Kompleks PDM, menjadi salah satu arena konsolidasi Alumni HMI MPO Cabang Makassar. Secara informal terbentuk jejaring Komunitas Hijau Hitam. Lagi-lagi Amrin menjadi gelandang jelajah, meskipun saya didapuk sebagai kaptennya.
Aktivitas terakhir Amrin, masih di kawasan Tamalanrea Makassar. Menjadi Marbot salah satu masjid, sembari bergiat sosial lainnya, lewat lembaga keagamaan dan komunitas sosial. Sesekali membantu Kopel, karena memang berkolega dengan pengelola Kopel. Paling terakhir, Amrin menjadi relawan pemenangan pasangan capres dan anggota legislatif, yang masih dalam jejaring alumni HMI MPO.
Salah seorang yang ikut meramaikan pergelandangan di area Pintu 1 Unhas dan Kompleks PDM, Madjid. Ada satu kios pengetikan komputer sekaligus jasa penerjemahan Bahasa Inggris digawangi Madjid. Maklum, Madjid sarjana Sastra Inggris Unhas.
Madjid Bati, putra kelahiran Tidore, merantau ke Makassar, menjadi mahasiswa Unhas. Ia pun masuk HMI MPO Cabang Makassar. Selain menjadi pengader, ia juga menjabat bendahara. Di tangan Madjid, disiplin penagihan iuran cabang melambung. Khususnya yang kurasakan.
Sebagai kenangan patutlah kuceritakan. Sekretariat cabang waktu itu di Pa’bambaeng. Aku sudah mukim di Alauddin, Gunung Sari. Sekali waktu, ia datang menagih iuran cabang. Jujur, uangnya belum tersedia. Madjid juga tidak bilang akan ke mukimku. Semacam sidaklah. Kutanya, naik apa Jid? Jalan kaki, katanya. Berikutnya, ia utarakan maksud untuk menagih iuran.
Ommale, karena terkesimak bin takjub atas jalan kakinya, aku tak kuasa untuk menolak bayar iuran. Akhirnya, pasanganku yang bergegas ke pasar dekat rumah, kucegat agar jangan ke pasar, berikan uangnya untuk Madjid. Pasanganku kaget binti heran. Nanti Madjid pergi baru kubilang duduk perkaranya. Aku sangat percaya militansi Madjid dan sering kuutarakan kepada bendahara berikutnya, agar mencontoh Madjid.
Madjid kemudian menceburkan diri ke aktivitas anti korupsi. Lembaga anti rusuah, Kopel menjadikan Madjid sebagai gelandang jelajahnya. Bahkan, mendelegasikan Madjid ke Jakarta untuk membuka perwakilan Kopel. Dalam aktivitasnya kemudian, masih senapas Kopel, ia menghembuskan napas terakhirnya. Madjid wafat, 23 Juni 2021.
Jadi, Akil, Amrin, dan Madjid, serupa trio gelandang yang berputar-putar dalam semesta HMI MPO Cabang Makassar, Paradigma-Papirus, dan Kopel. Sekotah tempat persinggahan itu, masih dalam satu selimut besar: Komunitas Hijau Hitam.
Di keabadian mungkin saja mereka sementara merancang komunitas, paling tidak Komunitas Hijau Hitam, sebagaimana yang dijalani selama melata di bentala. Komunitas yang mereka bikin, tentulah dalam rangka mempersiapkan kedatangan kami, baik para kakandanya maupun adindanya di HMI MPO Cabang Makassar.
Imajinasiku mengemuka, tentu para senior atau yang lebih duluan berangkat pada keabadian, merasa bahagia karena kedatangan kalian bertiga. Mirip Arsenal yang baru saja mentransfer tiga gelandang jelajah, serang-bertahan, buat menghadapi perlagaan musim berikutnya.
Kalian tidak mati, melainkan masih hidup di antara kami, seperti janji Allah yang masih kupegang teguh. Cuma kalian lebih dahulu menyeberang ke alam yang pasti akan kutuju pula.
Akil, Amrin, dan Madjid, tolong konsolidasi dengan sekotah pentolan HMI MPO Cabang Makassar yang pulang lebih dahulu pada keabadian. Temui Kalmuddin, mantan ketua cabang dan Arsyad Fadlan, mantan ketua Badko Intim. Jangan lupa, sowan ke Kak Udin (Syaharuddin Parakasi).
Satu harapanku, buatlah program kerja untuk menyambut kami yang datang belakangan. Ingat, karena kalian lebih dulu masuk ke alam sana, maka kalian pun akan jadi senior-senior kami yang masih tertinggal di bentala, yang makin ambyar bin rungkad ini.
Menggugat Kuasa Pengetahuan dengan Fenomenologi
“Ada tiga hal yang tidak bisa lama disembunyikan, yaitu matahari, bulan, dan kebenaran”, begitu kata Siddharta Gautama. tetapi, “Apakah kebenaran itu?”
Upaya manusia mencari kebenaran melahirkan sejarah panjang pengetahuan dan kemajuan peradaban manusia. Dalam perjalanan panjang sejarah manusia, pengetahuan, peradaban, dan kemajuan sosial telah menjadi pilar-pilar utama yang membimbing evolusi kita sebagai spesies. Dengan keingintahuan yang identik, manusia terus mencari pengetahuan, mengeksplorasi alam semesta, dan menggali makna kehidupan. Seiring dengan akumulasi pengetahuan, peradaban manusia berkembang. Dari perkembangan pertama dalam seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi hingga munculnya sistem pemerintahan yang kompleks, peradaban adalah cermin dari kemajuan sosial manusia. Dengan demikian, pengetahuan, peradaban, dan kemajuan sosial adalah benang merah yang mengikat sejarah manusia, namun determinasi tidak berhenti pada kontribusi perkembangan pengetahuan terhadap suatu peradaban. Peradaban yang maju juga memberi implikasi besar pada konsepsi ilmu pengetahuan yang terus berkembang
Seperti belati bermata dua, kemajuan ilmu pengetahuan alam dan eksakta di awal abad ke-20 menjerumuskan kebudayaan ke dalam krisis kemanusiaan, kemudian mensimplifikasi manusia ke dalam makhluk satu dimensi (one dimensional), dan satu konsepsi kebenaran dengan objektivisme. Keragaman manusia dalam mempersepsikan realitas, terutama dalam cara pandang masyarakat terhadap diri sendiri dan orang lain dilupakan. Metode dan asumsi yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam dan eksakta telah mendominasi segala bidang, termasuk yang berkaitan dengan manusia. Pandangan manusia terhadap realitas dunia yang dianggap multidimensi telah didominasi dan bahkan “didominasi” oleh metode dan asumsi ilmu pengetahuan alam, seolah-olah hanya metode dan asumsi inilah yang paling valid. Itulah yang diungkapkan oleh Husserl dalam karya The Crisis of European Sciences (1936).
Penulis dalam tulisan ini berupaya menjelaskan bagaimana gelombang perkembangan metode pengetahuan fenomenilogis sebagai bagian dari fragmen sejarah perkembangan peradaban yang berkonsekuensi pula pada penafsiran kembali bagaimana manusia menerjemahkan realitas dan bagaimana perkembangan metodologi suatu ilmu.
Konsep fenomenologi dalam tradisi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal epistemologi dipopulerkan oleh Edmund Husserl. Husserl belajar di kota Leipzig, Berlin hingga Wina dalam bidang matematika, fisika, astronomi, dan filsafat. Minatnya terhadap filsafat dibangkitkan oleh kuliah-kuliah filsafat Franz Brentano, seorang filsuf yang memainkan peran penting di Universitas Wina waktu itu. Dalam konsepsi ide Franz Brentano yang bagi penulis cukup spiritual, Brentano menggabungkan corak empirisme yang khas dari mazhab Lingkar Wina dengan tradisi berpikir skolastik, yang kemudian mempengaruhi lahirnya teori psikologi deskriptif. Tidak sulit untuk memperlihatkan pengaruh pemikiran Franz Brentano terhadap fenomenologi Edmund Husserl di kemudian hari khususnya ajaran tentang intensionalisme yang identik dengan corak fenomenologis
Konsep Utama Fenomenologi
Dalam membedah atau menerangkan suatu konsep teori pengetahuan secara umum kita bisa menelisik kedalam dua model analisis, analisis diakronik dengan melihat jejak geneologis suatu toeri atau analisis sinkronik dengan melihat secara holistik suatu teori dari beberapa ruang lingkup dan perspektif, seperti apa yang diterangkan sebelumnya.
Pemikiran Edmund Husserl soal fenomenologi juga tidak lepas dari pengaruh pemikiran psikologi diskriptif Franz Brentano yang menolak asumsi kausalitas dalam psikologi genetik dan penolakannya terhadap kebenaran yang hanya bisa diamati di luar diri manusia.
Menurut Brentano fenomena mental itu nyata. Dia tidak setuju dengan gagasan bahwa satu-satunya hal yang nyata adalah yang ada di dunia luar. Konsepsi kebenaran pluralistik dan penolakan terhadap objektivitas empiris menjadi pilar penting fenomenologi.
Adapun beberapa konsep kunci fenomenologi seperti kesadaran hanya dimiliki manusia, subyek yang berpikir, di mana kesadaran ini juga menuntut hal lain, yakni intensi. Intensi atau keterarahan ditujukan untuk sesuatu, yakni obyek, di mana dalam tradisi fenomenologi disebut “fenomena.”
Intensionalitas Keterarahan (intensionality) dapat dipahami dalam hubungannya dengan kesadaran (consiousness). Kesadaran akan sesuatu hanya mungkin terjadi karena adanya keterarahan atau intensionalitas pada sesuatu tersebut. Sejauh kita memiliki kesadaran akan sesuatu hal atau peristiwa tertentu, dalam arti fenomena, maka kita akan membentuk kesadaran akan hal itu, dan dari sana kemudian timbul pemahaman. Dan Epoche atau melepaskan keterhubungan.”
Epoche kerap diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan istilah bracketing, yaitu “menyekat” antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam fenomenologi, bracketing ini kerap diartikan sebagai penundaan penilaian atau suspension of judgment, dari fenomena yang kita teliti, atau disebut juga sebagai reduksi fenomenologis. Husserl menekankan bahwa untuk memahami dunia, kita harus melepaskan semua konsep, praduga, tendensi dan pretensi, sehingga menunda dulu setiap penilaian yang ada, agar fenomena tersebut tampil sebagaimana adanya. Dalam domain filsafat fenomenologi bisa diuraikan kedalam bentuk piramida segitiga kembar, jika kita berbicara persoalan filsafat ilmu maka paling tidak dalam suatu konsep penting mengklasifikasi posisi ontologis, epistemologis dan metodologis dari suatu konsep, juga melihat posisi aksiologis sebagai tujuan akhir suatu konsep.
Secara ontologi konsep fenomenologi berada pada suatu kenyataan kebenaran yang berisfat relative bukan bersifat statis yang kenyataan itu tetap namun sejauh apa yang disadari manusia dengan melepas asumsi asumsi universal. Secara epistemologi kebenaran tidak berada pada luar tetapi melekat pada persepsi internal subjektifitas, sehingga dalam penentuan kebenaran suatu realitas tidak berdasar pada apa yang nampak namun apa yang disadari, sehingga melahirkan keberagaman kebenaran bukan bersifat tunggal, sehingga secara metodelogis fenomenologis bersifat deksripsi dan klasifikasi yang melihat suatu realita itu bersifat parsial dan plural, tidak melihat realitas sebagai hubungan kausalitas sebagai satu satunya metode pencarian akan kebenaran dengan jalan verifikasi.
Secara Aksiologis cita cita fenomenologi sebenarnya sederhana bagaimana menginterpretasikan makna di balik sebuah realitas dengan menggunakan kesadaran manusia yang tidak tereduksi oleh objektivitas empirirk.
Kuasa Pengetahuan dan Otoritas Keilmuan
Dalam kacamata Foucault kekuasaan harus dipahami pertama sebagai macam hubungan kekuatan yang imanen. Hubungan kekuatan itu berlaku dalam unsur-unsur pembentuk dan organisasinya. Kedua, permainan yang dengan jalan perjuangan dan pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh memutarbaliknya. Ketiga, berbagai hubungan kekuatan yang saling mendukung, sehingga membentuk rangkaian atau sistem, atau sebaliknya, kesenjangan, dan kontradiksi yang saling mengucilkan, terakhir, strategi tempat hubungan-hubungan kekuatan itu berdampak, dan rancangan umumnya atau kristalisasinya dalam lembaga terwujud dalam perangkat negara dan perumusannya.
Ini berbeda pada pengertian kekuasaan secara umum dipahami dan dibicarakan sebagai daya pengaruh seseorang atau suatu organisasi untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Dalam konteks ini, kekuasaan diartikan sebagai menindas, terkadang represif. Secara spesifik, dominasi terjadi antara subjek kekuasaan dan objek kekuasaan. Misalnya kekuasaan negara atas rakyat, kekuasaan laki-laki atas perempuan, dan kekuasaan pemilik modal atas buruh. Pemahaman ini sering digunakan oleh para ahli sejarah, politik, dan masyarakat.
Dalam bidang epistemologi, ilmu pengetahuan modern, terutama ilmu alam dan ilmu-ilmu empiris, telah terlalu bergantung pada metode dan paradigma yang materialistik serta positivistik. Menurut Husserl, krisis ilmu muncul karena penekanan yang terlalu besar pada metode ilmiah yang mengabaikan aspek subjektif dari pengalaman manusia. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern telah terlalu terfokus pada objek luar dan mengabaikan subjek pengetahuan. Hal ini mengakibatkan kehilangan makna dan nilai dalam pengalaman manusia.
Upaya kembali ke akar-akar filsafat dan mengeksplorasi esensi subjektivitas manusia adalah suatu ikhtiar pengetahuan yang bertujuan untuk memahami pengalaman langsung subjek dalam segala kompleksitasnya, tanpa asumsi atau prasangka apapun.
Fenomenologi sebagai Metode Alternantif
Fenomenologi yang hadir sebagai jalan kedua metodelogi setelah penolakannya terhadap pilar positivistik yang dianggap dominan seperti rasionalisme empirik, kausalitas, dan esensialisme tunggal, upaya itu juga membuat pemikiran fenomenologi berkembang kebeberapa pemikiran seperti fenomenologi transendental Edmund Huserl tentang pencarian makna paling esensial yang diperoleh dari kesadaran manusia, atau fenomenologi interpretative ontologis Heidegger, atau eksistensialisme Jean Paul Satre dan Marleu Ponty.
Pada beberapa perbedaan konsep fenomenologi bagi penulis kesemua pemikir tersebut tetap membawa beberapa visi yang sama untuk mendobrak kemapanan konsepsi pengetahuan yang riskan dengan misi elektoral dan kepentingan kekuasaan, adapun beberapa poin yang dianggap penulis sebagai jalan alternatif.
Pertama pembaharuan metode, kritiknya atas Ketergantungan pada Metode Ilmiah Tradisional percaya bahwa ilmu pengetahuan modern telah terlalu bergantung pada metode ilmiah tradisional yang berfokus pada observasi empiris dan pengujian hipotesis. Ini menyebabkan penekanan yang terlalu besar pada objektivitas dan materialisme, mengabaikan aspek subjektif dari pengalaman manusia.
Kedua Membaeri tempat pada Subjektivitas fenomenologi menekankan pentingnya subjektivitas dalam pengalaman manusia. Menurutnya, pengalaman subjektif individu harus dipertimbangkan secara serius dalam membangun pengetahuan yang bermakna. bahwa pengetahuan yang lengkap tidak hanya terdiri dari apa yang dapat diamati secara eksternal, tetapi juga termasuk apa yang dirasakan dan dihayati secara subjektif oleh individu.
Ketiga kembali ke Filsafat, bahwa untuk mengatasi krisis ilmu, kita perlu kembali ke akar-akar filsafat. Penekanan pada pentingnya pemikiran filosofis yang mendalam untuk memahami esensi subjektivitas manusia dan hakikat pengetahuan. Bagi penulis krisis ilmu tidak hanya merupakan krisis epistemologis, tetapi juga mengenai krisis nilai dan makna dalam pengalaman manusia. kembali ke akar-akar filsafat dan menerapkan metode fenomenologi, kita dapat merumuskan kembali dasar-dasar ilmu pengetahuan yang lebih inklusif dan berdasarkan pengalaman manusia yang utuh.
Terakhir, manusia tidak akan pernah berakhir pada suatu konsep kebenaran yang ideal, bentuk dari keberadaan akal adalah perubahan itu sendiri, menjadi sebuah keniscayaan pengetahuan manusia akan terus bergerak maju dan merevisi konsepsi konsepsi yang sudah ada, begitupun dengan fenomenologi sebagai konsep dan metode adalah jalan alternatif untuk mengafirmasi kompleksitas manusa dan keberagaman pengalaman batin manusia, sehingga mengsimplifikasi dan mengobjektifikasi pengetahuan manusia yang harus berdiri pada satu standar pengetahuan yang mutlak adalah pengekangan terhadap gerak tumbuh pemikiran manusia.
Penulis ingin menegaskan bahwa apa itu kebenaran? Adalah hal yang masih misterium atau bahkan tidak ada, hanya upaya menormalisasi suatu standar tertentu dan menghakimi pemikiran tertentu dengan kalimat benar atau salah, singkatnya fenomenologi yang di uraikan penulis adalah sebuah ikhtiar bahwa kebenaran boleh saja bersifat plural dan upaya manusia adalah mencari makna realita dengan kesadaran sebagai kompas pengetahuan