Seekor kelabang menggelitik punggungnya. Lima jarinya meraba, ternyata bukan hanya satu. Ada dua. Tidak, ada tiga, empat, dan serasa punggungnya dipenuhi kelabang. Serentak, binatang berkaki berjibun ini menyuntikkan bisanya di punggung Lajana, menyisakan jerit yang lebih serupa lolongan, dan lebam-lebam biru kehitaman di seluruh punggungnya. Nyeri yang melanda, membuatnya bermandi keringat. Dia meringis sejadi-jadinya, dan meronta menghalau sakit. Saking berisiknya, seorang perempuan tua, tergopoh-gopoh menghampiri, dengan setangkup air di tangan, lalu memercikkan air tersebut ke wajahnya. Dia tersadar, untung hanya sebuah mimpi.
Ini mimpi yang kedua dengan alur cerita yang sama. Dia telah diperingatkan oleh perempuan tua tadi perihal amanat yang diselip kosmos pada mimpinya. Bahwa, kehadiran binatang ini adalah petanda buruk. Biasanya orang mengirimkan tenung melalui satwa ini. Bagi Lajana, tenung, guna-guna, santet, dan semacamnya tak perlu dirisaukan. Toh, dia bisa menyewa dukun sakti untuk merapalkan mantra-mantra pemagar diri. Jadi, urusan kelabang, dia menganggapnya sebatas bunga-bunga tidur saja. Perempuan tua yang telah bekerja di rumahnya puluhan tahun ini, hanya bisa urut dada, dan geleng-geleng kepala dengan sikap keras kepala majikannya.
***
Renjisan air meniti dari sebatang bambu besar yang dibelah dua, mengetuk bebatuan di bawahnya. Dia tidak suka pemandangan ini, apalagi jika renjisan itu mengenai bajunya. Sejak kecil, ayahnya sering mengajak Lajana keliling persawahan miliknya, tempat banyak ditemui pancuran bambu untuk membersihkan diri para petani selepas bekerja. Di kampung tersebut, ayahnya memiliki seperdua dari seluruh sawah yang ada. Karenanya, keluarga mereka hidup berkecukupan. Orang-orang menghormati Pak Talling, ayah Lajana sebab meski hidup berkecukupan, dia terkenal rendah hati. Kerap kali dia menggelar kenduri besar-besaran di rumahnya saat musim panen tiba, lalu mengundang penduduk kampung menikmati hidangannya. Dia senang menyemai bibit-bibit padi yang hijau serupa juluran jarum, apalagi jika itu dilakukan bersama-sama penduduk kampung. Tak sengan-segan celananya dibiarkan berbalut lumpur, dan tangan blepotan. “Bagi petani, lumpur adalah tintanya cangkul,” prinsipnya.
Berbeda dengan Lajana, dia tidak suka lumpur, meski ayahnya berusaha membiasakan dirinya berbetah-betah di sawah sejak kecil. Baginya, lumpur semisal isyarat kerendahan. Dia tidak ingin demikian, mengingat harta kekayaan keluarganya yang melimpah. Mengurus sawah, menurutnya adalah urusan para petani yang bisa diupah dengan hasil panen. Dia memosisikan ayahnya sebagai juragan, meski ayahnya tak pernah sepakat dengan ini, dan Lajana selalu dongkol dibuatnya.
Apatah sekarang di usia remaja, dia enggan mengikuti ajakan ayahnya lagi. Tetapi Pak Talling mahfum, Lajana setiap harinya sekolah, lelah, dan banyak pekerjaan rumah, ampuh menjadi alasan utamanya. Ini diterima Pak Talling, dia berharap kelak Lajana lulus menjadi seorang sarjana pertanian. Akan lebih bagus menurut Pak Talling, jika sawah-sawahnya dikelolah oleh ahlinya. Dia juga berharap, Lajana menjadi guru bagi para petani membiakkan padi-padinya lebih unggul.
Olehnya itu, setiap panen, Pak Talling selalu menyisihkan sebagian besar hasil penjualan gabahnya sebagai tabungan pendidikan Lajana. Dia juga rutin menitipkan uang entah berapa dalam amplop putih yang bertuliskan, “Semoga pahalanya membahagiakan, Salmah, Istriku”, pada imam masjid dekat rumahnya. Tanpa sepengetahuan Lajana, Pak Talling pun telah menulis wasiat perihal sawah-sawah yang dimilikinya. Meski Lajana merupakan anak tunggal, dia duduk berlama-lama di depan surat wasiatnya. Menandakan ada banyak nama yang diurut.
***
Dia mematung di hadapan lembaran-lembaran wasiat. Walaupun telah berkumpul orang-orang yang namanya tertera dalam surat wasiat itu, mulutnya masih kaku, dan matanya menancap pada kertas-kertas tadi. Ayahnya memang tersiar dermawan, tetapi dia sama sekali tak menduga kedermawanan ayahnya, sukses tak menjadikannya pewaris tunggal. Sebelum meninggal, ayahya membagi-bagikan separuh sawahnya ke penduduk kampung yang pernah bekerja padanya. Dan untuk ini, Pak Talling kembali ditimbun pujian. Sisanya, bagian Lajana, dan untuk sedekah almarhumah, ibunya. Rumah, tetap milik Lajana, dengan syarat perempuan tua yang telah bekerja di sana sebelum dia lahir tetap bersamanya. Pada tabungan pendidikan, ayahnya berwasiat agar perempuan tua tersebut yang mengelolahnya.
Demi uang tabungan, dan rumah, serta sisa sawah yang dimilikinya, kesal dan kecewa Lajana sedikit terobati. Beberapa hari sepeninggalan ayahnya, dia meminta tabungannya pada Perempuan Tua, dengan kilah untuk modal usaha. Rencananya dia hendak membuka usaha bengkel di pekarangan rumah. Awalnya, perempuan tua ini tidak sepakat, sebab itu dana sekolah. Dia juga ragu pada kesanggupan Lajana membagi waktu antara sekolah dan usahanya. Tetapi Lajana meyakinkan, semuanya akan baik-baik saja. Dan perempuan tua itu pun menyerah.
Tak lama, mesin pengisi angin telah didatangkan. Tetapi hari berikut dan selamanya tak ada tambahan peralatan lagi. Malah mesin tersebut mulai berkarat. “Itu bukan urusanmu!” hardiknya, jika Perempuan Tua menanyakan perihal uang dan rencana bengkel padanya. Jika sudah demikian, dia memilih kembali ke dapur, duduk diam!
Sarjana pertanian yang diharapkan ayahnya, juga dipatahkan Lajana. Jauh hari sebelum ayahnya meninggal, dia sudah meninggalkan sekolah. Meski ini tak diketahui Pak Talling, sebab setiap hari Lajana akan selalu pamit dengan seragam putih abu-abunya. Namun itu hanya kedok belaka, di pertegahan jalan, seragam itu akan berganti kaos oblong dan celana jeans setengah lutut, dan melajulah dia dengan Kawasakinya ke kota. Di sana, beberapa orang telah menantinya menghirup kemewahan kota. Ini dilakukanya setiap hari
***
Tersisa rumah dan sedikit sawah, Lajana merasa terancam gembel. Maka dia pun memutar otak. Dia membuka kembali lembar-lembar wasiat, merunut satu-satu nama penduduk yang mewarisi sawah ayahnya, lalu mulai memanggil mereka bergiliran. Perihal pemanggilan itu adalah untuk menandatangani surat perjanjian penyewaan tanah. Rencananya, dia akan menjadi tuan tanah yang menyewakan sawah-sawah yang sebenarnya sudah berpindah tangan tersebut. Tentu saja, para penduduk tak sepakat, dan enggan meninggalkan tanda tangannya, namun Lajana telah mengantisipasi ini. Ada tiga puluh orang teman-temannya dari kota dia datangkan. Mereka semua berbaju hitam, dan berbadan kekar. Setiap hari, mereka ditugaskan wara-wiri di persawahan penduduk. Dan jika malam, mereka mabuk-mabukan, lalu merusak rumah penduduk yang masuk dalam catatan Lajana. Mereka membuat kampung kacau, dan menegangkan sebab tak segan-segan mereka memukuli penduduk. Pernah ada seorang penduduk yang melaporkan ini pada aparat, namun kampung hanya sanggup damai semalam. Malah, esoknya, penduduk tersebut kehilangan bulir-bulir padi yang siap panen. Batang-batang padinya patah, dengan kondisi sawah yang lebih para dari arena pacuan kuda.
Pernah pula, ada penduduk yang mengadu ke imam masjid, tempat ayah Lajana menitipkan sedekah. Kemudian imam masjid tersebut menasehati Lajana. Tetapi dia dan teman-teman kotanya hanya mampu saleh seminggu. Itu pun, untuk mencari jalan balas dendam pada imam masjid yang dianggap telah mengusik jalannya. Akhirnya, Si Imam Masjid memutuskan pindah setelah malu oleh cerita miring karangan Lajana, bahwa dia mencabuli salah satu santri Taman Pendidikan Qurannya, dan Si Santri mengakui itu oleh tumpukan uang yang disodorkan.
Merasa tak sanggup berduet dengan Lajana, penduduk kampung melunak. Mereka menandatangani surat perjanjian penyewaan tanah. Merasa menang, Lajana senang. Maka setiap yang bertandatangan, berbalas amplop putih yang berisi entah berapa. Meski telah nyaman, Lajana tak membiarkan orang-orang kota yang diundangnya dahulu, pulang. Dia menawari mereka bercocok tanam sayuran berdaun lima ruas jari. Tentu saja mereka senang. “Jika ada penduduk yang tak membayar uang sewa tepat waktu, maka sawah merekalah incaran ladang sayurnya!” tegas Lajana.
Perihal ini, tatapan perempuan inangnya yang semakin beruban, menyorot tajam ke wajah Lajana. Dia merasa Lajana, menggali kuburan sedikit-sedikit untuk ditidurinya. Dia lagi-lagi mengingatkan Lajana ihwal mimpi disengat banyak kelabang. Tetapi hati Lajana bergeming. Hanya saja, dia tak mengharapkan lagi dukun sakti, sebab telah ada orang-orang kota di sisinya, dan persawahan yang sejauh mata memandang adalah kuncinya.
***
Namanya, Tungka’. Ayahnya menamai demikian, berharap anak ini memiliki sekolah yang tinggi, lalu menjadi panutan. Tetapi penduduk kampung lebih mengenalnya sebagai Lajana Taruttu. Mereka mengait-ngaitkan dirinya dengan cerita yang menggantung di bibir orang-orang kampung terdahulu. Bahwa, di sana pernah hidup seorang pemuda tampan, tetapi angkuh, licik, dan pemalas, bernama Lajana Taruttu. Dia menghabiskan kekayaan orangtuanya yang baik dengan hura-hura, dan berbuat onar. Tak ada seorang pun yang bisa menghentikannya. Bahkan karena sikapnya yang mencoreng nama orangtuanya, maka ayah dan ibunya membenamkan diri di muara. Dari itu, penduduk kampung bermohon, dan Tuhan mengirimkan ratusan kelabang di suatu subuh. Lajana ditemukan mati dengan totolan-totolan biru kehitaman. Cerita ini dijadikan dongeng wajib bagi anak-anak jika para orang tua memberi petuah hidup di kampung itu. Dan penduduk kampung memiliki kepercayaan, di setiap masa, Lajana inkarnasi di tubuh yang lain. Adalah Tungka’ yang menjadi generasi pelanjut Lajana, maka nama itu lekat pada dirinya, dan orang-orang kampung telah lupa nama yang semula.
Makassar, 9 November 2016