“Apapun alasanya, teror tidak akan pernah dibenarkan. Teror adalah kejahatan kemanusiaan.”
Belum hilang trauma kita akibat konflik atas nama agama—yang sudah beberapa kali terjadi—di negeri ini, kita kemudian dihadapkan lagi dengan sebuah peristiwa teror. Bom Molotov dilemparkan oleh seorang lelaki yang mengenakan kaus bertuliskan “Jihad: Way of Life” ke Gereja Oikumene di Samarinda (13 Nov 2016) yang memakan korban dan di antaranya terdapat balita dan anak-anak yang tidak berdosa.
Drama demi drama kekerasan dan teror yang membawa label agama berlangsung begitu saja dan tak ada penyelesaian. Peristiwa bom yang terjadi di Samarinda adalah sebuah fenomena lepasnya akal sehat dan kontrol diri terhadap fitrah kemanusiaan. Pelaku mungkin terjebak dalam sebuah ekstase, bahwa tindakan yang dia lakukan adalah sebuah kenikmatan sebagai seorang “pembela” agama. Buah dari kesadaran religius palsu (KW, Supercopy) dengan iming-iming kenikmatan surgawi yang pada kenyataanya telah menenggelamkan orang-orang ke dalam agresifitas beragama.
Di Indonesia, orang-orang yang melakukan tindakan teror –sebelumnya- telah melalui fase internalisasi makna “Jihad”. Jihad selfie, jihad destruktif, jihad yang mempertontonkan kekerasan dan kebencian. Sehingga ketika mereka melakukan aksinya, mereka meyakini ada sebuah kekuatan tertentu yang mendorong dan memotivasi agar melakukan aktivitas teror dengan penuh semangat yang menggebu dan meledak-ledak. Sebuah teror yang nikmat, yang akan mengantarkan pelakunya pada tingkat kepuasan puncak.
Kita mungkin bertanya-tanya, apakah dari rentetan kasus teror tersebut disebabkan karena agama yang keliru? Saya yakin bahwa ajaran agama selalu berorientasi pada kedamaian dan cinta kasih. Adapun yang keliru—mungkin—adalah penafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Dalam menafsir teks -teks agama, kita memerlukan beberapa “alat” tambahan yang digunakan untuk memahami makna dari sebuah teks, semisal, hermeneutika, logika/mantiq, dan sebagainya. Selain itu, mungkin kita juga harus membekali diri dengan kearifan agar tidak terjebak pada penafsiran yang bisa membawa kita kepada praktik-praktik yang berujung pada kekerasan atau teror berlabel agama.
Amin Abdullah (1999) menambahkan, munculnya fundamentalisme, eksklusivisme terlebih lagi radikalisme agama yang muncul akhir-akhir ini dalam berbagai kasus seperti pengeboman, pengrusakan rumah ibadah, konflik antarumat beragama, semuanya adalah akibat logis dari tidak menyatunya ketiga pendekatan keilmuan secara teologis, fenomenologis dan antropologis terhadap fenomena-fenomena keberagamaan manusia, yang mengejewantah dalam berbagai bentuk pengalaman keagamaan seseorang atau kelompok, baik pengalaman keagamaan (religious experience) dalam bentuknya sebagai pemikiran secara teoritis, perilaku secara praksis dan perkumpulan atau persekutuan secara sosiologis. (Djam’annuri, 1998)[1]
Ambivalensi Wajah Agama
Dalam konteks sosial kemasyarakatan, agama mampu mendorong penganutnya untuk membangun solidaritas yang cukup kuat, melepaskan masyarakat dari belenggu ekonomi, dan mampu menciptakan integritas sosial yang damai. Dalam pandangan yang moderat, agama seyogyanya menjadi ujung tombak untuk membebaskan pemeluknya dari virus kejumudan dan tidak menjebak mayarakat pada sekadar melaksanakan ritus-ritus formal keagamaan. Namun di sisi lain, agama bisa menjadi sangat horor bagi pemeluknya. Memandang outsider sebagai “kafir” yang bisa diproselitisasi secara paksa (Rizal Rizla; 2011) dan juga bisa semakin menakutkan ketika menjadi sumber utama teror dan konflik. Bahkan pada titik ekstrim, agama dijadikan alasan terjadinya peperangan antar para penganut agama.
Dari hal tersebut kita bias melihat bahwa agama semakin terkesan ambivalen. Parahnya kecenderungan yang negative—seperti sumber konflik, dll—mencuat lebih dominan daripada yang positif. Kecenderungan ke arah negatif inilah yang kemudian harus segera dipotong mata rantai penyebarannya. Arman Dhani, penulis buku Dari Twitwar ke Twitwar, mengatakan bahwa sudah saatnya agama mempunyai juru bicara yang toleran, yang gemar menebar kedamaian, yang mencintai kemajuan, namun tetap menjaga identitasnya sebagai seorang pemeluk agama.
Pada dasarnya, agama tidaklah bersifat ambivalen. Semua agama selalu mengajarkan kebenaran tentang welas asih dan ketentraman. Namun yang terjadi adalah beragamnya penafsiran orang-orang terhadap agama, yang kemudian menimbulkan kesan bahwa agama terlihat ambivalen (ambivalensi beragama). Kita harus ingat bahwa antara agama dengan pemahaman agama adalah dua hal yang berbeda.
Ambivalensi beragama yang cenderung bergerak ke arah negatif harus kita lawan dengan membangun wacana tandingan yang lebih sejuk dan budiman. Intoleransi, kekerasan atas nama agama, diskriminasi terhadap minoritas harus diakhiri secepatnya, sekarang juga! Negara harus memberikan jaminan untuk mendapatkan hidup yang layak dan aman bagi setiap warganya. Menindak tegas pelaku teror dan mengembalikan Indonesia kepada suasana berkehidupan yang damai. Mencintai persatuan dan bijak terhadap kebhinekaan.
Serangkaian aksi teror yang terjadi di beberapa tempat disadari telah melukai bangsa Indonesia. Bangsa yang dibangun atas dasar prikemanusiaan dan prikeadilan. Bangsa yang mencintai persatuan dan sangat keras menolak perpecahan atas nama identitas. Teror yang terjadi, sampai kapanpun, dan dengan alasan apapun, tidak akan pernah dibenarkan.
Hari ini nurani kita barangkali sedang diuji. Aktifitas sehari-hari kita digiring pada kesadaran beragama dengan klaim kebenaran yang berorientasi pada kekerasan. Jika nalar kita absen, hati kita tak sabar, kita akan jatuh pada jurang penuh kebencian.
Selamat Hari Toleransi Sedunia. Mari bersama-sama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,melawan stigma ambivalensi agama dan –yang tak kalah penting-menjadi agen-agen penebar cinta kasih dan kedamaian.
Sumber:
[1] http://kabunvillage.blogspot.co.id/2011/11/menepis-ambivalensi-destruktif-agama.html
+ There are no comments
Add yours