Mata Air Agama-agama: Pluralisme Sufi dan Mencari Titik Temu dalam Perbedaan (Bag-3)

Struktur Insan: Triadik Jasad, Nafs dan Ruh Al-Quds

Konsepsi mengenai Struktur Insan serta visi penciptaannya adalah hal fundamental untuk memahami tentang misi hidup. Namun, permasalahnya, sedikit sekali yang dapat menguraikan konsepsi Struktur Insan tersebut secara rigour dan sistematik. Sebagaimana dinyatakan oleh Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad bahwa “…sebagian dari ajaran-ajaran eskatologi yang lebih populer, yang dalam hal ini, para penulis—kalangan teolog tradisionis—telah gagal membedakan antara istilah nafs dan ruh, jiwa dan roh, baik dengan cara mempertukarkan kedua istilah itu maupun menggunakan yang satu untuk mengganti yang lain. Kecenderungan ini juga menjadi ciri sebagian besar analisis kontemporer. Persoalan bagaimana menamakan dan memahami fitrah kemanusiaan memang cukup njelimet sehingga banyak penulis kontemporer menegaskan bahwa mereka sangat malas membicarakan hal ini.”1 Kerancuan itu bahkan terlihat lebih luas lagi di wacana Psikologi Islam, misalnya, ketidaktelitian untuk membedakan antara nafs dengan hawa nafsu, nafs dengan psikis, lubb atau ‘aql (orang yang memilikinya di sebut ulil albab) dengan nalar (otak), dan lain sebagainya. Gejala ini sebenarnya telah diungkapkan penyebabnya oleh Al-Ghazali sepuluh abad yang lalu, dan ternyata masih terus terjadi hingga hari ini, yaitu, dikarenakan pemahaman akan istilah nafs, ruh, qalb dan ‘aql yang “…sedikitlah kalangan ulama-ulama yang terkemuka, yang mendalam pengetahuannya tentang nama-nama ini, tentang perbedaan pengertian-pengertiannya, batas-batasnya dan apa yang dinamakan dengan nama-nama tersebut. Kebanyakan kesalahan itu terjadi karena kebodohan dengan arti nama-nama ini dan persekutuannya di antara apa yang dinamakan itu yang bermacam-macam”.2

Ada pun penjelasan tentang Struktur Insan dalam bentuk perumpamaan yang ringkas dan padat dapat dilihat pada QS An-Nuur [24]: 35, yaitu:

Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

image4Struktur Insan menurut QS An-Nuur (24) : 35

Ayat beserta gambar misykat di atas merupakan skema ringkas namun padat dari Struktur Insan; struktur manusia yang digelari sebagai Cahaya Allah, khalifatullah, yaitu, mereka yang telah menemukan misi hidupnya di muka bumi ini (syuhada) untuk kemudian menjalankan misi hidup tersebut (shiddiqin). Ayat ini merepresentasikan nafs yang di dalamnya terdapat qalb (zujajah) yang bercahaya seperti kaukab (benda langit yang tidak memiliki cahaya sendiri, menyala karena memantulkan cahaya dari benda lainnya) buah dari ketaqwaannya. Titik api yang menyala di inti qalb tak lain adalah Ruh Al-Quds (mishbah). Kesemuanya itu dibungkus dalam sebuah jasad (misykat, benda gelap yang tak tembus pandang). Uraian dari Zamzam A.J.T. berikut ini bisa merangkum dan menjelaskan perbedaan ketiga entitas tersebut:

Cahaya Allah atau insan Ilahi ini diibaratkan dengan misykat, fash, ceruk, lubang tak tembus yang di dalamnya terdapat pelita terang. Misykat melambangkan kegelapan jasad insan, merupakan tempat bertemunya dua lautan, lautan yang mengalir dari mata air ubudiyyah hamba dan lautan yang bersumber dari ketinggian Uluhiyyah-Nya. Aspek ubudiyyah insan keluar dari sisi jasad dan jiwa insan (nafs), sedangkan apa yang datang dari aspek Uluhiyyah adalah Amr-Nya yaitu h Al-Quds yang dilambangkan dengan pelita atau api yang terang nyalanya.

Jasad insan merupakan wujud yang dibangun dari aspek al-ardh (kebumian); sedangkan nafs insan yang karena kejernihan wujudnya bagaikan kaca, dilabel oleh kata as-samaai (langit). Jadi as-samaai dunya dan al-ardh melambangkan pasangan jiwa dan raga insan yang dijenjang tertentu keduanya berperan sebagai cahaya Allah Ta‘ala, saksi Allah sejati. Dalam persoalan mengabdi kepada Al-Khaliq (sang pencipta), nafs insan merupakan imam bagi jasad dimana pasangan ini akan bertindak sebagai pelaku utama dalam persoalan pengungkapan khazanah Ilahi.

“Aku adalah harta tersembunyi (kanzun makhfiy), Aku rindu untuk dikenal, karena itu aku ciptakan makhluk agar aku diketahui.”(hadis qudsi).

Sedangkan tiupan atau nafas h (arwah) ke dalam diri insan merupakan ujung dari nafas panjang Rububiyyah, yang dilambangkan dengan cahaya jernih yang mengisi ruang-ruang petala langit, as-samawaati. Jadi nafs insan merupakan langit pertama, langit terdekat ke sisi jasad, dari tujuh langit malakut yang berlabuh didalam jasad insan.

Jasad atau jism insan merupakan rumah atau wadah bagi nafs insan, dan qalb dari nafs yang telah diterangi cahaya taqwa merupakan rumah bagi Ar-Ruh yang datang dari sisi-Nya. Kehadiran h Al-Quds ke dalam nafs insan dan menetapnya Ar-Ruh ini di dalam qalb merupakan satu persoalan yang mengakibatkan manusia tersebut digelari cahaya Allah, baitullah, ahlul bait.3

Contoh lain yang mungkin lebih mudah dimengerti untuk imajinasi manusia saat ini adalah OHP (Over-Head Projector). Keseluruhan badan OHP itu ibarat tubuh, sementara plastik transparansi itu ibarat nafs. Di atas plastik transparansi tersebut dituliskan sesuatu, itu ibarat misi hidup manusia yang dituliskan di nafs, namun dia tidak bisa membacanya. Dibutuhkan sesuatu yang lain agar tulisan tersebut bisa dibaca, itulah lampu OHP, yang mengibaratkan h Al-Quds. Cahaya dari lampu OHP (h Al-Quds) inilah yang bisa menzahirkan tulisan (‘amr atau misi hidup) di atas plastik transparansi (nafs) tersebut ke layar (alam dunia) melalui lensa proyektor (qalb). Alegori yang sama bisa ditemukan juga pada wayang kulit. Wayang kulit yang dihias indah berwarna-warni, itulah nafs, ternyata hanya dimainkan bayangannya saja, itulah jasad manusia. Lalu api sebagai simbol Ruh Al-Quds, sang utusan dalam diri setiap manusia, adalah obor api yang bersinar di belakang hingga membentuk bayangan di layar, bayangan yang dilihat oleh para penonton. Siapakah yang memainkan pertunjukan wayang tersebut? Sang dalang, yang tersembunyi dan tak terlihat oleh para penonton, itulah simbol Allah yang mengatur segalanya. Ibn ‘Arabi bahkan menjelaskan sebagai berikut:

Barang siapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di balik layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan (sitara) pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini; kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda gurau, tetapi orang-orang bijak berpikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya, lagi pula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.12

image5

Al-Ghazali membuat dua pengertian nafs. Pertama, adalah nafs dalam pengertian awam yang dipahami sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu adalah campuran atau aradh pada nafs, namun sebenarnya bukan bagian dari nafs. Dalam diri manusia ada embrio-embrio hawa nafsu yang diturunkan dari kedua orangtua. Embrio-embrio tersebut bisa tumbuh jika dipupuki sehingga mewujud dalam diri secara independen yang akhirnya membentuk nufusul hawwiyyah. Jika sudah terlanjur mewujud, maka nafs harus bisa menjadi gembalanya. Kedua, adalah nafs dalam arti unsur halus (lathifah) yang merupakan hakikat Al-Insân. Penyebutan Al-Insân itu ditujukan kepada nafs ini. Nafs diidentifikasi atau dinamai berdasarkan kadar pengaruh dari embrio-embrio hawa nafsu tersebut. Apabila nafs tersebut terwarnai kuat oleh embrio-embrio hawa nafsu yang ada di antara nafs dan tubuh, maka nafs lathifah tersebut dinamai dengan nafs ‘amara bi su‘ karena menyuruh atau cenderung kepada hal-hal yang buruk. Inilah menghijabi antara manusia (mar‘i) dengan qalbnya. Pada setiap noda yang Allah Ta‘ala buang berarti ada bagian yang dirahmati oleh Allah Ta‘ala. Sementara nafs al-lawwamah adalah nafs yang mencela, yang dalam transisi dan tengah berjihad serta menyesali noda-noda yang menempel pada dirinya. Dominasi hawa nafsu sudah berkurang terhadap fas. Jika nafs terbebas dari berbagai pengaruh hawa nafsu dan embrio-embrionya, disebutlah sebagai nafs itu sebagai nafs muthmainnah. Itulah nafs yang telah tenang dan telah sampai di jenjang ridha, yaitu, ridha kepada Allah Ta‘ala dan diridhai, karena telah ridha terhadap seluruh qadha Allah Ta‘ala dalam dirinya. Inilah nafs yang telah memiliki taswiyah (kesempurnaan penerimaan) untuk kehadiran h Al-Quds.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ar-Rûh. Katakanlah: “Ar-Rûh itu dari ‘amr Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS Al-Isrâ‘ [17]: 85)

Persoalan h ini merupakan bagian dari ‘amr Rabb atau termasuk alam ‘amr. Karena itu, tidak ada istilah tazkiyatur ruhiyyah atau mi‘raj rûh, tetapi tazkiyatun nafs dan mi‘raj nafs. h itu sesuatu yang suci dari Allah Ta‘ala dan merupakan ‘amr Rubbubiyyah. Adapun kata sedikit dalam ayat tersebut bukanlah ditujukan kepada sedikitnya pengetahuan tentang h yang bisa manusia ketahui, tetapi sedikitlah di antara manusia yang diberi pengetahuan tentang h. Karena, di ayat lain dalam Al-Quran disebutkan adanya orang yang disebut sebagai Ulil ‘Amri. Bagaimana bisa seseorang yang sudah dirahmati dan dipercaya memegang ‘amr oleh Allah Ta‘ala, tetapi tidak mengetahui tentang h yang merupakan bagian dari ‘amr (ingat hadis Rasulullah tentang amanah dan ‘amr).

h itu terletak di inti nafs. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa h itu tidak berada baik di dalam maupun di luar tubuh, tidak melekat dan juga tidak lepas dari tubuh. Lebih jauh lagi, beliau menjelaskan h itu bukan makhluk karena tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk, tetapi h itu juga makhluk karena datang berikutnya (perkara yang huduts bukan qadim). Selain itu, Imam Al-Ghazali pernah menjelaskan dua kategorih, yaitu, pertama, jisim latif (cahaya ruh). Ini seperti membanjirnya cahaya hidup dari lampu yang menyebar pada sekeliling ruangan, atau ibarat menjalar atau mengalirnya darah dalam tubuh yang dipompa oleh qalb jismaniyyah (jantung). Yang kedua adalah latifah ‘alimah, yaitu api atau sumber cahaya. Inilah h Al-Quds atau Ar- Rûh yang merupakan sumber pengetahuan. Tidaklah sama antara h Al-Quds dengan h Al-Amîn, karena h Al-Amîn adalah Jibril. Namun, keduanya mempunyai kesamaan tugas, yaitu sama-sama mengajarkan Al-Kitab.

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada al-mu‘min ketika Allah mengutus di antara mereka rasul dari nafsnafs mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali ‘Imran [3]: 164)

Dan hari Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari nafsnafs mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira (busyran) bagi al-muslimîn. (An-Nahl [16]: 89)

Katakanlah: Diturunkan kepadanya h Al-Quds (inilah rahmat kedua—pen.) dari Rabbmu dengan penyertaan al-haqq, untuk meneguhkan orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi al-muslimîn. (An-Nahl [16]: 102)

h itu dilambangkan dengan api (misbah), ada pun tubuh (jism) dapat hidup walau hanya dengan cahaya api h saja, atau bagian dari h atau aspek-aspek yang terbawa karena tiupan atau nafakh h saja. Dalam Al-Quran disebutkan dengan ungkapan min rûhi atau “dari h-Ku”. Tak ubahnya seperti bunga dengan harumnya. Harum bunga yang terbawa angin (busyran) sudah dapat menghidupkan rasa lapar lebah (lambang al-mu‘min). Atau seperti orang tengah berada di depan api unggun, walaupun apinya tidak menyentuh tubuhnya, tetapi hangatnya api yang terbawa oleh angin sudah bisa terasakan oleh tubuh.

Maka tatkala dia tiba di api itu, diserulah dia: “Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dalam api itu, dan orang-orang yang berada disekitarnya. Dan Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (An-Naml [27]: 8)

Atau coba rasakan sendiri. Pegang tubuh Anda, bagian leher misalnya. Apabila masih terasa hangat, itu tanda masih ada h yang tiupan atau nafakh h-nya masih memberi kehidupan kepada tubuh Anda. Bahkan seandainya tiupan atau nafakh h ini mengenai dinding, maka dinding tersebut dapat hidup. Sementara apabila Anda menyentuh tubuh orang yang sudah mati, maka terasalah tubuh orang mati itu sudah dingin. Itu mengisyaratkan bahwa dalam tubuh orang mati tersebut sudah tidak ada lagi h yang memberikan tiupan atau nafakh h yang bisa menghidupkan tubuh tersebut. Tiupan atau nafakh rûh itulah yang secara umum disebut sebagai nyawa dalam bahasa Indonesia. Alam semesta ini maujud karena adanya nafakh rûh di dalamnya, misalnya burung itu memiliki h bukan nafs. Karena, apabila burung memiliki nafs, maka akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir nanti, dan bisa mendapatkan siksa kubur dan neraka. Fungsi nafakh rûh bagi tubuh adalah untuk menghidupkan, karena sebelum diberi nafakh rûh, tubuh itu dalam keadaan mati. Sedangkan fungsi nafakh rûh bagi nafs adalah sebagai energi paling dasar. Hakikat atau bahan dasar nafs adalah sesuatu yang hidup, tetapi untuk bergerak (energik) maka nafs memerlukan cahaya h sebagai energi dasar.

 Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan (nafakh) ke dalamnya dari h-Ku (min hi), maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS Al-Hijr [5]: 29 dan QS Shâd [38]: 72)

Ayat tersebut sudah menunjukkan bahwa tidak keseluruhan h, tapi bagian atau persoalan yang terkait dengan h. Ini tak ubahnya seperti cahayanya matahari, harumnya bunga, terang dan hangatnya api. Singkatnya, sesuatu yang ditiupkan (nafakh) yang akan menghidupkan atau menyalakan, seperti minyak yang sudah menyala atau hidup walau belum disentuh api. Nafakh rûh ditiupkan apabila Allah Ta‘ala telah menyempurnakan tempat penerima h atau taswiyah (kesempurnaan penerimaan) dari tubuh yang terbentuk dari 4 unsur (api, air, tanah, udara). Taswiyah tersebut lebih menekankan kepada komposisi elemen pembentuk tubuh yang tepat. Jika campurannya terlampau basah, maka “adonan” tubuh tersebut tidak akan mampu menerima nafakh rûh. Sedangkan untuk menerima h Al-Quds, yaitu sang mataharinya, sang apinya, sang bunganya, sehingga seorang hamba bisa menemukan diri sejati dan misi hidupnya, tidak cukup hanya kesiapan 4 unsur tersebut, tetapi juga diperlukan unsur ke 5, yaitu nafs. Harus ada taswiyah baik di nafs maupun di tubuh. Untuk menerima nur ilmu saja, tubuh harus dalam kondisi sehat kokoh dan tidak terlampau basah dengan minuman duniawi (syahwat), terlebih lagi untuk menerima h Al-Quds. Sedangkan untuk nafs, harus dalam kondisi bersih dari hawa nafsu (tazkiyatun nafs), seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, “Musuhmu yang terbesar berada di antara kedua sisimu.” Nabi Isa pernah mengatakan bahwa manusia itu harus dilahirkan dua kali, pertama lahir secara jasmani, sedang kedua adalah lahir secara ruhani.

Sebagaimana diungkapkan Syaikh Abdul Karim Al-Jilli, h Al-Quds itu adalah hul Arwâh. h Al-Quds itu bukan makhluk karena ia merupakan wajah khusus dari wajah-wajah Al-Haqq. Adapun h Adam (nafakh ruh) adalah makhluk, akan tetapi h Allah bukanlah makhluk, dialah h Al-Quds yang disucikan dari kekurangan-kekurangan Kauniyyah makhluk. h Al-Quds ini merupakan pengibaratan wujud Ilahi di dalam makhluk, atau ungkapan dari wajah Ilahi. Karena itu, dalam bahasa Jawa disebut juga sebagai ‘gusti’ dengan g kecil atau gusti di dalam diri.

Dalam kosmologi Islam, perempuan dan laki-laki disimbolkan dengan dua hal yang berbeda namun saling melengkapi, berpasang-pasangan, yin dan yang yang membentuk harmoni dan keseimbangan. Segala sesuatu (selain Tuhan) diciptakan secara berpasang-pasangan yang didasarkan bukan pada logika dominatif, tetapi logika komplementer. Pasangan perempuan dan laki-laki yang juga disebut dalam Al-Quran merupakan gambaran dari keseluruhan kosmos, yaitu langit dan bumi. Dalam hubungan antara tubuh dan nafs, maka tubuh adalah perempuan dan nafs adalah laki-laki. Apabila keduanya “menikah” (menyatu), dikatakanlah hal itu sebagai “setengah dari Ad-Dîn.” Untuk menggenapkan Ad-Dîn maka pasangan tubuh dan nafs tersebut harus menyatu dengan h Al-Quds, dan bentuk hubungannya menjadi pasangan tubuh plus nafs adalah perempuan, dan h Al-Quds adalah laki-laki. Namun dalam beberapa ayat nafs pun dilambangkan sebagai perempuan yang melahirkan laki-laki (‘aql), dan begitu pula halnya dengan h Al-Quds yang juga kadang dilambangkan sebagai perempuan, karena merupakan Ummul Kitab (Induk Kitab). Pendek kata, simbolisasi ini bukan merendahkan yang satu terhadap yang lain, tapi merupakan suatu kesatuan yang komplementer sebagaimana diterangkan oleh Zamzam sebagai berikut:

Maka yang disebut insan Ilahi, cahaya Allah, adalah insan yang api jiwanya telah dinyalakan Allah Ta‘ala, telah diperkuat oleh cahaya ilmu dan cahaya ma‘rifat. Insan seperti ini memiliki struktur seperti yang digambarkan dalam surat An-Nuur ayat 35, cahaya di atas cahaya.

Misykat, zujajah dan pohon zaitun adalah persoalan yang datang dari aspek ubudiyyah, merupakan pasangan bagi api ­al-mishbah yaitu urusan yang datang dari aspek Uluhiyyah-Nya; persoalan yang diidentifikasi oleh hakikat pasangan perempuan dan laki-laki.4

Selain itu, dalam Al-Quran, tubuh dilambangkan juga sebagai bumi, nafs sebagai langit, dan h sebagai matahari. Namun, seperti telah diutarakan sebelumnya, untuk bisa mendapatkan predikat Insan Ilahi atau menemukan misi hidup, maka manusia yang akan dirahmati tersebut harus berada dalam posisi percaya dan dipercaya. Sebelumnya, terlebih dahulu dia harus dibakar dalam api pensucian, harus menerima ujian untuk memurnikan niatnya dalam mencari Allah Ta‘ala.

Triadik jasad, nafs dan ruh—terutama dua yang terakhir—seringkali tak dikenali, atau bahkan rancu dalam pembahasannya, sebagaimana telah disinyalir oleh Al-Ghazali. Beliau pun menjelaskan dua pengertian nafs, yaitu, pertama, nafs dalam arti hawa nafsu yang merupakan campuran (aradh) pada nafs lathifah, namun sebenarnya bukan bagian dari nafs lathifah. Hawa nafsu adalah “kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih abstrak…merupakan produk persentuhan antara nafs dan jasad.”13 Hawa nafsu tersebut berbentuk embrio-embrio yang dapat tumbuh jika dipupuk, sehingga maujud dalam diri manusia secara independen dan membentuk nufussul hawiyyah. Jika hawa nafsu sudah maujud, maka sang nafs harus menjadi gembalanya. Kedua, nafs dalam arti unsur halus (lathifah) yang merupakan Hakikat Insan atau diri manusia yang sebenarnya. Nafs al-lathifah ini diidentifikasi (atau dinamai) berdasarkan kadar pengaruh dari embrio-embrio hawa nafsu tersebut. Jika sang nafs terbebas dari berbagai pengaruh hawa nafsu beserta embrio-embrionya, maka disebutlah sebagai an-nafs al-muthmainnah. Nafs ‘amara bi su’ adalah nafs yang menyuruh atau cenderung kepada hal-hal yang buruk, karena ia disifati, bahkan didominasi, oleh hawa nafsu yang merupakan hijab antara manusia dengan qalb-nya. Sedang an-nafs al-lawamah adalah nafs yang tidak sempurna “ketenangannya”, mencela, berperang dan menyesali noda-noda yang menempel dalam dirinya.

Insan cahaya Ilahi dengan struktur utuh (telah hadir di dirinya Ruh Al-Quds) merupakan subjek yang akan mulai berjalan dalam Ad-Dîn Allah. Untuk mencapai struktur yang sempurna (ma’rifatullah), maka manusia harus menumbuhkan bola kaca (zujajah) qalb dengan membuatnya menyala bak kaukab, melalui minyak pohon-zaitun, buah ketaqwaan. Dengan hidupnya qalb, maka nafs yang terkulai lemas akibat dosa-dosa menjadi hidup (dosa bagi jiwa adalah seperti kryptonite bagi Superman) dan mulai berjalan mengenali urusan (amr) dan kadar dirinya yang telah ditetapkan Allah. Jika proses penyucian diri dan pengenalan diri (jasad dan nafs) telah paripurna, maka Allah akan mengirim utusan-Nya, Ruh Al-Quds, sebagai penasihat atau pemberi fatwa dalam hati. Keadaan (state) ma’rifatullah ditandai dengan hadir-Nya kuasa Allah (Ruh Al-Quds) dalam qalb insan. Ma’rifat merupakan rahmat dari Allah terhadap hamba-Nya yang Dia kehendaki. Inilah rahmat kedua. Rahmat yang diperoleh setelah sang hamba kembali menjadi al-muthaharrun (tingkat kesucian bayi) yang merupakan rahmat pertamanya.

Bersambung…

Catatan Kaki:

  1. Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad, Maut, Barzakh, Kiamat, Akhirat: Ragam Pandangan Islam dari Klasik hingga Moderen, Serambi: Jakarta, cetakan I, 2004, hlm. 38.
  2. Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, (1983) Jilid 4, diterjemahkan oleh Prof. Tk. H. Ismai Yakub, SH, MA., C.V. Faizan: Jakarta Selatan, cetakan ketiga, hlm. 7.
  3. Zamzam A. Jamaluddin T. (1997). “Misykat Cahaya-cahaya”, PICTS-YPP, Bandung.
  4. Zoetmulder, P.J., (1995): “Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa”, Gramedia: Jakarta, cet. 3, hlm. 286.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *