Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya.
Sikap gigih, saya kira suatu cara untuk maju. Gigih berarti tak mudah menyerah. Gigih artinya ulet, tekun. Di situ artinya ada tujuan yang mau dituju. Suatu jalan yang sudah dirancang. Jalur yang sudah ditetapkan. Sikap gigihlah yang mendorong terus maju, sesuai rencananya.
Barangkali itu yang penting di pertemuan delapan, kelas menulis PI. Banyak tulisan digeledah. Banyak tulisan punya dosa. Tidak sedikit tulisan punya kasus purba; kesalahan EYD. Ini fatal. Apa kata, sudah lacur terjadi.
Yang soal sekarang adalah isi. Ada harapan kalau setiap tulisan punya bobot. Ini standar baru agar tulisan jauh lebih maju. Kelas sepakat, isi sudah harus lebih tajam, lebih peka. Jadi, barangsiapa menulis sudah bisa punya nilai jual. Ini bukan apaapa, ini indikator kemajuan.
Sebenarnya dari kelas ini dimulai, gaya dan konten sudah jadi prioritas. Isi dan bentuk dua hal yang jadi sorotan. Isi, dinilai baik kalau dia punya perspektif. Atau, bahkan dia punya sudut pandang yang tak diperhitungkan banyak orang. Juga, akan baik kalau isi memuat suatu soal yang baru.
Gaya, saya kira berarti bagaimana bentukbentuk kalimat dibuat. Gaya, punya hubungan dengan struktur jabaran kalimat. Banyak teknik menjabarkan suatu kalimat. Ini hanya soal suatu kalimat mengambil bentuk tertentu. Yang soal, seberapa jauh suatu gaya bisa dibuat menarik. Suatu daya ungkap yang rethoris.
Tapi, perlu hatihati, baik gaya ataupun isi, sebagaimana bentuk dan konten, juga perlu dibuat seimbang. Isi, tak mungkin sampai ditangkap pembaca kalau gaya ungkapnya cacat secara penuturan. Begitu juga sebaliknya, gaya hanyalah kemasan belaka kalau dibalik itu tak ada isi yang mau disampaikan. Dua hal ini, perlu diperhatikan, perlu diseimbangkan.
***
Kelas pekan ini juga molor. Hampir satu jam lebih. Agaknya ini perkara mental. Kurang disiplin.
Harusnya suatu pola sudah jadi mekanisme paten. Sejak dulu, target pertama adalah membangun polah disiplin. Dua hal; disiplin atas waktu, dan disiplin atas jadwal. Yang terakhir saya kira tidak rumit. Ingatan kolektif sudah mapan, kalau tiap akhir pekan kelas menulis digelar. Cuman, soal waktu kelas dimulai memang ada perubahan. Sudah dua minggu kelas dibuka pukul satu siang.
Selang berapa lama kelas dibuka. Saya bilang ada kawankawan tak sempat datang. Beberapa nama saya sebut. Juga alasannya. Walaupun ini bukan kelas formal institusional, perlu untuk disampaikan. Kawankawan yang datang punya hak informasi. Makanya perlu dibilang dari awal.
Awalnya tujuh orang. Kawankawan sudah paham, soal prinsip kelas. Terutama keberlangsungan kelas tanpa bertumpu kepada peserta. Kebutuhan kelas bukan pada banyak atau sedikit yang datang. Justru, sebaliknya, kawankawan yang membutuhkan program harus berjalan. Kelas punya aturan main programatik, bukan pesertasentris.
Makanya, seandainya cuman satu dua orang datang, program tetap jalan. Mekanisme ini sudah otomatis. Jadi, seperti sudah saya bilang, kepemimpinan bisa disematkan bukan pada persona belaka, tapi juga sistem. Ini rumus patennya.
Tak lama berselang satu persatu mulai berdatangan. Kelas tetap berjalan. Waktu pasti berputar.
Kelas, seperti sudahsudah, selalu menjalankan dua mekanisme; sesi naratif, dan sesi kritik. Yang pertama soal membangun cerita atas tulisan, mulai dari proses kreatif sampai kontennya, juga dari motif hingga sikap solutifnya. Yang kedua, sesi kritik. Kelas punya istilah sendiri soal ini; sesi penghakiman. Istilah ini bertolak dari “setiap karya punya dosa”. Jadi, tak ada tulisan yang bersih, semua punya cacat.
Soal cacat, kelas kali ini sempat menyoal ihwal kritik macam apa yang harus diajukan kepada karya tulis. Ada dua pandangan berkembang, yang pertama mau menyoal kedalaman gagasan dengan melihat seberapa dalamkah suatu tema diturunkan penulis di balik struktur teks. Yang kedua, mau melihat seberapa jauh suatu tema gagasan menemukan kelogisannya di dalam struktur kalimat.
Yang pertama pandangan yang diajukan Asran Salam, bahwa seorang penulis harus bertanggung jawab atas ideidenya. Setiap gagasan kalau bisa adalah ide yang sudah matang diungkap lewat karya tulis. Akan problematik kalau menulis atas ide yang masih prematur. Ini soal serius. Tulisan dengan cara begitu akan banyak cacat. Model kayak begitu rentan dengan celah kritis.
Konsekuensi atas cara ini mengharuskan suatu penyelidikan atas maksudmaksud yang ditulis penulis. Bahkan, di tingkatan tertentu akan masuk sampai menyoal sikap ideologis penulis. Pertanyaannya, apakah sikap ideologis penulis sudah selalu ikut dalam pilihan kalimat yang ditulisnya, atau malah sebaliknya? Artinya, keberpihakan penulis di kasus ini bisa mendua, dia bisa bersikap ideologis dalam menulis, atau malah persis seperti seorang ilmuwan, mengedepankan sikap yang netral.
Perspektif ini akan dirasa perlu waktu panjang kalau diajukan sebagai pola paten sebagai mekanisme kritik, sementara waktu dirasa kurang memadai dengan jumlah tulisan yang menumpuk. Alternatifnya, kritik diajukan kepada cara kedua, yakni melihat seberapa logis makna literer dibentuk dalam suatu struktur kalimat. Pola ini juga punya konsekuensi, terutama jika dilihat dari kehadiran penulis sebagai aktor utama di balik karya tulisnya.
Prinsip kedua bertolak dari semacam asumsi bahwa dunia teks juga punya makna mandiri yang terlepas dari dunia pengarang. Artinya, makna teks bisa ditemukan tanpa kehadiran pengarang. Bagaimana teks bisa berarti tergantung dari sistem penandaan yang ada di dalam teks itu sendiri. Maksudnya, ketika suatu struktur pikiran diturunkan di dalam suatu struktur teks, maka di situ sudah ada dua yang bisa berbeda. Yang pertama adalah “yang mau dituliskan”, dan yang kedua adalah “yang sudah dituliskan”. Konsekuensinya, masingmasing dari itu akhirnya punya dua struktur kelogisan yang berbeda. Masalahnya, kepada yang mana kritik harus ditujukan? Kepada yang pertamakah atau yang kedua? Yang pertama akan masuk kepada soalsaoal dunia pengarang, sementara yang kedua memilih menyoal perkaraperkara yang ada di dunia teks.
Perspektif kedua diajukan oleh saya sendiri dengan menimbang dua hal; pengalaman dan waktu. Pengalaman selama ini ada beberapa tulisan yang akhirnya tidak sempat dibahas lantaran kritik yang lama. Sementara pengajuan model kritik pertama dirasa akan memakan waktu yang panjang. Makanya, bukan berarti pola kritik pertama tidak afdol, pengajuan saya ditujukan dengan melihat situasi kelas yang tidak mendukung. Akibatnya, kritik yang diajukan hanya ditujukan kepada dunia teks, bukan kepada dunia pengarang. Dengan memakai mekanisme ini, pola kedua berusaha melihat sejauh apa struktur logis itu dibangun melalui kalimat perkalimat, paragraf perparagraf. Artinya, kritik belum sampai mau menyoal bagaimana ide dipersepsi sang penulis, malah untuk sementara bagaimana mau melihat ide itu sendiri dipersepsi dari tulisan itu sendiri.
***
Selebaran Kala sudah berjalan dua bulan. Tanpa putus terbit tiap kelas dibuka. Distribusinya selama ini diampu kawankawan sendiri. Artinya, kalau ada Kala beredar di luar itu bisa jadi karena kawankawan yang jadi agennya. Prinsipnya, di tangan kawankawan Kala berlipat ganda. Menyebar.
Genap di bulan ketiga kelak, Kala punya kolom khusus. “Unjuk Rasa”, nama yang dipilih untuk sekotak kolom belakang. Dulu, kolom itu diisi redaksi. Asbabnya hanya mau mengisi kekosongan yang tak cukup terisi tulisan. Sekarang, itu “milik” Sulhan Yusuf, beliau nanti bebas mau mengisinya dengan berbagai macam hal. Intinya, kolom ini ditakdirkan hanya memuat 400-500 kata. Tantangannya, dengan konsep yang minimalis, dengan tidak lebih 500 kata, pengampunya dituntut menulis apa saja, segala soal. Ini ibarat perjumpaan “dunia pemikiran yang bebas” dengan “medan teks yang terbatas”. Di antara batas dua dunia itulah nanti Sulhan Yusuf akan menuliskan pikiranpikirannya.
Dengan ijin yang Maha Kuasa, Kala sudah bisa mencantumkan kolom itu diterbitan pekan depan. Kita tunggu saja, terbitan di awal bulan ketiga.
***
Maret jadi penanda kelas menulis PI angkatan dua sudah masuk bulan kedua. Banyak yang datang, tidak sedikit juga akhirnya harus pergi. Agaknya, kelas menulis sudah akrab dengan pola macam itu. Kalau mau mengingat pekan perdana angkatan kedua, kelas jadi ramai, padat. Banyak mukamuka baru. Asing akhirnya kemudian saling kenal. Itu suatu kemajuan dibanding angkatan pertama. Namun, hukum alam bekerja, siapa bisa adaptatif dia yang bertahan.
Kelas, sampai pertemuan kedelapan selalu terbuka bagi siapa pun yang mau datang berbagi pengalaman seputar dunia literasi. Tak ada penolakan kepada siapa pun yang mau terlibat, selagi mau dan berminat, itu sudah jadi modal bergabung di kelas menulis PI. Cukup datang membawa karya tulis, dan niat mau belajar. Selebihnya, biar Tuhan yang mengatur, orangorang yang konsisten pasti menuai apa yang ia sudah tanam.
Syahdan, ini bukan sekedar komunitas, ini gerakan. Yang namanya gerakan butuh keberlangsungan terus menerus. Butuh kontinyuitas. Yang namanya gerakan harus punya niat yang besar, dan juga napas yang panjang. Kuncinya pada akhirnya hanya dua soal; disiplin dan sikap gigih.
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).