Luka Viral

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata viral adalah menyebar luas dengan cepat. Menjadi viral artinya menjadi tenar, terlepas positif atau negatif. Bagi sebagian orang, ketenaran adalah hal yang ingin didapatkan. Bahkan, beberapa orang menggunakan cara yang terbilang konyol dalam membuat kontenagar bisa viral.

Menjadi viral lambat laun seperti suatu kebutuhan mendasar. Setiap orang berlomba-lomba merencanakan, membuat dan menyebar foto dan video yang telah diedit sedemikian rupa agar menarik perhatian publik.

Kebiasaan scroll feed pada media sosial untuk melihat konten yang sedang viral kini menjadi kebiasaan bahkan mungkin saja telah menjadi hobi sebagian besar manusia. Berbagai konten diposting oleh sang kreator. Seperti konten liburan, olahraga, pernikahan, hingga konten-konten yang berisi cerita pengalaman pahit sepertiperselingkuhan.

Kita menjadi tahu apa yang sedang dialami oleh keluarga, sahabat, teman bahkan orang yang sama sekali tidak pernah tahu kalau kita juga ada di muka bumi ini. Namun yang menjadi sorotan kita kali ini adalah konten yang berisi cerita pengalaman perselingkuhan yang membuat luka pahit pada si korban.

Seorang istri yang telah menyadari persekingkuhan suaminya atau sebaliknya akan jujur dan tidak merasa aib untuk mengutarakan yang sesungguhnya. Dan inilah gaya komunikasi atau perilaku zaman sekarang. Curhat ke sosial media sehingga semua orang bisa menghakimi serta ikut dalam persoalan ini. Mungkin si korban tidak kuat menanggungnya sendiri. Tapi pada umumnya begitu.

Seperti yang terjadi pada seorang owner skincare bernama Fenny Frans. Ia dikenal sebagai pengusaha skincare dengan brand FF di kota Makassar. Pada 17 mei 2024, netizen Indonesia dikagetkan dengan postingan yang diupload oleh Fenny di akun instagramnya. Ia memposting sebuah video yang cukup jelas apa yang sedang terjadi. Ditambah caption yang lumayan panjang, terjelaskanlah bahwa itu adalah kasus perselngkuhan suaminya dengan seorang pembantu di rumah mereka.

Bukan hanya perselingkuhan, Fenny juga mengungkapkan kenangan-kenangan pahit di masa lalu tentang perselingkuhan suaminya. Tidak lupa ia juga menceritakan kisah perselingkuhan pembantunya yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Bahkan netizen nampak garam ketika mengetahui pembantunya juga mencuri uang si owner tujuh ratus juta.

Kalimat dan emoticon sedih membanjiri kolom komentar. Selain itu, tak sedikit dari netizen yang menghujat si pelaku, “sudah punya berlian, malah pilih batu nisan” ujar seorang netizen. Ada pula yang nampak seperti putus asa dengan berkomentar “Gda yang bisa dipercaya didunia ini”. Kita bisa scroll untuk membaca berbagai kalimat sedih, hujatan bahkan seperti pesimis untuk memulai rumah tangga.

Dari kasus tersebut, si pelaku dijadikan bahan lelucon oleh netizen Indonesia. Bahkan ada yang membuat akun instagram untuk mempermalukan si pelaku. Mulai dari akun instagram sampai stiker whatsapp.

Dari tiap curhatan melalui story instagram atau media yang lain serta bukti dan catatan begitu lengkapnya hingga orang awam atau ahli selingkuh sudah mengerti dan tidak bisa mengelak kecuali mau playing victim. Keterbukaan informasi jaman now sudah tidak terelakkan karena jejak digital memang pahit.

Ini mungkin bisa menjadi pelajaran bagi kita, lisan teman, sahabat atau keluarga kita mungkin sulit untuk jujur tapi sosmed atau story mereka itu ungkapan hati terjujur. Sering-seringlah cek story teman, sahabat, atau keluarga sehingga tahu apa yang mereka rasakan kepada kita. Introspeksi diri dan ajak mereka diskusi. Jaman ini sudah melazimkan gaya komunikasi seperti itu dan melawan hal tersebut seperti melawan gerak jaman.

Privasi anda sudah hilang ketika mengunggah sesuatu ke media sosial. Dalam hitungan beberapa hari akun media sosial tertuduh dalam sekejap diambil alih(hack), untuk keamanan bersama katanya. Tapi inilah yang bisa kita banggakan dari netizen jaman sekarang. Kecepatan mereka mengambil alih akun serta membully tertuduh sangat terdepan. Mereka sering menyebutnya The PowerOf Netizen. Netizen Indonesia layak dijadikan aset berharga bangsa ini, semoga bisa dikelola pemerintah dengan optimal.

Dan yang sangat mengkhawatirkan melalui postingan seperti itu adalah tidak sedikit para netizen mengungkapkan di kolom komentar ketakutan mereka untuk menikah dan berumah tangga. Karena sangat khawatir hal serupa terjadi pada dirinya. Akhirnya menjadi jomblo sebagai langkah amannya. Karena luka dari beberapa orang yang telah viral, menjadi ketakutan bagi orang lain untuk merasakan luka yang sama.

Semoga kita semua tidak termasuk oarang-orang yang menggantungkan perasaannya pada postingan-postingan viral di media sosial. Jika ada luka viral maka tentu saja harus ada obat viral untuk luka itu. Maka jadilah obat viral dengan cara menyebarkan konten-konten positif yang berisi kebaikan. Tulisan ini tidak untuk menghakimi siapapun karena itu bukan tugasku.

