Hentikan perampasan tanah petani, karena tanah adalah tempat petani memuliakan dirinya dengan berkerja. —Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)—
Berbagai bencana sosial melanda belahan dunia, sehingga solidaritas dan seruan perlawanan bermunculan dari seluruh penjuru dunia. Salah satu bencana sosial itu adalah monopoli hak atas tanah. Pada perihal tersebut, negara berkembang, atau istilah lain, negara dunia ketiga, masih menunjukkan aksi perlawanan dan penolakan terhadap masifnya perampasan dan monopoli atas tanah yang dilakukan oleh imperialisme. Hal serupa terjadi ketika kita semua harus memperingati Hari Ketiadaan Pangan, sebagai implementasi nyata dari keserakahan sekelompok manusia yang tak beradab, dan jauh dari sikap kemanusiaan.
Mengenai kedaulatan pangan, ada beberapa peristiwa tentangnya yang masih tumbuh subur di ingatan ini. Tercatat dalam sejarah Indonesia, Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan upaya diplomasi borjuis yang berhasil memenangkan Indonesia dari cengkeraman Belanda, yang menjajah Indonesia kurang lebih 350 tahun. Namun di balik kesuksesan hasil dari KMB tersebut, hanya memperpanjang penderitaan rakyat. Hatta dan Syahrir menjadi delegasi untuk melepaskan penderitaan rakyat Indonesia, yang sudah lama mencita-citakan kemerdekaan.
Terlalu naif membuat kesepakatan terhadap negara kolonial tersebut lewat bantuan Amerika Serikat, yang sedang gencar melakukan proyek Marshall Plan melalui skema bantuan modal investasi ke negara yang baru saja merdeka. Hasil KMB berdampak buruk terhadap Reforma Agraria setelah tahun 1949, berimplikasi pada kedaulatan pangan Indonesia, membuat semakin banyak rakyat menderita, serta leluasanya borjuasi komprador melakukan monopoli atas tanah yang seharusnya dikelola dan diperuntukkan rakyat Indonesia. Hasil KMB mengkhianati kerja keras rakyat Indonesia pasca mencapai kemerdekaan saat revolusi 1945.
Kita bisa melihat ke belakang lagi, betapa nasib bangsa ini digadaikan oleh suatu bentuk pemerintahan yang “fasis”, anti kritik, dan anti rakyat. Adalah Rezim Soeharto, tokoh yang bertanggungjawab atas penderitaan panjang yang dialami oleh rakyat Indonesia, serta membuat namanya tercatat dalam sejarah dunia sebagai diktator. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, feodalisme tidak pernah berhasil di hancurkan, dikarenakan reforma agraria sejati harus menjadi prioritas utama pemerintahan waktu itu, bersandar Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Namun sejak berkuasanya rezim Soeharto, si kaki tangan imperialis yang pertama itu, Undang-Undang Pokok Agraria telah ditarik kembali, dan disimpan sebagai arsip, sebab akan mengganggu para investor untuk menguasai tanah-tanah rakyat.
Sudah pasti ketika tanah-tanah yang semula diperuntukkan untuk rakyat, saat rezim Orba berkuasa, tanah untuk petani dibatasi, dan diberikan kepada pemodal-pemodal asing. Jika tuan tanah komprador itu berhasil bergerak di bidang perkebunan skala besar, maka kedaulatan pangan Indonesia terganggu. Kiranya tak hanya itu. di era Soeharto, ruang ekspresi kebebasan masyarakat untuk berpendapat turut dirampas serta merta. Soeharto tak ubahnya rezim yang anti rakyat, dan sangat setia kepada kapitalisme monopoli. Sehingga perlawan rakyat dalam meruntuhkan rezim “fasis” itu semakin masif. Dan, dari fakta itu, tak dapat dipungkiri lagi bahwa sampai hari ini, bukanlah rakyat Indonesia yang berkarakter inlander, melainkan pemimpin negeri ini yang setia menjadi boneka terhadap kekuatan asing.
Begitulah lika-liku masalah agraria, tanah dan kedaulatan pangan kita. Sampai saat ini masih terlihat miris. Mengutip catatan AGRA, sampai bulan Mei 2016, Konflik agraria tercatat sebanyak 59 kasus yang terjadi di 18 provinsi, dengan korban kekerasan 256 orang, penembakan 39 orang, kriminalisasi 82 orang dan, 10 orang meninggal dunia. Konflik tersebut terbagi atas beberapa sektor pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintahan jokowi-JK, dengan konsep Nawa Cita yang sedang berlanjut sehingga sekarang. Secara tegas, pemerintahan sangat sulit memenuhi tuntutan rakyat atas ketiadaan tanah. Sehingga kemelaratan tetap terjadi di negeri ini. Hal tersebut dikarenakan reforma agraria palsu pemerintah jokowi-jk, hanya melanjutkan estafet pemerintahan rezim sebelumnya, untuk mengabdi pada pemodal-pemodal, dan melakukan tindakan represif terhadap rakyat yang berjuang dan mempertahankan tanahnya.
Dalam perang melawan rezim “fasis” ini, rakyat wajib pula menanggung “kesakitan” karena harus berhadapan dengan aparatur negara, yang sekiranya berjanji mengayomi masyarakat. Dapat kita amati peristiwa di 29 maret 2016 kemarin. Saat di mana Front Perjuangan Rakyat Sulawesi Tengah (FPR Sulteng) melakukan aksi demonstrasi dalam rangka memperingati Hari Ketiadaan Tanah Internasional. Aksi ini dilakukan untuk menuntut kepada pemerintahan Jokowi-JK, agar segera menghentikan monopoli dan perampasan tanah atas rakyat. Namun aparatur keamanan, tetap bersetia melindungi yang berkuasa. Sehingga penembakan terhadap massa aksi terjadi. Sebanyak 14 orang mengalami luka tembak dan sebanyak 64 orang ditahan tanpa alasan yang tidak jelas dan mendasar.
Fakta tersebut memunculkan suatu hipotesa tentang sikap pemerintahan yang melakukan kesewenang-wenangan, dan melakukan pembiaran atas penderitaan dan kemiskinan yang terus menggerogoti negeri ini. Aksi yang dilakukan untuk memperingati hari ketiadaan tanah internasional sebenarnya bukanlah tidak memiliki alasan. Menurut data BPS per-Maret 2016, menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 28,1 juta jiwa (10,86%), dengan persebaran 10,4 juta jiwa di perkotaan dan 17,67 juta jiwa di pedesaan.
Dari beberapa sumber lainnya, FAO (Food and Agriculture Organization) mencatat 795 juta orang mengalami kekurangan gizi kronis, atau satu dari sembilan orang menderita kelaparan. Di mana 780 juta di antaranya berada di negeri-negeri berkembang. Rilis tersebut dikeluarkan bersama dengan WFP (World Food Program) dan IFAD (International Fund for Agricultural Development) pada bulan Mei 2015. Bahkan pemerintah Bangladesh melaporkan sekitar 55.300.000 orang di negaranya hidup dalam kekurangan makanan. Hal ini penting pula untuk kita renungkan secara seksama. Kekayaan alam ini apakah hanya untuk segelintir manusia, ataukah untuk semua manusia?
FAO menyebutkan bahwa target untuk memerangi angka kelaparan terhalang oleh berbagai keadaan seperti krisis ekonomi global, perubahan iklim, ketidakstabilan politik hingga konflik dan perang. Selain itu, laporan Sofi (Swiss Organization for Facilitating Investments) 2015 menyebutkan, berbagai hal tersebut selama 30 tahun kebelakang telah berkembang menjadi permasalahan jangka panjang, dan akan semakin mengganggu program memerangi kelaparan di berbagai belahan dunia. Pada tahun yang sama di Indonesia, ada sekitar 19,4 juta penduduk yang menderita kelaparan setiap hari. Angka tersebut adalah sepertiga dari 60 juta orang yang masih menderita kelaparan di Asia Tenggara.
Hari ketiadaan pangan yang jatuh pada tanggal 15 oktober setiap tahunnya, tidaklah hanya sebatas diperingati dengan testimoni semata. Pastinya dalam merayakan hari ketiadaan pangan internasional, maka kampanye secara meluas pastinya dilakukan di Indonesia, dan sembilan negara yang tergabung dalam Asian Peasant Coalition (APC) seperti Bangladesh, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Filipina, kamboja dan, Mongolia, yang telah mengelar aksi pada hari 17 Oktober 2016 kemarin. AGRA Indonesia yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat hadir untuk melakukan kampanye secara luas untuk menuntut kepada pemerintah melaksanakan reforma agraria sejati, yang merupakan jalan keluar dari kemiskinan, serta kelangkaan pangan di indonesia.
Tidak ada tanah, maka tidak ada kehidupan bagi rakyat di seluruh dunia. Karena dari tanahlah sumber kehidupan setiap manusia di muka bumi ini. Perjuangan cukup panjang yang harus ditempuh hari ini adalah melawan monopoli atas tanah. Solusi dari bencana ketiadaan pangan ini adalah tidak terlaksananya reforma agraria sejati yang juga merupakan jalan keluar dari kemiskinan seluruh masyarakat di dunia.
Long live people struggle !