Islam Soekarno, Islam Progresif

Islam adalah agama yang tak mudah diringkus dalam definisi tertentu. Atau pada sebuah pengertian yang berlaku secara universal—di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh Islam tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah dan konteks di mana ia diterima. Karena Islam tak bisa dipisahkan dari tafsiran. Walau demikian, beberapa pengertian setidaknya diterima oleh pemeluk Islam. Bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam sebagai agama yang memberikan cahaya pada kegelapan. Islam adalah agama yang membela nilai-nilai kemanusiaan. Islam hadir untuk memperjuangkan keadilan. Walau dari sekian pengertian tersebut, pada akhirnya juga dimaknai berbeda oleh umat Islam. Memberikan artikulasi yang berbeda yang tidak sedikit melahirkan kebencian di atara mereka. Artikulasi yang satu mencaci artikulasi yang lain.

Islam yang lahir di tanah Arab, diserukan oleh Rasullah Saw, dalam perjalanan sejarah, akhirnya menjangkau Indonesia. Memasuki teritori Nusantara yang sebelumnya sudah memiliki keyakinan. Sudah memiliki iman yang dianut oleh masyarakatnya. Jauh sebelum kehadiran Islam, di era kuna—era pra Hindu-Budha. Inilah yang dianggap sebagai iman yang “genuin” dimiliki oleh orang Nusantara. Bentuknya seperti “kepercayaan-kepercayaan”. Animisme dan dinamisme dalam istilah yang digunakan oleh studi agama untuk menunjuk kepercayaan tersebut.

Iman masyarakat Nusantara kala itu, mempercayai segala macam arwah. Kekuatan magis pada alam dan benda-benda. Di Jawa dikenal dengan Kapitayan. Di Sulawesi Selatan, ada Tolotan dan Patuntun. Masyarakat Kalimantan melalui suku-suku dayak mempercayai Kahariangan. Tonass Walian untuk kepercayaan Sulawesi Utara—Minahasa. Naurus Pulau Seram—Maluku. Marapu, Sumba, Permalingan di Sumatra tepatnya bagian Utara. Dan masih banyak lagi tentunya kepercayaan di daerah lain di Nusantara. Sejarah berjalan, era kepercayaan berlalu, Hindu-Budha masuk menjadi iman baru pada masyarakat Nusantara. Hindu-Budha menjadi anutan pada era kerajaan. Abad ke-2 M hingga Islam menjadi wajah baru keimanan masyarakat Nusantara. Abad ke-7 M disinyalir sebagai awalnya Islam mengijakkan kaki di Nusantara. Beberapa bukti arkeologis seperti makam Islam sebagai jejak yang ditunjuk sebagai dasar argumentasi.

Adalah Agus Sunyoto, seorang sejarawan NU dalam Atlas Wali Songo, mendaku ihwal teori masuknya Islam di Nusantara. Akunya, setidaknya ada empat teori yang berkembang prihal asal muasal Islam di Nusantara. Pertama, teori India—Gujarat. Di tandai dengan artefak seperti batu nisan yang memiliki kesamaan arsitek India. Kedua, teori Arab (Mesir dan Hadramaut—Yaman). Pelacakan jejaknya adanya kesamaan pada mazhab Syafi’i. Ketiga, teori Persia—sekarang Iran. Argumentasi yang dibangun untuk teori ini, berdasarkan kemiripan dengan muslim Syiah: peringatan Asyurah 10 Muharram. Pemuliaan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw, (Ahlul Bait) yang hidup dan menjadi tradisi dalam masyarakat Nusantara. Selajutnya, teori Cina, dasar argumentasinya dilihat dari adanya pengaruh budaya Cina dalam sejumlah kebudayaan Islam di Indonesia.

Dari sejumlah teori di atas, namun dalam pandangan kaum sejarawan ada kesapahaman bersama bahwa Islam yang masuk di Indonesia dengan jalan damai. Dengan jalan mempertemukan tradisi Nusantara denga nilai Islam. Dengan jalan “sintetis mistik” istilah Merle Calvin Ricklefs—sejarawan lulusan Cornell University—New York, Amerika. Islam masuk di Nusatara lebih mengedepankan sisi esoterisme. Mengajarkan Islam Tasawwuf. Gagasan mistik “Wahdatul Wujud”—kesatuan wujud dan “Wahdatul Syuhud”—kesatuan pandangan, menjadi pengetahuan yang diperjumpakan dengan tradisi Nusantara. Hamzah Fansury, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Syeikh Siti Jenar, Yusuf Al-Makassari, menjadi figur-figur pelopornya. Puncaknya pada gerak Wali Songo.

Sejarah terus berlanjut, beriringan dengan itu, Islam semakin diterima oleh masyarakat Indonesia. Islam kemudiaan menjadi agama mayoritas di Indonesia. Paruh abad ke-20, Islam Indonesia mengalami “polarisasi”. Tercatat secara garis besar ada dua bentuk polarisasi. Polarisasi ini, berakar sejak abad ke-17 M ketika beberapa anak muda Indonesia yang memperdalam agama di Haramayn (Mekkah dan Madinah) kembali ke tanah air. Orieantasi fiqih kecenderungan menjadi geraknya. Ide-ide pemisahan “yang tradisi” dan “yang Islami” menjadi wacananya. Pengaruh anak muda yang belajar di Haramayn ini, kemudian disebut sebagai kaum “modernis”. Sedang yang tetap pada pola Islam yang “turun temurun/tradisi” dinamai kaum “tradisional.

Soekarno dalam dua polarisasi Islam ini, berdiri di tengah-tengah. Hal ini terlihat ketika dalam pembuangan di Ende kurun 1934-1938, Soekarno memperdalam Islam. Mengaji Islam dengan seksama. Di pengasingan itu, Soekarno mencoba merenungi Islam yang “layak” untuk dianut di Indonesia. Melalui surat menyurat dengan A Hassan, pendiri Persatuan Islam, di situ Soekarno menyampaikan hasil permenungannya ihwal Islam. Selain itu, beberapa gagasannya atau ide-idenya yang dimuat dalam Suluh Indonesia Muda, Pandji Islam, dan Pedoman. Soekarno bukan modernis dan tradisionalis, bisa dilihat dari kritiknya terhadap kedua model ini. Kritik Soekarno ini, bisa dijumpai dalam buku Islam Kita, Islam Nusantara Oleh Muhammad Guntur Romli dan Ciputat School:

“Perbedaan kaum tua (tradisionalis—pen) dan kaum muda (modernis-pen) di sini hanyalah, bahwa kaum tua menerima tiap-tiap otoritas Islam, walaupun tidak tersokong oleh Quran dan Hadis…Intepretasi Quran dan Hadis itu, cara menerankannya belumlah rasionalistik 100%, belumlah dengan bantuan akal 100%…Mereka tidak selamanya mengakurkan pengertian itu dengan akal yang cerdas, tetapi masih-mengasih pada jalan percaya buta belaka…Asal tertulis dalam Quran, asal tertera  di dalam Hadis yang sahih (skriptualis—pen). Mereka terimalah walau kadang-kandang akal mereka tidak menerimanya”.

Dengan kritik itu, Soekarno secara tidak langsung ingin membangun sebuah gagasan Islam Indonesia. Islam yang mampu menjawab konteks Indonesia. Setidaknya beberapa pandangan Islam Soekarno dapat kita temui. Dalam Islam Kita dan Islam Nusantara (2016), Muhammad Guntur Romli mengemukakan, bahwa ada beberapa yang bisa disebut sebagai gagasan utama Islam “ala” Soekarno. Pertama, bagi Soekarno, Islam sebagai elan persatuan nasional. Ide ini bisa ditemui dalam tulisanya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” dimuat Suluh Indonesia Muda. Pada ide ini, Soekarno menarik nilai-nilai Islam menjadi “alat” kolektivitas rakyat yang mayoritas Islam untuk bangkit memperjuangkan bangsa dan tanah airnya dari penjajahan dan imperialisme. Agar Indonesia keluar dari kungkungan asing. Pada gagasan ini, Soekarno mempertemukan nilai-nilai Islam dan konsep Nasionalisme sekaligus Marxisme. Bahwa ketiganya bukanlah suatu yang mesti dipertentangkan.

Kedua, Islam menekankan rasionalitas. Islam harus menerima kemajuan Ilmu pengetahuan (sains). Bagi Soekarno “Orang tak dapat memahami betul Quran dan Hadis kalau tak berpengetahuan umum (sains). Bagaimana bisa orang mengerti betul firman Tuhan segala barang sesuatu dibikin oleh-Nya “berjodoh-jodohan—(berpasang-pasangan-pen)” kalau tak mengerti biologi, tak mengetahui eletron, tak mengetahui posistif dan negatif…”. Pada poin ini, nampak jelas ide-ide kemajuan Soekarno bahwa Islam tak mesti alergi terhadap kemajuan pengetahuan (sains) bahkan Islam semakin kaya jikalau Islam “dibaca” dalam kerangka sains. Pembacaan ini bisa dijadikan sebagai salah satu cara metode dalam membaca Islam.

Ketiga, dalam artikel yang ia tulis “Islam is progress”, Kata Soekarno, “Islam itu kemajuan…kemajuan karena wajib….karena sunnah tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampui batas-batasnya zaman” Islam itu berkemajuan yang menekankan pada aspek kebolehan (mubah) yang bisa melampui zaman. Bukan untuk melarang-larang dan mengharamkan. Senada pada ide yang kedua, makna progres atau kemajuan di sini yakni pelibatan akal dalam membaca Islam. Selain itu, ide “Islam is Progress” juga dapat bermakna penempatan Islam dalam barisan perjuangan. Dalam gerakan pembelaan terhadap orang yang termarginalkan. Islam terlibat dalam pembebasan secara kolektif di samping pembebasan secara Individu. Islam bagi Soekarno yakni libertarian sosial bukan hanya libertarian individual seperti yang cederung dianut oleh kalangan Islam Liberal. Soekarno sepertinya paham betul bahwa jika Islam hanya mendorong kebebasan individu, maka Islam akan menjadi pelayan bagi ideologi liberalisme dan turunannnya. Intinya, Soekarno melihat Islam memiliki semangat emansipatoris secara khusus pada perlakuan pada perempuan. Hal ini bisa dilihat dalam gagasan berikutnya yakni keempat, bahwa Islam itu membebaskan dan anti penindasan. Bung karno menentang tabir yang menutupi perempuan dan pertemuan, karena bagi dia “tabir adalah lambang perbudakan kaum perempuan” dalam wawancara ia menegaskan, “saya anggap tabir sebagai simbol-simbolnya perbudakan perempuan, keyakinan saya ialah Islam tidak mewajibkan Tabir itu. Islam memang tidak mau memperbudak perempuan.” Demikian dakunya.

Selanjutnya ide Islam progres Soekarno, atau yang kelima yakni Islam mengakui persamaan dan kemuliaan manusia. Baginya, ”..tak ada satu agama yang menghendaki kesemerataan daripada Islam”. Bung karno menafikan perbedaan manusia berdasarkan keturunan. Menolak penjajahan manusia dengan manusia yang lain seperti yang dilakukan kapitalisme. Menolak rasialisme dan fasisme seperti yang dilakukan oleh Hitler di Jerman. Bung Karno juga sangat menentang sektarianisme yang dibangun berdasarkan atas dasar perbedaan agama atau mazhab. Terkait dengan gagasan yang kelima ini, di sinilah gagasan Soekarno menjadi kritik dengan kondisi Islam di Indonesia sekarang ini yang sudah mulai terjebak dan terkungkung dalam ideologi liberalisme dan fundamentalisme. Wujud liberalisme Islam sebagaimana dibahasakan sebelumnya, yakni Islam untuk kemerdekaan atau kebebasan individual semata. Menjauhkan Islam sebagai aksi. Sebagai agama yang menyimpan protes terhadap segala bentuk penindasan dan diskriminasi kaum mustadaafin. Watak Islam liberal memiliki kemiripan dengan semangat Ideologi liberalisme itu sendiri.  Wujud fundamentalisme melahirkan konflik atas nama agama. Teror dan bom bunuh diri menjadi bagian dari keimanan oleh kaum ini. Sebab baginya ini merupakan jalan pintas menuju surga. Sesarinya Islam fundamentalisme merupakan “anak haram” dari ideologi liberalisme. Sebab tindakan mereka selama ini, sebagian lahir atas respon ideologi liberalisme yang terbukti menjadikan Islam sebagai bagian dari skenario dalam mempertahankan ideologinya.

Keenam, Soekarno melihat Islam mengakui agama-agama yang lain dan pentingnya toleransi dan demokrasi. Baginya, pemaksaan suatu negara Islam menurutnya bertentangan demokrasi dan dunia modern dan hal tersebut bentuk kediktatoran. Katanya, “…kalau mereka tidak menerima konstitusi Islam, apakah kamu paksa mereka, dengan menghantam Tuan punya  tinju di atas meja, bahwa mesti ditundukan kepada kemauan Tuan? Ai Tuan mau main diktator, mau paksa mereka dengan senjata bedil dan meriam?..zaman sekarang zaman modern, dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu”. Gagasan Islam Soekarno yang demikian, merupakan bentuk kritik terhadap orang-orang atau kelompok Islam yang memiliki cita-cita menegakkan Negara Islam. Dalam konteks Indonesia kekinian ide-ide Negara Islam (khilafah) ini, sangat getol diperjuangkan oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bagi Soekarno ide-ide semacam itu mengandung kediktatoran yang dibungkus dengan dalil agama. Suatu ide yang tidak sesuai dengan dunia kemodernan dan Indonesia.

Ketujuh, Soekarno melihat Islam adalah ajaran yang menekankan pada subtansi. “Ruh dan semangat Islam, api Islam” bukan pada aspek-aspek simbolnya yang sebut sebagai “agama celak” dan “agama sorban” atau ‘abu islam”. Pada ide ini, di sini dalam kontekstualisasinya menjadi kritik terhadap model keberilslaman mengedepankan simbol. Memanjangkan jenggot, mengisbalkan celana, serta memakai sorban dianggap sebagai model Islam yang sesungguhnya—Islam sejati. Dan kelompok seperti ini cenderung sibuk mengurusi hal tersebut dan tidak membawa Islam untuk berbicara pada dimensi emansipatorisnya. Islam yang sibuk mengurusi simbol tersebut, cenderung pasif terhadap penindasan serta marginalisasi yang dilakukan oleh sitem kekuasaan.

Sejatinya Soekarno melihat Islam dengan segala doktrin yang milikinya diarahkan untuk melahirkan kebebasan rakyat Indonesia dari segala bentuk penjajahan. Islam dengan nilainya mampu menjadi inspirasi perjuangan menentang segala bentuk penindasan. Islam harus terlibat dalam kubangan penderitaan rakyat. Di sana Islam harus menjadi pelipur lara pada luka-luka rakyat atas diskriminasi yang dialami. Islam harus mampu menjadi “air” pada dahaga rakyat. Islam harus mampu ditarik dalam praksis dan menjadi solutif pada kelas tertindas. Yang perlu didorong bahwa Islam tidak menerima segala bentuk eksploitasi. Islam menolak segala bentuk penguasaan kebudayaan, sosial politik dan ekonomi oleh kelompok tertentu. Islam menginginkan tatanan sosial yang adil dan beradab. Bukan bengis dan biadab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *