Sebagaimana biasa kelas dimulai dengan membaca dan menyimak karya tulis teman-teman peserta yang hadir siang itu. Si empunya tulisan membacanya dan yang lain menyimak sambil memegang kertas gandaannya. Tulisan bebas saja, tak ada keharusan mesti menuliskan jenis apa. Mau puisi satu paragraf, cerpen satu halaman, ataupun opini berlembar-lembar. Siapa pun bebas mengalirkan ide dalam bentuk yang dipilihnya.
Lalu dengan suara yang cukup lantang dibacakanlah hasil karya tersebut. Ada yang membaca dengan intonasi yang cukup baik, ada yang seadanya alias datar saja. Tetapi ada juga yang cukup merdu. Iramanya enak, pemenggalan frasa dan kalimatnya pas di telinga. Yang mendengar, meskipun tidak kebagian kertas hasil tulisan tersebut, tetap bisa menyimak dan menangkap kalimat demi kalimat yang mengalir dari mulut si pembaca.
Dari sekian puluh peserta yang telah mengikuti kelas selama kurang lebih setahun, hanya sedikit yang bisa membaca dan menulis dengan baik. Itulah sebabnya mengapa kehadiran kelas ini demikian penting dan mendesak. Karena sepengetahuan saya kedua teknik ini—bagaimana membaca dan menulis—tidak lagi dianggap penting untuk diajarkan di bangku-bangku kuliah. Beruntung di sekolah kami yang dasar dahulu teknik-teknik ini diajarkan. Kendati porsi keduanya tidak cukup berimbang. Belajar membaca beserta tekniknya lebih dominan daripada belajar menulis atau mengarang.
Saya masih ingat dengan sangat baik guru Bahasa Indonesia kelas 4 SD yang sekaligus mengajar musik atau menyanyi kami waktu itu. Bu Cesilia namanya. Beliau sangat disiplin dan tegas saat mengajar, sehingga kami tidak berani main-main saat jam pelajaran. Untungnya saya suka dengan semua pelajaran yang berbau bahasa. Bukan hanya Bahasa Indonesia, tetapi Bahasa Inggris pun saya suka. Hingga nanti saat duduk di kelas 2 SMU, Bahasa Jerman menjadi tambahan pelajaran yang saya minati.
Bu Cesil (semoga beliau menjalani masa tuanya dengan sehat dan bahagia) jika mengajar selalu sungguh-sungguh. Tak heran jika rata-rata anak didiknya berhasil meraih prestasi dengan gemilang. Kami belajar Bahasa Indonesia mulai peribahasa sederhana, kata-kata majemuk, hingga pengenalan terhadap sastrawan-sastrawan angkatan 20 hingga angkatan 66. Aneka jenis pantun dan puisi pun diajarkan dengan cara menarik. Saya sangat menyenangi pelajaran yang satu ini. Selanjutnya, di kelas-kelas yang lebih tinggi pun pelajaran Bahasa Indonesia tetap menjadi kecintaan dan prioritas di antara semua pelajaran.
Di kelas ini membaca dengan intonasi yang baik sudah mulai ditekankan. Bahkan sedapat mungkin mampu membaca tanpa salah dan jeda yang bukan pada tempatnya. Jadi aturannya, setiap anak digilir dari depan atau dari belakang untuk mulai membaca sebuah teks. Yang lain harus menyimak, terlebih bangku di sampingnya, yang akan mendapat giliran selanjutnya. Jika si pembaca salah huruf atau salah ucap, ia akan dinyatakan gagal, dan selanjutnya sambungan teks akan dibaca oleh siswa di sampingnya. Begitu seterusnya. Saat giliran saya, teman-teman kadang bosan, karena sering terjadi berbaris-baris kalimat yang saya baca tidak kunjung salah. Meskipun pada akhirnya keseleo lidah juga sehingga mesti diganti dan dilanjutkan oleh teman berikutnya.
***
Tahun-tahun pun berlalu. Saat kuliah di fakultas Sastra jurusan Bahasa Inggris, oleh dosen pun kami kerap diminta satu per satu membaca teks bahasa Inggris. Pronounciation yang tepat serta irama membaca yang enak didengar menjadi perhatian utama. Lagi-lagi saya menyukainya. Motivator bilang, jika engkau menyukai sesuatu maka biasanya engkau dapat melakukannya dengan baik. Seperti itulah yang saya rasakan saat belajar bahasa dan ihwalnya. Menyenangkan sekaligus menantang. Saya tidak tahu apakah mahasiswa-mahasiswa sekarang masih menerima materi seperti yang pernah saya dapatkan dulu.
Satu hal memprihatinkan yang saya ketahui, bahwa banyak mahasiswa yang saat ini tidak bisa menulis dengan baik. Bahkan membaca penggalan-penggalan nama atau kata asing pun masih terbata-bata alias banyak yang salah. Jangankan menulis artikel dengan baik, bahkan logika antar kalimat yang satu dengan kalimat berikutnya sering kali rancu dan tidak nyambung. Yang lebih parah lagi, menempatkan koma dan titik saja masih sangat kerepotan. Apatah lagi penempatan tanda-tanda baca lainnya.
Bagi yang tidak hobi dengan pelajaran bahasa, apa boleh buat Anda tetap harus berusaha untuk bisa menulis dengan baik, minimal belajar merangkai kalimat demi kalimat dengan runut. Karena lewat tulisan yang terstruktur ide-ide bisa tersampaikan dan diterima dengan baik oleh pihak lain.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).