Ketulusan yang Abadi

(40 hari wafatnya Muhamad Akil Rahman)

Saat itu tahun 1996. Entah awal, pertengahan, atau akhir tahun, saya tidak ingat. Betul-betul saya lupa, barangkali faktor usia yang sudah jelang setengah abad. Hanya selisih setahun dengan saudara Akil. Begitu saya biasanya menyapanya. Saya lebih senior dari segi umur.

Tapi yang sangat terkenang, setelah wafatnya saudara Akil, adalah di tahun itulah saya pertama kali mengenal beliau. Mengenal senyum ramah, tulus dan penuh harapan beliau yang tak berubah hingga di akhir-akhir pertemuan kami jelang wafatnya.

Perkenalan perdana itu terjadi di sebuah daerah yang masuk kategori Texas di Makassar. Jalan Maccini Gusung namanya, yang diapit oleh dua jalan utama, Jalan Gunung Bawakaraeng dan Jalan Kerung-Kerung.

Entah mengapa, tempat itu dipilih menjadi sekretariat HMI MPO Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Tapi di sanalah sering diadakan kajian bagi para lepasan Basic Training HMI, khususnya dari Kampus Merah, Unhas, dari  semua Fakultas, karena saat itu Komisariat Sastra Unhas, terbilang  besar dan berpengaruh.

Tak terkecuali dengan saudara Akil Rahman. Pasca digembleng di LK 1 HMI MPO, beliau juga mengikuti follow up di Kampus Maccini Gusung. Begitu kami sering menggelari sekretariat kami itu. Maklumlah, saat itu, kami menganggap HMI sebagai  The Real University atau sebagai Universitas Alternatif. Bahkan, kami sempat mencetak baju “Universitas Alternatif” yang cukup diminati dan dicari di kalangan aktivitas MPO saat itu.

Menyebut Maccini Gusung, tentunya, kita tidak akan pernah melupakan beberapa nama yang dulu pernah mukim di sana, sebagai sesama aktivitas MPO, yang juga sudah berpulang ke sisi Allah, bahkan ada yang sudah puluhan tahun mendahului sebelum wafatnya saudara Akil. 

Sebut saja, kanda  Amir Alimsyah. Pemateri Retorika dan Gerakan Mahasiswa, yang wafat tahun 2000 awal. Kanda Syahruddin Parakkassi, wafat di pertengahan tahun 2017-an. Seorang inspirator dengan gaya khasnya yang selalu memantik semangat perubahan dan pergerakan. Kemudian di tahun 2020-an akhir saudara Madjid Bati juga berpulang ke Rahmatullah.

Yang disebut terakhir ini, sering digelari sebagai Konstitusi Berjalan. Bukan hanya karena beliau menangani bidang Keorganisasian HMI, tapi pemuda Tidore ini, tampaknya, juga hapal konstitusi HMI dan betul-betul konsisten menjalankan undang-undang HMI yang berlaku. Uniknya lagi,  Madji Bati ini, sepertinya, lebih banyak menghabiskan waktunya bersama saudara Muhammad Akil, dibandingkan saya sendiri.

Betapa tidak, kebersamaan mereka berdua sudah berlangsung sejak masih di tingkat Komisariat atau di awal-awal kemahasiswaan. Berlanjut di tingkat Korkom (Koordinator Komisariat), level Cabang, Badko (Badan Koordinasi Indonesia Timur), hingga di level Pengurus Besar (PB HMI).

Kekompakan mereka berdua bukan hanya di pengurusan HMI, tapi juga di organisasi Komite Pemantau Legislatif (KOPEL). Sebuah organisasi nonpemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang salah satu inisiatornya, juga pernah berdiam bersama kami di Kampus Maccini Gusung, Syamsuddin Alimsyah.

Yang menarik dari saudara Akil Rahman adalah adanya keseimbangan yang coba ditegakkannya. Meskipun aktif di Universitas Alternatif, menjadi ketua Komisariat HMI MPO Unhas, Presidium HMI Cabang Makassar, Ketua HMI Badko Indonesia Timur dan masuk dalam jajaran PB HMI.  Beliau juga tetap memperhatikan pendidikan akademiknya di Unhas, hingga menjadi dosen tetap di UINAM. Putra Mandar ini juga banyak terlibat di organisasi intra kampus, bahkan sempat menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi Unhas.

Hal ini, tentunya, bila dibandingkan dengan beberapa aktivitas sezaman beliau yang tidak betul-betul menyelesaikan studinya di universitas. Entah karena larut dalam aktivitas  Universitas Alternatif. Atau karena persoalan pribadi masing-masing, yang menyulitkan dalam penyelesaian studinya. Apalagi adanya pressure dari rezim Orde Baru saat itu yang berlanjut pada Reformasi 1998.

Salah satu cerita  menarik dari saudara Akil, ketika akan berlangsungnya pemilihan ketua umum HMI Cabang Makassar 1999. Sejatinya, beliau adalah salah satu yang digadang-gadang akan menempati posisi tersebut. Tapi di detik-detik terakhir, beliau gaib dari gedung perhelatan konferensi cabang di Asrama Haji Makassar. Kabarnya, beliau ada urusan penting di lokasi KKN. Barangkali, karena beratnya tanggung jawab sebagai ketua pada saat itu, dan posisi ketua bukanlah sesuatu yang diperebutkan atau yang diinginkan.

Ketika perhelatan selesai, saya bertanya kepada beliau “Dari mana saja, kenapa tidak hadir di Konferensi?” Beliau hanya senyum-senyum hingga tertawa setengah terbahak-bahak. Rupanya ia sengaja menghindar. Tapi pada akhirnya, beliau betul-betul banyak terlibat dengan penuh dedikasi di pengurusan sebagai salah satu presidium.

Suatu saat, tahun 2000, akhir milenium ketiga. Saya, saudara Akil dan beberapa presidium HMI cabang Makassar, menghadiri undangan dari Ust. Syamsuri Abd. Madjid, imam yang dianggap sebagai titisan Abd. Qahhar Muzakkar,  dengan puluhan atau ratusan jamaahnya.

Dikiranya hanya silaturahmi biasa, ternyata semua hadirin diminta untuk berbaiat kepada sang imam bila saja kapan-kapan terjadi revolusi. Kondisi saat itu, memang relatif tidak stabil sebagai imbas dari Reformasi.

Saudara Akil sempat berbisik, sekali lagi dengan senyum khasnya, “Bagaimana kita ikut baiat atau pulang saja atau bagaimana?”

Saya hanya bilang, “Kita ikut saja, jangan sampai kita merusak suasana.”

Akhirnya, saat itu kami taqiyah  saja, meskipun kala itu, saya belum paham betul apa itu taqiyah.

Berakhirnya kepengurusan HMI Cabang Makassar tahun 2000, menjadi akhir pula  kebersamaan saya yang sangat intens dengan saudara  Akil Rahman. Pertemuan berikutnya hanya sesekali saja karena kesibukan masing-masing.

Namun masa-masa Covid-19 dan setelahnya, kami kembali sering bersama-sama lagi, terutama ketika ada acara Majelis Quran  malam Jumat, berupa Yasinan dan doa-doa yang berlangsung bergilir di kediaman alumni HMI MPO, bahkan pernah juga dilangsungkan di rumah beliau.

Dari seorang teman, saudara Akil berpesan, “Insyaallah kalo S3 saya sudah rampung, saya mau mi lebih banyak terlibat  di kajian-kajian  dan doa-doa  bersama teman-teman.”

Akil, Amrin, dan Madjid

Akil, Amrin, dan Madjid. Siapa mereka? Mungkin bagi orang kebanyakan bukanlah siapa-siapa. Bukan para pesohor, tapi mereka penempuh jalan sunyi di keramaian masing-masing. Ketiganya pun menuntaskan kesunyiannya, karena telah berpulang pada keabadian.

Bagi sebagian orang, tentu selain keluarga masing-masing, ketiganya amat berarti bagi satu organisasi yang mengadernya, lalu menjadi aktivis, baik di zaman kemahasiswaan mereka, tepatnya di HMI MPO Cabang Makassar, maupun setelah menjadi alumni.

Bagi HMI MPO, khususnya Cabang Makassar, di Era Reformasi, maupun sesudahnya hingga di kekinian, mereka bertiga merupakan trio gelandang dalam satu tim sepak bola. Ibarat dalam kesebelasan Arsenal, trio gelandang bisa berfungsi sebagai gelandang serang maupun bertahan. Bila punya peluang, tak segan-segan mereka ikut cetak bola.

Waima usia biologis mereka berbeda-beda, tapi mereka segenarasi di HMI MPO Cabang Makassar. Uniknya, mereka bertiga tak pernah menjadi ketua umum. Bagai dalam tim kesebelasan sepakbola, mereka tidak pernah jadi kapten.

Namun, daya jelajah pengabdian boleh jadi melampaui jabatan struktural. Sebab, ketika mereka bertumbuh dalam arena mengemban amanah, jabatan ketua umum di HMI MPO Cabang Makassar, tak diperebutkan. Prosesnya nyaris selalu aklamasi.

Wafatnya Akil beberapa waktu lalu, Selasa, 28 Mei 2024, cukup mengagetkan banyak pihak. Pasalnya, pagi hari masih mengantar anaknya ke sekolah, setelahnya main bulu tangkis. Dan, di tempat berolah raga inilah ia pingsan. Lalu, sekitar pukul 10.00 WITA lewat, dokter menyatakan wafat.

Aku sendiri sedang di luar kota, berada di Bantaeng dengan beberapa agenda sampai akhir bulan. Sehingga tidak sempat melayat plus acara takziyah. Hanya pasanganku yang melayat. Urita wafatnya Akil pun kuperoleh dari japri pasangan saya, beserta video berdurasi 8 detik, saat Akil masih diberi pertolongan di lapangan oleh rekan-rekannya.

Muhammad Akil Rahman, salah seorang juniorku di HMI. Amat banyak kenangan bersamanya, baik sebagai aktivis semasa mahasiswa maupun setelahnya. Bahkan hingga berkeluarga. Keluargaku dan keluarganya sangat dekat, termasuk lokasi mukimnya tergolong tak terlalu jauh. Masih dalam kawasan Alauddin-Mannuruki Makassar.

Sewaktu Reformasi 1998 bergulir, selain aktif di HMI, ia juga bergabung dalam gerakan Solid Unhas. Ia pernah menjadi Bendahara HMI MPO Cabang Makassar. Sesudah mengurus HMI, ia banyak membantu saya di Paradigma Institute, menjadi lingkaran dalam. Lalu saya memintanya untuk bergabung ke Kopel Makassar. Arkian, Akil terangkat jadi dosen di UIN Alauddin Makassar, perlahan mulai konsentrasi mengajar dan studi. Ia sementara S3.

Bapaknya Akil, Abdul Rahman, mantan Kepala Kanwil Depag Provinsi Sulawesi Selatan. Sewaktu menjabat Kakanwil, bapaknya juga mengikuti kuliah S2, Pascasarjana UMI, program magister agama. Nah, saya bertemu dengannya sesama mahasiswa pascasarjana, satu kelas. Bahkan seringkali pergi dan pulang bersama, numpang di mobilnya. Dan, bila ibunya Akil mencarinya, cukup sang bapak mengontak saya, di mana Akil?

Sewaktu Akil telah berkeluarga, sebagai pasangan muda, ia membuka kursus sempoa. Dua putriku menjadi muridnya. Hubungan kami menjadi intim. Ketika ia sudah punya putri tiga orang, acapkali kugoda, agar punya anak laki-laki. Lalu, ia bertanya apa jaminannya, kalau yang lahir berikut sudah laki-laki? Dengan tangkas kujawab, jaminannya saya. Bukankah keluargaku, tiga putri berturut-turut? Nanti anak keempat: putra. Akil terkekeh, persis seperti bapaknya terkekeh, kala kami saling canda.

Perjumpaan terakhirku dengan Akil, sekitar tiga bulan lalu, kala Amrin wafat. Amrin Massalinri meninggal sehari sebelum Pemilu Legislatif dan Presiden 2024. Tepatnya, Rabu, 13 Februari 2024, sewaktu matahari masih semenjana teriknya. Amrin, juga junior saya di HMI MPO Cabang Makassar. Secara biologis lebih berumur tinimbang Akil. Wafatnya Amrin pun cukup mengagetkan, hanya demam tinggi selama tiga hari.

Sepak terjang Amrin selama ber-HMI dan setelahnya seperti Declan Rice, sang gelandang bertahan dan sesekali menyerang dari Arsenal. Tidak ada capeknya. Sekotah aktivitas dijelajahinya. Tukang demo, baik di kampus, jalanan, kantor gubernur, apatah lagi kantor DPR.

Saking aktifnya sebagai aktivis mahasiswa, ia tidak menyelesaikan studinya di UNM. Pungkas bermahasiswa, ia berkeluarga, lalu membuka usaha pengetikan di bilangan Tamalanrea depan Pintu 1 Unhas. Uniknya, banyak mahasiswa yang sementara S2 dan S3, pengelolaan datanya digarap oleh Amrin.

Aku pun buka Toko Buku dan Komunitas Papirus di Kompleks Pusat Dakwah Muhammadiyah (PDM) Tamalanrea Makassar. Jadi, aku bertetangga dengan Amrin. Begitu juga beberapa kawan yang ikut buka usaha.

Kawasan depan Pintu 1 Unhas dan Kompleks PDM, menjadi salah satu arena konsolidasi Alumni HMI MPO Cabang Makassar. Secara informal terbentuk jejaring Komunitas Hijau Hitam. Lagi-lagi Amrin menjadi gelandang jelajah, meskipun saya didapuk sebagai kaptennya.

Aktivitas terakhir Amrin, masih di kawasan Tamalanrea Makassar. Menjadi Marbot salah satu masjid, sembari bergiat sosial lainnya, lewat lembaga keagamaan dan komunitas sosial. Sesekali membantu Kopel, karena memang berkolega dengan pengelola Kopel. Paling terakhir, Amrin menjadi relawan pemenangan pasangan capres dan anggota legislatif, yang masih dalam jejaring alumni HMI MPO.

Salah seorang yang ikut meramaikan pergelandangan di area Pintu 1 Unhas dan Kompleks PDM, Madjid. Ada satu kios pengetikan komputer sekaligus jasa penerjemahan Bahasa Inggris digawangi Madjid. Maklum, Madjid sarjana Sastra Inggris Unhas.

Madjid Bati, putra kelahiran Tidore, merantau ke Makassar, menjadi mahasiswa Unhas. Ia pun masuk HMI MPO Cabang Makassar. Selain menjadi pengader, ia juga menjabat bendahara. Di tangan Madjid, disiplin penagihan iuran cabang melambung. Khususnya yang kurasakan.

Sebagai kenangan patutlah kuceritakan. Sekretariat cabang waktu itu di Pa’bambaeng. Aku sudah mukim di Alauddin, Gunung Sari. Sekali waktu, ia datang menagih iuran cabang. Jujur, uangnya belum tersedia. Madjid juga tidak bilang akan ke mukimku. Semacam sidaklah. Kutanya, naik apa Jid? Jalan kaki, katanya. Berikutnya, ia utarakan maksud untuk menagih iuran.

Ommale, karena terkesimak bin takjub atas jalan kakinya, aku tak kuasa untuk menolak bayar iuran. Akhirnya, pasanganku yang bergegas ke pasar dekat rumah, kucegat agar jangan ke pasar, berikan uangnya untuk Madjid. Pasanganku kaget binti heran. Nanti Madjid pergi baru kubilang duduk perkaranya. Aku sangat percaya militansi Madjid dan sering kuutarakan kepada bendahara berikutnya, agar mencontoh Madjid.

Madjid kemudian menceburkan diri ke aktivitas anti korupsi. Lembaga anti rusuah, Kopel menjadikan Madjid sebagai gelandang jelajahnya. Bahkan, mendelegasikan Madjid ke Jakarta untuk membuka perwakilan Kopel. Dalam aktivitasnya kemudian, masih senapas Kopel, ia menghembuskan napas terakhirnya. Madjid wafat, 23 Juni 2021.

Jadi, Akil, Amrin, dan Madjid, serupa trio gelandang yang berputar-putar dalam semesta HMI MPO Cabang Makassar, Paradigma-Papirus, dan Kopel. Sekotah tempat persinggahan itu, masih dalam satu selimut besar: Komunitas Hijau Hitam.  

Di keabadian mungkin saja mereka sementara merancang komunitas, paling tidak Komunitas Hijau Hitam, sebagaimana yang dijalani selama melata di bentala. Komunitas yang mereka bikin, tentulah dalam rangka mempersiapkan kedatangan kami, baik para kakandanya maupun adindanya di HMI MPO Cabang Makassar.

Imajinasiku mengemuka, tentu para senior atau yang lebih duluan berangkat pada keabadian, merasa bahagia karena kedatangan kalian bertiga. Mirip Arsenal yang baru saja mentransfer tiga gelandang jelajah, serang-bertahan, buat menghadapi perlagaan musim berikutnya.

Kalian tidak mati, melainkan masih hidup di antara kami, seperti janji Allah yang masih kupegang teguh. Cuma kalian lebih dahulu menyeberang ke alam yang pasti akan kutuju pula.

Akil, Amrin, dan Madjid, tolong konsolidasi dengan sekotah pentolan HMI MPO Cabang Makassar  yang pulang lebih dahulu pada keabadian. Temui Kalmuddin, mantan ketua cabang dan Arsyad Fadlan, mantan ketua Badko Intim. Jangan lupa, sowan ke Kak Udin (Syaharuddin Parakasi).

Satu harapanku, buatlah program kerja untuk menyambut kami yang datang belakangan. Ingat, karena kalian lebih dulu masuk ke alam sana, maka kalian pun akan jadi senior-senior kami yang masih tertinggal di bentala, yang makin ambyar bin rungkad ini.

Menggugat Kuasa Pengetahuan dengan Fenomenologi

“Ada tiga hal yang tidak bisa lama disembunyikan, yaitu matahari, bulan, dan kebenaran”, begitu kata Siddharta Gautama. tetapi, “Apakah kebenaran itu?”

Upaya manusia mencari kebenaran melahirkan sejarah panjang pengetahuan dan kemajuan peradaban manusia. Dalam perjalanan panjang sejarah manusia, pengetahuan, peradaban, dan kemajuan sosial telah menjadi pilar-pilar utama yang membimbing evolusi kita sebagai spesies. Dengan keingintahuan yang identik, manusia terus mencari pengetahuan, mengeksplorasi alam semesta, dan menggali makna kehidupan. Seiring dengan akumulasi pengetahuan, peradaban manusia berkembang. Dari perkembangan pertama dalam seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi hingga munculnya sistem pemerintahan yang kompleks, peradaban adalah cermin dari kemajuan sosial manusia. Dengan demikian, pengetahuan, peradaban, dan kemajuan sosial adalah benang merah yang mengikat sejarah manusia, namun determinasi tidak berhenti pada kontribusi perkembangan pengetahuan terhadap suatu peradaban. Peradaban yang maju juga memberi implikasi besar pada konsepsi ilmu pengetahuan yang terus berkembang

Seperti belati bermata dua, kemajuan ilmu pengetahuan alam dan eksakta di awal abad ke-20 menjerumuskan kebudayaan ke dalam krisis kemanusiaan, kemudian mensimplifikasi manusia ke dalam makhluk satu dimensi (one dimensional), dan satu konsepsi kebenaran dengan objektivisme. Keragaman manusia dalam mempersepsikan realitas, terutama dalam cara pandang masyarakat terhadap diri sendiri dan orang lain dilupakan. Metode dan asumsi yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam dan eksakta telah mendominasi segala bidang, termasuk yang berkaitan dengan manusia. Pandangan manusia terhadap realitas dunia yang dianggap multidimensi telah didominasi dan bahkan “didominasi” oleh metode dan asumsi ilmu pengetahuan alam, seolah-olah hanya metode dan asumsi inilah yang paling valid. Itulah yang diungkapkan oleh Husserl dalam karya The Crisis of European Sciences (1936).

Penulis dalam tulisan ini berupaya menjelaskan bagaimana gelombang perkembangan metode pengetahuan fenomenilogis sebagai bagian dari fragmen sejarah perkembangan peradaban yang berkonsekuensi pula pada penafsiran kembali bagaimana manusia menerjemahkan realitas dan bagaimana perkembangan metodologi suatu ilmu.

Konsep fenomenologi dalam tradisi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal epistemologi dipopulerkan oleh Edmund Husserl. Husserl belajar di kota Leipzig, Berlin hingga Wina dalam bidang matematika, fisika, astronomi, dan filsafat. Minatnya terhadap filsafat dibangkitkan oleh kuliah-kuliah filsafat Franz Brentano, seorang filsuf yang memainkan peran penting di Universitas Wina waktu itu. Dalam konsepsi ide Franz Brentano yang bagi penulis cukup spiritual, Brentano menggabungkan corak empirisme yang khas dari mazhab Lingkar Wina dengan tradisi berpikir skolastik, yang kemudian mempengaruhi lahirnya teori psikologi deskriptif. Tidak sulit untuk memperlihatkan pengaruh pemikiran Franz Brentano terhadap fenomenologi Edmund Husserl di kemudian hari khususnya ajaran tentang intensionalisme yang identik dengan corak fenomenologis

Konsep Utama Fenomenologi

Dalam membedah atau menerangkan suatu konsep teori pengetahuan secara umum kita bisa menelisik kedalam dua model analisis, analisis diakronik dengan melihat jejak geneologis suatu toeri atau analisis sinkronik dengan melihat secara holistik suatu teori dari beberapa ruang lingkup dan perspektif, seperti apa yang diterangkan sebelumnya.

Pemikiran Edmund Husserl soal fenomenologi juga tidak lepas dari pengaruh pemikiran psikologi diskriptif Franz Brentano yang menolak asumsi kausalitas dalam psikologi genetik dan penolakannya terhadap kebenaran yang hanya bisa diamati di luar diri manusia.

Menurut Brentano fenomena mental itu nyata. Dia tidak setuju dengan gagasan bahwa satu-satunya hal yang nyata adalah yang ada di dunia luar. Konsepsi kebenaran pluralistik dan penolakan terhadap objektivitas empiris menjadi pilar penting fenomenologi.

Adapun beberapa konsep kunci fenomenologi seperti kesadaran hanya dimiliki manusia, subyek yang berpikir, di mana kesadaran ini juga menuntut hal lain, yakni intensi. Intensi atau keterarahan ditujukan untuk sesuatu, yakni obyek, di mana dalam tradisi fenomenologi disebut “fenomena.”

Intensionalitas Keterarahan (intensionality) dapat dipahami dalam hubungannya dengan kesadaran (consiousness). Kesadaran akan sesuatu hanya mungkin terjadi karena adanya keterarahan atau intensionalitas pada sesuatu tersebut. Sejauh kita memiliki kesadaran akan sesuatu hal atau peristiwa tertentu, dalam arti fenomena, maka kita akan membentuk kesadaran akan hal itu, dan dari sana kemudian timbul pemahaman. Dan Epoche atau melepaskan keterhubungan.”

Epoche kerap diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan istilah bracketing, yaitu “menyekat” antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam fenomenologi, bracketing ini kerap diartikan sebagai penundaan penilaian atau suspension of judgment, dari fenomena yang kita teliti, atau disebut juga sebagai reduksi fenomenologis. Husserl menekankan bahwa untuk memahami dunia, kita harus melepaskan semua konsep, praduga, tendensi dan pretensi, sehingga menunda dulu setiap penilaian yang ada, agar fenomena tersebut tampil sebagaimana adanya. Dalam domain filsafat fenomenologi bisa diuraikan kedalam bentuk piramida segitiga kembar, jika kita berbicara persoalan filsafat ilmu maka paling tidak dalam suatu konsep penting mengklasifikasi posisi ontologis, epistemologis dan metodologis dari suatu konsep, juga melihat posisi aksiologis sebagai tujuan akhir suatu konsep.

Secara ontologi konsep fenomenologi berada pada suatu kenyataan kebenaran yang berisfat relative bukan bersifat statis yang kenyataan itu tetap namun sejauh apa yang disadari manusia dengan melepas asumsi asumsi universal. Secara epistemologi kebenaran tidak berada pada luar tetapi melekat pada persepsi internal subjektifitas, sehingga dalam penentuan kebenaran suatu realitas tidak berdasar pada apa yang nampak namun apa yang disadari, sehingga melahirkan keberagaman kebenaran bukan bersifat tunggal, sehingga secara metodelogis fenomenologis bersifat deksripsi dan klasifikasi yang melihat suatu realita itu bersifat parsial dan plural, tidak melihat realitas sebagai hubungan kausalitas sebagai satu satunya metode pencarian akan kebenaran dengan jalan verifikasi.

Secara Aksiologis cita cita fenomenologi sebenarnya sederhana bagaimana menginterpretasikan makna di balik sebuah realitas dengan menggunakan kesadaran manusia yang tidak tereduksi oleh objektivitas empirirk.

Kuasa Pengetahuan dan Otoritas Keilmuan

Dalam kacamata Foucault kekuasaan harus dipahami pertama sebagai macam hubungan kekuatan yang imanen. Hubungan kekuatan itu berlaku dalam unsur-unsur pembentuk dan organisasinya. Kedua, permainan yang dengan jalan perjuangan dan pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh memutarbaliknya. Ketiga, berbagai hubungan kekuatan yang saling mendukung, sehingga membentuk rangkaian atau sistem, atau sebaliknya, kesenjangan, dan kontradiksi yang saling mengucilkan, terakhir, strategi tempat hubungan-hubungan kekuatan itu berdampak, dan rancangan umumnya atau kristalisasinya  dalam lembaga terwujud dalam perangkat negara dan perumusannya.

Ini berbeda pada pengertian kekuasaan secara umum  dipahami dan dibicarakan sebagai daya pengaruh seseorang atau suatu organisasi untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Dalam konteks ini, kekuasaan diartikan sebagai menindas, terkadang represif. Secara spesifik, dominasi terjadi antara subjek kekuasaan dan objek kekuasaan. Misalnya kekuasaan negara atas rakyat, kekuasaan laki-laki atas perempuan, dan kekuasaan pemilik modal atas buruh. Pemahaman  ini sering digunakan oleh para ahli sejarah, politik, dan masyarakat.

Dalam bidang epistemologi, ilmu pengetahuan modern, terutama ilmu alam dan ilmu-ilmu empiris, telah terlalu bergantung pada metode dan paradigma yang materialistik serta positivistik. Menurut Husserl, krisis ilmu muncul karena penekanan yang terlalu besar pada metode ilmiah yang mengabaikan aspek subjektif dari pengalaman manusia. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern telah terlalu terfokus pada objek luar dan mengabaikan subjek pengetahuan. Hal ini mengakibatkan kehilangan makna dan nilai dalam pengalaman manusia.

Upaya kembali ke akar-akar filsafat dan mengeksplorasi esensi subjektivitas manusia adalah suatu ikhtiar pengetahuan yang bertujuan untuk memahami pengalaman langsung subjek dalam segala kompleksitasnya, tanpa asumsi atau prasangka apapun.

Fenomenologi sebagai Metode Alternantif

Fenomenologi yang hadir sebagai jalan kedua metodelogi setelah penolakannya terhadap pilar positivistik yang dianggap dominan seperti rasionalisme empirik, kausalitas, dan esensialisme tunggal, upaya itu juga membuat pemikiran fenomenologi berkembang kebeberapa pemikiran seperti fenomenologi transendental Edmund Huserl tentang pencarian makna paling esensial yang diperoleh dari kesadaran manusia, atau fenomenologi interpretative ontologis Heidegger, atau eksistensialisme Jean Paul Satre dan Marleu Ponty.

Pada beberapa perbedaan konsep fenomenologi bagi penulis kesemua pemikir tersebut tetap membawa beberapa visi yang sama untuk mendobrak kemapanan konsepsi pengetahuan yang riskan dengan misi elektoral dan kepentingan kekuasaan, adapun beberapa poin yang dianggap penulis sebagai jalan alternatif.

Pertama pembaharuan metode, kritiknya atas Ketergantungan pada Metode Ilmiah Tradisional percaya bahwa ilmu pengetahuan modern telah terlalu bergantung pada metode ilmiah tradisional yang berfokus pada observasi empiris dan pengujian hipotesis. Ini menyebabkan penekanan yang terlalu besar pada objektivitas dan materialisme, mengabaikan aspek subjektif dari pengalaman manusia.

Kedua Membaeri tempat pada Subjektivitas fenomenologi menekankan pentingnya subjektivitas dalam pengalaman manusia. Menurutnya, pengalaman subjektif individu harus dipertimbangkan secara serius dalam membangun pengetahuan yang bermakna. bahwa pengetahuan yang lengkap tidak hanya terdiri dari apa yang dapat diamati secara eksternal, tetapi juga termasuk apa yang dirasakan dan dihayati secara subjektif oleh individu.

Ketiga kembali ke Filsafat, bahwa untuk mengatasi krisis ilmu, kita perlu kembali ke akar-akar filsafat. Penekanan pada pentingnya pemikiran filosofis yang mendalam untuk memahami esensi subjektivitas manusia dan hakikat pengetahuan. Bagi penulis krisis ilmu tidak hanya merupakan krisis epistemologis, tetapi juga mengenai krisis nilai dan makna dalam pengalaman manusia. kembali ke akar-akar filsafat dan menerapkan metode fenomenologi, kita dapat merumuskan kembali dasar-dasar ilmu pengetahuan yang lebih inklusif dan berdasarkan pengalaman manusia yang utuh.

Terakhir, manusia tidak akan pernah berakhir pada suatu konsep kebenaran yang ideal, bentuk dari keberadaan akal adalah perubahan itu sendiri, menjadi sebuah keniscayaan pengetahuan manusia akan terus bergerak maju dan merevisi konsepsi konsepsi yang sudah ada, begitupun dengan fenomenologi sebagai konsep dan metode adalah jalan alternatif untuk mengafirmasi kompleksitas manusa dan keberagaman pengalaman batin manusia, sehingga mengsimplifikasi dan mengobjektifikasi pengetahuan manusia yang harus berdiri pada satu standar pengetahuan yang mutlak adalah pengekangan terhadap gerak tumbuh pemikiran manusia.

Penulis ingin menegaskan bahwa apa itu kebenaran? Adalah hal yang masih misterium atau bahkan tidak ada, hanya upaya menormalisasi suatu standar tertentu dan menghakimi pemikiran tertentu dengan kalimat benar atau salah, singkatnya fenomenologi yang di uraikan penulis adalah sebuah ikhtiar bahwa kebenaran boleh saja bersifat plural dan upaya manusia adalah mencari makna realita dengan kesadaran sebagai kompas pengetahuan

Sebuah Esai untuk Hari Pendidikan Nasional

Selamat hari pendidikan nasional bagi guru, ojol, siswa-siswi, penjaga gerbang sekolah, mahasiswa, penjual di kantin, satpam kampus, dosen, dan semua orang yang pernah duduk menjadi seorang pelajar, di sebuah sekolah, di suatu perguruan tinggi.

Pendidikan saya kira adalah mesin transformasi. Suatu waktu, anak seorang petani, berseragam, bersepatu, ia bersekolah dan tidak lama dapat bercita-cita menjadi seorang insinyur tidak seperti pekerjaan orangtuanya. Anak seorang tukang becak pasca menyemat gelar bisa diterima di perusahaan multinasional, dan di tempat lain, membuat seorang anak muda pelosok setelah meninggalkan kerbau dan sawahnya, pergi ke kota dan bersekolah bercita-cita ingin menjadi seorang presiden di negeri yang hampir semuanya adalah laut

Pendidikan memang memberikan peluang-peluang baru, wawasan baru, dan memperkenalkan keterampilan-keterampilan baru yang diciptakan melalui kebudayaan, tapi di saat bersamaan mengubah cara orang berpikir melahirkan kebiasaan baru dengan risiko meninggalkan adat kebiasan lama.

Keluarga petani terancam kehilangan pengetahuan bercocok tanam setelah anaknya pergi bersekolah di kota. Anak seorang ketua adat terancam kehilangan kearifan lokal setelah menerima pendidikan modern. Dan anak pelosok tadi sudah gengsi bertungkuslumus dengan kerbaunya karena lebih memilih pergi dari sawahnya mengejar impian-impian barunya di kota.

Pendidikan bukan sekolah, meski banyak orang kadung mengidentikkan keduanya. Itu ulah birokratisasi, saat masyarakat menyadari pentingnya suatu lembaga publik agar dapat mengerjakan tugas-tugas yang tidak dapat mereka sanggupi di dalam keluarga. Di masa lalu, keluarga merupakan lembaga utama dan tertua untuk membentuk karakter anak-anak sebelum akhirnya diserahkan kepada pihak lain melanjutkan kerja parenting yang tidak dapat lagi dilakukan oleh para orangtua. Kebiasaan berubah, dari scola matterna menjadi scola in loco parentis. Dari tangan seorang ibu diserahkan kepada guru-guru bijak bestari. Setelah itu, tempat asuh yang makin menjadi sering itu menginisiasi lahirnya lembaga pendidikan yang kelak akan disebut almamater (ibu yang mengasuh).

Dari sini bisa jadi pendidikan itu berkarakter feminin ketimbang maskulin sehingga awalnya bagi anak-anak yang mengenyamnya dapat merasakan kedekatan, kasih sayang, dan merasa diayomi. Bisa jadi dalam buaian feminin pertanyaan akan dibalas jawaban, protes akan dibalas senyuman, dan gugatan akan dibalas gugahan.

Saat ini pendidikan adalah barang istimewa. Tidak semua orang dapat merasakannya. Banyak kritikus menyatakan itu semua karena pendidikan telah menjadi komoditas. Ia menjadi barang dagangan yang mengubah relasi ilmu pengetahuan menjadi relasi transaksional. Mengubah orang-orang di dalamnya seperti sedang beraktivitas di dalam suatu pasar. Meriah tapi tidak sanggup untuk mendapatkan produk yang diharapkan. Terlalu tinggi. Mahal.

Tapi meskipun demikian, ia tetap direspons dengan cara yang hampir sama: upacara. Suatu cara yang ditentukan negara ketimbang lembaga pendidikan itu sendiri. Seolah-olah lembaga-lembaga pendidikan telah kehilangan inisiatif untuk mengisi momen pentingnya sendiri. Barangkali hanya di negara ini hari pendidikan diperingati seolah-olah sedang menghadapi perang dengan cara membentuk barisan, berseragam, dan perlu protokol untuk mengaturnya. Hari pendidikan sebaiknya-baiknya cara untuk menyambutnya, menurut saya, dengan membuka pertemuan-pertemuan akademis, melakukan publikasi karya ilmiah, penganugerahan jasa, mengadakan pameran pendidikan, seminar-seminar sains, atau menggelarnya selama sepekan dalam semangat ilmu pengetahuan. Vibesnya lebih terasa.

Di atas ini beberapa gambar yang saya temukan di salah satu perguruan tinggi yang tidak perlu saya sebutkan namanya, yaitu UNM. Seseorang (atau sekelompok) menuliskannya dengan cukup menyakinkan, dan sepertinya ditulis dalam rangka hari pendidikan nasional—setidaknya begitu yang saya kira. Satu dua gambar di antaranya sudah cukup jelas diperuntukkan untuk merespon isu ketenagakerjaan, yang masih cukup relate dengan hari Buruh Internasional kemarin. Sementara sisanya mengingatkan saya kepada salah satu cerpen Eka Kurniawan, Corat Coret di Toilet. Tapi, ini kamar kencing yang berbeda dari toilet Eka Kurniawan di dalam cerpennya, yang saling sambung komentar antara pengunjungnya sehingga menampilkan suatu percakapan. Tidak ada cermin di toilet ini, yang dapat menjadi metafor tentang pentingnya refleksi bagi wacana kritis. Dan juga tiada tulisan dari gincu merah menandai kata-kata elite yang lebih sering menjadi pemanis bibir.

Meski demikian ini menjadi satu sinyalemen bahwa aspirasi dari bawah masih hidup dari ceruk-ceruk perguruan tinggi, meski dari pandangan elite tindakan semacam ini bisa dinyatakan sebagai vandalisme ketimbang pemberontakan yang ditengarai kelompok perlawanan bersenjata. Ini mungkin juga tanda-tanda saluran aspirasi sedang mampet dan perlu perbaikan, atau simbol kegagalan elite pelajar yang sedang mengalami disorientasi apalagi frustasi ketika menjabarkan dengan cukup visioner bagaimana peran publik mereka ketika diperhadapkan dengan masalah-masalah yang lebih luas dari sekadar masalah lokal dan terbatas di kampus mereka, sehingga lebih memilih menyampaikannya dengan cara terbatas dan terisolir.

Atau ini sekaligus sebagai tanda kehancuran epistemik di sebagian besar kubu pelajar yang tidak sanggup menjangkau pemikiran yang lebih panjang dan ilmiah, sehingga tidak sanggup dituangkan kedalam karya-karya publikasi yang lebih argumentatif dan komunikatif. Itu menjadi satu soal internal yang mesti dipecahkan dikarenakan masalah selama ini hanya dapat tuangkan ke dalam idiom jargonistik ketimbang pikiran-pikiran yang terlatih.

Tapi, menurut saya tindakan semacam ini tidak usah direspons secara berlebihan apalagi mendatangkan satuan keamanan untuk memberikan pelajaran kepada entah siapa yang melakukannya. Ini bisa dianggap sebagai gaya curhat sekelompok mahasiswa yang tidak dibekali rasa percaya diri tapi berani diam-diam menulisnya seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Ia malu bertemu langsung dengan perempuan idamannya sehingga memerlukan medium tidak langsung demi mengatakan uneg-uneg perasaannya.

Syahdan, begitulah makna edukasi (ed: keluar, care: menarik). Yakni sudah merupakan fitrahnya pendidikan itu “menarik keluar” apa saja yang ada di dalam pikiran pelajar untuk dibicarakan bersama, ketimbang seperti anggapan sebagian pendidik selama ini yaitu terdorong memasukkan sesuatu ke dalam benak anak-anak asuhnya untuk mengharapkan kesepakatan. Itu.

Tulisan ini pertama kali terbit 2 Mei 2023 diterbitkan ulang demi pendidikan