Kopi dan Pahitnya Literasi

Suatu pagi saya menyeruput secangkir kopi, saya larut dalam kenikmatan. Entah sejak kapan saya mulai menjadi penikmat kopi dan untuk apa meminumnya. Kopi racikan saya mungkin tidak akan pernah senikmat racikan seorang Ben yang diperankan Chicco Jerikho dalam film Filosofi Kopi. Sebuah film yang diangkat dari novel Dewi Lestari.

Tapi satu hal yang sama, saya mencintai kopi seperti Ben walaupun tidak terlalu terobsesi dengan kopi. Satu-satunya hal saya tahu bahwa teman yang tepat untuk menikmati kopi adalah membaca buku. Mengapa? Karena cara menikmati keduanya adalah harus dengan cinta. Kopi yang nikmat adalah kopi yang diseduh dengan cinta, dan cara terbaik untuk membaca adalah dengan mencintai buku. Kopi dikonsumsi oleh raga dan buku adalah makanan untuk jiwa.

Sebagaimana filosofi kopi Cappuccino, bahwa “Keseimbangan dan keindahan adalah syarat mutlak sebuah keberhasilan.” Maka membaca juga mestilah menjadi syarat mutlak untuk berhasil. Wahyu pertama yang diterima oleh Sang “Avatar” Agung Muhammad SAW adalah Iqra, bacalah. Ini menjadi bukti, betapa pentingnya membaca untuk kehidupan kita sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan jiwa. Bukan hanya kepandaian membaca teks seperti buku, koran, majalah, dan lain sebagainya, tetapi juga kepandaian membaca realitas sosial, politik dan budaya yang ada disekitar kita. Dengan demikian, selayaknya Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) yang mayoritas beragama Islam, memiliki minat baca yang tinggi.

Beda kopi beda susu, seperti itulah realitas yang terjadi di bangsa kita. Berbeda kenyataan dan yang diharapkan. Najwa Shihab dalam Kompas, Agustus 2016, menunjukkan borok yang menjangkiti bangsa kita. Ia memulainya dengan mengangkat data dari The Organisation for Economic Co-operatin and Development (OECD) bahwa “Budaya membaca masyarakat Indonesia berada pada peringkat terendah di antara 52 negara di Asia. UNESCO melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak di Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah yaitu 0 %, tepatnya 0,001 %.” Sebuah fakta empiris yang memilukan dan tragis.

Sehingga, patutlah pemerintah terkhusus Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, selaku pengambil kebijakan yang absah di negeri ini, merasa awas dan segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Namun, permasalahan ini tidak bisa kita lemparkan hanya kepada pemerintah saja, masyarakat juga harus mengambil peran dalam meningkatkan budaya literasi di Indonesia. Sebab ini, sudah menjadi masalah kolektif bukan masalah individual.

Setiap dari kita harusnya mulai peduli dengan kondisi tersebut, karena ini menyangkut masa depan bangsa kita. Bukankah, dalam pidato salah satu Founding Father kita, Soekarno pernah mengatakan bahwa “Sehebat apapun angkatan tua, masa depan bangsa ada di tangan angkatan muda.” Senada dengan Soekarno, Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya, Rumah Kaca, bertutur “Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Kalau tak ada orang yang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka ‘kemajuan’ sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”

Oleh karena itu, mulai sejak dini, kita harus berani membikin kenyataan-kenyataan baru, yang lebih baik dan mencari solusi yang tepat, untuk mengobati permasalahan ini. Untuk itu dibutuhkan pemahaman atas suatu masalah, sebab seringkali kita sibuk dan menghabiskan tenaga untuk berdebat, padahal itu hanya permukaan dari masalah tersebut.

Sebelum terjatuh lebih dalam pada pahitnya potret literasi, marilah kita melakukan perubahan untuk meningkatkan budaya baca bangsa kita, agar tidak menjadi penyumbang terbesar dari rendahnya minat baca dunia. Dan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan mulai dari diri sendiri. Jalaluddin Rakhmat, dalam Rekayasa Sosial, mengatakan “Perubahan sosial dapat terjadi walaupun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menghendakinya, asalkan mereka memiliki komitmen dan altruisme (semangat syahadah yang tinggi).”

Jadi, syarat pertama yang kita butuhkan, untuk melakukan perubahan adalah komitmen. Lalu, menjadikan membaca sebagai sebuah kebutuhan jiwa, sebagaimana butuhnya tubuh kita terhadap makanan untuk diolah menjadi energi. Sebab “Orang-orang yang benar-benar sangat membutuhkan akan menemukan sendiri jalannya,” tutur Llewellyn Vaughan Lee, dalam Moskhel Gosha.

One thought on “Kopi dan Pahitnya Literasi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *