Aroma Kebohongan

Telah bertahun-tahun lelaki itu menjadi pelanggan setia di warung kopi milik pria tua itu, bahkan setiap pagi dan petang di setiap hari, ia tak absen menyempatkan diri ke warung kopi miliknya. Kecuali hari jumat, karena hari itu ia tak bekerja, dan hanya berdiam diri di rumah.

Berbeda dengan hari-hari selama tiga tahun yang telah berlalu, hari itu pemilik warung kopi itu mengungkapkan sesuatu yang tak pernah dibayangkan lelaki itu, ia tak menyangka bahwa pria tua yang hidup sudah setengah abad itu, mengungkapkan sesuatu yang begitu menguras pikiran hingga nyaris membuatnya gila memahami maksudnya. Sebab, selama tiga tahun menjadi pelanggan setianya, tak pernah sekalipun ia mendengar pria tua itu berbicara sekatapun pada pelanggan yang datang ke warungnya, termasuk dirinya. Bahkan sekadar menyapa atau berterima kasih pun tidak. Tapi justru sebaliknya, pria tua itu hanya memandangi setiap orang dengan roman wajah yang datar, wajah yang tidak terlihat sebagai seorang yang pemarah, tidak juga sebagai seorang yang ramah, apalagi lucu. Tatapannya tetap sama pada siapa saja. Bahkan orang-orang menganggapnya bisu. Dan semenjak kedatangannya tiga tahun yang silam di desa itu, tak seorang pun tau dari mana asalnya.

Tapi hari itu, lelaki itu di buat kaget dengan peristiwa tersebut:

Pertama, karena ternyata pria tua itu bisa berbicara.

Kedua, tak dibayangkannya bahwa pria tua itu mengungkapkan sesuatu yang tak biasa diungkapkan orang pada umumnya.

 ***

Pagi itu, seperti biasanya di hari Senin, lelaki itu selalu disuruh Kong Aconga membawa kiriman barang ke terminal bus untuk dititipkan pada seorang sopir bus.

Saat bus yang ditunggunya tiba, ia melangkah naik berdesakan dengan penumpang yang hendak turun. Setelah memberikan barang bawaannya pada sopir bus itu, dan menerima secarik kertas yang nanti akan diberikan pada bosnya, ia berjejeri dengan beberapa sisa penumpang yang juga hendak turun dari bus. Setelah melompat turun dari bus, tiba-tiba seseorang menyenggolnya dari belakang. Sekelabatan ia menengok melihat orang itu. Orang itu tampak begitu tergesa-gesa, dan hanya menengoknya tanpa meminta maaf atau senyum sebagai isyarat, lalu melanjutkan langkahnya.

“Sepertinya dia orang baru,” gumam lelaki itu dalam hati dengan sedikit kejengkelan. Lelaki itu terus mengawasi punggung orang itu seiring langkahnya menjauh, jalannya sedikit tertatih karena usianya yang cukup terbilang tua. Orang itu mengenakan jaket kulit berwarna hitam, topi pet hitam yang menutupi rambunya yang ikal panjang sebahu, dan menggendong tasnya.

***

Fajar beringsut menjejaki pagi, embun mengkristal di dedaunan, udara dingin perlahan tersapu sinar mentari pagi, lelaki itu mengayun sepedanya menelusuri jalanan di ujung Desa Kapok melewati perkebunan cokelat menuju gudang rempah milik Kong Aconga— tempatnya bekerja, yang berjarak satu kilometer di sebelah utara dari Desa Kapok. Lelaki itu berhenti mengayung sepedanya, membiarkan sepedanya melesat dengan sisa kecepatannya. Pandangannya tertuju pada warung kopi yang baru dibangun di samping jalan itu. Tepatnya antara perkebunan cokelat dan kebun jagung. Lelaki itu terus memandangi warung kopi itu, hingga sepedanya perlahan telah berlalu melewati warung itu, dan ia dikagetkan dengan sepedanya yang terguncang kerikil samping jalan, dan sekonyong-konyong ia kembali menatap depan jalan dan membelokkan sepedanya kembali memasuki jalanan, kemudian berhenti di sana. Bola matanya berputar-putar, keningnya mengerut, matanya menyipit, seperti sedang mengingat sesuatu.

“Oh! Orang itu,” serunya begitu mengingatnya. “Dia yang di terminal waktu itu”.

“Tapi apa yang dia buat di situ? Apa dia pemilik warung kopi itu?” lelaki itu bertatnya-tanya dalam hatinya. Tak mampu membendung rasa penasarannya, ia memutar kembali sepedanya, dan menghampiri warung itu.

“Permisi,” ucapnya dengan senyum. Namun pria tua itu tak menjawab, dia menatapnya dengan wajah yang datar. Sama persis dengan yang ia lihat sebulan yang lalu di terminal.

Pria tua itu hanya berdiri dibalik mejanya, tak menunjukan gerak-gerik layaknya para pelayan pada umumnya. Ia tetap tenang di tempatnya dengan terus memandangi lelaki itu. Merasa gugup dan kaku, lelaki itu memesan segelas kopi. Pria tua itu pun berlalu ke dalam membuat kopi pesanannya.

Lelaki itu duduk di bangku panjang dekat jendela warung itu, mengedarkan padangan menyelidiki setiap sudut ruang, “warung ini nyaman juga,” katanya pelan. Warung berdinding anyaman bambu dan atap yang tersusun dari daun pohon sagu yang dianyam rapi. Sebuah lukisan besar dipajang di dinding yang menengadah pintu masuk—lukisan para petani yang sedang menanam padi di sawah dengan gunung-gunung hijau menjulang tinggi di belakangnya, dan sinar matahari yang menguning dari balik gunung-gunung itu. Semua itu memilik fantasi tersendiri.

Lelaki itu membuang mata keluar jendela. Matanya dibuat takjub dengan pemandangan di depannya, kebun jagung yang membentang panjang dengan daun-daun yang mulai menguning, pohon-pohon yang menghijau di kejauhan sana hingga ke kaki bukit yang disinari matahari pagi itu. Sejenak ia larut dalam keindahan yang menggugah itu.

Kini matanya sayup, ia menarik nafas dalam-dalam, “Harum apa itu?” katanya sembari menengok mencari sumber keharuman itu. Didapati pria tua itu berdiri di sampingnya membawa kopi pesanannya. Kopi itu menguapkan gumpalan asap tipis yang mengepul dengan keharuman yang sulit dijelaskannya. Pria tua itu meletakkan kopi pesanannya di atas meja di depannya, dan kembali ke balik mejanya.

“Kopi apa ini? Aromanya harum sekali,” kata lelaki itu dengan terus memandangi segelas kopi di depannya yang menguapkan asap tipis yang mengepul ke udara dengan aroma yang semakin menyengat di hidung. Ia kembali memandangi pria tua itu dengan tatapan menaksir-naksir penuh tanda tanya. Pria tua itu hanya memandanginya dengan sikapnya yang tenang, sekilas mereka hanya saling pandang.

Pagi itu belum ada pengunjung lain, hanya lelaki itu.

Lelaki itu mengangkat gelas kopinya. Bibirnya belum menyentuh bibir gelas, hidungnya telah ditaklukan keharuman kopi yang semakin dahsayat. Lelaki itu menahan nafas, lalu menghembuskannya lagi, matanya berbinar puas, saat kopi itu diseruputnya. Sejenak ia terdiam dengan posisi tetap seperti itu, sebelum akhirnya meletakan pelan gelas kopinya kembali ke meja, dan kembali menatap pria tua itu dengan tatapan yang penuh ketakjuban.

Semenjak hari itu, lelaki itu selalu menyempatkan diri ke warung kopi itu, saat hendak ke gudang tempat kerjanya maupun sepulang kerja.

Hingga suatu hari, ia pulang dari tempat kerja dengan wajah yang lesu, dan tampak tak bergairah. Lelaki itu mendorong sepedanya berjalan menelusuri jalanan. Matanya menekur ujung sendalnya yang menendang-nendang kerikil di samping jalan. Ia dipecat Kong Aconga. Pengusaha rempah berdarah Tionghoa itu menuduhnya menyelundup sekarung biji cokelat kering dari gudang. Meskipun menyadari bahwa bukan ia pelakunya, tapi karena ia adalah kepala gudang di tempat itu, maka ia yang bertanggung jawab atas kehilangan tersebut.

Karena mendorong sepeda, dan jarak yang cukup jauh, lelaki itu tiba di depan warung kopi saat hari mulai gelap. Ia pun singgah di warung kopi itu seperti biasanya, memarkir sepedanya di depan warung kopi itu, dan masuk ke dalamnya dan duduk di bangku dekat jendela tempat biasnya duduk.

Magrib membayang, kicauan burung-burung yang bergerombolan terbang kembali kesangkarnya, para petani kebun jagung yang mulai bepulangan, udara dingin dan hembusan angin yang mulai kencang, membuat lelaki itu semakin sendu terduduk di bangku sembari menatap keluar jendela.

Melihat sikap lelaki itu yang tak seperti biasnya, pria tua itu mendekatinya sembari menyodorkan segelas kopi, dan tetap berdiri di dekatnya. Lelaki itu terheran-heran dengan sikap pria tua itu. Namun ia segera meminum kopi itu untuk menghilangkan segala kepenatan di kepalanya. Seperti biasa, keharuman kopi itu selalu membuat suasana hatinya menjadi tenteram, sebelum rasanya yang membuat insomnia sesaat dan larut dalam kenikmatannya.

“Tfuuuueeeiii” lelaki itu memuntahkan kopi itu dan meludah-ludah.

“Kopi apa ini? Kenapa pahit sekali,” bentaknya, kemudian berdiri menatap pria tua itu penuh kejengkelan. Matanya berbinar-binar, air mukanya memerah.

“Kau keseringan minum kopi manis yang banyak gula dan madunya, hingga lupa bahwa kopi sebenarnya pahit. Hidungmu terlalu lengah dengan keharumannya, ” ungkap pria tua itu.

Lelaki itu menatap pria tua itu heran-heran.

“Sengaja kubuatkan kau kopi tanpa gula dan madu, agar kau tahu bahwa, bukan cuman hidup saja yang pahit di dunia ini,” lanjut pria tua itu.

Tiba-tiba suara seorang perempuan muncul dari dapur dan memanggil “Mamang Tan”, lalu pria tua itu memalingkan kepala ke arah orang itu, kemudian berjalan mendekatinya. Lelaki itu menatap pria tua itu kebingungan seiring langkahnya mendekati perempuan yang memangilnya. Saat itu baru ia tahu bahwa pria tua itu bernama Mamang Tan.

Beberepa saat kemudian, Mamang Tan kembali menghampiri lelaki itu yang masih berdiri di sana dengan tatapan yang semakin terheran-heran, dan berkata padanya, “Aku pengusaha warung kopi, tapi tak pernah aku meminumnya, karena aku tahu kopi itu pahit. Dan, pahit dan manis itu tak mungkin menyatu . Gula dan madu hanya untuk mengelabui lidah. Begitupula aromanya”.

“Tiga tahun aku di warung kopi ini, selama itu pula aku menyaksikan orang-orang menghirup aroma kebohongan sebelum meneguknya,” lanjutnya menerangkan lalu berbalik pergi.

Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti dan berbalik menatap lelaki itu.

“Siapa namamu? Aku bahkan belum mengetahui namamu, padahal kau pelanggan setiaku,” tanya Mamang Tan.

“Bahrul Ilyas Boufakar” jawab lelaki itu datar.

Mamang Tan mengangguk, kemudian berkata “Kopi itu gratis untukmu”.

Bahrul Ilyas Boufakar pun melangkah keluar menuju sepedanya yang di parkir di depan warung itu sembari berkata pelan “iya! Aroma kebohongan,” ia pun tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *