Rasa yang Tertahan Oleh Politik Brengsek

Riuh desiran ombak pada Desember yang rintik. Aku menatap jauh ke tengah laut. Di kejauhan, sesekali nampak muncul tenggelam cahaya lampu para nelayan. Malam ini, dalam pikirku, aku akan menabalkan hati yang lama tertahan. Perasaan yang lama terpendam. Aku berpikir inilah saatnya. Ini kesempatan yang terbaik kupunya. Mungkin agak sulit untuk menemukan momen seperti malam ini. Aku berpikir jika tidak malam ini, berakhirlah segalanya. Jika tidak malam ini, ada baiknya aku mengubur saja rasa ini dan melupakannya. Membiarkan berlalu dan ditelan oleh waktu. Tapi jika itu tidak terjadi pikirku, aku akan menahan “sakit” yang saya bisa pastikan begitu lama. Ya, lama—seiring  ia ditelan oleh waktu. Dan, itu pasti perjuangan melelahkan. Melupakan yang tak berarti itu mudah. Akan tetapi jika ia terkait pengalaman eksistensial itu pasti berat. Sekali lagi, butuh perjuangan yang tak mudah. Butuh sajen hati yang ikhlas. Aku tak bisa menyangkal kali ini, aku berada pada dua ruas rasa yang tak akan lolos dari konsekuensi. Menabalkan lalu bersedia menerima apa pun hasilnya atau tidak sama sekali.

***

Hujan masih saja rintik, tetap malam masih sama. Di kejauhan lampu nelayan masih timbul tenggelam. Aku masih sibuk dengan pikirannku. Memikirkan tentang cara yang tepat menuturkan perasaan yang kian lama ingin meletup. Ah, mengapa malam ini aku tak punya keberanian? Tidakkah dengan mengungkapkannya, aku akan lepas. Tidakkah dengan mengatakannya, akan membuat ia memahami. Tapi semuanya masih tertahan. Aku tak bisa menatar perasaanku dengan baik.

“Menurutmu, bagaimana dengan politik kita sekarang ini?”

Tanyanya kepadaku tiba-tiba, seketika membuatku terbangun dari pikiran-pikiranku.

“Tidak beres” jawabku singkat sambil menoleh kepadanya lalu kembali menatap ke depan melihat hamparan laut.

“Iya benar, politik kita sekarang memang tidak beres” Dia menimpali. Lalu dia melanjutkan, “lihat saja para politisi kita semakin rakus. Mereka tidak segan-segan melahap uang rakyat. Mereka tak sedikit pun memiliki empati terhadap rakyat. Mereka tak punya niat sedikit pun mensejahterakan rakyat. Mereka membuat undang-undang hanya untuk kepentingan pemodal. Coba saja kamu amati, terobosan apa yang telah dilakukan oleh politisi kita untuk rakyat. Yang ada, kebijakannya semakin melebarkan jarak antara kaya dan miskin”

“Iya seperti itu adanya” ujarku, membenarkan apa yang ia bilang. Aku tidak bersemangat berkomentar panjang. Dalam hati, aku berkata, “malam ini aku tidak tertarik berdiskusi. Apalagi membicarakan politik yang brengksek ini. Aku sebenarnya ingin kita mendiskusikan hal yang lain. Hal eksistensial. Tentang rasa ini. Aku ingin kita membicarakan rasa ini. Apakah kamu juga memiliki dan mengalami hal yang sama seperti apa yang kualami. Sekali lagi, ini yang ingin aku bicarakan”.

“Seandainya para pendiri bangsa menyaksikan kondisi bangsa sekarang ini, pasti ia akan sangat sedih. Apakah para politisi itu tidak tahu bagaimana perjuangan pendahulu kita mendirikan bangsa  ini. Apakah mereka tidak tahu penderitaan Tan Malaka, Soekarno dan tokoh yang lain, kadangkala mereka harus mendekam di penjara karena perjuangannya memerdekakan bangsa ini. Apakah mereka tidak pernah membaca sejarah itu. Ooo iya saya lupa mereka memang malas membaca”

“Iya seperti itulah politisi kita” jawabku singkat menimpali tuturnya yang panjang lebar. Dengan wajah yang datar, dalam hati aku merintih, “sudahlah aku tidak ingin berdiskusi. Apalagi tentang politik yang tai kucing ini. Sekali lagi, malam ini aku ingin memberi ruang pada hatiku agar lepas dari jerat rasa ini. Ya, dengan mengungkapkannya kepadamu itu adalah jalannya. Dengan membagi kepadamu yang sebenarnya orangnya adalah kamu sebagai subjek sekaligus objek dari rasa ini yang ingin dituju. Aku tak sanggup lagi menahannya. Tidakkah kau ingin mendengarnya? Tidakkah malam ini dengan rintik hujannya cukup romantis untuk membicarkan perasaan ini. Dari pada berbicara politik yang kelam ini”

“Lihat perilaku partai politik. Mereka hanya sibuk bertransaksi kekuasaan. Mereka tak memiliki ideologi yang jelas. Ada partai yang berlabel agama tapi korupsinya nomor satu. Partai begini benar-benar menggunakan agama sebagai topeng  untuk legitimasi dalam memuluskan kebejatannya. Mereka benar-benar lihai menampilkan diri sebagai kaum agamawan. Orang-orangnnya benar-benar seperti bal’am.”

“Betul sekali pendapatmu itu” tuturku lagi dengan singkat membenarkan apa dia sampaikan. Tapi dalam hati, perasaanku berontak. “Kenapa kamu masih melanjutkan bicara politik ini. Politik kita memang absurd. Sudahlah, aku ingin kita mendiskuskan sejarah awal adanya rasa ini. Kapan pertama kali ia muncul. Mungkin itu lebih berarti. Barangkali itu lebih manusiawi dan bisa memanusiakan kita dibanding mendiskusikan politik. Rasa ini mungkin lebih politik yang sesungguhnya dibanding apa ditampilkan oleh politisi kita. Tolonglah, sudahilah bicara politiknya. Aku ingin kamu menyediakan kuping kamu untuk mendengar rasa ini bercerita. Aku ingin kamu menyiapkan hatimu memberi jawaban yang tentunya rasa kita bisa saling bertaut. Aku sungguh berharap itu”.

“Ah sudahalah bicara politik. Sepertinya membicarakan kebobrokan politik tak ada habisnya” ujarnya sambil mengerutkan jidat.

Aku meresponnya dengan hanya tersenyum tapi dalam hati aku berkata “kenapa bukan dari awal kamu menyadarinya. Seandainya dari awal kamu tidak membicarakan politik, setidaknya rasa ini punya waktu yang banyak untuk mendaku kepadamu. Menyampaikan semua ruas-ruasnya hingga tak ada yang tersembunyi. Mengungkapkan ihwal percik-percik dan getaran-getaran yang mana akal tak mampu memasukinya. Yang mana indera tak mampu menjangkaunya. Tapi tak apalah barangkali di waktu yang tersisa, aku masih bisa mengungkapkan ke dalam rasa yang tidak berdimensi jarak ini. barangkali aku bisa meringkasnya dengan memasukkan kamu ke dalam durasi rasa ini ”

Sambil menoleh kepadaku “Oh iya menurut kamu apa sih yang mesti dilakukan dengan kondisi politik seperti ini?” Tanyanya kepadaku.

“Mmmmm..aku tidak tahu, soalnya politik kalut sekali” Aku menjawab seadanya yang sebenarnya, bisa saja aku jawab lebih panjang dan detail. Dan, mungkin di situ bisa ditemukan solusi kondisi politik sekarang. Tapi, dari awal aku tidak bersemangat membicarakan politik. Lagian juga, ia sudah mengatakan akan mengakhiri berbincangan politik ini. Tapi, mengapa ia masih melanjutkannya dengan bertanya demikian. Aduh kapan perasaanku punya waktu untuk saya sampaikan kepadamu cetusku dalam hati.

***

Masih seperti semula rintik masih setia menemani kami. Namun, yang berubah malam semakin larut. Waktu sudah menjelang dini hari. Suasana semakin sepi. Tibalah waktunya kami mengakhiri pembicarakan yang dari awal hingga akhir meluluh politik. Bagiku, malam ini adalah pembicaraan dengannya yang sungguh membosankan. Akhirnya, kami memilih beranjak pergi meninggalkan tepi pantai dan Gasebo tempat kami berteduh. Kami beranjak untuk bergegas pulang. Aku mengambil motor di parkiran, lalu menyalakannya. Kemudian dia naik jok belakang. Aku memboncengnya. Di jalan pulang tak ada sepatah kata lagi yang keluar dari bibir kami. Kami semua sibuk dengan lamunan masing-masing. Saya tidak tahu apa yang ia lamunkan. Mungkin masih tentang politik yang brengsek ini. Di atas motor dengan menatap kosong ke jalan yang sudah lengang, aku menggerutu. Dasar politik ternyata ia telah menyita semua waktu yang ada. Tak ada sedetik pun yang disisakan untuk mengungkap perasaanku kepadanya. Dasar politik. Bahkan rasa ini tak ia beri kesempatan. Sungguh kejam. Politik memang kotor dan licik. Bayangkan hal paling eksistesial saja ia tak beri ruang. Ia merebut semuanya dengan luas boroknya yang tak pernah cukup waktu menceritakannya. Dan orang yang aku cintai karena pikirin-pikirannya juga ia ambilnya. Sungguh kejam. Sekali lagi sungguh brengsek[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *