Sebagaimana dijanjikan dalam tulisan sebelumnya, pada kesempatan kali ini, akan diurai beberapa tema dasar dalam filsafat. Namun, harus diingat baik-baik bahwa kata “ada”—yang banyak digunakan pada dua bagian tulisan sebelumnya— bukanlah kata yang tepat untuk menerjemahkan kata “wujud” dalam bahasa filsafat.[i] Adalah kenyataan bahwa kata “wujud” itu sendiri mensyaratkan kesadaran dan persepsi. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat mendiskusikannya. Mudah-mudahan lain kesempatan, persoalan ini akan diurai dengan baik.
Seperti telaah-telaah sebelumnya, kita telah bahas bahwa obyek kajian filsafat adalah yang “ada”. “Ada” di sini merupakan segala sesuatu yang bisa kita rujuk. Lawan dari yang “ada” adalah ke-tiada-an. Ke-tiada-an adalah sesuatu yang tidak mungkin kita bisa berelasi dengannya. “Ada” sebagaimana ada merupakan sesuatu yang bersifat badihi, menjadi basis dari segala yang dijumpai. Ia di dalam dirinya sederhana, tidak memiliki pembagian apapun, melingkupi segala sesuatu tapi bukanlah menjadi segala sesuatu.
Selanjutnya, kita akan mencoba mengaji wujud dari segi makna “mungkin”. “Mungkin”, sering dikontraskan pula dengan “ada”. Makna “mungkin” di sini, merupakan variabel yang berbeda dengan makna “ada” dan “tiada”. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia banyak menjumpai dan mengalami sesuatu yang dianggap sebelumnya tiada. Namun, kemudian hari menyatakan ia ada. Misalnya, diasumsikan bahwa wacana filsafat adalah tema yang belum pernah terngiang di telinga ataupun hadir dalam benak. Dalam posisi ini, filsafat adalah sesuatu yang tiada dalam pengetahuan kita. Barulah pada saat di bangku kuliah, kata dan makna filsafat mulai dikenal.
Dalam konteks di atas, ‘sebelum’—kuliah—adalah kondisi di mana kita tidak mengenal kata dan makna filsafat. Dan, ‘setelah’—kuliah—adalah kondisi di mana kita mampu memahami kata dan makna filsafat. Jadi, makna “mungkin” di sini bukanlah sesuatu yang dalam dirinya dikatakan sebagai yang “ada” – diketahui –, tidak pula dikatakan sebagai yang tiada – tak diketahui. Dalam berbagai kesempatan, saya sering menyebut bahwa makna “mungkin” berada dalam ketegangan antara “ada” dan “tiada”.
Dalam istilah filsafat, pembahasan di atas disebut sebagai tiga materi.[ii] Salah satunya telah kita jelaskan di bagian kedua dalam lanjutan tulisan ini. Hanya untuk mengonfirmasikan bahwa”ada” adalah sesuatu yang dalam dirinya bersifat wajib. Dalam terminologi filsafat disebut “wujud wajib”, yang dikontraskan dengan ke-tiada-an, yang mustahil berwujud. Misalnya, angka lima dalam hubungannya dengan ganjil, merupakan sesuatu yang bersifat niscaya dan mustahil lima adalah angka genap.
Selain itu, terdapat wujud yang disebut sebagai “wujud mungkin”. Di mana wujudnya, bukan hal yang niscaya meng-ada, bukan pula mustahil tiada. Misalnya, air pada dirinya memiliki ke-mungkin-an untuk mendidih, juga memiliki kemungkinan membeku. Kemungkinan atau potensi mendidih dan membeku ini, bukanlah sesuatu yang mustahil baginya, tidak pula niscaya baginya. Namun, apakah air akan mendidih ataupun membeku, sangat ditentukan oleh syarat dan kondisi eksternalnya. Jika tiada syarat dan sebab-sebab mendidihnya, maka mustahil baginya mendidih. Begitu pula, jika syarat dan sebab-sebab mendidihnya terpenuhi, maka niscaya baginya mendidih.
Keniscayaan air dalam ke-mendidihan-nya tidaklah bersifat mandiri. Air untuk menjadi niscaya—mendidih—membutuhkan sebab dan syarat-sarat tertentu. Dengan demikian, terdapat dua bentuk wujud wajib, yaitu wajib karena dirinya sendiri, dan wajib karena yang lain. Wajib karena yang lain inilah yang kita sebut sebagai “wujud mungkin”.
***
Wujud, jika dipandang dari sisi realitasnya, maka terdapat dua bentuk pemahaman terhadapnya, yaitu “wujud wajib” dan “wujud mungkin”. Pada realitas eksternal pula, kita menemukan adanya sistem pasti. Sistem pasti yang di maksud di sini ialah prinsip sebab-akibat. Ketika menyatakan sesuatu itu akibat, maka pasti ia memiliki sebab. Dan hubungan antara sebab terhadap akibat, merupakan hubungan bersifat niscaya .Ke-niscaya-an yang dimaksud ialah ketika sesuatu untuk dapat menjadi sesuatu yang lain, ia membutuhkan syarat dan sebab-sebab tertentu. Ketika syarat dan sebabnya terpenuhi, maka niscaya baginya untuk menjadi. Dengan demikian, sesuatu yang eksis di alam ini, terdapat ke-pasti-an dan ke-niscaya-an, sebaliknya sesuatu yang tidak eksis mustahil baginya terjadi di alam.
Hukum kausalitas ini, hanya dapat diterapkan pada wujud yang bersifat “mungkin”. Sedangkan pada “wujud wajib” dan “wujud mustahil”, mustahil dirinya memiliki hukum sebab-akibat.[iii] “Wujud wajib” selamanya akan selalu ada, dan wujud “tiada” selamanya akan dalam ke-tiada-an. Akan tetapi “wujud mungkin” tidak niscaya baginya ke-tiada-an dan tidak niscaya baginya keber-ada-an. Andai diasumsikan ketetapan baginya, maka kita hanya bisa menyatakan bahwa keniscayaannya adalah ketidakniscayaan dalam “ada” dan “tiada”-nya.
Simpulan sementara, dalam menelaah wacana-wacana filsafat, kita akan menemui apa yang saya istilahkan sebagai triologi wujud[iv]. Triologi wujud ini, bukanlah sekadar asumsi akal semata, lebih dari itu, ia adalah cara dan instrumen dalam memahami realitas. Misalnya, dalam suatu proposisi; angka lima adalah angka yang ganjil. Hubungan antara lima sebagai yang ganjil adalah bersifat niscaya. Sedangkan, menyatakan lima sebagai angka ganjil sekaligus yang genap, adalah hal yang jelas mustahil. Di sisi lain, hubungan antara air dengan mendidih, relasinya adalah keserba-mungkin-an, yang tidak niscaya baginya mendidih dan tidak mustahil baginya untuk mendidih. Mendidih ataupun tidak, tergantung faktor, syarat, dan sebab-sebabnya. Di sinilah relevansi pembahasan konsep kausalitas, yang di lain kesempatan akan kita diskusikan.
Tunggu tulisan selanjutnya ya…
[i] Mempunyai akar kata yang sama dengan ‘wajada’, ‘wawajida’, ‘wajidatan’, yang arti harfiahnya; mendapat atau memperoleh.
[ii] Lihat, Murtadha Muthahhari, Pengantar Filsafat Islam.
[iii] Jika diasumsikan terdapat kausalitas dalam “tiada”, maka sama halnya, menyatakan ia “ada”. Begitu pula dengan “ada”, jika diasumsikan terdapat di dalamnya kausalitas, maka sama halnya menyatakan bahwa “ada” tercipta dari selain “ada”, yaitu ke-tiada-an. Dan ke-tiada-an mustahil dapat menjadi sebab keber-ada-an.
[iv] Dalam istilah Muthahhari disebut sebagai ‘tiga materi’.