Komplen dan Literasi

“Andai kota itu peradaban, rumah kami adalah budaya, dan menurut ibu, tiang sarinya adalah agama.”  (Faisal Tehrani).

Penabalan tutur dari Faisal Tehrani, seorang pengarang di bidang fiksi-sastra: cerpen, puisi, dan naskah drama, berkebangsaan Malaysia di atas, menutup sajian foto-foto dan testimoni dari masyarakat sekitar, yang dipancarkan pada layar slight, menandai satu dekade perjalanan sekaum pegiat seni-budaya, yang bernama Komplen (Komunitas Pakampong Tulen) di Butta Toa, Kabupaten Bantaeng. Saya amat tergetar dengan penggalan tutur itu, seolah kejatuhan sabda dari langit.

Malam Jum’at, 3 November 2016, sekira pukul 20.00, genderang peringatan satu dekade Komplen, sebagai komunitas yang banyak bergiat di ruang seni-budaya, mulai ditabuh. Menu ganrang bulo, sejenis tari yang dimainkan oleh bocah-bocah lelaki, yang diringi permainan gendang yang atraktif, lalu dilanjutkan dengan tari Pakarena, yang amat gemulai dibawakan oleh anak belia perempuan, menandai acara dimulai. Dan, setelahnya, sekumpulan cilik perempuan, berpuisi dan bernyanyi tentang arti persahabatan, buah karya sendiri yang berjudul Sahabat. Tak ketinggalan, tiga orang remaja putri-pelajar, menembangkan sebuah lagu, Cermin Retak, yang merupakan adaptasi dari puisi Aspar Paturusi.  Para bocah lelaki, cilik dan belia perempuan, serta remaja itu, adalah anak-anak yang kesehariannya bergumul di Teras Baca Lembang-Lembang.

Kiprah Komplen yang sudah lebih satu dekade, terbentuk 25 Juli 2005, kini telah mewujud menjadi tiga tingkatan generasi. Ada Komplen Senior, Junior dan Cilik. Bahkan, Komplen Balita pun nampaknya sudah ada. Pasalnya, di Teras Baca Lembang-Lembang, sebagai markas utamanya, sering hadir balita-balita, yang dibawa oleh para Amma (Ibu), yang tiada lain adalah orang tua dari para pegiat di Komplen. Memang, sejak teras rumahnya Tata’ Pare’ (Syaifuddin Baharu), seorang guru mengaji, difungsikan menjadi Teras Baca, maka nilai gunanya, menjadi sentrum berbagai aktivitas, baik anak-anak Komplen sendiri, maupun para tetuanya.

Tata’ Pare” sendiri, tiada lain adalah ayah dari Baharuddin, namun lebih populer dengan panggilan Dion Syaif Saen. Dan, Dion sendiri merupakan pendiri sekaligus pentolan utama, bersama Khaidir Tumphaka, Ince Bantayank, Jamhari Alfa, Wawan dan Rosdalifha sebagai generasi awal Komplen, yang kemudian disebut Komplen Senior. Dari mereka inilah, fondasi Komplen dalam berkesenian terburai, dalam berbagai bentuk, semisal: mencipta lagu, bermain drama, monolog, berpuisi, tari, pantomim dan bentuk kesenian lainnya.

Sehingga, tidak mengherankan, tatkala peringatan satu dekade ini, anasir-anasir berkesenian yang utuh, ditampilkan dengan apik, sebagai penegasan akan jati diri sebagai suatu komunitas. Makanya, sehabis menu tari, puisi dan pantomim, segeralah tersajikan menu utama, dalam bentuk sajian tembang-tembang balada, yang merupakan karya cipta sendiri. Perlu dicatat, bahwa selama Komplen eksis, telah menelurkan lebih dari 20 judul lagu. Dari lagu-lagu itu, yang sempat disajikan, diantaranya: Aku Mutiara Anak Bangsa (2000), Lestari Alamku (2005), Jelang Malam (2006), Narkotika (2006), Bunga Kehidupan (2007), Seandainya 1 (2007), Seandainya 2 (2008), Kemarin Membohongi Kami (2008), Ammaku (2010), Patinro Anak (2010), Tentang Kita (2011), dan Perempuan Matahari (2013).

Selain lagu yang syairnya dibikin sendiri, juga melakukan musikalisasi puisi, dalam pengertian, syairnya diambil dari para penyair, seperti puisi-puisi Muhary Wahyu Nurba , Ibu, Tidurlah dan beberapa lagi, serta dari Aspar Paturusi, Cermin Retak (2016), yang penyair-penyair itu, tiada lain adalah penyair terdepan dari tanah Sulawesi. Dan, selain itu, mencipta lagu pula, yang didedikasikan buat lagu kebesaran komunitas literasi Boetta Ilmoe Bantaeng, Membacalah-Menulislah, dan lagu Kelas Inspirasi Bantaeng 1,2,3, yang syair-syairnya disumbangkan oleh pegiat literasi dan Kelas Inspirasi Bantaeng.

Tanpa mengabaikan personil yang lain, Dion merupakan personil yang cukup produktif mengarang lagu. Semua lagu Komplen, ada jejak jiwanya di situ, waima ada beberapa lagu dibuat bersama, terutama dalam arasemennya. Dan, buat perhelatan satu dekade ini, semua lagu yang ditampilkan, sepertinya diaresemen ulang oleh para pentolan Komplen Junior, di antaranya: Ashok, Ippank, Baddu, Aldi dan Iccang, serta mendapat dukungan penuh dari teman segenerasinya. Bahkan, kepanitiaan perhelatan kali ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari Komplen Junior.

Bagi saya selaku pegiat literasi, merasa beruntung sekali bersua dengan komunitas ini. Seingat saya, pertemuan perdana dengan Komplen, dalam artian sebagai pementas, ketika saya dan kawan-kawan di Komunitas Hijau Hitam Makasar, menggelar acara reuni, tahun 2009. Kala itu, pemanggung yang kami ajak adalah Komplen dari Bantaeng. Dan, ternyata kemudian, beberapa personilnya, saya kenal baik, soalnya satu kampung. Dari mula inilah, perkawanan saya berlanjut, hingga saya dan beberapa kawan mendirikan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, serupa dengan komunitas literasi di Bantaeng. Hal mana, kawan-kawan kemudian mendapuk Dion selaku kepala suku komunitas Boetta Ilmoe, yang dalam perkembangannya, amat signifikan menggerakkan tradisi literasi di Bantaeng.

Dion sendiri selaku salah seorang motor terdepan Komplen, punya tradisi literasi yang kuat. Bukan saja dalam mengarang syair-syair lagu buat Komplen, tetapi juga sangat telaten dalam menulis puisi dan narasi-narasi yang menggetarkan jiwa. Dan terbuktilah di momentum berikutnya, tatkala Boetta Ilmoe mengumpulkan lalu menerbitkan, syair dan narasinya menjadi satu buah buku, yang bernuansa prosa liris, dengan judul, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2011), yang sewaktu diluncurkan, dirayakan dengan penuh nuansa pementasan.

Momentum peluncuran buku ini, menandakan sebuah pertemuan antara gerakan literasi dan berkesenian plus berkebudayaan, yang muaranya kemudian menemukan buah cintanya, dalam bentuk Teras baca Lembang-Lembang. Sebab, perlu dicatat, bahwa Teras Baca Lembang-Lembang, serupa dengan hasil persetubuhan antara Komplen selaku komunitas seni-budaya dan Boetta Ilmoe sebagai komunitas literasi. Maka benarlah apa yang ditabalkan oleh Gola Gong dalam bukunya, Gempa Literasi, bahwa gerakan literasi yang paling mutakhir, bisa berwujud sinerginya dengan berbagai komunitas, termasuk ikon budaya pop.

Di waktu kiwari ini, telah satu dekade kehadiran Komplen, makin menarik untuk ditelisik lebih jauh ke dalam sari dirinya. Pasalnya, komunitas ini unik, kalau bukan aneh, dikarenakan dari segi latar belakang pendidikan, sosial dan ekonomi jamaahnya, beraneka ragam. Ada yang tidak tamat sekolah dasar, hingga sarjana berbaur tidak ada jarak perbedaan. Dari pegawai negeri sipil, tukang batu, tukang becak, penggali pasir, sampai yang serabutan pekerjaannya, semuanya menyatu tak berkelas. Di sini, pada Komplen, semangat egalitarianisme dijunjung setinggi langit dan kebersamaan dalam spirit altruisme, dipijak sekuat tanah untuk berdiri. Dan, ini tercermin dalam logonya, yang sangat sederhana, hanya berupa tiga titik air, yang maknanya, mengalir seperti air dalam hitungan. Bagi mereka, hitungan itu, hanyalah satu, dua, tiga, maka jadilah, dan kalau tidak jadi kembali ke hitungan satu, karena Komplen tidak mengenal angka empat.

Saya yang hadir pada malam satu dekade Komplen itu, pun oleh mereka diminta untuk memberikan testimoni. Karenanya, saya pun menghentakkan pidato, bahwa Komplen adalah aset daerah, telah menjadi aset Kabupaten Bantaeng. Seyogyanya, marilah menjaganya secara bersama-sama. Baik selaku pemerintah daerah maupun selaku masyarakat Bantaeng. Lebih dari itu, hendaknya Komplen tidak perlu diberikan program-program yang berbau proyek, sebab mereka tidak mahir mengelolah proyek. Pun, janganlah Komplen ditarik ke arena politik praktis, yang cukup sering digalang oleh para politisi, sebab Komplen merupakan komunitas yang tidak pandai bermain politik praktis. Selanjutnya, komplen mesti dipagari oleh kaum agamawan, sebab jangan sampai suatu saat, Komplen diberi stigma sebagai kelompok yang mengumbar hasrat duniawi karena berkesenian, sebab tidak sedikit paham keagamaan yang berkembang belakangan ini, kerjanya menjadi tukang semat bid’ah.

Mengapa demikian? Sebab seperti yang dibilang Faisal Tehrani, yang saya nukilkan di awal tulisan ini, sepertinya amat cocok meletakkan Komplen di dalamnya. Bagi Komplen, seni-budaya adalah rumahnya, dan sari tiangnya adalah agama. Meski kelihatan lahiriahnya anak-anak komplen, sepertinya lebih unik ketimbang masyarakat pada umumnya, tetapi mereka amat berbudaya, bahkan ikut mengusung nilai-nilai budaya. Walau penampakannya seolah urakan, namun mereka adalah anak-anak yang lahir dari rahim sosial keagamaan yang taat.

 

 

 

 

One thought on “Komplen dan Literasi”

  1. Sungguhlah saya amat bersedih atas ketidakhadiran saya pada perhelatan 1 dekade KOMPLEN. Padahal dalam proses persiapan dan latihan adik-adik, saya turut menyaksikan, bahkan sempat berbincang-bincang dengan kaum Ibu-para Amma yang juga semangat mengambil bagian pada penyiapan konsumsi.

    Saya malah melihat, kolaborasi ini sudah melampaui model gerakan formal. Tak ada manajemen khusus untuk menggerakkan masyarakat. Mereka dengan sukarela berembug untuk mengambil bagian.Dalam kesederhanaan kehidupannya, mereka punya solidaritas tak terbatas. “Bisa melihat anak-anak saya dilibatkan dalam pementasan, sudah sangat membahagiakan buat kami,” ungkap salah seorang Amma’.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *