Mata Air Agama-agama: Pluralisme Sufi dan Mencari Titik Temu dalam Perbedaan (Bag-1)

Katakanlah: “Wahai Ahlul Kitab, marilah kita (berpegang) kepada kalimat yang sama (kalimat[in] sawa’[in]), yang tidak ada perbedaan antara kami dan kalian. Hendaknya kita tidak menyembah selain Allah dan hendaknya di antara kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah, kepada mereka, ‘Kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslimin).’” (QS ‘Ali Imran [3]: 64)

Pembicaraan tentang kalimat[in] sawa’[in], atau dalam istilah yang lebih dikenal secara populer sebagai “titik temu agama-agama”, merupakan salah satu topik yang paling panas dan sensitif. Bahkan, buku Mencari Titik Temu Agama-agama karya Fritjof Schuon yang ada di Perpustakaan ITB, dipenuhi dengan coret-coretan yang menolak dan bahkan mencaci maki isi buku tersebut oleh ‘peminjam tak bertanggung jawab’ (mungkin dengan dalih mesianistik: untuk menyelamatkan akidah umat). Namun, seperti ditegaskan oleh Huston Smith dalam kata pengantar buku tersebut: “Sudah jelas dengan sendirinya bahwa setiap hal mempunyai persamaan sekaligus perbedaan dengan hal-hal lainnya. Persamaan, paling kurang, dalam adanya hal-hal itu sendiri. Perbedaan, karena kalau tidak pasti tidak akan ada keragaman yang dapat diperbandingkan. Demikian juga halnya dengan agama-agama. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan menyebutnya dengan nama yang sama: “agama”. Bila tidak ada perbedaan di antaranya, kita pun tidak akan menyebutnya dengan kata majemuk, “agama-agama,” dan karena itu kata benda tunggal akan lebih tepat untuk itu.”1

Di manakah letak persamaan dan perbedaannya? Pada wilayah esoterik (perspektif mistik, spiritual, batin); dan bukannya di wilayah eksoterik, yaitu pemahaman materialistik-ilmiah, suatu perspektif religius konvensional yang cenderung harfiah sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Dengan menyarikan pemikiran Schuon dalam buku tersebut, Smith menjelaskan lebih jauh bahwa: “Schuon menarik garis pemisah antara yang esoteris dan yang eksoteris. Dan kita segera merasakan bahwa kita berada dalam suatu suasana yang lain. Perbedaan dasar bukanlah antara agama yang satu dengan agama yang lain. Dapat dikatakan, garis pemisah itu bukannya membagi perwujudan historis yang besar dari agama-agama secara vertikal; agama Hindu dari agama Buddha dari agama Krsiten dari agama Islam, dan seterusnya. Sebaliknya, garis pemisah tadi bersifat horisontal dan hanya ditarik satu kali membelah berbagai agama yang ditemui sepanjang sejarah. Di atas garis itu terletak paham esoterisme, sedangkan di bawahnya terletak paham eksoterisme.”2

image0

Lebih jauh, Smith menjelaskan bahwa “kesatuan berbagai agama tadi terjadi pada tingkat esoteris. Ia tersembunyi dan bersifat rahasia bukan karena orang yang mengetahuinya tidak mau menjelaskannya, melainkan karena kebenaran yang merupakan rahasia itu terbenam di dalam timbunan unsur manusiawi. Inilah sebabnya mengapa mereka tidak menjelaskannya secara meyakinkan kepada orang banyak… Karena itu, masalah kesatuan dan perbedaan dalam agama diubah menjadi masalah bentuk-bentuk kehidupan rohani: yakini yang esoteris dan yang eksoteris. Minoritas esoteris terdiri dari pria dan wanita yang menyadari bahwa hidupnya berakar pada Yang Absolut, apakah mereka mengalami-Nya secara langsung, atau—bila mereka tidak berhasil mengalaminya secara langsung—mereka berada amat dekat dengan apa yang diyakininya tadi. Sesuatu dalam diri mereka merasakan bahwa keyakinannya benar, walau pun mereka tidak dapat menjelaskannya secara sempurna. Mayoritas eksoteris terdiri dari manusia-manusia lainnya. Bagi mereka cara membahas agama seperti itu tidak ada gunanya, bahkan tidak dapat dipahami.”3

Namun, bagi sebagian orang, pengertian kata ‘agama’ sebagai padanan dari kata ‘ad-dîn’ justru sangat dipermasalahkan. Dalam bahasa Sansekerta, kata ‘agama’ merupakan bentukan dari ‘a’ yang artinya ‘tidak’ serta ‘gama’ yang artinya ‘kacau’; sedangkan dalam bahasa Arab, kata dîn merupakan bentuk masdar dari kata kerja danayadinu, yang arti asalnya adalah ‘hutang’ atau ‘memberi pinjaman’. Akan tetapi, justru dengan mengabaikan dulu permasalahan ketidaksamaan etimologis tersebut dan masuk lebih dalam ke pemahaman ihwal apa itu ‘ad-dîn’, maka ‘titik temu agama-agama’—terutama sebagaimana yang sudah banyak dibahas oleh para sufi—akan terlihat bahkan dalam berbagai kitab suci selain Al-Quran. Namun, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, justru hal tersebutlah yang kini telah dilupakan oleh para pemeluk agama pada umumnya, termasuk pemeluk agama Islam.

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan bahwa “kemuliaan dan keutamaan manusia…adalah disebabkan kemampuannya untuk ma’rifatullah (mengenal Allah)…di mana ma’rifatullah itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan dan kebanggaannya manusia. Dan di akhirat adalah alat dan simpanannya.”4 Sedangkan dalam kitab Nahjul Balaghah, Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa Awaludinna Ma’rifatullah, “Awal dari Ad-Dîn adalah ma’rifatullah.” Sedangkan ma’rifat itu sendiri tahapannya dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw—yang banyak dikuitp oleh para sufi—yaitu, Man ‘arafa nasfahu faqad ‘arafa Rabbahu, “Barangsiapa yang mengenal nafsnya maka sungguh ia akan mengenal Rabbnya.” Bahkan dalam QS Al-Fatihah [1]: 4, Allah menyatakan Diri-Nya sebagai “Yang Menguasai Hari Ad-Dîn.” Dari sini terlihat bahwa Ad-Dîn memiliki keterkaitan yang erat dengan perkara ma‘rifatullah. Apa Ad-Dîn dan Ma’rifatunnafs-Ma’rifatullah itu?

 

Ihwal Ad-Dîn

Pada suatu hari kami (Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya) duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Lalu Rasulullah saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang Iman.” Rasulullah saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qadar baik dan buruknya.” Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang Ihsan.” Rasulullah berkata, “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah Anda melihat-Nya walaupun Anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat Anda.” (……………) Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu Aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Dîn kalian.” (HR Muslim)

Dalam hadis di atas, dinyatakan bahwa Ad-Dîn itu terdiri dari tiga pokok utama, yaitu Al-ImanAl-Islam dan Al-Ihsan. Dalam Al-Quran, padanan dari tiga pokok tersebut bisa dijumpai dalam istilah yang banyak diulang-ulang di berbagai ayat, yaitu Iman dan Amal Shalih.

Secara harfiah, Islam artinya adalah berserah diri, namun bukan dalam arti pasif tak melakukan apa pun, tapi aktif dan pontang-pantingnya seorang muslim (artinya  orang yang berserah diri) dalam mencari, menemukan serta beramal sesuai dengan kehendak Allah. Di masa lampau, di pasar, selain membeli sayur mayur, buah-buahan, lauk pauk dan daging, orang pun bisa membeli budak. Budak tidaklah memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun, karena kemerdekaannya telah dibeli. Sejarah kelam tersebut bisa memberikan impresi tentang arti menjadi “hamba” Allah, karena istilah “hamba” sinonim dengan “budak”. Karenanya, bisa dibayangkan bagaimana impresi orang-orang Arab pada masa itu ketika turun ayat-ayat tentang orang yang “mengorbankan nafs (jiwa)-nya karena mencari keridhaan Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 207) atau tentang bagaimana “Allah telah membeli dari al-mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS At-Taubah [9]: 111), terlebih saat itu perbudakan masih mengakar kuat.

Ada pun Al-Ihsan merupakan sebentuk sikap yang berkaitan dengan keshalihan suatu amal. Shalih adalah kemurnian atau tidak rusaknya sebuah amal. Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah hingga ‘berbuah’ dan dapat dinikmati oleh manusia lainnya. Diterima atau tidaknya ibadah seseorang dapat dilihat dari ‘buah’-nya, yaitu amal shalih. Dan itu tak ubahnya seperti pohon yang tidak pernah memakan buahnya sendiri, tapi untuk dimakan oleh manusia dan binatang. Apa itu amal shalih?

Secara umum amal terbagi menjadi tiga, yaitu, amal baik, amal tidak baik dan amal shalih. Amal tidak baik adalah amal yang mendatangkan dosa bagi si pelakunya, atau amal yang merugikan diri sendiri, bahkan bisa juga orang lain. Namun, yang paling sulit dan halus untuk dibedakan adalah antara amal baik dan amal shalih. Amal baik adalah amal yang bermanfaat bagi sesama manusia dan tidak menimbulkan keburukan, namun balasannya bisa jadi hanya di dapat di dunia. Ada pun amal shalih adalah amal yang langsung terhubung dengan Allah atau amal yang merupakan perintah-Nya.

Dalam Islam, dosa adalah segala hal yang Allah tidak sukai dan dapat mengakibatkan terjadinya penggelapan qalb (hati). Ada pun proses penggelapan atau pencahayaan qalb itu sendiri seiring sejalan dengan empat tahap proses terjadinya sebuah amal—yang tidak baik, baik maupun shalih—yaitu, tahap Rasa, Karsa, Cipta dan Karya. Oleh karena itu, apabila seseorang telah berbuat sesuatu yang melanggar syariat dan dihukumi secara lahiriah, maka sesungguhnya dia telah melanggar empat pagar syariat hingga pagar terluar. Nah, hukum fiqih baru dapat dijatuhkan ketika amal telah mencapai tahapan karya, yaitu, amal yang telah dilakukan secara lahiriah. Namun bukan berarti rasa, karsa dan cipta yang berlangsung dalam qalb (hati)—masih dalam batin dan belum terlahirkan secara lahiriah—tidak dihukumi. Dalam hadis dinyatakan “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk, rupa dan harta benda kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian” (HR. Muslim). Dalam QS Al-Baqarah [2]: 284 juga dinyatakan bahwa “jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam anfus-mu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”

Imam Al-Ghazali pernah berkata “Jika lintasan hati tidak dijaga, ia akan menjadi rasa (keinginan), lalu rasa menjadi karsa (kehendak), karsa berubah menjadi cipta (berniat untuk melakukan), dan cipta berubah menjadi karya (perbuatan). Karya ini yang bisa berakibat pada kecelakaan dan murka Allah. Maka, kejahatan harus ditebas sejak dari akarnya—yaitu sejak ada lintasan hati, yang dari sana hal-hal lainnya akan mengikuti.” Nah, di tataran rasa, karsa dan cipta itulah tashawwuf memegang peranan penting.

Maka, singkatnya adalah sebagai berikut: Ad-Dîn terdiri dari tiga pokok utama, yaitu ImanIslam, dan Ihsan. Padanannya dalam Al-Quran adalah Iman dan Amal Shalih. Perkara iman diatur dan berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai Aqidah dan Tauhid, sedang perkara amal shalih diatur dan berkaitan langsung dengan Syariat. Syariat itu terbagi menjadi dua, yaitu, pertama, Syariat Lahir yang diatur dan berkaitan langsung dengan fiqih dan menghukumi pada tingkatan karyaKedua, adalah Syariat Batin yang menghukumi pada tingkatan rasa, karsa dan cipta yang di kemudian hari dikenal dengan nama Tashawwuf.

image1Bagan Ad-Dîn

 Syariat lahir (fiqih) berfungsi untuk menjaga serta dipakai sewaktu manusia sedang dalam keadaan terjaga, sedang syariat batin (tashawwuf) berfungsi untuk menjaga serta dipakai terus menerus, baik sedang dalam keadaan terjaga maupun tidak. Dalam konteks Etika Islam, kedua Syariat itu berfungsi untuk menundukkan dan mendidik syahwat dan hawa nafsu. Syahwat adalah hasrat material seperti terhadap “perempuan, anak-anak,harta yang banyak dari jenis emas, perak , kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang” (QS Ali Imran [3]: 14). Sementara hawa nafsu adalah hasrat imaterial seperti keakuan, arogansi, amarah dan lain sebagainya. Ibn ‘Arabi pernah menjelaskan bahwa hawa nafsu itu setara dengan Iradah, salah satu asma Allah yang menjelaskan bahwa Allah itu Maha Berkehedak; hawa nafsu selalu mendorong manusia untuk berbuat sekehendaknya padahal hanya Allah yang boleh berbuat seperti itu. Karenanya, kedua Syariat itu berfungsi untuk menundukkan dan menggembalakan “delapan ternak yang berpasang-pasangan” (QS Az-Zumar [39]: 6), yaitu sepasang mata untuk penglihatan, sepasang telinga untuk pendengaran, sepasang lubang hidung untuk penciuman, sepasang tangan untuk memegang, sepasang kaki untuk berjalan, indera pengecap pada lidah yang dipasangkan dengan perut untuk syahwat makan dan minum, pasangan fungsi mulut dan laring untuk bersuara dan berkata-kata, pasangan farji dan indera peraba untuk reproduksi.5

Bersambung…..

(Kami akan memosting lampiran-lampiran dari artikel ini jika sudah memasuki bagian akhir pembahasan)

Catatan Kaki

  1. Huston Smith, “Pengantar untuk Edisi yang Disempurnakan”, dalam Fritjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, Mei 1987, hlm. ix.
  2. , hlm. ix-x.
  3. , hlm. xiii-xiv.
  4. Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, Jilid 4, diterjemahkan oleh Prof. Tk. H. Ismai Yakub, SH, MA., C.V. Faizan: Jakarta Selatan, cetakan ketiga, 1983, hlm. 5.
  5. Zamzam A. J. Tanuwijaya & Tri Boedi Hermawan, 1998, “Struktur Insan dalam Al-Qur’an, Apa yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ)”, dalam Alfathri Adlin (ed.), Masih Perlukah Agama, 2014, Bandung: Pustaka Matahari & Studia Humanika Masjid Salman ITB, dalam proses edit untuk terbit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *