Ahok dan Sepak Bola

“Apa pun sikap kita dalam menghadapi sebuah kejadian, jauh lebih penting dibandingkan kejadian itu sendiri.”  (Gobind Vashdev).

Tetiba saja, seorang kawan melayangkan SMS pada saya, dengan pesan begini,”Bung Sulhan…kali ini, kelaminmu tidak jelas.” Memang, kawan saya ini kalau mengeritik agak porno, namun seporno apa pun ujarnya, saya tidak akan melaporkannya ke polisi dengan pasal porno. Saya mengabaikan pesan pendek tersebut. Toh, itu baru sinyal awal untuk berbincang lebih luas. Pasti gegara Ahok dan sikap terhadapnya, yang ia maksudkan. Begitu tebakan batin saya. Dan, betul saja adanya, beberapa hari kemudian, sohib saya ini, bertandang ke mukim saya. Tentulah perkara kelamin ini, akan menjadi pintu masuk persilatan pikiran, antara saya dan dengannya.

“Bung, kelamin saya amat jelas, masih sering memanjang, apa perlu saya nampakkan, agar ia ikut bicara?” Itulah sapaan saya yang paling awal, setelah membalas salamnya. Berbekal secerek kopi, ditemani dua gelas, dan sedikit gula buat ia, gong percakapan dimulai. “Begini bung Sulhan, kenapa peristiwa seakbar kasus Ahok dan para pendemonya ini, tak ikut bersikap, apa mendukung atau menolak?” Saya terdiam, baru saja saya ingin menyahut, ia sudah lanjutkan lagi tohokannya,”Orang yang tidak jelas pemihakannya, padahal pilihan itu, sejatinya hanya dua, adalah orang yang tak punya prinsip. Semestinya, kalau bukan laki, ya perempuan, dan kalau bukan keduanya, berarti banci.”

Untunglah kopi pahit itu sudah saya tenggak setengah gelas. Sehingga kepahitan tuturnya, diremuk redam oleh kopi saya yang tak bergula itu. Sebenarnya, ia sengaja memprovokasi saya, dengan secara samar ia menuduh saya banci, karena mendambakan kejelasan sikap. Sebab, menurutnya, saya ini sejak mahasiswa,  tergolong orang yang aktif demonstrasi. “Tukang demo”, kira-kira demikian istilahnya yang disematkan pada saya. Pasalnya, sobat saya ini, pernah sama-sama menggalang demonstrasi untuk memenjarakan Arswendo, terkait kasus tabloid Monitor – kasus yang dianggap menista Nabi Muhammad yang kejadiannya masih di zaman rezim Soeharto. Bukan itu saja, karir berdemo lumayan banyak, mulai dari mogok makan hingga yang paling spektakuler, reformasi tahun 1998.

Sungguh, demo 411 dan demo sebelumnya, adalah demo-demo yang spektakuler dari segi jumlah peserta, di kekinian. Selaku tukang demo, gatal juga rasanya jiwa  ini, jikalau tak ikut. Tapi, saya sudah memutuskan untuk tidak ikut. Ibarat permainan sepak bola, saya alpa bermain, tidak juga jadi supporter, bukan pula jadi pengamat. Saya memilih jadi penonton, yang menonton permainan bola, dengan segala atraksi yang mengiringinya. Kenapa begitu? Soalnya, saya lagi mendaras bukunya Johan Huizinga, Homo Ludens, yang beranggapan bahwa , “Kebudayaan dan peradaban muncul dan berkembang di dalam dan sebagai permainan.” Maka, kasus Ahok dan turunan masalahnya, saya mumpungkan membacanya sebagai permainan, seilustratif permainan sepak bola.

Sepak bola sebagai permainan, sungguh-sungguh merupakan ajang perhelatan. yang sarat multi dimensi, dari kemanusiaan orang yang terlibat di dalamnya, maupun yang menikmatinya sebagai tontonan permainan. Pada permainan sepak bola, ada ideologi, emosi, kebangsaan, mahzab, keahlian, fanatisme, dan ratusan lagi gejala kemanusiaan yang dilakoni manusia, mampu ditumpangkan pada pernak-pernik permainan sepak bola. Dengan begitu, saya pun tak ingin melewatkan kasus Ahok ini, dengan menjadikan sepak bola sebagai piranti penyikapan, agar kelamin saya, yang semulanya sudah mengarah pada kebancian, tidak menjadi jelas, seperti yang dianggapkan sobat saya, namun menjelaskan posisi saya sebagai penikmat permainan.

Tujuan akhir dari pertandingan sepak bola adalah menang, jadi juara. Namun, sebelum tiba pada capaian itu, rupa-rupa cara untuk mewujudkannya. Boleh dengan cara yang licik, curang, intimidasi, dan provokasi. Meski tetap saja, hasil akhir mesti diterima dengan sportivitas, mengakui kemenangan bagi yang memenangkan permainan, dan menegeskan kehilangan buat yang kalah dalam pertandingan. Mengapa demikian? Sebab, di dalam permainan sepak bola ada sistem yang mengawalnya. Dan, dari  sistem, para pelibat pertandingan mengkreasikan segenap objek permainan yang disubjektifkan, guna menghasilkan objektivitas hasil akhir permainan.

Salah satu unsur terpenting dalam permainan sepak bola, bila ingin menang adalah mengelolah satu trik: provokasi. Sepanjang sejarah permainan sepak bola, unsur provokasi menjadi salah satu faktor penentu kemenangan. Masih ingat pada ajang Piala Dunia di Perancis, tatkala di final berhadapan Perancis vs Italia? Apa yang terkenang sekarang ini selain dari juaranya Italia? Tiada lain, provokasi yang dilakukan oleh Materazzi pada Zidane, yang menyebabkan Zidane menanduk Materazzi, dan setelahnya, kartu merah pun menjadi milik Zidane, yang mengharuskannya terusir ke luar lapangan.

Atau pertandingan lain, yang berbasis klub, tepatnya klub-klub Liga Primer Inggris. Tatkala Derby London, yang mempertemukan dua “musuh” bebuyutan, Arsenal vs Chelsea, pada guliran musim kompetisi yang lalu. Waktu itu, salah seorang pemain depan Chelsea, Diego Costa, memprovokasi pemain belakang Arsenal, Laurent Koscielny, yang menyebabkannya mendapatkan hadiah kartu merah, dan pastilah harus meninggalkan lapangan permainan. Sekali lagi, provokasi menjadi salah satu faktor penting dari pencapaian tujuan pemenangan permaian.

Bila Pilkada DKI Jakarta, diserupakan pertandingan, yang tujuannya menghasilkan gubernur, di mana salah satu pesertanya adalah Ahok, maka mungkin menarik untuk melihatnya sebagai permainan, sebentuk dengan permainan sepak bola itu. Ahok selaku pemain, yang didukung oleh segenap timnya, pun dalam perlagaan ini tidak terbebas dari unsur saling provokasi. Kalau saya mengurutkan alur ceritanya, kira-kira begini, pertama, Ahok diprovokasi sedemikian rupa, mulai dari isu korupsi, penggusuran, CKK (Cina, Kristen, dan Kafir). Kedua, Ahok terprovokasi, dan balik menjawab provokasi itu, muncullah kasus Al-maidah 51. Ahok dianggap off side, maka kartu kuning dikeluarkan, tapi Ahok protes, lalu keluarlah kartu kuning yang kedua, menyebkannya dapat kartu merah, tersangka penistaan agama.

Ketiga, seperti halnya dalam permainan sepak bola, manakala ada seorang pemain terkena kartu merah, maka ia dan timnya, boleh mengajukan banding ke badan sepakbola, bisa ke FIFA-Piala Dunia atau ke FA-Liga Primer Inggris. Dan, kini Ahok akan ke pengadilan untuk menentukan nasib selanjutnya. Yang pasti, apa pun ujung dari perhelatan Pilkada DKI Jakarta ini, mestilah ada pemenangnya, dengan segenap drama pertandingan yang mengiringinya. Dan perjamuan pilkada ini, akan dikenang sebagai pertandingan terpanas sepanjang sejarah permainan politik bangsa ini.

“Jadi, sohib saya, tenanglah dulu, saya tetap berkelamin. Cuma saya tidak tunjukkan dalam permainan ini, sebab saya bukan pemain, melainkan penonton.” Begitu tohokan balik saya pada kawan saya ini. Dan, saya tak lupa mengucapkan ulang penabalan Gobin Vashdev, seorang Heartworker, dalam bukunya Happiness Inside, seperti yang saya kutipkan di paling mula tulisan ini. Dan, lebih dari itu, semua ini adalah permainan, karena kita adalah homo ludens, manusia sebagai makhluk bermain, seperti kata Johan Huizinga. It’s just a game kawan. Sudah jelas kelamin saya bukan?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *